Titik Terang

Like a Drama - versi Indonesia
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

Sorry for Miss Typo n Hope you enjoy it~ ^^

Soundtrack :: 2PM - I Hate You

 

...........

 

Setelah menyerahkan Wooyoung pada Chansung dan Junho yang baru kembali entah dari mana, Minjun dan Taecyeon pun kembali ke kamar mereka. Minjun masuk ke dalam kamar duluan, Taecyeon menyusul di belakang dan menutup pintu kamar mereka. Kamar terlihat sepi, tanpa Nichkhun di dalamnya.

 

Minjun hendak menuju kamar mandi ketika tangannya mendadak diraih oleh Taecyeon.

 

"Minjun-ah."

 

Minjun berbalik. "Ada apa?"

 

"Kau baik-baik saja?"

 

"Apa maksudmu?"

 

Taecyeon melangkah lebih dekat, tangannya yang tak memegang lengan Minjun, terulur, menyibak poni Minjun secara perlahan. "Pelipismu..." katanya khawatir.

 

Minjun mengerjap, baru menyadari sedikit memar yang juga ia alami akibat dari sikutan tak sengaja gadis brutal fans Nichkhun, saat Minjun dan beberapa anak siswa —juga Taecyeon— mencoba menyelamatkan Wooyoung dari amukan fansgirl.

 

"Apa masih sakit?" sentuhan lembut di pelipisnya sempat membuat Minjun tertegun, membeku di tempat dengan jantung yang sempat berdegup kencang, tapi secepat itu pula ia kemudian tersadar.

 

Ia menepis pelan tangan Taecyeon dari pelipisnya. "Aku tak apa," jawabnya pelan, lirih, sambil melirik lantai. "Wooyoung masih lebih parah dariku..."

 

"Minjun-ah—"

 

"Sudah kubilang aku tak apa—"

 

Tangan Taecyeon menangkup pipi Minjun, menghentikan kata protes dari bibir Minjun. Mata Minjun segera melirik ke atas, dan ia bisa menangkap sinar ketulusan dan kelembutan dari pancaran mata Taecyeon. "Aku juga mengkhawatirkanmu...."

 

Itu membuat hati Minjun berdesir hebat, tapi juga perih dalam waktu yang sama. Ia memegang tangan Taecyeon yang menangkup pipinya. "Kenapa—" ada sinar terluka yang kembali muncul pada mata Minjun. "—kau masih melakukan hal ini padaku?"

 

Taecyeon hendak mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba suara dering ponsel Minjun mengintrupsi mereka. Tangan Taecyeon terlepas dari pipi Minjun, tapi tidak dari tangan yang masih memegang pergelangan tangan Minjun, mengisaratkan agar Minjun mengangkat telepon di hadapannya. Saat sebelah tangan Minjun yang bebas dari tangan Taecyeon, mengambil ponselnya dari saku celana, Taecyeon sempat melihat nama Seulong di layar ponsel tersebut, membuat Taecyeon tanpa sadar mengeram kesal.

 

"Yopseyo hyung," Minjun melirik Taaecyeon yang menatapnya tajam. "Apa? Kau di luar? Sejak kapan?" suara khawatir Minjun hanya membuat Taecyeon semakin kesal menatapnya. "Pesan apa? Aku tak menerima pesan apapun darimu hyung. Kapan kau mengirimiku pesan?"

 

Tatapan tajam Taecyeon mulai berubah.

 

"Tadi pagi?" Minjun menatap langit kamar, tampak berpikir. Setelah ia menyadari sesuatu, Minjun segera memicingkan mata menatap tajam Taecyeon, di mana Taecyeon  malah beralih menatap lantai dengan raut wajah agak panik. "Mianhe hyung. Aku akan segera keluar." Minjun mengakhiri salurannya.

 

"Min—"

 

"Diam," suara Minjun terdengar pelan, namun tegas dan menyeramkan bagi Taecyeon. Ia menghentakkan lengannya dari pegangan Taecyeon. Lalu menunjuk dada bidang Taecyeon sambil berbicara penuh penekanan. "Kita bicara nanti."

 

Setelahnya, Minjun beranjak keluar kamar, dengan bunyi bantingan pintu yang membuat bahu Taecyeon tersentak di tempat. Menandakan Minjun benar-benar marah kali ini.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Junho membenarkan selimut Wooyoung yang sudah terlelap. Ia menatap sedih pada memar di pipi chubby sahabatnya, juga bekas cakaran di leher maupun tangannya. Ada rasa bersalah dalam hati Junho karena tak ada di samping Wooyoung saat kejadian mengerikan itu terjadi. Tapi Junho tak punya pilihan lain,  karena ia juga memiliki masalah lain dalam waktu yang sama.

 

"Mianhe...." Junho berbisik lirih, sambil menghapus air mata yang sempat tercipta di matanya. Mengusap pelan bahu sahabatnya yang terlelap   —sekedar untuk menenangkan Wooyoung dalam tidurnya, setelah itu Junho berbalik, menuju ranjang lain di mana Chansung duduk sambil membenamkan bungkusan es di pipinya, yang membiru karena pukulan tinju.

 

"Apa masih sakit?" tanya Junho sambil berdiri di depan Chansung yang duduk di tepi ranjang.

 

"Hm, sedikit."

 

"Tidak seharusnya kau ikut terlibat dalam masalahku."

 

"Tak apa. Aku kan sudah bilang kalau aku tak keberatan."

 

"Tapi tetap saja aku merasa tak enak. Wooyoung saja yang mengetahui masalahku selama ini tak pernah sejauh ini terlibat."

 

"Hei, hei, Aku dari tadi kan sudah bilang tak masalah. Mengapa kau masih saja keras kepala?"

 

Junho menghela nafas. "Ini salahmu juga sih. Aku kan sudah menyuruhmu untuk tunggu di luar saja, tapi kau malah keras kepala dan masuk menerobos rumah pamanku."

 

Ada kedutan kecil urat nadi di pelipis Chansung,  merasa tersinggung karena ia malah disalahkan."Oh, jadi kau menyuruhku terus menunggumu di luar. Diam seperti orang bodoh, meski aku mendengar teriakan adik perempuanmu yang meminta tolong dari dalam rumah?" Chansung mendengus. "Aku tak mungkin setega itu."

 

"Tapi  gara-gara kau yang bersikap sok pahlawan, kau jadi terluka. Padahal aku cukup bisa mengatasinya sendiri, aku juga namja."

 

"Mengatasinya sendiri? Jangan buat aku tertawa. Kau nyaris menangis seperti anak kecil di dalam rumah bersama adikmu. Kenapa kau tidak menghubungi polisi saja untuk melaporkan kekerasan yang dilakukan pamanmu itu pada adikmu?"

 

"Kau sudah gila yah? Bagaimana pun juga pamanku itu keluargaku satu-satunya selain adikku. Mana mungkin aku bisa melaporkannya."

 

"Tapi dia sudah keterlaluan. Dia sudah memperlakukan adikmu yang masih di bawah umur seperti pembantu, dia juga memukul adik perempuanmu dan nyaris memukulmu juga. Pamanmu itu sudah gila!"

 

"Tidak!" Junho menggeleng. "Dia hanya lelah, dan sedikit mabuk...."

 

Chansung menatap Junho tak percaya. Ia hendak mengatakan kalau Junho mungkin juga sudah gila karena masih membela pamannya yang gila itu, ketika Junho kembali mendahuluinya.

 

"Kalau bukan karena paman kami yang menampungku dan adikku, kami mungkin tak bisa hidup sampai sekarang...."

 

Chansung tertegun, melihat mata Junho yang nampak putus asa.

 

Junho melirik lantai. "Kami bersyukur paman kami masih mau membiarkan kami tinggal di rumahnya saat aku berumur 12 tahun dan Jimin masih berusia 9 tahun. Meski pada akhirnya kami yang selalu mengerjakan urusan rumah tangga, itu tidak masalah. Itu lebih baik daripada kami terlantar di jalanan, karena seluruh harta orang tua kami terbakar tanpa sisa."

 

Junho semakin menunduk, matanya mulai memanas. "Tak apa. Aku dan adikku masih bisa melewati ini semua selama lima tahun bersama-sama. Meski kini aku sudah berhasil tinggal di asrama dengan beasiswa yang kuraih, Jimin bilang...." Junho menggigit bibir bawahnya, mengingat adik perempuan kesayangannya selalu membuat ia lebih sesitif. "....Jimin bilang ia akan baik-baik saja di sana. Sambil tersenyum manis, dia bilang dia akan menyusulku di sekolah asrama Kirin, setelah ia lulus dari smp. T-tapi, itu masih dua tahun lamanya..."

 

Junho menutup matanya yang mulai basah dengan telapak tangan. "Tentu saja sebagai kakaknya aku tak tahan membiarkannya lama di sana. Pamanku memang baik, tapi terkadang dia sering mengamuk dan mabuk kalau dia sudah terlalu lelah dengan pekerjaan kulinya. Saat itu terjadi, aku selalu berada di samping Jimin untuk melindunginya, tapi kalau sekarang...." suara isak pelan itu mulai terdengar, dengan bahu Junho mulai bergetar.

 

"Junho-yah...." tangan Chansung terulur, agak ragu, tapi akhirnya ia mengusap pelan kedua bahu Junho yang bergetar, berusaha menenangkannya. "Uljima..." ia berucap pelan, dengan nada turut sedih melihat Junho menagis. "Hei, sudahlah. Bukan kah Jimin tadi sudah kita bawa ke rumah temannya. Ia sudah aman dari pamanmu yang mabuk itu. Iya kan? Oh ayolah Junho berhentilah menangis," Chansung mulai merajuk, berdiri dari ranjangnya dan memeluk Junho dalam pelukannya. "..... Kalau kau terus-terusan menangis, nanti kelopak matamu semakin membengkak, dan menutupi mata kecilmu. Bisa-bisa nanti wajahmu jelek karena matamu semakin tidak terlihat. Akh! Hei, mengapa kau malah mencubit pinggangku?" Chansung memprotes, tapi tetap tidak melepaskan pelukannya.

 

"Pabbo," umpat Junho di sela tangisnya yang mulai mereda.

 

"Aku tidak pabbo," balas Chansung tak mau kalah, menumpu dagunya pada puncak kepala Junho. "Kau yang cengeng," balasnya, tapi tidak dengan nada mengejek. Malah lebih terkesan pelan dan lembut, dengan seutas senyum kecil di wajah tampannya tanpa sepengetahuan Junho.

 

"Kau menyebalkan," meski begitu, tangan Junho tetap terangkat, membalas pelukan Chansung dengan melingkarkan tangannya di punggung tegap Chansung. Menghabiskan sisa tangisnya di dada Chansung yang entah kenapa terasa begitu nyaman. Tanpa Chansung ketahui, Junho juga sedang menguntai sebuah senyuman di wajahnya yang ia benamkan pada dada Chansung....

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Pintu kamar terbuka. Taecyeon segera berdiri dari ranjangnya untuk menyambut orang yang sudah kembali ke dalam kamar mereka. Kalau itu bukan Nichkhun yang kembali, berarti itu adalah Minjun. Tapi Taecyeon tak tahu harus senang atau tidak saat melihat itu adalah Minjun dengan wajah masam memandang tajam Taecyeon, siap memarahinya habis-habisan.

 

"Pasti kau yang sudah mengotak-atik ponselku tadi pagi saat aku masih mandi, iya kan? Aku tidak percaya kalau itu adalah Nichkhun. Senakal-nakal dan sejahilnya dia, Nichkhun tidak pernah ingin mengurusi privasi orang. Satu-satunya tersangka di sini adalah kau." Minjun menunjuk Taecyeon dengan marah.

 

Taecyeon mendengus kesal melihat Minjun seolah-olah membandingkannya dengan Nichkhun, dan mengatakan bahwa kelakuan Nichkhun lebih baik darinya. "Jangan membesarkan masalah Minjun. Aku hanya—" Taecyeon berusaha mencari alasan yang tepat, "—tidak sengaja membaca pesanmu yang masuk. Itu karena ponselmu terus berdering dan mengganggu aktifitasku."

 

Minjun memicingkan mata curiga, jelas itu adalah alasan yang tak masuk akal. "Tapi kenapa kau menghapus pesan dari Seulong hyung dan tidak mengatakannya padaku? Gara-gara perbuatanmu itu, aku sampai tidak tahu kalau Seulong hyung sudah menungguku sejak tadi sore di luar gedung. Ia sudah menungguku hampir empat jam. Bayangkan itu, dan aku sama sekali tidak tahu hal itu. Untungnya ini bukan musim dingin—"

 

"Min—"

 

"—tapi tetap saja empat jam itu bukan waktu yang sebentar—"

 

"Minjun—"

 

"—Aku bisa melihat wajah Seulong hyung yang terlihat lelah karena menungguku terlalu lama—"

 

"Minjun—"

 

"—tapi Seulong hyung tetap tersenyum senang saat aku datang. Itu membuatku makin bersalah dan tersentuh—"

 

"HENTIKAN!"

 

Minjun tersentak, sekaligus bungkam dalam waktu yang sama. "W-wae?" ia mulai takut melihat Taecyeon menatapnya tajam.

 

Taecyeon menormalkan nafasnya terlebih dahulu, yang entah kenapa sempat tersulut emosi karena sesuatu. "Berhenti membicarakan dia depanku."

 

Minjun mengerjap, tak mengerti. "Wae? Kenapa kau terlihat tidak menyukainya?"

 

"Aku hanya tidak suka dengannya."

 

"Itu karena kau belum mengenal Seulong hyung lebih dalam. Dia itu orang yang sangat baik, lucu, dan sangat perhatian. Dan dia juga jauh lebih dewasa darimu. Seharusnya kau banyak belajar darinya. Ah, mungkin suatu saat kita bisa jalan bertiga dan banyak berbincang tentang—" Minjun tak lagi melanjutkan ucapannya setelah menyadari tatapan membunuh Taecyeon tertuju padanya. "M-mwoya?" Minjun mulai melangkah mundur saat Taecyeon mendekatinya dengan aura membunuh yang tampak menyeramkan. "Y-yach! Yach! Ok Taecyeon! Berhenti menatapku seperti itu!" meski Minjun berusaha mengancam, tapi ia tetap melangkah mundur sampai tersudut dengan dinding kamar. Sial, di saat seperti ini mengapa Nichkhun belum juga kembali ke kamar, runtuk Minjun mulai panik.

 

Taecyeon berhenti tepat di depan Minjun yang bersandar di dinding. Ia mendekat, sementara Minjun segera memalingkan wajahnya dengan panik. Kedua tangan Minjun mendorong dada Taecyeon untuk menjauh, tapi Taecyeon tetap bergeming di tempat. "Taec—"

 

"Terkadang kalau kau begitu cerewet, kau terlihat menyebalkan Minjun-ah..." Taecyeon berbisik di telinganya.

 

Minjun menahan nafas dalam diam, tetap memalingkan wajah dengan jantung yang mulai berdetak kencang karena nafas Taecyeon menerpa pipinya. Sekali lagi ia berusaha mendorong dada Taecyeon. "T-taecyeon, m-mundur—" tangan Minjun sendiri mulai gemetar karena begitu gugup berada terlalu dekat dengannya dalam suasana seperti ini. Demi Tuhan, mereka hanya berdua dalan kamar tanpa Nichkhun. Sesaat wajah Minjun merona.

 

"Dengar Minjun-ah," Taecyeon berbicara dengan nada serius, entah ia sadar atau tidak dengan kondisi Minjun yang begitu gugup di tempat. "Aku sama sekali tidak suka kau membicarakan teman mahasiswamu itu di hadapanku, apalagi kalau kau memujinya seperti tadi."

 

"K-kenapa?"

 

"Karena aku membeci pria itu."

 

"Kenapa kau membencinya?"

 

"Dia berniat buruk padamu."

 

"Tidak Taec, kau salah. Dia berniat baik."

 

"Tidak. Dia berusaha mendekatimu."

 

Minjun mengerjap, mulai berani melirik Taecyeon dengan pandangan heran. "Apanya yang salah dengan itu? Itu bukan hal yang buruk."

 

"Tidak," Taecyeon menjawab dengan nada tegas. "Itu buruk bagiku, Minjun-ah..."

 

.......

 

Minjun menatap Taecyeon heran, tak percaya, dan juga bingung. ”Kenapa itu bisa buruk bagimu?” Minjun menatap mata Taecyeon dengan beribu tanya, mencoba mencari suatu jawaban. Melihat Taecyeon tetap terdiam di tempat, dengan pancaran mata yang mulai melunak dan melembut. Hati Minjun berdesir untuk menebak sesuatu yang memungkinkan —sesuatu harapan untuknya, tapi itu terasa begitu rumit ketika kesadaran Minjun kembali pada akal sehatnya untuk menyentakkan dirinya bahwa Taecyeon menyukai orang lain, bukan dirinya. Tapi kenapa sikap Taecyeon terlihat seperti dia sedang cemburu dengan Seulong yang sedang mendekatinya?

 

"Ada apa denganmu?" Tangan Minjun yang masih berada di dada Taecyeon, bergerak meremas baju Taecyeon di bagian dada dengan gerakan menuntut, dan putus asa. ”Sebenarnya ada apa denganmu?” ulangnya menuntut jawaban.

 

"Aku tak tahu..." Taecyeon akhirnya membalas, lirih dengan nada putus asa. "Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi dengan diriku." Sinar mata Taecyeon mulai berkaca-kaca, tampak begitu menyesali keadaan yang terjadi di antara mereka. "Aku...." Taecyeon menahan nafas sejenak, ".....aku hanya tak ingin kehilangan dirimu lagi, Minjun-ah, tapi aku sendiri juga belum bisa memastikan bagaimana perasaanku yang sebenarnya.” Taecyeon tampak begitu sedih dan menyesal. ”Maafkan aku...."

 

Mata Minjun ikut berkaca-kaca. "Kau jahat..." ia memukul kecil dada Taecyeon. "Kau sangat jahat padaku...."

 

"Mian—"

 

"K-kenapa aku?" Air mata itu mulai mengalir di pipi Minjun. "Kenapa kau melakukan hal ini padaku?" dan Minjun tak bisa menahan tangisnya lagi. "Kenapa kau membuatku tersiksa dengan mengambangiku seperti ini? Tak bisakah kau berhenti?" Minjun menggigit bibir bawahnya dengan mata yang berlinang. "Atau setidaknya hentikan aku..."

 

Air mata itu juga jatuh dari salah satu mata Taecyeon, ikut terluka melihat Minju tersiksa karenanya. "Mianhe..." Ia mencoba menghapus aliran air mata di pipi Minjun, meski aliran lain juga tercipta di pipi Taecyeon sendiri. "Aku sungguh menyesali diriku yang begitu bodoh...."

 

"Itu lebih baik kalau kau membuangku," Minjun menggeleng pelan dengan nada merengek yang terdenger miris karena di selangi tangis. "Dari pada menyiksaku dengan perasaanmu yang tak jelas seperti ini...."

 

Taecyeon menangkup kedua pipi Minjun, "Mianhe..." ia mengangkat wajah Minjun. "Jeongmal mianhe..." ia menghapus air mata itu menggunakan ibu jarinya dari pipi lembut Minjun.

 

"L-lalu apa maumu sekarang?"

 

"...Kumohon, beri aku waktu sedikit lagi. Aku tak ingin keputusan yang ku ambil nanti malah akan menyakiti banyak orang. Aku juga tak ingin menyakitimu lebih jauh lagi...."

 

"Tapi sampai kapan....?"

 

Taecyeon mendekatkan wajahnya. "Hanya sebentar lagi..." bisiknya lirih. "Ada beberapa hal yang harus kupastikan terlebih dahulu..." sekali lagi ia mengusap pipi Minjun yang masih basah. "Bisakan, kau menungguku sebentar lagi?" tanyanya penuh harap.

 

Mata Minjun melirik ke samping. Terlalu banyak perdebatan dalam pikirannya. "A-aku..." tawaran Seulong bahkan sempat menari dalam pikirannya. "Aku tidak janji..." Minjun menggigit bibir bawahnya tanpa melihat Taecyeon.

 

Taecyeon tersenyum miris menerima jawaban Minjun yang mengecewakan. "Mianhe

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ruellovcr
#1
Chapter 11: bingung aku sama nichkhun sjksjakjskaj
ruellovcr
#2
Chapter 10: siapa yang nyebarin foto itu deh?? apa jangan2 ada hubungannya sama junho yang nangis?
ruellovcr
#3
Chapter 7: KSKSKSSSKS KACAU ToT
ruellovcr
#4
Chapter 5: chansung sama junho ini kayanya apa2 bisa dibawa ribut melulu ya wkwkwk

oh ya, aku jadi bingung sama nichkhun ... sejauh ini dia lebih milih siapa deh?
ruellovcr
#5
Chapter 4: aku kasian sama nichkhun, tapi kasian juga sama minjun :((
ruellovcr
#6
Chapter 3: baru di chapter ini aja udah gemesin huhuhu
taeckayforever #7
Chapter 3: INI TAUN 2020 DAN AKU BARU BACA, tidak ada harapan lanjut kah? ㅠ.ㅠ
diyoungie #8
Chapter 14: Hai thor, aku kembali di 2019 :) aku tau sih kalo kamu gak bakalan update ff ini, cuma lagi kangen aja sama mereka :')
Amaliaambar
#9
Chapter 14: Aaaaaaaaaaa fix aku baper maksimal paraaahhh, ceritanya ngena banget ih feelnya dapet bgt sumpaaahhhhhhh
aaaah update lg dong author-nim jngn bikin saya mati penasaran, walaupun udh lama update lah author-nim saya penasaran banget bangetan iniiiiii
diyoungie #10
hai thor, aku datang lagi untuk mengingatkan mu agar mengupdate ff ini haha ^^~~~