Reassured
Carmen FantasySudah tiga jam berlalu sejak pintu ruang bersalin menutup dihadapan Soojung dan belum membuka lagi. Sudah tiga jam juga Soojung hanya duduk di kursi tunggu, ditemani Sehun dan Seulgi yang sudah datang dari pagi, juga Jinri yang baru datang dari Yangsan. Myungsoo dan Yonghwa sedang pergi untuk membeli makanan di kantin rumah sakit.
“Lama sekali, ya,” keluh Soojung, mulai bosan.
“Iya,” Sehun menyetujui sambil membaca manhwa. “Apa ada masalah?”
“Tenang saja. Memang banyak persalinan yang membutuhkan waktu lama.” Jinri berusaha menenangkan.
“Bagaimana jika kita melakukan sesuatu yang menarik?” tanya Seulgi.
“Truth or Dare?” usul Jinri.
“Tidak mau,” tolak Soojung mentah-mentah. “Terakhir kali kita melakukannya di kamp, Myungsoo dipaksa Baekhyun menari telanjang di tengah-tengah pesta api unggun. Pengalaman mengerikan itu sampai tidak bisa hilang dari pikiranku.”
Sehun dan Seulgi tertawa membayangkannya, dan tentunya Jinri yang melihatnya sendiri ikut tertawa mengingat hari itu.
“Kita dengarkan Soojung memainkan biolanya saja, yuk?” ajak Seulgi.
Perkataan Seulgi ini berhasil membuat Sehun kehilangan ketertarikan pada manhwanya. “Ide bagus. Aku ingin tahu sudah seberapa kemampuan Soojung sekarang.”
“Ugh, dasar sok,” gerutu Soojung.
Sehun tertawa karena kesengajaannya itu berhasil membuat Soojung kesal. “Bercanda. Ayo, Jung, tunjukkan pada kami. Aku sudah penasaran sekali dari awal kau mengatakan ingin mempelajari Carmen Fantasy.”
“Hah?” seru Soojung, tersadar mereka ingin dia memainkan Carmen Fantasy. “Tidak, jangan yang itu. Itu khusus untuk ibuku.”
“Jadi, kita tidak boleh dengar?” tanya Seulgi kecewa.
“Boleh. Tapi, tidak sekarang, karena aku ingin ibuku yang mendengar untuk pertama kali.”
“Ibumu pasti mendengar dari sini,” Jinri meyakinkan. “Dan mengetahui bahwa kamu sudah menguasainya pasti akan membuatnya makin semangat.”
Setelah itu, Myungsoo dan Yonghwa kembali dengan dua tangan memegang bungkusan. Sehun langsung menyambar bungkusan bubble tea dari tangan kanan Yonghwa dengan sangat tidak sopan. Datangnya mereka semakin memaksa Soojung untuk memainkan biolanya.
Soojung memutuskan untuk memenuhi permintaan teman-temannya. Lima orang itu langsung kegirangan ketika Soojung membuka tas biolanya yang dari tadi dia taruh di pangkuan. Mereka sangat mengantisipasi ketika Soojung menaruh badan biola di pundak kirinya dan bersiap-siap untuk menggesekkan busur pada senar.
Belum sempat Soojung bermain, suara tangisan bayi memecah keheningan. Berulang-ulang, tidak juga berhenti. Semua orang terpaku mendengarnya. Mereka bangkit dari duduk dan melangkah mendekati pintu ruang bersalin—Soojung ikut membawa biolanya. Tangisan bayi itu semakin terdengar dari sini. Yonghwa merangkul Soojung diiringi air mata bahagia.
Tahu-tahu, suara lain terdengar. Suara teriakan pria dewasa yang diyakini Soojung sebagai suara ayahnya. Teriakan penuh penderitaan dan keputusasaan. Soojung menatap Yonghwa kebingungan.
Pintu terbuka dan seorang perawat dengan pakaian bernoda darah keluar. Perawat itu bertampang masam. Dia menatap semua orang dihadapannya dengan sedih, sementara Soojung dan Yonghwa memintanya untuk membuka mulut.
“Bayinya lahir dengan sehat dan selamat,” kata perawat itu. “Tapi, sang ibu—“
Mendengar lanjutan perkataannya, keenam remaja itu terperanjat. Soojung sudah melangkah mundur sampai menabrak dinding. Tubuhnya merosot ke lantai. Yonghwa menghampiri dan berlutut dihadapannya.
“Soojung,” panggilnya.
“Tidak mungkin,” kata Soojung pelan. “Tidak mungkin. Si perawat pasti berbohong.”
Yonghwa menunduk sedih. “Dia berkata yang sebenarnya, Jung. Eomma sudah pergi.”
“TIDAK MUNGKIN!” Soojung menjerit, lalu membanting biolanya ke seberang ruangan sampai remuk dan tak terbentuk lagi.
--
Ketika mimpi itu berakhir, Soojung mendapati dirinya terbangun di atas ranjangnya di kamar Kabin Klasik. Aneh rasanya mengingat dia tertidur di ruang musik tadi malam tapi berada disini saat bangun. Dan, di ranjang Jinri, duduk Jongin.
“Hei,” sapa Jongin sambil memberikan gelas air putih. “Kamu berteriak dalam tidurmu.”
“Sedang apa kamu disini?” tanya Soojung setelah meneguk air.
“Aku tidak pernah meninggalkanmu dari tadi malam. Jinri bilang dia akan menumpang tidur di kamar sebelah. Baik sekali temanmu itu.”
“Apa kamu juga yang membawaku ke sini?”
Jongin mengangguk. “Aku tidak mungkin membiarkanmu kedinginan karena tidur di lantai ruang musik.”
“Bagaimana kamu bisa tahu aku ada disana?”
“Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?”
“Well, memang itu yang kamu lakukan, bukan?” Soojung mengerutkan kening.
“Aku mengikutimu seharian.”
“Dasar stalker.” Soojung kembali meneguk air putih.
Jongin hanya tersenyum. Dia kemudian teringat pada Soojung yang tidak tenang saat tertidur.
“Kenapa kamu teriak-teriak tadi?”
“Hanya mimpi buruk.” Gadis itu menaruh gelasnya di atas nakas.
“Apa yang kamu mimpikan?”
“Bukan masalah besar.”
Jongin mendesah kecewa. “Berapa lama lagi harus kutunggu sampai aku mendapatkan kepercayaanmu sepenuhnya, Jung?”
Soojung memandangnya lekat. Dapat diketahuinya Jongin kecewa. Kecewa karena Soojung masih tidak mempercayainya. Setelah banyak hal yang mereka lewati bersama.
“Jongin, permintaanmu kemarin siang masih berlaku?”
Menyadari kemana arah pembicaraan ini, Jongin tersenyum cerah. “Tentu.”
“Okay, then.” Soojung akhirnya mengangg
Comments