0.3

Fidélité
Please Subscribe to read the full chapter

♬ Sunny Hill - Pray

 

 

Sehyun tidak pernah berharap akan selamanya bersikap seperti itu pada orang-orang di sekolah. Bersosialisasi dengan mereka hanya membuang waktunya—nah. Apa selama ini dia tidak pernah membuang waktu? Chill. Bagiku hidupnya yang hopeless itu sudah lebih dari pada membuang waktu jadi salahkan dirinya. Ia yang tidak bisa melakukan semuanya sendiri, memang agak egois.

Kegiatannya, bagi orang lain mungkin itu merupakan sebuah rutinitas membosankan. Ia tidak memiliki banyak motivasi dalam menjalani hari-harinya yang monoton. Karena seiring dengan berputarnya jarum jam, semua itu berlalu begitu saja.

Mengeluh, untuk apa mengeluh? Ia hidup dengan enak dan nyaman di rumah. Mengomel? Pada siapa ia akan mengomel sedangkan melawan atau membuat pertengkaran tidak pernah, sedangkan ia tidak memiliki banyak orang untuk bisa diajak berinteraksi. Jadi, jangan menyalahkan apapun pada dirinya. Jikalau ia memang memilih rutinitas hidup hidup yang seperti itu, bukan hanya dia, Tuhan juga ikut campur tangan dalam hal itu.

Takdir, sesuatu yang mereka sebut hal mutlak itu tentu menjadi hal logis jika kehidupannya seperti itu. Mereka hanya perlu menutup mulut, katakan, itu takdirnya. Dia juga yang memilih. Tidak usah mencampuri urusan orang lain atau mengambil perhatian pada kehidupannya. Dan ia bertanya pada diri sendiri, siapa mereka, berani mengatur hidupnya?

Apa dengan membully sesuatu yang pantas? Dan baiklah, membully-nya mereka kira itu juga jalan kehidupan yang mereka pilih.

***

Pukul lima sore selalu terasa lebih cepat. Jarum panjang menunjukkan kalau ia pulang lebih cepat lima menit dari biasanya. Ketika ia akan membungkuk meletakkan sepatunya di dalam rak, hal yang selalu akan ia lakukan adalah mandi, mengganti pakaian, dan menghampiri ibunya di toko. Ya, salah satu yang bisa disebut rutinitas membosankan.

Ia hanya akan membantu hal-hal kecil atau melayani pelanggan dan mengantar bunga jika tempatnya dekat. Jadi itu semua tidak terlalu berat.

'Kau baik-baik saja hari ini 'kan?'

Itu. Salah satu hal yang selalu ditanyakan ibunya begitu melihat ia datang. Malam hari mendengarnya menangis, suara isakan dan mata yang kadang terlihat bengkak, ibunya tahu semua itu. Dan Sehyun tidak pernah sekali pun bercerita. Ia juga tahu kenapa. Selama jika di rumah baik-baik saja, jadi ibunya tidiak perlu khawatir sedikitpun. Karena memang selama ini, ibunya tidak pernah khawatir. Alangkah lebih baik jika ia bisa hidup sendirian dan anaknya yang tidak punya semangat hidup atau tujuan hidup tinggal dengan orang lain saja.

'Ya.' jawaban yang juga selalu sama. Nada yang sama. Disertai tatapan yang sama. Hanya itu.

'Kukira hari ini kau akan ke rumah Sulli. Bukannya dia mengajakmu makan malam di rumahnya?' ibunya mengingatkan sesuatu, ia yang baru saja memasang sebuah sarung tangan karet di tangan kanannya terdiam. Kemudian beralih menatap ibunya dengan tatapan lekat. Mengingat-ingat sesuatu dalam kepalanya secara acak. Ia tidak memiliki ingatan yang terlalu dapat diandalkan.

'Ah, ya. Iya. Sulli. Dia mengajakku makan malam,' selanjutnya ia terdiam begitu telintas ingatan undangan makan malam itu, perlahan melepas kembali sarung tangan karetnya. Sementara seorang wanita yang sekarang berdiri dihadapannya menghela nafas berat.

'Dia sekali-sekali mengajakmu ke rumahnya. Harusnya kau berterima kasih. Minho dan Sulli sudah menganggapmu sebagai adik mereka sendiri. Jadi, datanglah.'

'Aku terlalu baik untuk bisa ikut dengan hobinya yang wah, dia mau membuang uangnya untukku,' Sehyun membayangkan apa yang kali ini akan dilakukan Sulli saat ia datang memenuhi undangannya. Minho bertunangan tiga tahun lalu dengan wanita itu, Minho yang mengenalkannya pada Sulli. Dan Sulli menyukai Sehyun. Mereka akan menikah bulan depan. Mereka berdua mulai menganggapnya seperti adik atau teman mereka. Atau bahkan sahabat tapi, Sulli, dia suka membelikan hal-hal tidak penting untuknya. Kotak sepatu dan pakaian baru yang cantik menumpuk di kamarnya. Itu semua dari Sulli. Sulli menyayanginya tapi ia tidak mau seperti itu. Sulli akan mendandaninya untuk ikut pergi makan dan jalan-jalan saat Minho pergi bekerja, ia tidak tahu kalau menurut adalah hal yang baik. Sulli melakukan hal yang diperbuat oleh seorang kakak yang baik tapi ia juga tidak mau. Karena ia masih tidak tahu terlalu menurut pada Sulli baik atau tidak?

Sulli memiliki seorang adik yang harus meninggal karena sebuah kecelakaan. Dan ia memperlakukannya seperti itu karena menurut Sulli ia begitu mirip dengan adiknya yang sudah tidak ada. Ia tidak mau. Ya, hanya karena itu. Tapi terkadang rasa kasihan juga membuat ia pasrah kalau Sulli sudah sangat putus asa.

Jadi malam itu, ia beralasan harus belajar ketika Sulli dan Minho sendiri yang datang menjemputnya.

***

Lagi, makan siang yang tidak tenang. Seminggu berlalu, ia tidak datang ke kantin dan memutuskan untuk hanya membeli sebuah roti dan yoghurt di kantin lalu makan di tempat lain. Di taman sekolah atau pulang sekolah di sebuah kedai kecil di luar sekolah saat jam pulang. Karena, Sehun,—ia ingat nama pemuda ini pertama karena mereka sekelas dan kedua karena yoghurt itu, dan ketiga temannya yang lain, ia tidak tahu nama mereka dan tidak peduli.—mereka membuntutinya. Mereka mencarinya. Dan Sehyun sadar hal itu.

Selama seminggu ini, ia merasa diperhatikan oleh lebih dari seseorang. Ketika ia belajar di perpustakaan, seperti ada orang yang mengintip melalui rak-rak buku, saat ia sedang membeli minuman di kantin, seperti ada orang yang menoleh-noleh dari balik mesin minuman. Saat ia sedang berjalan keluar kelas untuk mencari tempat makan siang, ada yang mengintainya. Itu terjadi semenjak kejadian bekal makan siangnya yang tumpah itu.

Jadi untuk hari ini, ia akan makan siang di meja tempat ia biasanya makan. Otomatis, semua mata di kantin seperti magnet. Semua langsung merasakan aura berbeda jika ia ada di sini.

'Jadi kesimpulannya dia memang bukan penguntit?' Kyungsoo—mereka memanggilnya agar lebih keren dengan Kyungsoo—memelankan suaranya, berbisik pada Sehun yang langsung mengangguk berlebihan dan mata melotot.

'Benar!'

'Apa saja yang kalian berdua lakukan?' Chanyeol ikut bertanya, sekali sekali mata mereka bertiga mengarah sejurus ke arah orang yang mulai duduk ditempatnya itu dengan tenang.

'Jadi, aku dan Kai memantau rutinitasnya di sekolah, ngebosenin banget! Dia cuma makan siang, baca buku, ke toilet, lalu, aku sempat ngintip isi lokernya juga, gaada barang berharga apapun!' tukas Sehun dengan ekspresi sedih menutupi kedua matanya dan menggeleng frustasi, merasa kalah akibat perkataannya minggu lalu. 'Oh Sehun tidak boleh diperlakukan seperti ini,' dan akhirnya ia mendapat dua gelengan kepala dari hyungnim-nya. Chanyeol menggeleng kasihan pada Sehun sementara Kyungsoo hanya tersenyum pahit merasakan betapa sia-sianya usaha dua head itu. Ia juga menoyor kepala Sehun.

'Yah, sekarang kaulah yang penguntit di sini, hahaha.' tawanya mengejek dengan wajah tanpa ekspresi. Sehun jadi menyeka hidungnya yang sudah berlendir karena sedih, hanya mengangguk karena itu adalah sebuah deretan kalimat fakta.

Lalu beberapa saat kemudian, Kai datang membawa makan siang pesa

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sweethyunee
#1
Chapter 14: TT
Sweethyunee
#2
Chapter 13: Pertemuan mereka berdua bikin mewek TT
Sweethyunee
#3
Chapter 12: Baekhyun benar2 putus asa sampai bohong gitu
Sweethyunee
#4
Chapter 11: Sehun disini menghibur banget wkwk
Sweethyunee
#5
Chapter 10: Uwah udah nggak sabar mereka ketemu :-)
Sweethyunee
#6
Chapter 7: Chat nya dyo sama sulli kok lucu ya hehe
Sweethyunee
#7
Chapter 8: Sehyun sama Baekhyun sama2 menderita TT
Sweethyunee
#8
Chapter 9: Wah bentar lagi mungkinkah??
Sweethyunee
#9
Chapter 6: Kyak nya ntar chanyeol suka sama sehyun??
Sweethyunee
#10
Chapter 5: Sehyun juga merindukan baekhyun sebenarnya. Duh pengen cepet2 baca chap pas baekhyun ketemu lagi sama sehyun TT