Random Chapter

'Ex Boyfriend' 2
Please Subscribe to read the full chapter

Sorry krn lagi2 saya mengulang cerita semacam ini.

 

Namaku Bae Joohyun.

Sekarang umurku berada di angka 27 dan terus merangkak ke angka 28. Anak kedua dari Bae Yong Jun dan Son Yejin. Aku punya seorang kakak lelaki, satu satunya saudara kandung yang kumiliki. Bernama asli Bae Junmyeon namun entah kenapa tak banyak orang yang tau nama aslinya. Hampir semua orang mengenalnya dengan nama Bae Suho. Ayahku bilang, dia ingin nama itu untuk kakakku tapi kalah berdebat dengan ibuku hingga akhirnya ayahku harus menerima Suho dengan nama Junmyeon.

Ayahku dulunya seorang pegawai kantor pemerintahan yang kini menghabiskan masa pensiunnya dengan mengelola perkebunan jeruk miliknya. Sementara ibuku dulunya seorang dosen aljabar yang akhirnya memutuskan untuk pensiun dini karena permintaan ayahku. Sedangkan kakakku, dia seorang akuntan di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Dan aku... Aku hanya seorang tenaga medis di sebuah rumah sakit pemerintah yang tak punya kelebihan apapun.

Oh sebelum lupa, aku juga seorang istri.

Aku menikah dengan pria yang dulu pernah menjadi pasienku, Kang Seulgi. Yang umurnya bahkan lebih tua dari kakak iparku.

Dia cinta pertamaku.

Dia juga pacar pertamaku.

Apa aku bahagia? Walaupun begitu banyak hal yang sudah terjadi, tawa dan juga air mata, namun secara keseluruhan, aku merasa bahagia hidup bersamanya.

Pernikahan kami sudah melewati angka 3 tahun. Belum bisa dikatakan lama namun tak juga bisa dikatakan baru. Banyak yang sudah kulewati bersamanya selama 3 tahun itu. Dari suka yang membuatku merasa seperti wanita yang paling bahagia di dunia hingga duka yang membuatku bahkan tak mengenal diriku lagi. Rasa sakitnya tak berhenti menghantuiku yang sering membuatku ketakutan.

Selama 3 tahun pernikahanku, sudah 2 kali aku mengalami keguguran. Dan luka yang akan selalu membekas adalah saat aku harus melahirkan bayiku yang sudah tak bernyawa lagi. Sekalipun luka itu sembuh tapi tetap meninggalkan bekas. Seperti juga hidupku, meskipun semua itu sudah berlalu, tapi lukanya tetap bersarang di dadaku.

Dan kalau ditanya sekarang apa aku bahagia?

Mungkin iya, sebelum suamiku pulang dari dinasnya di luar kota.

2 hari sebelum ulangtahun pernikahan kami yang ketiga.

Dan beberapa hari setelahnya.

Cukup singkat memang. Ku pikir dengan kedatangan Seulgi, semuanya akan menjadi lebih baik, namun perkiraanku meleset. Sekembalinya Seulgi dari luar kota, 4 hari setelahnya kami pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilanku. Aku pergi dengan perasaan berbunga bunga karena setelah beberapa bulan mencoba, akhirnya aku bisa mendapati 2 garis merah pada tes kehamilanku. Setelah apa yang sudah ku alami jangan tanya bagaimana senangnya aku saat itu. Namun mungkin Tuhan punya rencana lain lagi kali ini karena setelah pemeriksaan USG, dokter mengatakan hal yang membuatku terdiam.

Blighted Ovum.

Keadaan dimana aku tetap akan mengalami hal hal seperti kehamilan normal lainnya hanya saja embrio yang terbentuk tak berkembang. Singkatnya, tak akan ada janin yang akan tumbuh di dalam rahimku. Yang artinya aku tak perlu berharap lagi.

Apa aku menerimanya begitu saja? Bagaimana aku harus menjawabnya sementara aku sendiri tak mengerti apa yang sedang terjadi. Semua angan indah di benakku langsung lenyap meskipun dokter mengatakan mereka akan melakukan observasi selama kurang lebih 2 minggu dan akan mengambil keputusan setelahnya. Yang tentu saja atas persetujuan dariku dan Seulgi.

Dan sekali lagi harapanku hancur bahkan sebelum aku sempat mengecapnya.

 

***

 

“Jangan cemberut. Sudah mau pulang masih saja pasang tampang jelek” Chorong menyenggol lenganku.

Aku tersenyum mendengarnya. “Seulgi bilang kecantikanku unlimited jadi bagaimana mungkin aku akan terlihat jelek?” balasku bercanda.

“Sorry, tapi aku bukan suamimu, Ms. Bae” sahut Chorong mendengus.

Tawaku menggema di lobi rumah sakit. “Ayolah, jadilah suami keduaku”

“Tch. Seohyun benar. Bercandamu sudah mulai mirip dengan Yongsun”

“Ah, artinya aku lucu?”

“Keep dreaming, Dummy”

“Yah!” ku pukul lengannya. Tak biasanya Chorong memanggilku seperti itu kecuali saat dia merasa aku memang membuatnya kesal. Apa aku membuatnya teringat akan kisahnya bersama Eunji dan Hayoung? “Sorry”

Chorong menghela napas. “Sudahlah” balasnya tersenyum. “Hei, supirmu datang”

Aku menoleh dan benar saja, Seulgi sedang berjalan ke arah kami. “Ayo ikut, biar kami mengantarmu pulang”

“Tidak, terimakasih. Eunji sebentar lagi datang”

“Kau yakin?” tanyaku dan Chorong mengangguk. “Bisa kita tunggu sebentar?” tanyaku pada Seulgi yang kini ikut duduk di sampingku.

“Tentu” jawabnya meraih tanganku dan menyusupkan jarinya di sela jariku.

Tak lama, mungkin setelah 10 menit Eunji datang dan kami pun pulang. Namun seperti biasa, pulang shift siangku berakhir di stand penjual makanan. Meskipun sebenarnya aku sedang tak mood untuk jalan, namun aku tetap membiarkan Seulgi menuntunku.

“Buka mulutmu”

“Hubby, aku sudah kenyang”

“Kau baru makan sedikit”

Tak ada gunanya berdebat karena aku tak akan menang. Sekalipun aku menolak, Seulgi tetap menyodorkan makanan ke mulutku dan membuatku mau tak mau memakannya hingga aku benar benar tak bisa menerimanya lagi. “Aku kenyang jadi berhenti menyuapiku sebelum aku memuntahkannya padamu”

Seulgi tertawa. “Kenapa kau begitu lucu, Babe”

“Tertawalah sebelum tubuhku mengembang seperti bibi Petunia”

“Heeeiii, sekalipun tubuhmu seperti Patamon, aku akan tetap mencintaimu”

Ku cubit perutnya. “Omong kosong. Kau hanya mencari alasan unt...” ucapanku terhenti ketika bibir Seulgi membungkamku. Ku hela napas dari hidungku.

Entah kapan terakhir kali aku menikmati hal ini.

Entah kapan terakhir kali aku menikmati setiap sentuhannya.

Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu, rasanya semua berubah. Hidupku hambar. Aku bahkan tak bisa lagi menikmati setiap kali Seulgi memelukku.

“Apa kau mengatakan sesuatu?”

Aku menggeleng. Kutarik lehernya dan kusatukan kembali bibirnya denganku. Kalau biasanya aku merasa malu, kali ini aku justru tak peduli. Aku hanya ingin merasakan bibir itu membuaiku agar aku bisa sedikit melupakan kecewa yang sedang kurasakan. “Aku mencintaimu” namun sayangnya aku tak merasakan apapun. Bahkan debaran jantungku tetap normal seperti biasa.

“Dan aku lebih mencintaimu” balas Seulgi mengecup hidungku. “Ayo pulang sebelum bibi Petunia semakin membengkak” lanjutnya terbahak.

 

***

 

“Honey? Kau masih di dalam?”

Ku pijat keningku yang terasa semakin sakit. Mungkin hampir setengah jam aku termangu di dalam kamar mandi jadi wajar saja kalau Seulgi menggedor pintunya. “Ya”

“Apa yang kau lakukan?”

“Memangnya menurutmu apa yang ku lakukan di kamar mandi?”

“Honey”

“Perutku sakit” jawabku dan pintu kamar mandi terbuka setelahnya. Aku menoleh dan ku lihat wajah cemas Seulgi.

“Hyun” Seulgi mendekat. Matanya melebar melihat bekas darah pada pakaianku. “Joohyun”

Mataku berkaca kaca. Beberapa hari setelah pulang dari rumah sakit, sedikit banyak hal yang dikatakan dokter mulai terjadi. Aku akan mengalami kram perut hebat dan mungkin akan mengalami perdarahan. Awalnya kupikir hanya flek biasa namun semakin hari darah yang keluar justru semakin banyak. “Aku tidak ingin menggugurkannya. Aku tidak bisa...”

Seulgi hanya diam. Dia membantuku bangkit dan mengangkatku keluar dari kamar mandi. Hal ini kembali mengingatkanku pada keguguranku yang pertama.

“Seul” panggilku ketika Seulgi membantu memakaikanku baju.

“Hm” balasnya tanpa memandang.

“Seulgi” panggilku lagi, berharap dia mengangkat wajahnya. Namun lagi lagi dia hanya bergumam pelan tanpa menoleh padaku. Ku pegang pergelangan tangannya dan ku paksa dia untuk menatapku. “Apa kau masih mencintaiku?” tanyaku parau. “Hal seperti ini mungkin akan terus terjadi padaku”

Seulgi masih membisu. Dia menatapku sebentar sebelum memelukku, membuatku merasa begitu bodoh karena selalu saja menanyakan hal itu padanya.

 

***

 

“Belum tidur?”

“Belum” jawabku tak memalingkan tubuhku sedikitpun pada Seulgi. Kurasakan tangannya mendekapku semakin erat.

“Aku mencintaimu dan aku mencintainya” tangannya mengelus perutku. “Tapi kita tak bisa terus melakukan hal ini. Dia tidak...”

“Kalau kau masih berusaha membujukku untuk menggugurkannya, maka jawabanku tidak” ku tepis tangannya dan bangkit. Beberapa hari ini pikiranku kacau. Aku tak bisa melakukan segala hal dengan benar seperti biasanya. Aku bahkan merasa aneh setiap kali melihat pantulan diriku di cermin seolah aku tak mengenal diriku sendiri.

“Joohyun...”

“Aku tak ingin berdebat denganmu lagi tentang hal ini. Karena berapa kalipun kita membahasnya, maka jawabanku tetap sama. Aku akan menunggunya”

“Menunggu apa? Menunggu melihatmu kesakitan? Menunggu melihat darah di pakaianmu? Atau menunggu sampai kau keguguran lagi?” tanya Seulgi tajam yang membuat hatiku perih seketika dan terdiam. “Bisa kau berhenti keras kepala? Kau lupa apa yang dokter katakan? Dia tidak tumbuh dan tak akan pernah menjadi janin”

Kenapa dia selalu mengulang hal itu di depanku?

Kenapa dia terus saja memintaku menggugurkan kandunganku?

“Untuk apa kau mempertahankan sesuatu yang tak akan ada hasilnya sama sekali? Untuk apa kau membahayakan dirimu hanya untuk sesuatu yang tak nyata? Jangan bertindak bodoh, Hyun”

Mungkin untuk sekarang lebih baik aku menjauh darinya. Karena semakin lama ucapannya justru membuat kondisiku semakin memburuk.

“Ke mana?”

“Menjauh darimu”

“Bae Joohyun!”

Langkahku terhenti mendengarnya menghardik, memanggilku begitu lantang. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi. Kenapa hal ini harus terjadi padaku? Sebenarnya dosa apa yang sudah ku lakukan hingga Tuhan memberiku hukuman seperti ini. “Wae?” aku berbalik. Ku lihat dia berdiri mematung. Mungkin merasa bersalah karena sudah membuatku meneteskan air mata seperti sekarang. “Aku akan tidur di kamar lain” ucapku parau dan menjauh dari hadapannya setelah Seulgi tak lagi membuka mulutnya.

Kepalaku terasa berputar putar ketika aku sampai di kamar. Ku pijat dahiku kemudian berbaring. Air mataku masih menetes sekalipun aku berusaha untuk berhenti menangis. Ku pejamkan mataku dan ku letakkan telapak tangan di perutku. Aku tau apa yang kulakukan tak ada gunanya namun aku tak sanggup menggugurkan kandunganku. Aku tak sanggup melakukannya.

 

***

 

Pagi itu aku terbangun dengan kepala pening dan berat. Selama beberapa menit aku hanya berbaring telentang sambil menarik napas dalam dan membuangnya perlahan beberapa kali sebelum bangun untuk membuatkan suamiku sarapan di dapur. Tubuhku rasanya melayang saat aku mulai melangkah dengan kakiku yang sedikit lemas.

Setibanya di dapur, ku lihat Seulgi sudah berada di sana. Sepertinya dia sedang memasak sesuatu karena aku bisa mencium wanginya dari tampatku berdiri. Ku pandangi punggungnya yang masih tak menyadari kehadiranku dan aku menghela napas berat. Entah kenapa aku merasa begitu merindukannya. Seakan kami sudah berhari hari tak bertemu. Seakan berhari hari aku tak merasakan lengan itu memelukku.

Bodohnya aku karena membiarkan emosi menguasaiku tadi malam.

Bodohnya aku karena memilih tidur di kamar lain hingga tak merasakan hangat tubuhnya yang selalu membuatku merasa nyaman.

Perlahan ku hampiri Seulgi yang masih serius melakukan pekerjaannya dan berdiri di belakangnya. Ku pandangi kembali punggungnya sebelum melingkarkan tanganku di pinggangnya. Bisa kurasakan Seulgi terkejut namun aku tak ingin melepaskannya. Ku ciumi punggung dan garis bahunya beberapa kali.

Aku merindukannya.

Aku sangat merindukannya.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“Honey?”

Ku kecup tengkuknya sebelum menyandarkan wajahku di punggungnya. “Maaf” hanya itu yang bisa ku katakan. Hanya itu yang selalu ku lakukan setelah menumpahkan emosiku padanya. Aku benar benar egois.

“Honey, hei” Seulgi melirik dari balik bahunya.

“Aku merindukanmu” ungkapku jujur. “Aku sangat merindukanmu” ku eratkan pelukanku di pinggangnya. Rasanya tak nyaman tidur tanpa pelukannya.

“Honey, lepas sebentar” Seulgi mengusap tanganku dan aku menurut. Dia berbalik, menatapku sebentar sebelum meraih wajahku dengan tangannya. “Apa kau lapar? Biar ku siapkan”

Aku menggeleng. “Peluk” ucapku serak. Aku sedang tak menginginkan apapun. Aku hanya ingin dia memelukku. “Please...” kali ini aku setengah memohon karena Seulgi hanya menatapku.

Seulgi tak menyahut namun langsung memelukku. Tangannya mengusap kepalaku, lembut dan pelan. “Aku mencintaimu”

Ucapannya membuat mataku panas. Ku pejamkan kedua mataku, menikmati belaian lembut tangannya, menikmati hangat pelukannya, menikmati semua yang bisa membuatku nyaman darinya.

“Maaf karena membentakmu tadi malam. Maaf membuatmu menangis”

Kenapa dia har

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
SoneTw_ss
#1
Chapter 20: Mengiri dengan kerandoman&kecheesyan pasutri fav kita ini ٩(╥ ╥)۶
XiahticSpazzer #2
Chapter 20: 'Aku mendengar dg telinga, bukan dg mulut'
Yassalam. Ini pasutri ko makin lama makin lawak 🤣
casperkim
#3
Chapter 19: Kangen bangeettt
Pinkeudaeji #4
Chapter 14: Bangsat si seulgi ngomong gitu-_- minta disambelin ubun2nya
BaePolarBear
#5
Chapter 19: Kangen bgt sm author selalu bikin gemes
Jiyeonnie13
#6
Chapter 19: sekian purnama kemudian lagi...
risnaw #7
Chapter 19: Akhirnyaaaaaaaaa.. makasih untuk pembaruannya author-nim
Irene2910 #8
Chapter 18: Ahh gue suka banget sama nih cerita.. please update lagi authornim
casperkim
#9
Chapter 18: AKHIRNYA BACKK!!!! YAAMPUN UDH LAMA BANGET, KANGEN SEKALI
olinolin #10
Chapter 18: Hey Thor, aku seneng kamu update. Trims Thor and fighting