Random Chapter

'Ex Boyfriend' 2
Please Subscribe to read the full chapter

Buat yg msh mau nunggu update an ff yg ini.

 

 

“Hubby, bisa kau letakkan dengan benar sepatumu di rak sepatu?” tanyaku pada Seulgi yang sedang duduk santai di teras sambil membaca koran. Beberapa kali aku pernah menegurnya karena hal itu walaupun selalu berakhir dengan aku yang membereskannya sendiri. Awalnya aku terima saja karena ku pikir ini memang pekerjaanku, tapi lama kelamaan, ada rasa jengah juga melihatnya selalu begitu. Apa susahnya melepaskan sepatu lalu meletakkannya dengan benar di rak sepatu? Tak banyak, hanya sepasang, tak memakan waktu dan tenaga yang banyak. Tapi setiap pulang sepatunya selalu tumpang tindih tak jelas arahnya di belakang pintu. Setiap hari kecuali hari minggu karena memang dia libur. Dan itupun aku yang menyusunnya di rak.

“Bisa.” jawabnya tanpa melirikku.

“Kalau bisa kenapa tidak kau kerjakan?”

“Nanti saja, Hon.”

Nanti. Selalu itu yang dikatakannya dan itupun tak pernah dilakukannya. “Rapikan sekarang.”

Akhirnya koran itu menyingkir dari hadapannya dan wajah kesalnya sangat nampak terlihat. “Hanya sepasang, Hon. Tak akan membuat rumah terlihat berantakan.”

Ku pikir dia akan mengerjakannya tapi nyatanya malah membuat alasan lain. Astaga pria ini. “Hubby.”

“Aish. Oke!” cetusnya setengah menggerutu. “Hanya sepasang dan kau bersikap seolah aku memporak porandakan seisi rumah.”

“Hanya sepasang dan itupun tak bisa kau lakukan dengan benar.” semprotku sebal. Hal semudah itu harus menunggu aku yang mengerjakannya.

“Terserah.” Seulgi mengambil sepatunya dan menghentakkannya di rak sepatu kemudian berlalu begitu saja.

Memang dia sering membantuku melakukan pekerjaan rumah tapi tak berarti dia harus menyepelekan hal ini. Aku bisa saja merapikannya sendiri seperti biasa, hanya saja kali ini aku ingin dia belajar sebelum kebiasaannya memandang remeh pada hal hal kecil seperti ini menjadi pola hidup. Kalau dia langsung meletakkannya di rak sepatu, maka aku tak perlu lagi membereskannya lagi saat aku ingin mengepel lantai. Akan lebih menghemat waktu, kan?

“Apa?” tanya Seulgi ketus ketika aku menghampirinya yang baru menenggak segelas air putih.

Aku hanya menghela napas berat. “Marah?”

“Tidak.” jawabnya merengut.

“Tidak tapi muka ditekuk, kusut. Mau ku setrika sekalian biar kemejamu punya saingan?”

Wajahnya semakin mengkerut.

Ku kecup pipi kanannya. “Cepat mandi.”

“Kenapa akhir akhir ini kau suka sekali menyuruh?”

“Kenapa? Mau mandi menjelang malam seperti biasa? Kena rematik baru tau rasa.”

“Biar saja.”

“Jangan tidur denganku kalau masih dengan kebiasaan seperti itu.”

Matanya membulat. “Kau habis makan apa sih, Hyun, jadi menyebalkan begini?”

“Cepat mandi.” tegurku lagi. Kali ini sedikit lebih tegas. Kadang aku heran dengan pria ini. Bagaimana dia bisa terlihat bersih dan tampan sementara lelaki ini pemalas dalam urusan mandi. Kalau hari libur, dia bisa seharian tidak mandi. Jorok sekali.

“Tidak mau.”

“Hubby, ayolah, kau bukan anak kecil yang harus dipaksa mandi.”

Seulgi masih dengan mode batunya, berdiri, memandangku dengan mata menantang. Jujur saja sejak dia pulang tadi aku ingin sekali menciumnya dan karena selama 4 hari kemarin dia lembur. Kami jarang ngobrol lama karena aku juga sedang shift. Ku pikir hari ini aku ingin bergelayutan manja di pelukannya, tapi nyatanya sudah pukul enam lewat begini dia masih belum juga mandi.

“Terserahlah.” ucapku dingin lalu beranjak dari hadapannya. Terserah dia ingin melakukan apa. Aku tak peduli.

 

***

 

Aku baru selesai memasak untuk makan malam dan berniat pergi ke kamar ketika kulihat handuk basah tergeletak di sandaran sofa. Seulgi duduk di dekatnya dengan kaki menjulur ke depan yang berakhir di pinggiran meja. Setoples keripik kentang yang tadinya penuh sekarang sisa setengahnya. Dia sangat serius menyaksikan berita di tv hingga tak menyadari aku sudah berada di belakangnya. Sebenarnya aku sudah sering menyaksikan hal ini namun aku membiarkannya. Ku pikir tak terlalu masalah hingga biasanya ku lakukan sendiri. Tapi sekarang aku sedang dalam masa percobaan untuk membenahi tingkah tingkah konyol seperti ini. Bukan aku marah, hanya risih. Kalau bisa dilakukan sekarang, kenapa harus selalu menunda. “Hubby, bisa kau letakkan handuk basahnya di jemuran? Nanti bau.”

“Nanti, setelah iklan.”

Ku tarik napasku dalam dalam, menahan diri untuk tak menaikkan volume suaraku. “Sekarang.”

“Aku sedang nonton berita, Hon.”

“Kalau kau ingin nonton tanpa gangguan, harusnya kau jemur dulu sebelum duduk di sini.”

“Ku bilang kan setelah iklan.”

“Sekarang.” aku tak mau kalah.

“Kau saja yang jemur.”

Ku ambil remote di meja dan ku matikan tvnya. Dia memandangku kesal namun aku pura pura tak membaca ekspresi itu. Kalau tak begini, dia tak akan bergerak dan handuk basah itu tak akan menjemur dirinya sendiri kecuali salah satu dari kami ini alumni Hogwarts, yang bisa menggerakkan benda itu tanpa menyentuhnya. Ku pandangi dia dengan tatapan bosan bercampur dongkol dengan tangan berlipat di dada.

“Oke!” ucapanya ketus sembari bangkit dari sofa, menarik kasar handuk bekas mandinya dan berjalan ke arah dapur.

Aku ikut ke dapur untuk membuatkannya segelas air perasan lemon hangat bercampur madu bagai teman keripik kentangnya tapi ternyata dia tak kembali lagi ke depan tv, malah langsung masuk ke kamar. Akhirnya ku bawakan minuman dan camilannya ke kamar. Saat aku tiba, Seulgi sudah duduk di lantai, membongkar lego tumbler the dark knight yang baru dibelinya beberapa hari yang hanya menjadi pajangan karena dia sedang banyak kerjaan. Ku hampiri dia, ikut meletakkan minuman dan keripik kentangnya di lantai lalu duduk di depannya, membiarkannya mengutak atik legonya.

Beberapa menit berlalu dan Seulgi tak terlihat menyentuh minuman yang kubuat. Jangankan meminumnya, mengangkat wajahnya untuk sekedar memandangku saja tidak, membuatku geleng geleng kepala. “Nanti minumannya dingin.” aku membuka suara setelah keheningan gila di antara kami.

Seulgi hanya berdeham pelan, masih tak memandangku.

“Hubby.” ku pegang tangannya, membuat aksinya untuk mengabaikanku terhenti. Mata kami bertemu selama beberapa detik sebelum Seulgi kembali berkutat dengan legonya. Aku menghela napas sebelum menangkup wajahnya di tanganku lantas mengecup singkat bibirnya. “Habiskan minumannya. Setelah itu kita makan.”

Ekspresinya masih seperti tadi, datar. Ku singkirkan lego itu lalu mendekatinya. Ku tarik wajahnya padaku dan kusatukan bibir kami. Seulgi tak langsung membalas ciumanku namun aku tak berhenti sampai di sana. Ku berikan beberapa gigitan kecil pada bibir bawahnya sebelum menyesapnya pelan hingga kurasakan tangannya memegangi pinggangku, membuatku tau kalau dia tidak marah, hanya kesal. Ku lumat dalam bibir atasnya sebelum melepaskannya.

“Jangan marah lagi.”

“Hm.” balasnya masih cemberut namun tetap menerima gelas minum yang ku sodorkan dan menenggaknya habis.

Ku ambil gelas kosong itu dari tangannya dan meletakkannya kembali ke lantai sebelum meraih wajahnya dan menjilati bibirnya. “Manis.”

“Jelas saja, ada madunya.”

Sepertinya dia masih kesal. “Ayo makan.” tukasku bangkit, meletakkan toples keripik kentang di meja lalu mengambil gelas kosong di lantai untuk dibawa ke dapur.

“Hm.” balasnya singkat.

Tak apalah, setidaknya dia mau merespon ucapanku.

 

***

 

Sepulang begadang dari shift malam, hingga sore ini aku baru tidur 2 jam, itupun tak terlalu nyenyak. Banyak yang ku kerjakan. Membersihkan rumah, mencuci, juga masak untuk Seulgi saat dia pulang nanti. Entah karena hormon PMS, karena kelelahan, atau memang aku yang sekarang sudah dianugerahi bakat baru yang tak pernah kulakukan sebelumnya, mengomel. Rasa kesalku langsung mencuat melihat sepasang kaos kaki hitam di samping tempat tidur yang aku yakin hampir 100 persen kalau itu kotor. Ku pandangi suamiku yang tengah duduk di ranjang, bersandar pada tumpukan bantal, sedang sibuk dengan tabletnya.

“Hubby, apa itu kotor?” tanyaku menunjuk kaos kaki hitam di lantai.

“Hm.” balasnya dengan mata masih tertuju pada tabletnya.

Mungkin kalau Seulgi sedang mengerjakan tugas kantornya, aku tak akan menegur. Tapi dia sedang bermain game. “Letakkan dalam keranjang cucian kotor di belakang.” perintahku walaupun aku sudah tau jawaban apa yang akan kuterima. Pasti nanti.

“Nanti.”

Benar, kan, tebakanku? “Sekarang.”

“Ini lagi main game, Hyun.”

“Pause dulu.”

“Ini game online.”

Aku tau dia sedang berusaha berkelit dari suruhanku. “Hubby.”

“Nanti setelah gamenya selesai.”

Dia pikir aku tak tau game online yang dimainkannya? Game itu tak akan selesai terlebih kalau dia dan timnya selalu menang. Bukan hobiku sebenarnya main perintah begini, tapi batas maklumku terhadap kebiasaannya yang menurutku jorok ini sudah semakin menipis. Dari masalah sepatu, handuk basah, sekarang kaos kaki kotor. Belum ditambah kemeja kotor yang asal lempar. Memangnya dia pikir rumah ini keranjang pakaian kotor jadi melemparkan semua sesuka hati begitu? Aku tak habis pikir, kenapa dia selalu menganggap remeh hal hal seperti ini? “Kang Seulgi.”

Suara gamenya tak lagi terdengar. Seulgi mematung beberapa saat sebelum akhirnya meletakkan tabletnya di ranjang. Kalau kemarin dia hanya menggerutu kesal, kali ini berbeda. Dia menatapku tajam dengan ekspresi yang tak bisa kubaca. Tanpa protes, tanpa menggerutu, langsung bangkit mengambil kaos kakinya dan keluar dari kamar dengan membanting pintu.

Setelah beberapa saat dia tak kembalu, aku menyusulnya. Ku lihat dia di dapur, sedang membuka beberapa laci, entah mencari apa. Ku amati terus setiap gerakannya tanpa suara hingga pencariannya berhenti ketika mendapatkan satu cup mie instan. “Lapar?” tanyaku akhirnya namun sayang Seulgi tak menjawabnya. “Biar ku siapkan.”

“Tak perlu.” sahutnya sambil menuangkan air panas ke dalam cup mie.

“Kau sudah 3 kali makan mie instan dalam seminggu ini. Sudah ku bilang jangan sering sering.”

“Kenapa memangnya?” tanya Seulgi dengan nada menantang. Sepertinya kali ini dia tidak kesal, tapi benar benar marah.

“Ingat asam lambungmu.”

Dia tertawa sinis. “Dari dulu, sebelum menikah denganmu, aku sering makan makanan instan. Bahkan junk food adalah makanan favoritku. Burger, french fries, soda, semuanya ku makan hampir setiap hari. Tapi lihatlah, aku baik baik saja. Bahkan aku merasa sehat, sangat sehat, hingga detik ini. Jadi apa gunanya membatasiku makan mie instan?”

Sialan. Kenapa ucapannya terasa menusuk hingga ke jantung begini. Ingin sekali aku membalasnya namun syukurnya logikaku masih lebih dominan sehingga aku lebih memilih diam daripada menurutkan perasaanku yang sudah meregang emosi. Ku biarkan dia berjalan melewatiku dan memikirkan kembali apa yang terjadi pada rumah tangga kami akhir akhir ini. Membuatku bertanya tanya sendiri.

Apa aku salah karena menyuruhnya memindahkan kaos kaki kotor itu ke tumpukan cucian kotor?

Apa ucapanku terlalu kasar dan tak sopan?

Bagaimana aku mencari jawaban atas pertanyaan itu? Aish, kenapa jadi begini sih?! Aku hanya ingin mengajarinya untuk hidup lebih teratur dan sehat, kenapa malah jadi kacau begini?!

 

***

 

Ku pikir setelah adegan mie instan di dapur kemarin Seulgi akan bersikap biasa kembali seperti saat aku menegurnya tentang sepatu dan handuk basah. Tapi yang ini berbeda. Dia tak menyapaku hingga malamnya. Ku pikir itu sudah perlakuan terburuk yang diberikannya padaku tapi ternyata aku salah. Yang terjadi pagi ini lebih buruk. Seulgi sepertinya sedang dalam pengaturan mode pesawat. Sejak bangun hingga aku menemaninya sarapan, dia hanya membisu. Beberapa kali aku mencoba bertanya, memaksa agar dia mau membuka mulutnya, tapi usahaku gagal total. Dia hanya memainkan bahunya dengan ekspresi bosan yang membuatku menghela napas untuk kesekian kalinya pagi itu, tak tau apa yang harus ku lakukan.

Setelah Seulgi berangkat, ku telpon ibuku. Rasanya benar benar lega karena ibuku langsung mengangkat panggilan dariku. “Umma.” ku sandarkan punggungku di sofa. “Sedang apa?”

“Baru selesai mencuci. Ada apa? Tumben menelepon sepagi ini.”

Ku hela napas dari hidung. “Seulgi marah padaku dan mendiamkanku sejak kemarin.”

“Marah? Kenapa?”

“Aku kesal dengan kelakuannya. Setiap pulang kantor dia membiarkan sepatunya begitu saja di belakang pintu. Selesai mandi dia juga suka melemparkan handuk basah ke manapun dia suka. Juga meletakkan kaos kaki kotor di mana saja dia ingin melepasnya. Aku kesal, Umma. Dan saat aku menyuruhnya, dia selalu saja bilang nanti, nanti, dan nanti.” aduku panjang lebar.

Ku pikir ibu akan membelaku tapi dia justru tertawa, yang membuatku heran sendiri. “Bukan seperti itu menegur laki laki, Hyun.” ibuku masih tertawa. “Kalau dia bilang nanti, tanyakan padanya nanti kapan. Kalau setelah itu dia tak bergerak, kau bisa menegurnya lagi.”

“Maksudnya kalau misal aku menyuruhnya menjemur handuk basah saat dia sedang nonton tv dan dia bilang setelah iklan, aku harus menunggunya sampai jeda iklan?” tanyaku dengan alis berkerut. “Apa susahnya mengerjakannya sebentar.” protesku.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
SoneTw_ss
#1
Chapter 20: Mengiri dengan kerandoman&kecheesyan pasutri fav kita ini ٩(╥ ╥)۶
XiahticSpazzer #2
Chapter 20: 'Aku mendengar dg telinga, bukan dg mulut'
Yassalam. Ini pasutri ko makin lama makin lawak 🤣
casperkim
#3
Chapter 19: Kangen bangeettt
Pinkeudaeji #4
Chapter 14: Bangsat si seulgi ngomong gitu-_- minta disambelin ubun2nya
BaePolarBear
#5
Chapter 19: Kangen bgt sm author selalu bikin gemes
Jiyeonnie13
#6
Chapter 19: sekian purnama kemudian lagi...
risnaw #7
Chapter 19: Akhirnyaaaaaaaaa.. makasih untuk pembaruannya author-nim
Irene2910 #8
Chapter 18: Ahh gue suka banget sama nih cerita.. please update lagi authornim
casperkim
#9
Chapter 18: AKHIRNYA BACKK!!!! YAAMPUN UDH LAMA BANGET, KANGEN SEKALI
olinolin #10
Chapter 18: Hey Thor, aku seneng kamu update. Trims Thor and fighting