Reunited
Carmen Fantasy“Ya, ya, aku tahu ini gegabah. Tapi, kami tidak akan melakukannya kalau tidak mendesak,” kata Jongin sambil berkutat dengan mesin espresso. Dia menekan earpiece kembali ke telinga agar tetap bisa mendengar suara Sehun.
“Memangnya parah sekali, ya?” tanya Sehun.
“Kurasa begitu,” jawab Jongin. “Dia belum mau bercerita. Sembari tadi dia murung terus. Aku jadi tidak enak untuk mengganggunya.”
“Kasihan,” gumam Sehun. “Kira-kira kapan kalian akan kembali?”
Jongin mengangkat bahu, walaupun Sehun tidak bisa melihatnya. “Entahlah. Doakan saja semoga seminggu lagi.”
“Seminggu?” ulang Sehun. “Kalian akan melewatkan banyak sesi latihan!”
“Aku tahu. Lakukan saja tanpa kami. Kami akan mengejar ketertinggalan setelah kembali nanti. O, ya,” Jongin menambahkan ketika mengingat sesuatu. “Ideku kemarin, yang sampai membuat kalian menuduhku sakit jiwa, sudah dipastikan akan terjadi.”
“APA?”
Jeritan itu sukses membuat Jongin berjengit karena suara Sehun menendang gendang telinganya keras-keras.
“Bisa tidak tanpa berteriak?” tanya Jongin sebal. “Aku sedang multitasking, nih!”
“Oke, maaf, maaf.” Sehun mengecilkan suaranya. “Tapi—bagaimana bisa?”
“Makanya, jangan pernah meremehkan Kim Jongin,” jawab Jongin congkak. Dia dapat membayangkan Sehun sedang mencibir sekarang. “Kau tahu apa yang sekarang harus kau lakukan, kan?”
“Oke, nanti akan kulakukan, tenang saja,” ucap Sehun. “Kau belum akan berangkat?”
“Sebenarnya, ya. Sebentar lagi kami akan lepas landas. Sudah dulu, ya.”
“Tunggu, Jongin!”
“Ya?”
“Mmm—tolong jaga Soojung.”
“Tidak perlu meminta, man. Aku akan melakukannya setiap saat.”
Setelah sambungan terputus, Jongin cepat-cepat melepas earpiece dari telinganya yang terasa nyeri. Dia mengusapnya singkat, lalu mengambil dua dari empat gelas yang telah diisinya dengan espresso. Dia membawa gelas itu menuju ruang kokpit yang hanya berjarak sejengkal dari mesin espresso.
Di dalam ruang kokpit, Jongin menyapa dua pilot yang sudah sangat dikenalnya, juga memberikan masing-masing dari mereka segelas espresso.
“Terima kasih, doryeonim,” kata salah satu dari mereka. “Saya sarankan agar doryeonim segera duduk. Sebentar lagi kita akan lepas landas.”
“Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan transportasi dan akomodasi saat kami sampai nanti sudah terurus.”
“Tentu. Limo akan menjemput di bandara dan akan langsung mengantar doryeonim ke hotel.”
“Apa? Limo? Tidak, tidak, jangan limo. Aku tidak mau menarik perhatian,” sambar Jongin. Mati saja dia kalau harus menaiki limo yang bertuliskan nama perusahaan ayahnya. “Dan, aku ingin langsung diantar ke rumah sakit di daerah Montparnasse.”
“Baik, doryeonim, akan saya urus.”
Selesai berurusan dengan pilot, Jongin meninggalkan ruang kokpit dan melangkah menuju kabin, tidak sebelum mengambil dua gelas tersisa dari mesin espresso. Saat mencapai kabin, dia tidak melihat Soojung dimana-mana. Hanya ada Chanwoo yang sedang duduk sambil melihat ke luar jendela.
“Hei, Chanwoo.” Jongin duduk diseberang Chanwoo sambil menaruh gelas di meja dihadapan mereka. “Dimana kakakmu?”
“Di kabin tidur. Katanya masih mengantuk,” jawab Chanwoo, menoleh dan mendapati segelas minuman beraroma asing dihadapannya. “Ini apa, hyung?”
“Tadinya ingin kuberikan pada Soojung. Tapi, mengingat dia sedang tidur—“
“Untukku saja, ya, hyung?” potong Chanwoo.
“Boleh, tapi apa kau pernah meminum kopi sebelumnya?”
“Oh, ini kopi?” tanya Chanwoo, membuat Jongin terkekeh karena kepolosannya. “Soojung noona sering meminumnya kalau dia sedang bermain biola sampai tengah malam. Tapi, dia tidak pernah memperbolehkanku meminumnya.” Chanwoo kemudian menatap Jongin dengan memohon. “Tolong jangan larang aku, hyung! Dan jangan beritahu noona!”
“Baiklah, baiklah,” kata Jongin, tidak tahan melihat wajah memelas Chanwoo.
Chanwoo dengan ceria mengambil salah satu gelas. Namun, sedetik setelah dia menyeruput isinya, dia menyemburkannya lagi.
“Pahit! Panas!” serunya.
Jongin tertawa, lalu segera mengambil lap untuk menyeka mulut Chanwoo dan bajunya yang ikut kotor.
“Nggak lagi deh minum kopi,” keluh Chanwoo. “Soojung noona benar. Aku tidak akan menyukainya. Tapi… aku tetap tidak suka dia merahasiakan tentang appa dan eomma dariku.” Chanwoo berpaling pada Jongin. “Hyung, menurutmu mengapa noona merahasiakannya dariku?”
Jongin, yang kini berlutut untuk membantu memasangkan sabuk pengaman pada Chanwoo, mendongak. “Dia tidak ingin kamu sedih. Itu saja.”
“Lebih baik sedih daripada terus-terusan mengira aku bisa bertemu dengan eomma suatu hari nanti.”
“Jung Chanwoo, dengarkan aku.” Jongin menyentuh kedua lengan Chanwoo. “Aku tahu kamu merasa dibohongi sekarang. Tapi, ketahuilah, kakakmu telah melalui banyak rintangan sulit yang tidak pernah akan bisa kamu duga. Rintangan-rintangan itu membuatnya hancur. Dia tidak ingin hal yang sama terjadi padamu. Dia tidak ingin kamu ikut membagi beban beratnya. Maka dari itu, dia berpikir inilah yang terbaik untuk kalian berdua.”
Chanwoo tidak menjawab. Seperti biasa, dia hanya menunduk sambil memainkan jari. Jongin pun kembali ke tempat duduknya dan memasang sabuk pengaman. Setelah jet pribadinya ini telah mengudara, dia melepas sabuknya lagi, dan mendapati Chanwoo sedang menatapnya.
“Aku mau tidur saja, hyung.”
“Baiklah. Biar aku membawamu ke kabin tidur.”
Chanwoo menggeleng. “Aku disini saja. Kursi ini—nyaman.”
Jongin tahu itu hanya sekedar alibi. Chanwoo pasti sedang tidak mau bersama Soojung sekarang. Tapi, Jongin memilih mengerti. Setelah menurunkan sandaran kursi, dia mengacak rambut Chanwoo dan pergi menuju kabin tidur.
Dalam kabin tidur, Jongin mendapati Soojung tengah berada dalam alam mimpi. Jongin pun melepas sepatu dan naik ke atas ranjang, menyelinap ke bawah selimut untuk berbaring disamping Soojung. Ternyata, perbuatannya ini membuat Soojung terbangun.
“Maaf,” bisik Jongin. “Aku tidak bermaksud membangunkanmu.”
“Jangan khawatir. Aku tidak benar-benar sedang tidur.”
Jongin berbaring menyamping agar bisa menatapnya. “Kenapa? Tidak bisa tidur?”
Soojung mengangguk, lalu menatap langit-langit sambil berbicara. “Aku hanya—entahlah. Memikirkan akan bertemu orang yang tidak pernah kulihat selama bertahun-tahun—rasanya menegangkan sekali.”
“Hei.” Jongin menyentuh pipinya, membuat Soojung menoleh. “Ada aku di sisimu, kan?”
Hal itu tetap tidak menenangkan Soojung. “Hanya saja—aku tidak tahu bagaimana aku harus bertingkah nanti, apa yang harus aku katakan.”
“Kalau begitu, jangan dipikirkan,” kata Jongin. “Jika kamu terus memikirkannya, hal itu hanya akan mengganggu pikiranmu saja. Lupakan kecemasan itu dan biar waktu yang menjawab.”
“Baiklah. Apa yang harus aku lakukan agar tidak terpikiran hal itu?”
“Mungkin tidur yang terbaik. Lagipula, tidurmu tadi malam belum cukup, bukan?”
Soojung mengangguk menurut. Dia kemudian menatap Jongin. “Bagaimana kalau kamu bernyanyi untukku?”
“Hah?” tanya Jongin bingung.
“Kamu tahu, kan, waktu itu aku sudah pernah menyanyikan sesuatu yang menyatakan perasaanku padamu,” kata Soo
Comments