0.1

Fidélité
Please Subscribe to read the full chapter

♬ Baekhyun - Beautiful

 

 

Tepat saat sang ibu masih mengandung, ia sudah menamainya Sehyun; good person. Makna nama yang sangat baik. Good person. Mungkin kelak ia akan menjadi orang yang benar-benar baik dengan diberikannya nama itu. Ia terlahir normal. Sangat normal. Begitu keluar merasakan udara dunia, ia benar-benar dalam keadaan sehat. Bulu matanya lentik sama seperti ibunya. Pipinya merah. Entah bagaimana caranya mendeskripsikan dirinya. Banyak sekali. Banyak sekali hal yang terjadi sejak kita lahir ke dunia. Dan ia pun merasakannya.

Ada masa di mana kita harus belajar berjalan dimulai dari menyeret kedua lutut dibantu kedua telapak tangan. Ketika ia hampir bisa berjalan, mereka membawanya berjalan di atas rumput hijau yang ada di halaman rumah. Bayi tumbuh begitu cepat. Sampai orang tuanya bahkan membutuhkan kalender untuk terus menghitung hari.

Sehyun tidak pernah melihat orang-orang yang berbeda di sekitarnya setiap kali matanya terbuka. Kecuali orang yang sama. Ia hafal wajah perempuan yang selalu menggendong tubuhnya saat terdengar suara tangisan. Atau dua orang lanjut usia yang ia tidak tahu kalau mereka adalah orang tua dari ibunya. Mereka kadang muncul seminggu sekali. Dua minggu sekali. Ia tidak dapat menghitungnya. Dan hanya tertawa ketika orang-orang tersenyum dan menghibur atau membuatnya merasakan kesenangan. Ia juga tidak tahu apa-apa kecuali melakukan hal yang namanya ocehan atau rengekan. Ketika ada seseorang bermain dengannya dan ketika orang itu pergi ia juga tidak tahu apa yang mendorong tangisan bayinya keluar. Ia bahkan tidak tahu apa itu tangisan.

Jadi ia hanya perlu melihat segala sesuatu dengan sangat jelas.

***

Tahun ini umurnya satu tahun. Dan dia berada dalam sebuah kasur kecil dikelilingi pagar. Berdiri di sana memandangi sekitarnya tanpa makna apapun. Liur menetes dari bibirnya. Tangannya menggenggam pagar kayu yang membatasinya agar tidak terjatuh ke lantai kayu yang dingin. Ada banyak benda berwarna warni di dalam kamarnya sekarang. Ia tidak tahu apa itu. Ia memiliki bau yang begitu harum. Sangat harum.

'Ini bunga mawar. Warna apa yang kau suka?' seorang wanita tersenyum hangat dengan banyak bunga di tangannya. Itu ibunya. Ia tidak tahu. Tapi wanita ini selalu hadir atau selalu muncul saat matanya terbuka. Tubuhnya kecil dan sedikit kurus. Rambutnya hitam tanpa poni menjuntai ke depan dengan indah. Ia selalu tersenyum jika matanya melihat sosok wanita ini. Dan tanpa sadar dirinya tertawa senang. Menunjuk apa yang ada di tangan ibunya itu dengan ocehan. 'Merah?' tidak. Ia tidak ingin yang paling pekat. Bukan warna itu. Ia ingin yang pucat. Tapi ia tahu apa tentang warna saat itu. 'Merah muda? Ah, ada banyak warna. Ibu akan meletakkannya di kamar ini, jadi kau bisa memandanginya setiap saat, maaf akhir-akhir ini ibu sibuk, ya sayang.' sebuah kecupan hangat ditinggalkan oleh ibunya tepat pada pucuk kepalanya sebelum wanita itu pergi menutup pintu perlahan.

Setelah hari itu, ia selalu melihat ke arah sebuah vas bunga dengan banyak warna di dekat jendela kamarnya.

***

Sampai ia terus tumbuh dan sampai di umur tiga tahun, selain memandangi vas bunga di dekat kasur kecilnya itu, kali ini matanya selalu menatap sejurus ke arah sebuah daun pintu berwarna putih. Tempat yang ia juga tahu benda itu bisa terbuka dan tertutup. Ibunya masuk dan keluar. Ia memainkan knopnya dan menjilatnya. Tapi kali ini lain. Terasa aneh. Ia tahu bahwa kedua kakek dan neneknya sudah jarang berkunjung. Semakin lama semakin jarang. Dan tidak pernah lagi.

Itu dimulai ketika ia mulai mendengar suara dua orang dewasa yang saling berteriak. Hanya memandangi pintu, suara keras dan penuh kemarahan yang masuk ke telinganya selalu membuatnya menangis. Menangis keras tidak mau mendengar apapun kecuali bisikan lembut ibunya. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik pintu itu. Apa yang terjadi di sana saat malam hari kecuali membuatnya terus merasakan keasinan oleh air matanya sendiri.

Butuh waktu yang lama sampai suara bantingan pintu terdengar dan teriakan serta makian itu hilang. Sampai daun pintu itu terbuka tanpa suara dan ibunya masuk ke dalam setelah menutup kembali pintu yang ia tangisi itu. Ia yang menangis kemudian diangkat ke dalam pelukan ibunya. Sebuah tangan penuh kelembutan mengelus punggung dan tubuhnya yang sangat mungil. Ia belum berhenti menangis.

Karena ibunya sendiri belum berhenti menangis.

***

Apa yang terjadi di dunia ini telah diatur. Tidak ada yang dapat menerka masa depan seseorang. Segalanya berjalan begitu saja dan kita menjalaninya dengan kesadaran bahwa sadar yang kita lakukan sebenarnya telah ditentukan.

Dan aku di sini berharap, milik Jeon Sehyun tidak.

Sama sekali tidak.

Karena ketika berumur lima tahun, Sehyun mulai bermain origami dengan teman sebayanya di rumah. Kebetulan sekali saat itu ada sebuah keluarga yang baru pindah dan anak mereka sebaya dengannya. Jadi mereka berdua—ia dengan Baekhyun—selalu bermain bersama karena Baekhyun selalu menghampirinya.

Baekhyun lebih pendek darinya tapi itu bukan masalah selama mereka bisa bermain bersama. Mereka menonton televisi bersama, bermain nintendo atau video games lainnya. Berpetualang dalam artian mereka berdua, berkeliling lingkungan sekitar. Pergi ke lapangan sepak bola melihat pertandingan orang-orang yang besar daripada mereka, mengorek tanah atau memancing ikan kecil di saluran air, atau akan bermain di dalam toko bunga milik ibunya dan memecahkan sebuah pot. Setelah itu bersembunyi sebelum ia mulai mendengar suara teriakan.

Dan masa-masa itu harus dilalui diiringi dengan menemukan dirinya yang menangis kuat. Saat di mana, malam hari ia mendengar percekcokan yang semakin lama, dari hari ke hari, dari minggu dan seterusnya tetap berlanjut dengan kurun waktu dua minggu atau tiga minggu sekali. Sama seperti kakek dan neneknya, ia tidak tahu apakah teriakan dan dua orang dewasa yang saling memaki itu akan selesai dan menghilang perlahan dan ia tidak perlu merasakan keasinan dan sebal akibat sebuah lendir terus keluar dari hidungnya.

Dan ia tahu sekarang dirinya tidak perlu berada dalam sebuah kasur yang membatas dirinya untuk pergi keluar kecuali ibunya yang menurunkannya dari benda itu. Malam hari masih sama, karena ia hanya bisa bermain dengan Baekhyun saat teman sebayanya itu datang pagi hari atau sore hari. Atau berbicara sendiri pada vas bunga di dekatnya. Ia selalu memegangi kelopak bunga itu dan berbicara mengutarakan apa yang ia ingin katakan selain pada Baekhyun. Karena ia selalu bercerita pada Baekhyun tentang hal apa yang ia lakukan jika tidak bermain dengan lelaki itu, begitu sebaliknya, Baekhyun selalu bercerita padanya, tentang ibunya dan bagaimana ekspresi wanita itu ketika Baekhyun menuangkan sabun cair ke dalam bak mandi.

Semuanya begitu nyaman jika ia bisa menceritakan itu pada Baekhyun. Bahkan mereka bisa merangkai bunga bersama dan berkata bunga yang paling ia sukai adalah yang dengan warna pucat, merah muda. Ia selalu lupa apa nama bunga itu walaupun berkali-kali ia bertanya dan menyebutnya. Karena saat itu pensil dan kertas tidak disediakan oleh ibunya padanya. Bahkan jika Baekhyun membantu mengingatkan. Tanpa sadar, selama ini ia tumbuh tanpa banyak hal menyenangkan yang layak ia dapatkan dari ibunya. Dibebani oleh sang ibu yang memiliki beban masalah terlalu berat ketika harus memberinya makan ketika merengek. Apa yang kita harapkan dari seorang anak kecil seperti itu?

***

Suatu malam, ketika kejadian itu dimulai lagi, Sehyun turun sendiri dengan caranya dari atas kasur yang cukup tinggi untuk anak kecil seukurannya. Karena ia hanya bermain dengan laki-laki—Baekhyun—jadi ia kadang harus menjalani sebuah hal atau permainan yang sama sekali tidak membantunya tumbuh menjadi perempuan yang benar-benar feminim. Ia bermain bola, menonton pertandingan basket, football, atau baseball, bahkan tinju. Kadang juga menonton sebuah camp pelatihan karate daripada kartun yang muncul di salah satu channel televisi. Bahkan menonton film superhero dalam berbagai versi dan mempraktekan hal itu bersama dalam candaan.

Dan aksinya ini membuat ia terjatuh. Lututnya lecet bahkan ia hanya akan meringis kecil.

Ia kemudian menghampiri pintu kamarnya dalam diam. Ketika meraih knop pintu ia masih harus memerlukan usaha kecil, berjinjit. Untuk pertama kalinya ketika suara teriakkan itu menembus telinganya, kali ini ia merasakan suara-suara lantang itu menyelimuti sekujur tubuhnya yang terbalut piyama. Getaran dalam setiap jengkal tubuhnya terus menguat seiring kedua ujung kaki yang ia langkahkan menuju ruang tamu. Air mata siap jatuh dan itu membuat kedua tangan yang kaku berada di sebelah pahanya mau tidak mau memeluk diri sendiri.

'Ibu...'

Mengintip lebih jelas, ia melihat ibunya dengan seseorang. Ia melihat dengan jelas wajah pria itu. Tubuh ibunya yang membelakangi dirinya membuat kaki-kakinya masih tidak berani melangkah lebih jauh memasuki ruang tamu.

'Apa salahnya aku bertemu anakku sendiri, Ya Tuhan... aku terus bekerja pagi hingga malam, kau tahu?!'

'Jangan ungkit itu lagi! Kau memang bekerja tapi mana hasilnya? Selama ini aku menghidupi diriku dan Sehyun dengan hasil keringatku sendiri! Bertahun-tahun kau terus mengatakan hal yang sama! Sekali ini saja, buktikan! Buktikan kalau kau bekerja! Bawa uang hasil kerja khayalanmu itu padaku dan Sehyun!'

'Seol, aku memperingatimu.'

'Selama ini kau ke mana saja? Kau selalu datang seenakmu! Kau begitu beruntung karena aku masih mau membukakan pintu untukmu di rumah ini. Bukannya itu jauh lebih baik? Sekarang aku lelah! Aku ingin tidur! Cepat keluar dari rumahku!'

'Kumohon!"

'Bertahun-tahun aku memberimu kesempatan! Kumohon, pergilah! Temui dia! Bukannya kau meninggalkan aku karena dia?'

'Seoljin! Bahkan sekali, sekali saja, aku tidak boleh menemuinya?'

'Kalau kau tidak mau kakek dan nenekku membunuhmu, pergi! Karena kau mereka bahkan tidak pernah mengunjungi anakku lagi! Mereka muak melihat wajahmu! Jadi sekarang pergi dari sini! Dan jangan pernah coba-coba untuk melihatnya saat aku tidak berada di sekitarnya,'

Ibunya mendorong dengan kasar pria yang menangis dihadapannya. Saat itu ia kembali menangis. Ia dan ibunya menangis. Siapa pria itu? Setiap kali ia bertanya pada ibunya tentang di mana ayahnya, wanita itu selalu menjawab tapi ia tidak tahu kebenarannya. 'Ia tidak akan datang. Karena ia bekerja pagi sampai malam hari. Ayahmu meninggalkan kita berdua. Dia jahat, bukan?' lalu Sehyun mengangguk, 'Kau membutuhkan ayah?' ia menggeleng cepat. Dan berkata, Baekhyun bertanya mengenai ayahnya, jadi ia tidak tahu harus menjawab apa. 'Jika ia bertanya mengenai ayahmu, katakan padanya, ayahmu bekerja sa...ngat jauh ke luar negeri. Jadi kau tidak tahu kapan akan bertemu dengannya,'

'Tapi... itu berbohong 'kan...?'

'Itu bukan bohong. Kau hanya mengatakan sesuatu yang kurang jujur. Tuhan selalu memaafkan kesalahan kecil.'

Dan dengan itu, ia percaya. Ia selalu percaya apa yang ibunya katakan. Apa yang ibunya perintahkan padanya atau apa yang ia minta agar melakukan sesuatu. Dan setelah ingatan itu ia melihat kejadian yangy sama seperti yang pernah ia lihat di televisi. Kekerasan. Pria itu mendorong ibunya terjatuh dengan begitu kuat. Ia tersedak oleh tangisnya sendiri. Ia tidak berani melakukan apapun untuk muncul dan membela. Bahkan tangannya saja tidak be

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sweethyunee
#1
Chapter 14: TT
Sweethyunee
#2
Chapter 13: Pertemuan mereka berdua bikin mewek TT
Sweethyunee
#3
Chapter 12: Baekhyun benar2 putus asa sampai bohong gitu
Sweethyunee
#4
Chapter 11: Sehun disini menghibur banget wkwk
Sweethyunee
#5
Chapter 10: Uwah udah nggak sabar mereka ketemu :-)
Sweethyunee
#6
Chapter 7: Chat nya dyo sama sulli kok lucu ya hehe
Sweethyunee
#7
Chapter 8: Sehyun sama Baekhyun sama2 menderita TT
Sweethyunee
#8
Chapter 9: Wah bentar lagi mungkinkah??
Sweethyunee
#9
Chapter 6: Kyak nya ntar chanyeol suka sama sehyun??
Sweethyunee
#10
Chapter 5: Sehyun juga merindukan baekhyun sebenarnya. Duh pengen cepet2 baca chap pas baekhyun ketemu lagi sama sehyun TT