Unveiled
Carmen FantasyJongin menemukan Soojung di sudut ruang ICU. Meringkuk di atas lantai, lutut ditarik ke dada, lengan memeluk tulang kering, kepala dibenamkan ke lengan. Walaupun sangat kecil, Jongin masih bisa mendengar suara sedu-sedannya.
Jongin duduk di sampingnya. Dia tahu Soojung pasti menyadari keberadaannya, tapi itu tidak menghentikan tangisnya. Tangan Jongin menjangkau kepala Soojung, menyapukannya secara lembut di surai hitam Soojung. Gadis itu mengangkat kepala, tapi tidak menoleh untuk menatap Jongin. Sebaliknya dia menatap adik laki-lakinya yang terbaring lemah di atas ranjang dengan segala kabel menghubungkan tubuhnya pada sebuah mesin. Menatapnya hanya membuat Soojung semakin terjatuh ke sungai air matanya.
“Kamu benar,” ujar Soojung. “Aku menyayangi Chanwoo. Sangat menyayanginya, tapi aku tidak berani untuk mengakuinya. Kini, saat aku akan kehilangannya, aku baru memiliki keberanian itu.”
“Jangan berkata seperti itu. Chanwoo pasti akan bangun. Dia akan berjuang.”
Soojung menggeleng-geleng. “Aku sudah gagal menjadi kakak. Bagaimana mungkin aku akan berhasil menjadi kekasihmu? Bagaimana mungkin kamu masih mau berada di sisi perempuan rusak sepertiku?”
Saat ini, Jongin akan berjanji pada diri sendiri, bahwa dia akan berada di samping Soojung selamanya, sampai semua kepedihan dan siksaan di kehidupannya hilang tanpa menyisakan jejak. Dia akan menjaga Soojung dengan segenap raganya sampai tidak ada yang bisa menyakitinya lagi. Dia akan selalu ada untuk Soojung, bahkan ketika Soojung tidak mengharapkan kehadirannya sekalipun.
Jongin merangkulnya. “Jangan pernah lagi mempertanyakan perasaanku padamu.”
--
“Thanks,” kata Jongin sambil menerima kaleng minuman dingin dari Sehun.
Sehun duduk disampingnya di kursi ruang tunggu rumah sakit. “Bagaimana?”
“Chanwoo masih belum sadar,” jawab Jongin setelah meneguk minumannya. “Soojung sedang berganti baju.”
Sehun mengangguk mengerti, mengingat Soojung datang menggunakan seragam sekolah yang lusuh.
“Gadis yang malang, Soojung itu,” gumam Sehun.
Jongin mengiyakan. “Aku begitu mengaguminya. Bukan karena iba, melainkan karena dia begitu tegar menghadapi segalanya. Dia memang sering menangis, tapi dia hanya akan melakukannya ketika tidak ada orang yang bisa melihat air matanya. Selain itu, dia akan menutupinya dengan senyum dan tawa, yang terkadang menyakitiku karena aku mengetahui segala kegelapan dibawah senyuman itu. Dia terlalu muda untuk menghadapi ini semua sendirian. Dia tidak pantas mendapatkannya.”
“Tidak seorangpun pantas hidup di tengah keluarga yang kacau balau.”
“Apa?” Jongin menatap Sehun kebingungan.
“Kau benar-benar tidak tahu, ya?”
“Aku tahu. Ibunya meninggal lima tahun lalu—“
“Bukan itu,” potong Sehun. “Melainkan apa yang terjadi setelah ibunya meninggal.”
Jongin bergeming, teringat masih ada banyak bagian dari masa lalu Soojung yang masih belum dia ketahui. Mengapa dia tinggal sendirian, kemana ayahnya pergi. Dan sebentar lagi, semuanya akan tersingkap.
“Kau—keberatan untuk menceritakannya padaku?”
“Kenapa tidak? Kau berhak tahu,” jawab Sehun sambil menaruh punggung pada sandaran kursi. “Kau sudah tahu alasan kematian ibunya, kan?”
Sehun sudah menduga akan melihat Jongin menggelengkan kepala. Hal ini pastinya terlalu berat bagi Soojung untuk diceritakan, melebihi persoalan dengan fantasia.
“Ibunya meninggal tepat setelah melahirkan Chanwoo.”
Tubuh Jongin membeku. “Apa itu alasan mengapa Soojung suka cekcok dengan Chanwoo?”
Mata Sehun membulat mendengarnya. “Apa? Tidak! Soojung tidak pernah membenci Chanwoo, bahkan sangat menerimanya ketika dia lahir.”
“Berarti ada orang yang tidak menerimanya kelahirannya?”
Sehun mengangguk lemah.
“Siapa?”
“Ayahnya.”
“Apa katamu?” suara Jongin meninggi.
“Ayahnya menganggap kelahiran Chanwoo adalah bencana. Dia bilang Chanwoo-lah yang menyebabkan Bibi meninggal.”
“Apa…” Jongin kehabisan kata-kata. Cengkramannya pada kaleng minuman mengencang. Seluruh kekacauan ini, ternyata diakibatkan oleh seorang pria dewasa yang bersikap kekanak-kanakan.
“Itu alasan mengapa mereka tidak tinggal bersama,” kata Jongin dingin. “Ayahnya tidak bisa untuk tidak menahan amarah ketika melihat Chanwoo.”
“Kurang lebih.”
“Dia masih bayi,” geram Jongin. “Demi Tuhan, dia baru saja lahir dan orang itu sudah menganggapnya melakukan hal berdosa.”
“Aku tahu kau marah, Jongin. Tapi, percayalah, dulu aku lebih marah dari kau.”
“Dimana dia sekarang?” tanya Jongin, tanpa mengindahkan perkataan Sehun barusan.
“Paris.”
“Dia pergi meninggalkan Soojung ke tempat sejauh itu?”
“Dia tidak pergi karena kemauannya sendiri,” jawab Sehun, membuat Jongin menyerngit. “Kakak Soojung, Yonghwa, yang membawanya pergi.”
Jongin tertegun. Soojung punya kakak?
“Sejak kematian ibu mereka, Paman menderita ketergantungan pada minuman keras dan obat-obatan terlarang. Saat sedang kehilangan kesadaran, Chanwoo selalu menjadi sasaran Paman untuk melampiaskan amarahnya. Teriakan sumpah serapah, suara benda pecah, selalu mendominasi hari-hari mereka. Yonghwa hyung tahu akan sangat sulit untuk merubah Paman, sementara perilakunya akan memberikan pengaruh buruk pada Soojung dan Chanwoo. Jadi, dia membawa Paman pergi untuk direhabilitasi, demi kebaikan bersama.”
“Tapi, tentunya di negara kita banyak tempat rehabilitasi. Kenapa juga dia harus membawanya ke tempat sejauh itu, mengorbankan Soojung yang harus tinggal sendirian?”
“Yonghwa hyung seorang jenius. Dia lulus SMA pada usia enam belas tahun. Kebetulan saat itu dia mendapatkan beasiswa ke Paris. Dia menjaga Paman disisinya agar tetap bisa mengawasinya.”
“Dan tidak mengawasi Soojung,” gumam Jongin.
“Dia tidak se-egois yang kau kira,” kata Sehun. “Dia selalu mengirimkan uang pada Soojung setiap bulan, hasil banting tulangnya setiap hari bersamaan dengan kuliah. Gajinya cukup banyak bila di kurs ke Won, tapi dia mengirimkan sebagian besarnya pada Soojung. Dia bahkan rela kelaparan jauh disana agar kedua adiknya hidup bercukupan di rumah.
Hyung juga memperkerjakan seorang ibu susu untuk Chanwoo yang juga mengurus Soojung. Tapi, ketika Chanwoo sudah lebih besar, Soojung memilih untuk memberhentikannya, karena Soojung ingin menyimpan uang untuk menggajinya untuk keperluan lain.
Soojung selalu menerima surat setiap bulan dari kakaknya, tapi akhir-akhir ini Soojung tidak mau membacanya lagi karena isinya selalu sama. Yonghwa hyung selalu bilang dia akan cepat-cepat kembali dengan Paman, dan mereka akan hidup bahagia seperti dulu, tapi sampai sekarang tidak juga menjadi kenyataan.”
Jongin mengangkat telapak tangan, membenamkan wajah ke sana. Soojung, kenapa kamu tidak pernah menceritakan ini padaku? Apa kamu masih belum mempercayaiku sepenuhnya?
Keheningan diantara mereka terpatahkan ketika Seulgi muncul. Dia menatap teman-temannya dengan hampa.
“Soojung tidak mau berbicara den
Comments