0.2

Fidélité
Please Subscribe to read the full chapter

♬ Lee Hi - Dream

 

 

Baekhyun pergi. Itu yang ia ketahui saat ini. Dengan spidol berwarna merah ia menyilangi setiap satu angka pada kalender yang ada di kamarnya. Setiap goresan ia sertai dengan doa.

Ia bersabar. Kenyataan pahit, ia menunggu.

Kesabaran itu tetap berlanjut, sudah lebih dari enam ratus tanda silang dalam tiga kalender. Dua kali melewati satu tanggal yang disilang pada bulan Mei— melewati hari ulang tahunnya.

Ia berumur delapan tahun sekarang dan keadaan banyak berubah. Pria yang datang setiap malam itu sudah semakin jarang datang. Membuatnya lebih banyak bersyukur. Pernah sekali saat makan malam ia bertanya lagi pada ibunya, siapa laki-laki itu, yang sering bertengkar dengan ibunya.

'Ibu, siapa laki-laki yang membuat ibu menangis itu?'

'Bukan siapa-siapa.'

'Dia tidak pernah datang lagi, mungkin dia—'

'Diam, Sehyun! Tenang dan habiskan saja makan malammu!'

Setiap akhir pertanyaan penasaran akan sesuatu darinya, selalu berakhir dengan bentakan kasar sang ibu dan tatapan dingin hanya karena rasa keingintahuannya selalu membuat ia berakhir terdiam mematung.

Kenapa? Bahkan ibunya sendiri tidak mau menanggapinya? Tidak ada mainan baru atau waktu luang untuknya. Ia selalu sendirian bahkan di sekolah atau di rumah. Ia selalu sendirian kecuali dirinya sendiri yang berniat untuk mendatangi rumah Minho dan mengajaknya bermain. Ia merasa sesak, dan tidak tahu kenapa. Kenapa semua terasa lain ketika tidak ada Baekhyun di sini? Ia tidak berani bertanya, karena ketika ingin bertanya sebuah hal mengenai ke mana Baekhyun pergi, itu bukan lagi menekan dadanya, bahkan tanpa peringatan apapun terasa menghantam dadanya. Ia bisa mendengar ledakan itu. Semenjak tidak ada Baekhyun, rasanya semua orang berpaling dan menjadikan kehadirannya selalu luput dari perhatian.

Bicara terus mengenai Baekhyun, setelah beberapa tahun yang tidak lama ini, ia rasa dirinya memang sudah dilupakan. Jadi kemarin, saat ia dan ibunya pergi ke toko dekat rumahnya untuk membeli buku, di tahun ajaran baru sekolah dasar, ia kembali tercenung memandangi kalender. Mereka berderet rapih siap untuk di jual, jadi penjual itu—Pak Young, menawarkan satu padanya.

'Sehyun-a, kau biasanya memilih-milih kalender?' tanya pria tua itu dengan begitu ramah. Ia terdiam. Menatap Pak Young dengan ekspresi tidak terbaca. Bibirnya melengkung ke bawah merasa sedih, saat ia kembali menatapi satu persatu angka di bulan Januari pada kalender terbungkus rapih dengan plastik.

'Pak Young...' ia ingin mengucapkan sesuatu sambil memainkan jari-jari tangannya. Salah satu hal yang menjadi kekurangannya adalah ketika harus berbincang dengan orang lain tanpa mau membuat kesalahan. Di dalam pikirannya begitu banyak rangkaian kata-kata, namun, untuk keluar dari bibirnya, kata-kata itu selalu tersendat. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya yang terus merasa kesepian dan tidak punya teman bermain. Mereka hanya menganggap kisah percintaan anak kecil yang luput dari perhatian ini begitu sepele, tanpa tahu kalau ia bisa kapan saja mengeluarkan air mata sia-sia setiap malamnya. Ia tidur di kamar sendirian sekarang. Ada kasur dengan sprei ber-print galaksi, meja belajar—salah satu furnitur modern yang ia tempeli stiker Avengers, pensil berwarna, mainan robot, lemari pakaian baru. Ia memiliki itu semua di dalam kamarnya. Tapi dibandingkan tidur nyenyak di atas kasur ia lebih suka berada di dalam lemari pakaian. Kadang ia akan mengeluarkan kotak-kotak sepatu lama di sana dan menukar posisinya dengan sebuah bantal. Ia akan meringkuk di dalam lemari, tertidur memeluk sebuah buku tebal hijau tua juga ditemani senter kecil dengan lampu berwarna oranye. Ia akan memejamkan mata sambil berdoa, dan tidak pernah satu malam pun ia lupa. Ia juga tidak pernah lupa terisak membuat siapa saja yang tahu keadaannya saat itu benar-benar merasa kasihan. Semoga saat ia terbangun pagi hari Baekhyun sudah pulang ke rumah.

Lagi-lagi Baekhyun. Baekhyun, Baekhyun, dan Baekhyun. Nama itu, dia, sudah seperti parasit yang menempel di memorinya. Nama itu, ya, benar-benar hanya sebuah parasit. Apa ia akan muak dengan nama itu?

Lalu suatu malam ia bertanya dalam doanya sebelum tidur, sampai kapan? Ia mulai lelah. Sampai kapan? Tinta spidolnya sudah berkali-kali habis. Sampai kapan? Baekhyun berbohong. Ia harap Tuhan mendengar doanya dengan serius. Kalau ia begitu kesepian dan ingin Baekhyun pulang dan masih banyak lagi. Kalau ia tidak mau sendirian di sekolah. Ia selalu berangkat atau pulang sekolah sendirian. Ketika lewat di depan sebuah kedai yang menjual yoghurt, ia jadi tidak bisa membeli dua yoghurt. Ketika ada pedagang Hotteok, ia membeli banyak dan makan sendirian sambil bermain sebuah ayunan di taman. Ia tidak pernah bermain seperti dulu lagi. Semua mainan di kamarnya teronggok seperti sampah di kolong kasur.

Menjadi seperti ini, dibandingkan dengan belajar ia lebih menyukai ketika akan membantu ibunya di toko bunga yang terletak di ujung gang. Dan ketika ia dan ibunya bisa berdua seperti itu, ia akan semakin jarang bertanya karena ibunya tidak pernah suka mendengar setiap rasa penasarannya seperti: apa Baekhyun sudah pulang? Apa Baekhyun ada memanggilnya saat ia pergi mandi? Apa Baekhyun datang mengambil mobil mainannya yang tertinggal? Tidak pernah ada kata 'ya' yang keluar dari mulut ibunya seiring dengan pertanyaan mengenai Baekhyun yang ia tanyakan kecuali helaan nafas berat wanita itu.

Tapi, ia akan mengingat perkataan Baekhyun padanya. Sehyun ingat janji mereka berdua, ia ingat janji Baekhyun. Semua janji Baekhyun.

Dan apa namanya jika janji tidak ditepati? Hingga lima tahun berlalu dan ia masih bertanya pada bunga mawar layu yang penyet di halaman tengah sebuah buku di Minggu pagi. Bunga itu sudah kering, dan kelopaknya hampir terlepas kalau ia mencoba memegang atau bahkan menyentuhnya.

Sangat rapuh. Begitu ia tidak sengaja menjatuhkan bukunya bunga itu sudah tidak berbentuk. Bunga yang ia anggap satu-satunya hal yang menghubungkan ia dengan Baekhyun. Bunga yang walaupun warnanya sudah tidak terlihat namun begitu berarti baginya. Bunga yang menjadi hadiah terakhir Baekhyun. Bunga apa ini? Apa artinya bunga mawar itu?

Jadi ia mengangkat buku berwarna hijau tua itu perlahan. Dan perlahan juga kelopak-kelopak bunga kering berjatuhan dari dalam buku itu. Ia terduduk di lantai. Mengutipinya kembali satu-persatu. Bahkan hanya seperti ini membuatnya terisak sedih. Menggenggami benda yang sekarang lebih cocok disebut sampah. Ia kembali meletakkan kelopak-kelopak tak utuh itu di dalam bukunya. Lalu berdiri meletakkannya kembali ditumpukan buku sekolahnya di atas meja belajar. Cahaya matahari membias ke arah kaca jendela. Kemudian menembus ke arah vas bening. Pantulan cahaya membuat sebuah garis mengenai meja belajar. Sehyun memandangi vas bunga itu tanpa sadar sesuatu yang dingin perlahan jatuh mengikuti lingkungan pipinya. Dan ia tetap memandangi vas bunga tanpa setangkai pun bunga di dalamnya. Dan ia ingat bunga yang dulu ada di situ adalah bunga pertama yang ia lihat. Ke mana bunga itu sekarang? Ia tidak tahu.

Perlahan, tangannya yang begitu lentik bergerak mencari alat tulis yang akan ia pakai untuk menyilang tanggal hari ini di dalam sebuah tempat alat tulis di atas meja belajar, tapi tidak ada satupun spidol merah di sana. Lalu matanya sempat menyalang mencari keberadaan kalender-kalendernya, ia menemukan kalender yang terakhir ia beli terhitung di sana tanda silang yang hampir menyentuh angka 3000. Sehyun segera mencari spidol merah itu di dalam tempat pensilnya. Ia mencari spidol merahnya yang ada begitu banyak. Tapi malah memandangi isi kotak pensil. Di situ letak mereka.

Tidak ada. Gumamnya.

Jadi ia mencari kembali, menuang semua isi kotak pensilnya ke lantai. Puluhan spidol merah mulai berserakkan. Menggelinding ke kolong kasur atau ke bawah rak meja belajar. Dan ia tetap bergumam. Tidak ada.

Setelah itu Sehyun beralih ke atas meja belajarnya, mungkin terselip di antara tumpukan buku pelajaran. Jadi ia membongkar semuanya tanpa pikir panjang, menyerakkan isi meja belajar itu. Melempar dan menjatuhkan semuanya ke lantai. Menjatuhkan tumpukan buku hijaunya itu juga. Tetap tidak ada. Dan ia tidak berhenti di situ, kembali melangkahkan kakinya ke rak buku-buku yang baru. Kembali menyerakkan apa yang sudah tertata rapih di sana.

Ia merasakan debaran hebat tak terkontrol. Perlahan darahnya terasa mengalir mengaliri tubuh menuju kepala, mulai frustasi sendiri. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak tahu kenapa mengabaikan spidol lainnya. Tidak tahu sebenarnya apa yang sedang ia lakukan. Tidak tahu kenapa ia melempari segala sesuatu ke setiap penjuru kamar. Tidak tahu kenapa ia mengerang sampai suaranya bahkan membuat ia tersedak sendiri. Ia ingin melampiaskan hal itu pada apapun. Melampiaskan kemarahannya pada semua orang yang mengabaikan dia layaknya keberadaannya selama ini tidak pernah ada semenjak Baekhyun tidak lagi di sini. Jadi ia juga menuang isi tas sekolahnya. Ia menarik sprei kasur hingga mereka terlepas dan mencari di balik bantal. Ia membanting mobil mainan dan robot mahal milik Baekhyun sampai benda itu ia harap menjadi sebuah potongan-potongan kecil. Ia juga mematahkan lintasan mobil mainan Hotwheels di dekat kasur setelah itu memukulinya dengan raket badminton Baekhyun. Ia mengambil vas bunga di dekat jendela dan membanting benda itu ke lantai. Ia mengacak-acak isi lemari.

Kapal pecah tercipta dalam hitungan detik. Bumi layaknya terbalik dan sebuah tombol rotasi mengubah struktur kamar ini. Tidak boleh ada kenangan apapun di sini. Tidak boleh ada apapun yang berhubungan dengannya dan Baekhyun di sini. Semuanya akan berubah seperti sebuah keliling satu lingkaran penuh. Ia mengerang seperti tidak ada harapan lagi buatnya. Ia berlebihan tapi tidak tahu harus bagaimana selain menyalahkan Tuhan karena mempertemukannya dengan Baekhyun. Ia bahkan tidak tahu ada orang yang sedang menggedor-gedor pintu kamarnya terus menerus karena ia telah menimbulkan suara tangisan keras sejak awal ia mencari benda sepele itu.

Dan ia belum selesai, sampai ke meja teleponnya, di situ Sehyun mendapati tumpukan kalender yang mulai ia anggap kutukan dari tahun ke tahun. Tanpa per

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sweethyunee
#1
Chapter 14: TT
Sweethyunee
#2
Chapter 13: Pertemuan mereka berdua bikin mewek TT
Sweethyunee
#3
Chapter 12: Baekhyun benar2 putus asa sampai bohong gitu
Sweethyunee
#4
Chapter 11: Sehun disini menghibur banget wkwk
Sweethyunee
#5
Chapter 10: Uwah udah nggak sabar mereka ketemu :-)
Sweethyunee
#6
Chapter 7: Chat nya dyo sama sulli kok lucu ya hehe
Sweethyunee
#7
Chapter 8: Sehyun sama Baekhyun sama2 menderita TT
Sweethyunee
#8
Chapter 9: Wah bentar lagi mungkinkah??
Sweethyunee
#9
Chapter 6: Kyak nya ntar chanyeol suka sama sehyun??
Sweethyunee
#10
Chapter 5: Sehyun juga merindukan baekhyun sebenarnya. Duh pengen cepet2 baca chap pas baekhyun ketemu lagi sama sehyun TT