Humiliated
Carmen Fantasy“Kim Jongin.”
Jongin mengangkat kepala. Seorang gadis yang terlihat asing berdiri menjulang dihadapannya. Jongin tidak tahu bagaimana gadis itu tahu namanya, tapi dia harus menjaga profesionalitas agar tidak kena tegur panitia lain.
“Untuk berapa orang?” tanyanya.
“Aku bukan kemari untuk beli tiket.” Gadis itu jengkel karena tidak dikenali. “Aku juga dari divisi humas, dan kau disuruh untuk berkoordinasi dengan divisi konsumsi terkait masalah konsumsi bintang tamu.”
“Perintah dari siapa ini?”
“Dari Taeil,” Gadis itu menyebutkan nama ketua divisi humas.
“Bagaimana aku bisa tahu kalau ini bukan tipuan?”
Lawan bicaranya merasa terhina. “Kau kira aku penipu?”
“Bukan begitu. Tapi, seingatku yang mengurus hal seperti itu adalah Yuta.”
“Yuta akan segera tampil di penutupan,” jawabnya. “Kalau tidak percaya, pastikan saja sendiri. Aku bisa menjamin kalau aku berkata benar.”
Jongin menghela napas. “Baiklah. Tapi, siapa yang akan menggantikanku untuk menjaga loket?”
“Aku. Sudahlah, sana pergi.”
Jongin pun bangkit dan melangkah keluar dari boks yang berfungsi sebagai loket tiket. Dalam hati dia menggerutu. Dosa apa dia sehingga harus berhadapan dengan gadis menyebalkan seperti itu?
Halaman sekolah yang luas telah disulap menjadi tempat festival untuk acara penutupan kejuaraan. Berbagai booth tersusun dengan rapi, didominasi oleh booth makanan. Orang-orang berlalu lalang, ada juga yang berdiri berkerumun di pinggir jalan untuk berbicara dengan teman mereka, dan Jongin tidak bisa melihat satupun temannya di kerumunan itu.
Sampai terdengar suara jepretan kamera dari sampingnya, disusul suara tawa perempuan.
“Seulgi,” kata Jongin lelah. “Katakan padaku, sudah berapa banyak foto aib diriku yang kau simpan di kameramu?”
“Tak terhitung,” Seulgi menjawab.
Hari ini, Seulgi mengikat rambutnya ke atas, mengekspos lehernya yang dikalungi kamera DSLR dan name tag yang mengidentifikasikannya sebagai anggota divisi dokumentasi. Dia mengenakan kaus dengan gambar logo yang digunakan Cheongdam untuk kejuaraan tahun ini, skinny jeans, dan—yang membuat Jongin heran—sepatu hak tinggi. Semuanya berwarna hitam.
“Nggak pegal pakai itu?” Jongin mengedikkan dagu ke sepatu Seulgi.
Seulgi menggeleng. ”Justru bagus, bukan? Tinggiku jadi sepantaran denganmu.”
“Memangnya itu penting?”
“Bercanda.” Seulgi tersenyum tipis. “Aku harus lebih tinggi agar dapat mengabadikan foto yang sempurna. Kadang, banyak objek bagus yang tidak dapat kuabadikan karena aku terlalu pendek.”
“Begitu.” Jongin mengangguk-angguk. “Kau tahu Taeil sunbae ada dimana?”
“Terakhir kulihat di food truck Starbucks. Ada Sehun juga disana.”
“Pastinya,” gumam Jongin. “Baiklah, terima kasih, Seulbear.”
Food truck Starbucks terletak dekat dengan panggung, yang kini sedang digunakan untuk mengumumkan para pemenang kejuaraan. Untuk hari ini, Sehun tidak berperan sebagai barista, melainkan panitia acara yang ditugaskan untuk menangani urusan booth makanan. Dia berdiri di samping truk, ditemani seorang laki-laki yang lebih pendek darinya. Kakak kelas mereka, Moon Taeil.
Truk itu sedang kebanjiran pelanggan, kebanyakan dari kaum perempuan. Jongin tidak tahu apakah gadis-gadis itu memang sedang kelaparan atau hanya ingin dekat-dekat dengan Sehun yang kelihatan menjulang diantara mereka semua. Jongin pun mendekat untuk mencari tahu.
“Enjoying yourself?” tanya Jongin.
“Oh, hai, mate,” sapa Sehun. “Yah, acara tahun ini memang lebih asyik daripada tahun kemarin.”
“Acaranya, apa gadis-gadis dari sekolah lain?”
Sehun hanya cengengesan sebagai respon.
Jongin beralih pada Taeil. “Sunbae memanggilku?”
“Ya, aku butuh bantuanmu untuk mengantarkan makanan pada divisi konsumsi yang bertugas di belakang panggung. Mereka belum makan apa-apa dari tadi pagi.”
“Kenapa bukan Sehun?” tanya Jongin.
“Sehun perlu memantau booth-booth makanan,” jawab Taeil, lalu tersenyum culas. “Lagipula, kau adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tugas ini.”
Jongin menyerngit. Apa maksudnya? Memangnya ada kriteria tertentu untuk bertugas sebagai pengantar makanan?
Jongin memilih untuk masa bodoh dan mengambil dua bungkusan makanan dan minuman dari tangan Taeil. Setelah berpamitan, dia meninggalkan tempat itu untuk menuju belakang panggung. Dengan penampilannya yang signifikan sebagai panitia, Jongin memperoleh akses dengan mudah.
Dia memasuki bagian belakang panggung yang penuh orang berlalu-lalang, panitia maupun staf bintang tamu. Bahkan, Jongin melihat ada beberapa orang yang kentara sekali merupakan penyusup. Jongin dengar divisi acara berhasil mengundang salah satu idol group yang sedang naik daun, jadi penyusup-penyusup itu pastilah para fans ekstrem. Tapi, tugas Jongin bukanlah untuk menyingkirkan para penyusup, jadi dia menghiraukannya. Lagipula, fans-fans itu bergerak secepat angin. Jongin tidak mungkin bisa mengejarnya tanpa membuat bungkusan besar di kedua tangannya terjatuh.
“Halo, Taeyong,” Jongin menyapa Taeyong yang kebetulan lewat sambil membawa spanduk bertuliskan ‘BELI TIKET DI LOKET’.
“Aku akan menyerahkannya pada divisi keamanan. Banyak calo-calo tidak bertanggung jawab di luar sana,” Taeyong menjelaskan tanpa diminta dengan tampang masam. “Sunbae sedang apa disini?”
“Mau mengantarkan makanan untuk divisi konsumsi yang katanya belum makan. Kau tahu mereka ada dimana?”
“Kalau mereka belum pergi, mereka pasti sedang di ruang tunggu bintang tamu untuk menyediakan makanan.”
“Bintang tamu yang mana, ya? Maaf, aku tidak terlalu mengenal artis-artis ini.”
“Bintang tamu yang perlu diperjuangkan agar bisa datang ke acara ini.”
Jongin tertawa kecil. “Oke, aku pergi dulu, Taeyong.”
Taeyong benar. Para anggota divisi konsumsi masih berada disana. Beberapa bahkan berkerubung di depan pintu. Salah satunya, walaupun Jongin tidak dapat melihat wajahnya, Jongin tetap mengenalinya. Jiwa iseng Jongin pun keluar.
“Permisi, Nona, mau beli kopi?”
Soojung menoleh, terkejut ketika melihat Jongin. “Kamu ngapain disini?”
“Jualan kopi,” jawab Jongin. “Ya, mengantarkan makanan, lah. Nih.”
Rekan-rekan Soojung segera rebutan untuk mengambil bungkusan duluan.
“Hei, sisakan satu, dong,” protes Jongin.
“Maaf, sunbae, nggak maksud,” kata salah satu anak kelas sepuluh takut-takut.
Soojung tersenyum untuk pertama kalinya dan menggamit lengan Jongin. “Jangan galak-galak sama adik kelas, sunbae.”
Jongin balas tersenyum padanya. “Kita cari tempat, yuk.”
“Ayo,” kata Soojung antusias. “Aku pergi sebentar, ya, kawan-kawan.”
Menonton pentas seni menjadi pilihan mereka. Mereka berdiri agak jauh dari kerumunan penonton, namun tetap dapat menonton dengan jelas. Soojung memakan churros dengan lelehan cokelat dari wadah plastik yang dipegangnya sambil berdiri. Jongin berdiri di sampingnya, memegang gelas kopi dingin milik Soojung yang akan Jongin berikan kapapun Soojung ingin minum. Sehun juga bergabung, telah terbebas dari tugasnya. Begitu juga dengan Seulgi, walaupun masih sibuk memotret keadaan sekitar, termasuk wajah aib Jongin.
“Astaga, hentikan,” kata Jongin, gerah dengan perlakuan Seulgi.
“Ayolah, ini menyenangkan,” balas Seulgi yang makin menjadi-jadi.
“Seulbear, aku tahu Jongin tampan, tapi kau memang perlu berhenti.”
“Apa?” Jongin menoleh pada Soojung. “Bisa diulang lagi kau bilang apa? Aku tampan? Jadi, kau mengakuinya sekarang?”
“Oh, jangan mulai,” kata Soojung jengkel. “Aku baru saja menyelamatkanmu dari situasi tidak mengenakkan.”
“Sudah, jangan berdebat,” Sehun melerai. “Bandnya mau tampil, nih.”
Penampilan pembuka adalah dari band sekolah. Mantan band Jongin. Dengan pahit, Jongin menatap mantan teman-temannya melakukan soundche
Comments