Random Chapter

'Ex Boyfriend' 2
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

 

 

 

“Baby.”

“Ya?”

Aku tertegun sesaat sebelum menoleh dan mendapati Seulgi juga Jisoo memandangku dengan wajah polos mereka yang membuatku tak bisa menahan senyum ketika paman dan keponakan itu kemudian saling menatap satu sama lain.

“Dia memanggilku.” Seulgi menatap Jisoo dengan jari menunjuk padaku.

“Jisoo.” sahut Jisoo melipat tangan di dada sambil merengut mendongak memandang Seulgi.

“Aku.” Seulgi bersikeras, melipat tangan di dada hingga membuat mereka terlihat mirip satu sama lain.

“Jisoo.” balas Jisoo dengan mata melotot, kemudian merengut lantas melengos dan memelukku.

Melihat keponakannya, Seulgi hanya geleng geleng kepala. Mata kami bertemu dan seutas senyum tipis menghias bibirnya yang membuatku balas tersenyum sembari mengusap kepala Jisoo.

“Jisoo, kan, Babynya Mama? Bukan Wesamchon, kan?” tanya Jisoo mendongak dengan tatapan polosnya yang membuat hatiku luluh.

“Tentu.” balasku menyentil hidungnya yang membuat mata gadis itu berbinar. “Sekarang siap siap, ambil tas Jisoo di kamar biar kita bisa langsung jalan jalan.” tambahku membantu melepaskan apron dari tubuhnya.

“Oke.” sahutnya segera beranjak menuju kamar.

“Oh jadi begitu.” Seulgi tersenyum jahil padaku yang tak kuhiraukan sama sekali. “Siapa lagi selain Jisoo?”

Aku hanya menggoyangkan bahu lantas memasukkan kotak berisi makanan ke dalam tas. Sekilas melirik Seulgi yang berjalan mendekat sembari merapikan kotak makanan agar tak terlihat penuh dan berantakan.

“Hon.”

“Hm?” balasku acuh tak acuh sambil menutup resleting tas bekal.

“Bisa kita tak usah pergi?”

“Kau sudah janji pada Jisoo untuk mengajaknya piknik hari ini.” sahutku menghela napas pelan saat merasakan tubuh Seulgi merapat padaku. Kusandarkan punggungku di dadanya sambil menikmati pelukan hangatnya. “Lagipula sepertinya aku juga butuh jalan jalan karena serius, aku mulai bosan.”

“Demi Jisoo saja kau mau mengorbankan waktu berhargamu untuk bersemedi. Giliran kuajak kencan susahnya minta ampun.” balas Seulgi menyusupkan satu tangannya ke bajuku dan mengusap perutku. “Benar benar tidak adil.” tambahnya mencium bahuku.

“Kadang kau mengajakku saat aku benar benar malas.” balasku memejamkan mata menikmati ciumannya.

“Bagaimana kalau kukatakan sekarang aku yang malas?”

Seketika mataku melebar dengan kedua alis terangkat. “Kau bercanda, kan?” tanyaku menoleh tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Kutatap matanya. “Kau sudah janji pada Jisoo.” ucapku dengan nada memperingatkan. Sekedar mengingatkan kalau kalau ingatan Ahjussi menyebalkan ini sudah semakin pudar seiring dengan bertambahnya usia.

Seulgi menarik napas dramatis. “Duh, harusnya aku tahu kau lebih mencintai keponakanku ketimbang pamannya yang super tampan ini.”

Segenap hati aku menyikut perutnya yang membuat Seulgi meringis. “Jangan kekanakan.” ketusku yang membuat Seulgi merengut. Aku berbalik ke arahnya lalu berjinjit untuk mengecup sekilas bibirnya. “Bagaimana kalau kubilang kalau kau menurut, tak menutup kemungkinan kau akan beruntung malam ini.” godaku memainkan alis.

Mulut dan mata Seulgi membulat kemudian seutas senyum nakal menghias bibirnya. “Ow, oke.”

Tch. Dasar pria mesum. “Ayo berangkat.”

“Siap, Kapten.” sahutnya penuh semangat namun belum melepaskan pelukannya dari pinggangku.

“Jisoo, Baby! Ayo berangkat!” panggilku mengalungkan tangan di leher Seulgi.

“Oh, jadi panggilan itu benar benar untuk Jisoo, huh?”

“Dan setelah sekian lama tidur satu ranjang kau harusnya sudah tahu aku lebih sering memanggilmu Hubby dan bukan Baby.” kugigit dagunya. “Ayo.”

Namun sebelum aku beranjak dari pelukannya, Seulgi meraih wajahku dan menyatukan bibir kami. Sebelah tanganku beranjak mengusap lengan kokohnya sementara tanganku yang lain menarik tengkuknya, membelai dan memainkan rambut rambut halus di sana.

“I love you.” bisiknya dengan mata berbinar yang sering membuatku tenggelam di sana.

Senyumku merekah. Kukecup ujung hidungnya. “And I love you.”

“Ewww.”

Aku dan Seulgi menoleh lantas tertawa melihat Jisoo berpaling dengan kedua tangan yang sepertinya menutupi wajahnya.

“Let’s go!” ucap Seulgi lantang.

 

 

 

 

Dalam benakku, piknik artinya aku bisa melihat Seulgi menemani Jisoo bercanda, bermain, atau bersenang senang seperti apapun bentuknya. Bukan malah jadi baby sitter untuk suamiku dan keponakannya.

Sudah setengah jam sejak kami menggelar selimut piknik di bawah pohon, sengaja mencari tempat tak terlalu ramai, Seulgi malah berbaring begitu santainya dengan kepala di pahaku sementara Jisoo asik bermain dengan anak anak seumuran yang baru dikenalnya. Anak itu terlihat begitu sumringah, berlari lari kecil di sekitar area permainan dan sesekali tertawa lepas yang membuat dadaku menghangat.

“Kau memalukan, Kang Seulgi.” gerutuku mengusap kepalanya.

“Apa?”

Kusentil dahinya. “Putrimu sedang bersenang senang dan kau malah bermalas malasan di sini.”

“Aku pria dewasa, Hon, bukan bocah seperti Jisoo.”

Sekali lagi kusentil dahinya lantas memaksa wajahnya melihat ke arah Jisoo. “Lihat, dari tadi ada bocah laki laki yang berusaha mendekati putrimu. Dia terus menempel pada Jisoo. Kau tidak khawatir atau cemburu, huh?” aku berusaha memprovokasi agar dia segera bangkit dan ikut menemani Jisoo. Karena aku mulai bosan menemaninya dan mengawasi Jisoo secara bersamaan. Selain itu kakiku sudah pegal karena dia menjadikan pahaku sebagai bantal.

Dengan sigap Seulgi bangun, menatap tajam pada Jisoo kemudian padaku dengan alis berkerut. “Seriously?” wajahnya terlihat kesal yang membuatku menahan senyum geli.

“Makanya cepat sana temani dia main.”

“Tch, bocah zaman sekarang. Sudah brengsek sejak balita.” gerutunya begitu pelan, mungkin takut dihakimi massa karena ucapan tengilnya.

Serius, gemasku dengan tingkahnya sudah melampaui batas kemampuan hatiku. Kuraih rahangnya dan kugigit bibirnya beberapa kali. Bisa bisanya dia berkata begitu. Dia pikir ayahku dulu tak khawatir saat tahu kami pacaran? Dia pikir ayahku tak takut dia melakukan hal yang melewati batas meskipun aku sudah meyakinkan beliau kalau pria ini luar biasa sopan?

“Trust me, dulu di mata ayahku kau juga brengsek jadi jangan besar mulut, Anak Zaman Prasejarah.”

Bukannya beranjak, Seulgi malah tergelak lantas menangkup wajahku dan menciumku. Kami sedang berada di tempat umum meskipun di sekitar kami tak terlalu ramai namun aku tak seharusnya menikmati ciumannya dan membuatnya semakin berani. Tapi belaian lembut jemarinya di rahangku membuatku sulit menolaknya.

“Hubby...” lirihku pelan mendorong dadanya. Wajahku serasa terbakar ketika aku melirik sekitar dan mengetahui ada sepasang mata dari wanita paruh baya yang duduk bersama beberapa anggota keluarganya sedang memperhatikan kami. Beliau tersenyum dan aku hanya bisa mendorong Seulgi lebih keras untuk berkelit dari ciumannya di leherku. “Hubby, stop. Malu dilihat orang.”

“Apa salahnya? Kau istriku.” sahutnya menghentikan ciuman dan menatapku.

Yeah, kalimat itu selalu jadi andalannya untuk membela diri dan aku hanya bisa mendengus sambil memutar bola mata.

“What?”

“Urat malu mu benar benar sudah putus memang.”

“Oh, please...” Seulgi menatap datar padaku kemudian memelukku. “Ini hanya ciuman kecil. Bagaimana kalau kubilang aku pernah membayangkan menyetubuhimu di tempat umum?” bisiknya nakal.

Mataku terbelalak dan wajahku kembali terbakar malu. Seketika jantungku berpacu dan tubuhku tak kalah panas dari wajahku.

“Kau tahu, seperti...”

“Stop.” desisku mengatupkan rahang walaupun tak sepenuh hati menghentikannya. Bisa dibilang aku cukup penasaran seperti apa isi kepala mesumnya. Oh God...

“Wae? Kau bilang tak boleh ada rahasia, kan?” bisiknya terkekeh pelan.

Aku yakin dia sadar aku terbuai rayuannya karena kini jarinya mengelus pinggangku yang membuatku menggigit bibir.

“Kau tahu, aku membayangkan duduk di sini dengan istriku berada di antara pahaku. Duduk bersandar padaku dengan selimut menutupi sebagian tubuh kita.”

Seulgi tersenyum dengan polosnya yang membuatku ingin menjitak kepalanya. God... Aku menelan ludah membayangkan jarinya menyusup ke balik celanaku dan menggodaku hingga... Tidak, tidak. Astaga, kenapa aku ini.

“Hon...”

Aku menarik napas berat berkali kali, berusaha menenangkan gemuruh di dada juga luapan hasrat yang sedikit tidak pada tempatnya. “...What?” lirihku menyembunyikan wajahku di ceruk lehernya.

“Debaran dadamu terdengar radius 1 kilometer.” Seulgi tertawa jahil.

Bajingan tengik memang suamiku ini. Kuusap wajahku lalu melepaskan pelukannya. “Awasi saja putrimu.”

Aku tahu Seulgi malas karena helaan napasnya terdengar sangat dramatis. Meski begitu Seulgi tetap beranjak ke arah Jisoo dan duduk tak jauh dari anak itu.

Kuambil ponselku, memeriksa beberapa pesan yang masuk yang salah satunya dari Seungyeon. Dari isi pesannya aku tahu kakak iparku masih sedikit tak enak karena menitipkan Jisoo pada kami dan aku tak berhenti meyakinkannya kalau aku tak keberatan sama sekali. Terlebih sejak Jisoo mulai berhenti memanggilku Auntie dan menggantinya dengan panggilan Mama kurang lebih 2 bulan yang lalu. Malah bisa dibilang sekarang aku suka setiap anak itu menginap. Rasanya seperti mengurus putriku sendiri dan kuakui aku sedikit berlebih menikmati peran baruku ini.

“Berapa umurnya?”

Aku tersentak dan menoleh dari ponsel. Kulihat Ahjuma yang tadi menjadi saksi hidup bagaimana tak tahu malunya aku bercumbu dengan Seulgi di tempat umum memutar tubuhnya menghadap ke arahku. “Huh?” responku refleks meskipun aku tahu maksud pertanyaan beliau.

“Putrimu, berapa umurnya?” ulang Ahjumma tersebut seraya tersenyum ramah.

“Hampir 9 tahun.” jawabku balas tersenyum.

“Kalau tidak melihat putrimu, kupikir kalian pasangan pengantin baru.”

Wajahku kembali terbakar karena mengerti maksud kalimat tersebut. Rasanya ingin menghampiri Seulgi dan menjitak kepalanya sungguhan. Aku berdehem pelan. “Sebenarnya dia putri dari kakak iparku.”

“Oh benarkah? Aku pikir dia gadismu karena dia memanggilmu Ma.”

Aku menggeleng malu, haru, sekaligus bangga. “Iya, baru sekitar 2 bulan belakangan ini, Ahjumma.”

Beliau masih tersenyum. “Serius, kupikir kalian pengantin baru.”

Duh, sampai kapan aku harus menanggung rasa malu ini. “Iya pengantin baru. Baru 6 tahun.” balasku mengangguk kecil sambil tersenyum malu.

Ahjumma itu tertawa yang membuatku ikut tertawa. Meskipun dengan kerutan di wajahnya juga rambutnya yang memutih, tak mengurangi raut bahagia di sana. Beliau masih terlihat begitu sehat dan cantik di mataku yang membuatku bertanya tanya apa aku akan begitu juga saat sepertinya. Binar indah di matanya saat menatap beberapa anak anak kecil yang aku yakin adalah cucunya begitu jelas. Beliau bahagia, sangat bahagia.

“Liburan sekolah adalah hari hari favoritku karena dengan begini aku bisa menghabiskan waktu bersama mereka.” senyumnya semakin lebar. “Dari beberapa orang dewasa di sana, bisa kau tebak yang mana anakku?” beliau kembali menatapku.

Aku mengamati 3 wanita, 3 pria, dan 1 pria yang mungkin seumuran Ahjumma ini. Dan serius, aku tak begitu pintar dalam urusan ini. “Mungkin wanita berbaju abu abu dan pria dengan polo putih?” tebakku asal.

Beliau menggeleng yang membuat kedua alisku terangkat. “Tak satupun.” ralatnya tersenyum. “Aku tak bisa punya anak setelah aku dan suami pertamaku mengalami kecelakaan parah. Rahimku diangkat dan suamiku meninggal bahkan sebelum aku sadar.”

Sekujur tubuhku langsung merinding mendengar pengakuan tersebut. Yeah, aku mengerti saat kita tua nanti, semua masalah yang pernah kita lalui, seburuk dan sesakit apapun itu, tak akan terlalu berarti lagi karena itulah yang membentuk siapa kita. Beberapa kenyataan pahit pun bisa dijabarkan dengan gamblangnya.

“Kemudian aku bertemu dengannya.” beliau menunjuk pria dengan kacamata tebal bertengger di hidungnya yang kini bercanda dengan salah satu gadis kecil di pangkuannya. “Ketiga pria itu adalah putranya.”

Dadaku berdenyut ngilu mendengar kisah yang sangat menyesakkan dada itu.

“Meski begitu, aku merasa mereka semua adalah anak anakku, dan mereka selalu memperlakukanku seolah aku wanita yang melahirkan mereka.”

Senyumnya benar benar membuatku iri sekaligus kagum. Benar benar wanita yang sangat kuat.

“Dan sekarang aku menikmati peranku sebagai ibu dari 6 orang anak dan 10 cucu.” mata sayu itu terlihat begitu teduh menatap keluarganya. “Kadang kita bisa bahagia walau bukan dengan milik kita sendiri.”

Seketika mataku memanas dan berair, menatap wanita itu penuh rasa kagum. Dibanding beliau, masalah hidupku benar benar tak ada artinya sama sekali. Rasanya malu mengingat aku selalu saja mengeluh dan meratapi keguguran yang pernah kualami. “Sepertinya aku mengerti kenapa mereka semua mencintaimu.” sahutku tersenyum.

Beliau hanya tersenyum dan melambai kecil padaku ketika seorang gadis kecil yang mungkin berumur kurang lebih 4 tahun menariknya untuk bermain yang kubalas dengan

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
SoneTw_ss
#1
Chapter 20: Mengiri dengan kerandoman&kecheesyan pasutri fav kita ini ٩(╥ ╥)۶
XiahticSpazzer #2
Chapter 20: 'Aku mendengar dg telinga, bukan dg mulut'
Yassalam. Ini pasutri ko makin lama makin lawak 🤣
casperkim
#3
Chapter 19: Kangen bangeettt
Pinkeudaeji #4
Chapter 14: Bangsat si seulgi ngomong gitu-_- minta disambelin ubun2nya
BaePolarBear
#5
Chapter 19: Kangen bgt sm author selalu bikin gemes
Jiyeonnie13
#6
Chapter 19: sekian purnama kemudian lagi...
risnaw #7
Chapter 19: Akhirnyaaaaaaaaa.. makasih untuk pembaruannya author-nim
Irene2910 #8
Chapter 18: Ahh gue suka banget sama nih cerita.. please update lagi authornim
casperkim
#9
Chapter 18: AKHIRNYA BACKK!!!! YAAMPUN UDH LAMA BANGET, KANGEN SEKALI
olinolin #10
Chapter 18: Hey Thor, aku seneng kamu update. Trims Thor and fighting