Kenapa?

Like a Drama - versi Indonesia
Please Subscribe to read the full chapter

Sorry for Miss Typo n Hope you enjoy it~ ^^

Soundtrack :: 2PM - Gimme The Light

 

...........

 

Jari jemari Wooyoung bergerak di atas touch-screen notebook miliknya, matanya membaca tiap baris tampilan link hasil dari pencariannya di web google. Memilih salah satu, dan tiga detik kemudian, sebuah website pun menampilkan artikel  bacaan mengenai info yang ia cari.

 

Kening Wooyoung berkerut heran dengan bibir yang mengerucut tak mengerti,  setelah ia membaca seluruh artikel tersebut. "Ahh, aku kemarin tidak salah dengar kan?" gumamnya sendiri dengan nada ragu sambil memiringkan kepalanya. Masih teringat jelas ketika Wooyoung mendengar sedikit pembicaraan Nichkhun kemarin di ponselnya. Dengan nada datar dan pelan tapi cukup terdengar oleh Wooyoung di belakangnya, sang artis itu mengatakan, 'Dia bukan ibu kandungku.'

 

Itu terdengar janggal, karena  setahu Wooyoung —dan beberapa penggemar Nichkhun lainnya— mantan artis cilik itu hanya memiliki satu ibu, dan satu-satunya ibu Nichkhun itu sudah pasti adalah ibu biologisnya. Lalu, siapa yang dimaksud Nichkhun kemarin? 'Ibu' siapa yang tak ingin Nichkhun jenguk?

 

Satu-satunya jalan untuk mengetahui banyak informasi dari Nichkhun, hanya dari internet. Tentu saja, jangan harap Nichkhun mau menjawab pertanyaan Wooyoung secara langsung. Sebenarnya, jauh-jauh hari saat Wooyoung pertama kali menyukai Nichkhun, ia sudah beberapa kali browsing mengenai info sang artis tersebut —layaknya penggemar fanatik— tapi tetap saja, apa yang Wooyoung dapat hanya sekedar informasi umum. Tingkah laku Nichkhun yang sering berubah-ubah saja tak pernah diketahui oleh publik.

 

"Kau belum tidur?" Junho yang baru keluar dari kamar mandi, menghampiri Wooyoung yang sedang terngkurap di atas ranjang dengan notebook di tangannya. Junho melirik artikel website yang terpampang di sana, dan alisnya terangkat heran. "Kau bilang kau mau move on, kenapa kau masih mencari info tentangnya?"

 

Wooyoung mendesah sambil membenamkan wajahnya di atas bantal. Ia menggerutu tak jelas, merutuki dirinya yang kalah dengan rasa penasaranya. "Aku hanya—ugh! Sudahlah. Yang jelas aku masih sedang berusaha untuk melupakan perasaanku." Wooyoung cemberut kesal, mulai mengeluh. "Tapi ternyata ini tak semudah yang kubayangkan....."

 

Junho menatapnya prihatin, lalu berpikir. "Tapi Wooyoung-ah, bagaimana kalau ternyata kau tak bisa move on?" Junho bisa melihat Wooyoung agak tersentak, langsung menoleh pada Junho dengan tatapan terkejut, seolah Wooyoung tak memikirkan kemungkinan hal itu bisa terjadi. "Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"

 

Wooyoung terdiam sejenak, lalu ia kembali mendesah sambil membenamkan wajahnya pada bantal lagi. "Molla~" rengeknya putus asa.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Suara ketukan pintu terdengar dari depan kamar 22 asrama namja sekolah Kirin. Taecyeon yang kebetulan berada dekat dengan pintu, beranjak untuk membukanya. Seorang pria muda yang tak dikenal Taecyeon, berdiri di sana. Dengan postur tubuh yang nyaris sama dengan Taecyeon, bahkan sedikit lebih tinggi dari Taecyeon, pemuda itu tersenyum ramah padanya, tampak lebih tulus sehingga wajah tampannya terlihat lebih manis.

 

"Siapa?" tanya Taecyeon heran, karena ia memang tak pernah melihat wajah pemuda itu di lingkungan sekolah maupun asrama sebelumnya, sepertinya memang bukan siswa di sini.

 

"Aku sedang mencari Kim Minjun."

 

Taecyeon menaikkan asli, mulai bersekap dada sambil meneliti penampilan pemuda itu dari bawah sampai atas. "Kau siapa?" kali ini nadanya terdengar tak bersahabat.

 

"Aku—"

 

"Ah, Seulong-hyung!" suara Minjun menyahut dari belakang Taecyeon. Ia berjalan ke ambang pintu untuk lebih dekat. "Mengapa kau sampai datang ke kamarku? Bukankah sudah kubilang tunggu di luar saja."

 

Pemuda yang dipanggil Seulong itu tersenyum manis pada Minjun. "Maaf, aku hanya tak sabaran ingin bertemu denganmu lagi."

 

Minjun terkekeh kecil. "Tunggu sebentar hyung, aku ambil jaketku dulu." Minjun kembali masuk ke kamar, mengabaikan Taecyeon yang sejak tadi menatap keduanya aneh.

 

"Minjun-ah," Taecyeon menyusul masuk ke dalam kamar. "Siapa dia?"

 

"Temanku," jawab Minjun seadanya.

 

"Kulihat dia bukan siswa Kirin."

 

"Tentu saja bukan. Dia mahasiswa di Dankook University." Minjun mengambil topi di lemarinya, memakainya sambil bercermin, tapi kemudian ia lepaskan topi itu karena merasa tidak cocok.

 

"Mahasiswa? Bagaimana kau mengenalnya?" Taecyeon tampak jengah melihat Minjun begitu fokus bercermin sambil memperbaiki rambutnya.

 

"Well, sebenarnya kami sudah berteman sejak aku SMP dan waktu itu dia SMA. Dia anak dari guru les vokal-ku. Tentu saja kau tak mengenalnya, karena aku bertemu dengannya setelah kau pindah dari rumah kami." Minjun mengambil dompetnya. "Aku akan pergi hangout sebentar dengannya, mungkin aku akan kembali sekitar jam sembilan malam."

 

Taecyeon mendengus. "Aku akan menguncikanmu pintu kalau kau pulang terlalu lama."

 

Minjun mengernyit heran menatap Taecyeon yang tampak sebal. "Ya sudah. Kalau kau menguncikanku pintu, aku terpaksa akan menginap di apartement Seulong-hyung."

 

Mata Taecyeon melebar. Minjun berbalik, tanpa menyadari bagaimana raut wajah Taecyeon di belakangnya. "Khun-ah, aku pergi." ia menyempatkan diri menyapa Nichkhun yang baru keluar dari kamar mandi.

 

Nichkhun yang tak tahu apa-apa, hanya mengangguk singkat. "Oh, ndeh. Hati-hati."

 

"Dia ingin pergi bersama seorang pria," sahut Taecyeon pada Nichkhun, seolah-olah sedang melapor. "Mungkin mereka mau kencan berdua."

 

Minjun yang masih di ambang pintu, berhenti dan berbalik. "Jangan melebihkan Taec, sudah kubilang kami hanya hang out," ralat Minjun. Terdengar suara tawa kecil Seulong —entah karena apa— sebelum akhirnya pintu kamar tertutup dari luar oleh Minjun.

 

"Aku tak percaya itu hanya hang out, kalau mereka hanya pergi berdua," komentar Taecyeon sinis. "Bagaimana menurutmu?" ia bertanya pada Nichkhun, seolah sedang mencari aliansi.

 

Nichkhun mengangkat bahu tak acuh. "Mana aku tahu. Toh, itu urusan Minjun ingin pergi hang out atau berkencan dengan siapa."

 

"Kau tidak marah? Bukannya kau menyukai Minjun?"

 

"Kau tidak ingat aku sudah ditolak?" kali ini Nichkhun melirik Taecyeon dengan sinis. "Dan coba tebak, itu semua karena siapa?" sindirnya.

 

Taecyeon tak menjawab, tentu saja jawabannya sudah jelas. Tapi dengan wajah yang tampak kesal, Taecyeon beranjak masuk ke kamar mandi meninggalkan Nichkhun tanpa banyak bicara lagi.

 

Nichkhun yang melihat gelagatnya, hanya bisa mendengus sebal. "Sebenarnya dia itu suka sama siapa sih?" gerutunya sendiri.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

"Kau pikir empat tiket teater yang kubeli itu gratis? Kau juga harus menggantinya."

 

Junho menatap tak percaya pada Chansung yang sedang menagihnya. "T-tapi, sebelumnya kau bilang tak ada masalah dengan itu. Kenapa sekarang tiba-tiba kau memintaku untuk menggantinya? Kalau dari awal aku tahu ini, aku pasti tidak akan menyetujui rencanamu. Atau paling tidak, kita berdua tidak usah nonton teater, cukup mereka berdua saja. Aissh, belum lagi rencananya malah kacau."

 

"Rencananya kacau atau tidak, intinya tiketnya sudah terbeli, dan kita semua sudah nonton. Jangan pura-pura kau tidak menyukainya, aku sangat tahu kalau matamu berbinar saat melihat pertunjukkan musikal kemarin."

 

"Tentu saja aku senang, itu kan pertama kalinya aku bisa nonton teater musikal yang megah secara live," gumam Junho pelan, sedikit malu mengakuinya. "Tapi kenapa kau membeli tiket VIP yang mahal untuk tempat duduk kita? Kau memilih bangku penonton di lantai dua, padahal kita cukup bisa nonton di belakangnya Taecyeon di lantai bawah."

 

"Y-yah... itu karena—" Chansung mengusap tengkuknya, tampak sedikit gelapan. "—Aissh, pokoknya kau harus menggantinya. Kan dari awal yang mengajakku kerja sama dalam hal ini adalah kau. Jadi kau juga harus bertanggung jawab dalam biayanya."

 

Junho cemberut sebal. "Kalau biayanya terlalu mahal, aku tak bisa membayarnya langsung. Bagaimana kalau dicicil? Berbunga juga tidak apa-apa."

 

"Kau pikir aku tukang kredit?" balas Chansung tak terima. "Kalau kau tidak bisa bayar pakai uang, dengan cara lain juga bisa."

 

"Membayar dengan cara lain?" Junho tampak berpikir, dan ia langsung tersentak. "Jangan-jangan kau bermaksud memintaku—" Junho mengambil langkah mundur sambil menyilangkan tangan di depan dada.

 

Mengerti apa yang dimaksud Junho, membuat Chansung melotot, dengan wajah yang sempat memerah. "Yach-Yach. A-aku tidak mungkin semesum itu padamu!" sangkalnya. 'Setidaknya belum,' tambah Chansung dalam hati.

 

"Kalau begitu kau meminta apa dariku?"

 

Chansung diam sejenak, memasang raut wajah berpikir, meski sebenarnya ia telah merencanakan ini sejak awal. "Ah. Aku ingin melihat peluncuran game terbaru. Kau harus menemaniku, soalnya nanti akan diadakan pertandingan berpasangan. Kau bisa membantuku memenangkan hadiah game di sana. Kurasa itu sudah cukup untuk menggantikan uangku."

 

Tanpa pikir panjang Junho langsung mengangguk. "Oke, jadi kapan?"

 

"Besok sore, sepulang sekolah."

 

"Oke."

 

Diam-diam tanpa Junho ketahui, Chansung tersenyum puas.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

Suara musik dari soundspeaker ruangan salah satu tempat latihan dance, berbunyi. Di tengah ruangan, di depan cermin dinding, Wooyoung menari seorang diri. Waktu sudah menunjukkan setengah enam sore.  Tapi jiwa dance yang dimiliki Wooyoung, merasa belum puas dengan latihannya sendiri hari ini.

 

Musik tiba-tiba berhenti, seseorang sengaja menekan tombol pause pada komputer audio di sudut ruangan. Wooyoung berhenti, menatap sebal pada orang yang baru saja memasuki ruangan itu dari cermin di hadapannya.

 

"Kau mau apa?" tanya Wooyoung di antara nafasnya yang terengah. Sedikit mengibaskan kaosnya untuk sekedar memberi jalan udara ac untuk masuk ke dalam tubuhnya yang berkeringat.

 

"Apa kau hanya terus berlatih dance tanpa belajar pelajaran sekolahmu sendiri? Tidak akan ada agensi yang mau menerimamu jika kau hanya pintar dance, tapi nilai akademik-mu buruk."

 

"Apa kau datang ke sini hanya untuk menceramahiku?" gerutu Wooyoung kesal, akhirnya berbalik, berjalan ke sisi ruangan untuk mengambil botol minumannya. "Sudah berapa kali kubilang padamu, berhenti pura-pura peduli denganku."

 

"Aku tidak bermaksud untuk peduli padamu. Anggap saja aku berbaik hati sedang ingin memberikan saran. Kau tidak lupa kalau aku adalah seniormu dalam hal dunia hiburan, kan?"

 

Wooyoung yang sudah meneguk minumannya, mencibir pada Nichkhun yang tampak menyombongkan diri di hadapannya. "Kalau begitu kau mau apa kemari?"

 

Nichkhun mengeluarkan sebuah headset dan mp3 kecil dari saku celananya. "Aku hanya ingin mengembalikan ini."

 

Wooyoung menatap aneh pada Nichkhun. "Kenapa baru sekarang? Kupikir kau sudah lupa," sindirnya. Mengingat mp3 itu sudah berada di tangan Nichkhun nyaris selama seminggu. Kalau  diingat lagi, sebenarnya banyak kesempatan buat Nichkhun mengembalikannya di jauh-jauh hari, seperti saat Nichkhun menemaninya saat Wooyoung sakit tempo hari lalu.

 

"Well, aku baru merasa bosan memakainya tadi. Hampir saja aku ingin membuangnya kalau aku tidak ingat ini hadiah darimu," Nichkhun mulai menyeringai tipis —terkesan sedang ingin menggoda Wooyoung.

 

Tapi Wooyoung seolah kebal, dan dia hanya memutar bola matanya dengan gerakan bosan. "Bukan hadiah, aku hanya meminjamkannya," ralatnya.

 

Seringai Nichkhun mengendur.

 

Wooyoung berjalan menghampirinya, ingin mengambil mp3-nya dari tangan Nichkhun, ketika tiba-tiba Nichkhun menarik mundur tangannya, bahkan mengangkat tangannya ke atas, tak memberi kesempatan Wooyoung untuk mengambil mp3 dan headset tersebut.

 

"Apa yang kau lakukan? Kau bilang kau ingin mengembalikannya," protes Wooyoung kesal.

 

"Aku berubah pikiran," suara Nichkhun kembali datar, sedatar ekspresinya yang tidak  bisa dibaca. "Kau berubah menjadi mainan yang membosankan, dan aku tidak menyukainya."

 

"Hah?" Wooyoung menampilkan ekspresi bingung. "Apa maksudmu dengan mainan—"

 

Suara ponsel Wooyoung berdering. Wooyoung terpaksa menghentikan pembicaraan mereka, berbalik menuju meja yang menempel pada dinding di sisi ruangan, mengambil ponsel yang tadi  ia letakkan di samping tas sekolahnya.

 

"Yopsseyo," Wooyoung sempat melirik Nichkhun yang juga masih menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Lalu Wooyoung kembali berpaling, membelakangi posisi Nichkhun berada. "Ndeh Taec hyung. Aku masih di kelas dance."

 

Ada suara langkah Nichkhun yang berjalan mendekat ke arah Wooyoung dari belakang.

 

"Makan malam?" mencoba mengabaikan keberadaan Nichkhun, Wooyoung kembali fokus dengan pembicaraannya bersama Taecyeon melalui ponselnya. "Tenang saja hyung. Aku tidak akan melewatkan makan malamku lagi."

 

Wooyoung melirik lantai, melihat bayangan tubuhnya yang membelakangi lampu di lantai, tertutupi oleh bayangan baru yang lebih tinggi, menandakan posisi Nichkhun kini berdiri tepat di belakangnya. Diam-diam Wooyoung merutuki jantungnya yang mulai berdetak kencang.

 

"E-eh? Tidak perlu menjemputku. Aku yang akan menemuimu di kantin asrama. Astaga hyung, berhenti memperlakukan ku seperti anak kecil," Wooyoung  mulai merengek. "Ndeeeehhh hyuuung ~ Aku tidak akan lama—"

 

Wooyoung terrcekat. Seketika membeku di tempat dengan mata yang melebar terkejut saat merasakan sebuah tangan yang memeluknya pinggangnya dari belakang, dan punggungnya yang menempel pada dada Nichkhun. Hembusan nafas berat Nichkhun seolah sedang menggodanya, menerpa tengkuk Wooyoung yang masih agak basah dengan keringat.

 

"Aku berubah pikiran lagi," Nichkhun berbisik pelan di sisi telinga Wooyoung yang tidak menempel pada ponsel. "Kukembalikan mp3 milikmu," tangan Nichkhun yang lain, memasukkan mp3 kecil itu di saku samping celana Wooyoung, gerakan tangannya  yang masuk ke saku celana itu dibuat pelan, seolah sedang menggoda untuk meraba paha Wooyoung dibalik celananya.

 

Suara Taecyeon menyahut di ujung telepon, terdengar khawatir karena Wooyoung tiba-tiba membisu. Tapi Wooyoung tak mempedulikannya. Ia terlalu fokus untuk menenangkan jantungnya yang berdegup sangat kencang, sampai-sampai bunyi drumnya terasa menggema di telinganya sendiri, takut-takut jika saja itu juga sampai terdengar oleh Nichkhun yang menempel di belakangnya.

 

Tanpa Wooyoung ketahui, Nichkhun menyeringai tipis di samping telinganya, kembali merasa bangga dan terhib

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ruellovcr
#1
Chapter 11: bingung aku sama nichkhun sjksjakjskaj
ruellovcr
#2
Chapter 10: siapa yang nyebarin foto itu deh?? apa jangan2 ada hubungannya sama junho yang nangis?
ruellovcr
#3
Chapter 7: KSKSKSSSKS KACAU ToT
ruellovcr
#4
Chapter 5: chansung sama junho ini kayanya apa2 bisa dibawa ribut melulu ya wkwkwk

oh ya, aku jadi bingung sama nichkhun ... sejauh ini dia lebih milih siapa deh?
ruellovcr
#5
Chapter 4: aku kasian sama nichkhun, tapi kasian juga sama minjun :((
ruellovcr
#6
Chapter 3: baru di chapter ini aja udah gemesin huhuhu
taeckayforever #7
Chapter 3: INI TAUN 2020 DAN AKU BARU BACA, tidak ada harapan lanjut kah? ㅠ.ㅠ
diyoungie #8
Chapter 14: Hai thor, aku kembali di 2019 :) aku tau sih kalo kamu gak bakalan update ff ini, cuma lagi kangen aja sama mereka :')
Amaliaambar
#9
Chapter 14: Aaaaaaaaaaa fix aku baper maksimal paraaahhh, ceritanya ngena banget ih feelnya dapet bgt sumpaaahhhhhhh
aaaah update lg dong author-nim jngn bikin saya mati penasaran, walaupun udh lama update lah author-nim saya penasaran banget bangetan iniiiiii
diyoungie #10
hai thor, aku datang lagi untuk mengingatkan mu agar mengupdate ff ini haha ^^~~~