SideStory Final - Hyomi vs Woobin

The 'You' to Me

Author pov

 

“Ah jinjja?? Kau yakin temannya itu tampan, tinggi, dan stylish?” Kim Hyomi menarik – narik lengan Kimmi, sahabatnya ketika mereka sedang berjalan menuju coffee shop sebelah kampus.

“Nee. Aku sudah melihatnya sendiri, dia tampan. Kau tidak akan kecewa” Kimmi menepuk bahu Hyomi. Hyomi mengangguk.

 

Kimmi duduk di hadapan Jongsuk, sementara Hyomi duduk di hadapan Woobin. Hyomi melirik sekilas Woobin. Sejauh ini dia cukup puas melihat penampilan Woobin yang memenuhi standarnya. Lebih malah.

“Ini temanku Woobin” ucap Jongsuk. Kimmi dan Hyomi menoleh dan membungkuk kecil. Woobin tersenyum dan balas membungkuk.

“Park Kimmi” Kimmi tersenyum.

“Kim Hyomi” Hyomi tersenyum juga. Woobin mengangguk.

“Kim Woobin”

 

**

 

“Aaah... jadi mereka bertujuan meninggalkan kita disini?” komentar Woobin sambil mengaduk kopinya.

Hyomi berseru ‘Yes!’ dalam hati. Tapi dia memasang tampang pura – pura terganggunya.

“Awas Kimmi... ku cukur habis rambutnya” Hyomi menyesap kopinya. Woobin terkekeh. Hyomi menoleh. “Wae?”

“Ani. Ah.. ngomong – ngomong kau kuliah jurusan apa?” tanya Woobin. Dia menyilangkan kakinya. Sejujurnya dia tidak tertarik dengan Hyomi dan perbincangan ini. Tapi Jongsuk memaksanya tanpa mau mengatakan alasan sebenarnya.

“Seni, kau?”

“Psikologi”

Hyomi hanya mengangguk. Dia tidak bodoh. Dia tau Woobin tidak tertarik padanya. Dari tadi pria itu hanya menatap keluar jendela atau bermain dengan ponselnya. Hyomi menghela nafas.

 

Pria ini tampan, pintar, dan stylish.. dia juga tinggi. Tapi dia cuek dan dingin sekali. uh...

 

Hyomi menggigit bibir bawahnya. Dia tidak betah dengan kesunyian. Apalagi dengan orang yang tidak di kenalnya.

“Chogi, apa aku boleh keluar duluan? Aku ada urusan” ucap Hyomi akhirnya.

“Ah ne.. nee.. hati – hati” jawab Woobin tanpa memandang Hyomi. Hyomi menghela nafas. Jengkel. Dia berdiri sambil membawa cup kopinya dan pergi.

 

**

 

“Yaa! Dimana kau letakkan matamu huh??!”

Hyomi membentak Ara yang tidak sengaja menabraknya. Matanya mendelik menatap Ara yang sedang mengusap pantatnya.

“Kau ini berisik sekali sih?!” balas Ara sambil berdiri.

“Salahmu kenapa kau berjalan tanpa membawa otakmu!” seru Hyomi sambil membersihkan pakaiannya.

“Yaa! Apa maksudmu huh! Kau itu selalu lebih bodoh dariku, beraninya kau mengatakan seperti itu” protes Ara. Alis Hyomi bertaut mendengarnya.

“Ha! Lihat sendiri dirimu! Kau tidak punya orang tua kan? Hah! Pantas saja tidak diajarkan tata krama dan cara bicara pada orang lain, kau gadis rendahan” cibir Hyomi. Ara terdiam.

“Memangnya kenapa kalau tidak punya orang tua? Aku bukan anak manja yang hanya mengandalkan uang orang tuanya untuk bersenang – senang seperti kau! Lagipula kau seharusnya malu pada dirimu. Kau punya orang tua dan saudara – saudaramu yang bisa mengajarkan sopan santun padamu, tapi lihat tingkah lakumu, seperti anak buangan pinggir jalan yang tidak pernah dengar kata ‘tolong, permisi, dan maaf’!” seru Ara. Emosinya selalu terpancing setiap kali mendengar kata orang tua.

“Kau!” Hyomi geram. Tangannya terangkat siap menampar Ara.

“Hey”

Mata Hyomi membelalak melihat tangannya di tahan oleh seorang pria.

“Kau ini wanita. Bersikaplah seperti wanita” ucap Joongki dingin.

“Lepas!” Hyomi menarik tangannya. “Siapa kau huh?! Jangan ikut campur urusanku!” seru Hyomi menatap sengit Joongki. Joongki hanya menatapnya malas.

“Aku temannya. Ada masalah?” Joongki menunggu reaksi Hyomi. Hyomi hanya diam. “Kalau tidak, aku ada keperluan dengannya. Kusarankan kau jangan mencari masalah dengan Ara. Kecuali kau ingin berurusan denganku” Joongki berbalik dan menarik tangan Ara. Ara menoleh pada Hyomi dan memeletkan lidahnya. Hyomi menggertakan giginya kesal.

 

Sebuah smirk tercipta di bibir Woobin ketika melihat pertengkaran antara Hyomi dan Ara. Awalnya dia tidak peduli, tapi melihat Joongki yang datang membela Ara, Woobin seperti mendapat ide di kepalanya.

“Wae?” tanya Jongsuk yang melihat smirk Woobin. Matanya mengikuti pandangan Woobin. “Aaaa... ahaha.. kurasa sekarang kau bisa melihat langsung wajah hyungmu itu huh?” Jongsuk terkekeh sambil membuka lokernya.

Woobin hanya tersenyum. “Kau punya nomor gadis itu?” tanya Woobin.

“Siapa?”

“Gadis membosankan yang kemarin kau tinggalkan denganku di kedai kopi” jawab Woobin. Jongsuk membuang nafas. Satu perbedaan besarnya dengan Woobin adalah soal perempuan.

Jongsuk bukan tipe orang yang akan memanfaatkan perempuan untuk mencapai obsesinya. Dia hanya akan mendekati gadis yang benar – benar disukainya. Woobin kebalikan dari itu. Selama 3 tahun dia bersama Woobin mencari Joongki, Jongsuk sama sekali tidak pernah melihat Woobin tertarik pada gadis manapun.

“Aku tidak. tapi kurasa Kimmi punya” jawab Jongsuk. “Namanya Hyomi. Ingat itu. Ku harap kau tidak bermain dengan perasaannya. Dia sahabat kekasihku” Jongsuk menepuk bahu Woobin.

“Aisshh.. palli!” Woobin tidak sabaran. Jongsuk mendecak kesal dan menelpon Kimmi. Setelah beberapa saat. Dia memberikan nomor ponsel Hyomi pada Woobin. Woobin smirk.

“Yeoboseo? Kim Hyomi?” Woobin menatap Hyomi di ujung koridor yang sedang menempelkan ponselnya di telinga. “Ah aku Woobin. Apa sore ini kita bisa keluar?”

 

**

 

Hyomi mengerutkan keningnya ketika menunggu Woobin menjemputnya. Dia agak kaget ketika Woobin menelponnya dan mengatakan ingin jalan. Hyomi awalnya ingin menolak mengingat bagaimana pria ini memperlakukannya di saat pertama mereka bertemu. Tapi pada akhirnya dia memutuskan memberi Woobin kesempatan.

Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kaca penumpang terbuka. Hyomi menoleh.

“Masuklah, cuaca dingin” Woobin muncul. Hyomi tersenyum dan masuk.

 

Bahkan membukakan pintu mobilpun tidak. benar – benar ya orang ini..

 

Omel Hyomi dalam hati. Tapi dia mengalah dan diam.

Woobin tidak banyak bicara selama perjalanan.

“Kita mau kemana?” tanya Hyomi.

“Uhm... kau mau kemana? Sebenarnya aku tidak ada rencana, hanya ingin mengajakmu pergi saja” jawab Woobin. Hyomi membuang nafas.

“Uhm... kau mau ke taman hiburan? Kebetulan sedang ada festival di Myungdeong dan ada taman hiburan disana” usul Hyomi. Pinggir bibir Woobin terangkat.

“Geure. Ayo kesana” dan Woobin mempercepat laju mobilnya.

 

Woobin dan Hyomi sampai ke taman hiburan. Hyomi berdiri dan menatap mainan – mainan di sana. Kemudian kios – kios yang menjual berbagai barang dari makanan hingga mainan. Memori masa kecilnya terputar seketika. Woobin memperhatikan wajah Hyomi. Satu alisnya naik melihat cengiran di wajah Hyomi tiba – tiba hilang.

 

“Eomma! Appa! Lihat! Aku menang main tembak – tembakan dan aku dapat balon!” Hyomi berlari ke arah ayah dan ibunya. Mereka langsung memeluk dan menggendong Hyomi.

“Aigooo.. anakku ini cerdas dan hebat sekali!” appa nya mengelus rambut Hyomi dan mencubit pipi anak semata wayangnya itu.

“Eomma sudah membawa bekal, ayo kita piknik ne? Pasti akan menyenangkan” eomma nya tersenyum dan mereka berjalan mencari tempat yang enak untuk makan.

 

“Yaa~” Woobin menggoyangkan tangannya di depan wajah Hyomi. Hyomi mengedipkan matanya beberapa kali.

“Eoh? Ah.. mian hehe, ayo masuk” Hyomi menarik tangan Woobin. Woobin hanya terkekeh. Matanya menangkap tangannya yang sedang di tarik Hyomi. Dia memutar bola matanya.

 

Please..

 

Woobin menghembuskan nafas. Merasa kelakuan Hyomi annoying, tapi dia harus bersabar agar misinya tercapai.

 

Hyomi mencoba meraih satu boneka kelinci di rak paling atas. Tapi tangannya tidak sampai padahal dia sudah mengenakan sepatu hak tingginya. Dia menghembuskan nafas kecewa. Baru saja dia berbalik. Tapi langkahnya terhenti ketika di hadapannya ada dada laki – laki. Hyomi mendongak.

Woobin berdiri di depannya. Tangannya meraih boneka yang tadi ingin di ambil Hyomi. Hyomi merasakan pipinya memanas ketika menyadari jaraknya dan Woobin sangat dekat.

“Kau mau ini?” tanya Woobin. Wajahnya datar sambil menatap Hyomi. Hyomi mengangguk. “Ini” Woobin tersenyum tipis dan memberikan pada Hyomi.

“Ah.. gomawo” Hyomi tersenyum dan menerima boneka itu. Dia berjalan ke kasir dan mengeluarkan dompetnya. Tapi baru saja dia akan mengeluarkan uang, sebuah kartu terpampang di depannya. Hyomi menoleh.

“Aku yang bayar” Woobin menepuk kepalanya. Hyomi tersenyum. Pipinya agak merona.

“Gomawo Woobin-ah” Hyomi terkekeh sambil menatap boneka itu.

“Kau seperti tidak pernah punya boneka saja” komentar Woobin. Mereka menemukan bangku kosong dan duduk disana.

“Ah, soal itu.. bukan. Bukan begitu. Aku tentu punya boneka di rumah. Tapi sepertinya orang tuaku terlalu sibuk sehingga tidak pernah ingat untuk memberiku boneka.. hm.. sayang sekali, padahal dulu mereka selalu membelikanku boneka” Hyomi menghembuskan nafas.

“Begitukah? Hm.. ah apa tidak apa – apa aku mengajakmu keluar hingga larut?” tanya Woobin. Matanya menatap tajam Hyomi. Hyomi tidak menatapnya tapi Woobin tau dia tersenyum.

“Tidak apa – apa. Toh kalaupun aku tidak pulang mereka tidak akan tau” jawab Hyomi sambil memainkan telinga bonekanya. Woobin terdiam.

“Kau-”

“Ayo kita keliling, masih banyak yang ingin ku mainkan” Hyomi segera berdiri dan menarik tangan Woobin. Woobin menatap wajah Hyomi yang tersenyum padanya. Dia tersenyum. Benar – benar tersenyum.

“Apa yang mau kau mainkan huh?” Woobin berdiri dan mengikuti Hyomi masuk kembali.

 

**

 

“Kau tau? Awal aku bertemu denganmu sewaktu di kafe itu, aku kesal padamu. Kau cuek dan mengabaikanku begitu saja, tapi ku rasa kau tidak buruk dan kau menyenangkan” Hyomi tersenyum pada Woobin. Woobin mengantarnya pulang.

“Yaa~ aku baru mengenalmu hari itu, selain itu aku sedang ada urusan” balas Woobin. Hyomi terkekeh.

“Aku masuk dulu ne, hati – hati di jalan. Hari ini menyenangkan. Terimakasih” Hyomi melambaikan tangannya dan keluar dari mobil. Woobin membalas lambaian tangan itu dan melajukan mobilnya.

“Heh..” Woobin menggaruk rambutnya. “Kalau bukan karena kau kenal dengan gadisnya Joongki, aku tidak akan sudi bicara denganmu” ucap Woobin.

 

Woobin memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Rumahnya bersama Jongsuk. Mereka memutuskan untuk tinggal bersama demi mengurangi pengeluaran.

“How’s the date?” suara Jongsuk menyambutnya ketika baru masuk rumah.

“Date my ..” jawab Woobin. “Aku hanya butuh dia untuk mengorek keterangan tentang gadis Joongki” Woobin melepas mantelnya. Jongsuk menghembuskan nafas.

“Kau kejam sekali..” komentar Jongsuk. Woobin terkekeh.

“Kejam? Dia saja yang terlalu bodoh sehingga masuk ke perangkapku dengan mudah” jawab Woobin.

“Hati – hati Woobin... karma does exist” jawab Jongsuk. Dia mengambil ponselnya. Mengobrol dengan Kimmi tentunya.

“Kau benar – benar menyukai temannya itu huh?” tanya Woobin. Satu tangannya memegang mug berisi cokelat hangat.

“Yap.. bukan karena ingin memanfaatkannya” Jongsuk berguling di karpet. Matanya masih menatap layar ponselnya. Terkadang dia tersenyum sendiri atau tertawa.

“Itulah yang membuatmu lemah. Perasaan seperti itu tidak seharusnya di tanggapi”

“Mmoya?” Jongsuk menegakkan duduknya. Menatap tajam Woobin. “Kita memang satu tujuan disini dalam hal Joongki dan teman – temannya, tapi untuk urusan perasaanku pada Kimmi, ini bukan urusanmu” Jongsuk berdiri dan masuk kamarnya. Woobin hanya menggeleng heran.

“Perasaan. Cih..” Woobin terkekeh sinis.

 

**

 

Woobin mengintip ke kelas Hyomi. Dia harus secepatnya membuat Hyomi menjadi kekasihnya agar semakin cepat mendapatkan informasi.

Sebuah tepukan membuatnya menoleh.

“Kau mencariku?” Hyomi di hadapannya dengan tatapan bertanya. Tangannya memeluk beberapa buku. Woobin mengangguk. “Ada apa?” tanya Hyomi.

“Uh..” Woobin mengingat kata – kata yang sudah di siapkannya semalam. “Bisa bicara di tempat lain.. ini agak pribadi” Woobin menarik tangan Hyomi. Hyomi hanya menatapnya penuh tanya.

Sampai di tangga dimana tidak ada orang mereka berhenti.

“Wae?” tanya Hyomi lagi.

“Uh.. kau mau jadi pacarku?” tanya Woobin langsung. Mata Hyomi membola.

“Mwo?!” tanya Hyomi tidak percaya. “Yaa, jangan bercanda dalam hal ini ne? Perasaanku bukan mainan” Hyomi berkacak pinggang. Dari kemarin dia jalan dengan Woobin, dia merasa Woobin tidak punya ketertarikan padanya. Dia sendiri bingung kenapa Woobin mau mengajaknya jalan.

“Aku serius” Woobin menatap tajam Hyomi. Hyomi menunduk. Dia sebenarnya tidak yakin, tapi mengingat beberapa hal yang dilakukan Woobin untuknya kemarin dia tersenyum.

“Ne.., aku mau” jawab Hyomi. “Tapi jangan acuhkan aku” sambungnya. Woobin tersenyum.

“Tentu”

 

Aha. Sudah kuduga, ini semua mudah..

 

Batin Woobin. Matanya membesar ketika merasakan sepasang tangan melingkari pinggangnya.

Hyomi memeluknya.

“Aku hanya akan memberikan satu kesempatan. Jangan kecewakan aku ne?” ucap Hyomi. Woobin menelan ludahnya. Dia tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Dia memutar matanya.

“Nee nee..” Woobin menepuk kepala Hyomi. Hyomi tersenyum senang.

 

**

 

Hyomi berjalan ke dapurnya, memperhatikan figur yang sedang bermain game di ponsel. Hyomi tersenyum kecil melihatnya. Dia berjalan ke meja dapur dan membuat segelas cokelat hangat.

“Kau terlihat serius sekali uh?” Hyomi meletakkan cangkir cokelat hangat itu di depan Woobin. Woobin terkekeh. Matanya masih terpaku ke layar ponselnya. “Kau datang ke rumahku hanya untuk bermain game? Uh.. aku sedih” Hyomi pura – pura ngambek. Di menopang dagunya dengan tangan dan menatap keluar jendela.

 

Hah.. this girl is seriously..

 

Umpat Woobin dalam hati. Dia meletakkan ponselnya dan menatap Hyomi. Matanya menangkap cangkir yang tergeletak di depannya. Tatapannya melembut melihat cokelat hangat itu.

“Gomawo” jawab Woobin. Dia sedikit tidak terbiasa dengan perlakuan hangat seperti itu.

“Hm.. aku melihatmu selalu beli di luar.. kurasa aku bisa membuatkannya untukmu” Hyomi tersenyum dengan lembut padanya. Woobin menelan ludahnya. Dia tidak mau merasakan sesuatu yang paling dihindarinya.

“Hey, aku melihatmu bertengkar beberapa waktu lalu dengan seorang gadis berambut panjang” ucap Woobin. Dia harus mengorek keterangan sebanyaknya dari Hyomi.

“Uh?” Hyomi mengerutkan keningnya sesaat. “Aaa... Jung Ara maksudmu?” tanya Hyomi. Ekspresi wajahnya berubah jutek. Woobin smirk. “Dia gadis yang sangat menyebalkan. Aku benci dia semenjak masa orientasi”

“Wae?” tanya Woobin. Topik ini semakin menarik. Dan melihat bagaimana Hyomi membenci Ara membuat semuanya terasa lebih mudah bagi Woobin.

“Kau tau.. kalau aku ingin jujur.. sebenarnya aku iri” Hyomi menggigit bibirnya. “Aku iri.. dari awal semua orang sangat perhatian padanya. Dia punya banyak sekali teman. Semua perhatian hanya untuknya. Aku tidak mengerti apa yang dia punya sehingga semua orang sangat menyayanginya, bahkan orang yang pernah kusukai pun suka padanya. Itu membuatku gila dan aku benci itu”

Alis Woobin terangkat sebelah. “Kau iri padanya?”

Hyomi mengangguk. “Kau tau.. aku sangat bersyukur kedua orang tuaku masih ada. Tapi mereka terlalu sibuk. Bahkan untuk wisuda ku ketika lulus SMA pun mereka tidak datang. Mereka dan bisnis mereka” Hyomi menelan ludah. “Jung Ara anak yatim piatu. Dia tinggal sendiri di apartemennya. Tapi dia punya dua orang sahabatnya. Mereka selalu melindungi Ara. Dia punya seorang pria bernama Joongki”

Woobin seketika menoleh.

“Pria itu selalu bersama Ara dan menjaganya. Aku sendiri tidak tau apa hubungan mereka. Tapi kurasa keduanya saling mencintai..” sambung Hyomi. Dia tidak menyadari ekspresi wajah Woobin sudah berubah.

“Jadi kau membencinya? Sangat membencinya?”

“Hm” jawab Hyomi sambil mengangguk. “Kau tau.. melihat semua perlakuan orang lain terhadap Ara.. aku menyadari sesuatu.. sesuatu yang ku cari selama ini..” Hyomi menyentuh tangan Woobin. Woobin tercekat ketika Hyomi menggenggam tangannya.

“A-Apa yang kau cari?” tanya Woobin. Dia tidak nyaman menerima semua perlakuan Hyomi.

“Aku hanya ingin merasakan cinta dan kasih sayang dari orang lain”

Smirk di wajah Woobin runtuh. Rasa sesak menjalari dadanya. Otaknya berteriak hal yang sama dengan Hyomi. Woobin menyadari beberapa hal pada dirinya sama dengan Hyomi.

Dia ingin disayangi dan dicintai orang lain. Dia membenci Joongki tidak semata – mata karena harta warisan. Tapi semenjak neneknya mengumumkan jika semua warisan jatuh ke tangan Joongki, Woobin seolah kehilangan kedua orang tuanya dan juga neneknya. Mereka semua sibuk memperhatikan Joongki. Mengajaknya berjalan – jalan, atau sekedar makan bersama. Sedangkan dia? semuanya dilakukan sendiri. Dia bahkan mendaftar sekolahnya sendiri. Hal itu membuat Woobin tumbuh dengan rasa benci yang amat sangat pada Joongki.

Woobin menatap Hyomi. Hyomi memandangi tangannya yang menggenggam tangan Woobin.

 

Mianhada..

 

Woobin menatap tangannya dan Hyomi. Untuk sekali ini saja. Woobin membalas genggaman tangan Hyomi. Membuat gadis itu tersenyum manis.

 

**

 

“Mmoyaaa...” Hyomi mengeluh malas ketika Woobin menariknya ke salah satu kafe. Hyomi sedang tidak ingin pergi. Dia ingin di rumah dan tidur. Semalam dia tidak cukup tidur karena tumpukan tugas – tugasnya.

“Aku punya rencana.. kau akan menyukainya” Woobin memesankan secangkir cokelat hangat untuknya dan secangkir latte untuku Hyomi.

“Rencana apa ooh? Setelah kau menunjukkan kalau kau shifter apa lagi rencanamu? Aku lelaah.. aku mau tidur..” Hyomi merebahkan kepalanya di meja kafe. Woobin mendecak kesal.

“Aisshh.. ireona” Woobin menegakkan duduk Hyomi. Rambut Hyomi terjatuh di wajahnya. Dia menatap malas Woobin.

“Tukar..” Hyomi menarik mug cokelat hangat Woobin dan menukar dengan punyanya. Woobin baru akan protes, tapi Hyomi sudah meminum cokelatnya.

“Aigoo.. this girl..” Woobin menggelengkan kepalanya. “Geure, dengarkan baik – baik” Woobin menarik kursinya mendekat. Hyomi menatapnya malas. “Aku berencana membunuh Joongki dengan menggunakan Ara sebagai umpan”

Mata Hyomi membesar mendengarnya.

“Otte?” tanya Hyomi. Sebuah smirk kemenangan tercipta di bibir Woobin.

 

**

 

Satu tamparan mendarat di pipi Ara. Dari tangan Hyomi. Ara menggigit bibirnya karena kesal tidak bisa berbuat apa – apa. Tangannya terikat sementara Hyomi bebas menampar ataupun menjambak rambutnya. Ara bersumpah dalam hatinya jika dia bebas dia akan mencukur habis rambut Hyomi dan membuat memar di seluruh wajah Hyomi.

“Hah.. aku tidak menyangka hari ini akan datang juga” Hyomi menatap bangga pada Ara yang terduduk di bawah pohon. Menunggu untuk diikat, di jadikan umpan.

“Kau bahkan tidak bisa membalas dendammu sendiri, cih. Memalukan” jawab Ara.

Satu tamparan lagi mengenai pipinya.

“Kau itu pengecut. Hanya bisa menamparku kalau aku tidak berdaya. Hah.. menjijikan sekali kau” komentar Ara kembali. Emosi Hyomi semakin tersulut. Jika saja Woobin tidak datang dan mengatakan dia akan menggantung Ara di pohon tepi jurang, Hyomi pasti sudah menamparnya kembali.

Woobin menarik ikatan tali Ara, memastikan ikatan itu sudah kencang sebelum berbalik dan menarik Hyomi untuk bicara.

“Yaa~, sudah ku bilang dia hanya umpan, kita tidak bisa membunuhnya sebelum Joongki datang” bisik Woobin. Hyomi mengangguk. Tangannya melingkari pinggang Woobin.

“Woobin” panggil Hyomi.

“Apa?”

“Kalau nanti aku akan terbunuh, apa kau akan menolongku?” tanya Hyomi. Matanya menatap lurus pada Woobin.

Woobin terdiam. Sejujurnya pertanyaan Hyomi membuatnya bingung. Dia ingin menjawab tidak, tapi jika seperti itu, maka Hyomi tidak akan membantunya lagi.

Seandainya dia menjawab Iya, dia juga ragu apa akan benar – benar melakukannya.

“Wae? Kenapa kau tidak menjawabnya?” tanya Hyomi lagi. Dia mulai kawatir. Sedikit keraguan mulai merayapinya. “Apa kau-”

“Mereka datang” Woobin menoleh ke padang rumput dan melepaskan pelukan Hyomi di pinggangnya. Hyomi terdiam seketika. Rasa sesak menjalarinya. Cara Woobin melepaskan tangannya seolah menjawab pertanyaannya. Hyomi menatap sedih pada Woobin yang bicara pada Jongsuk dan Jongin, mereka memberi tanda agar Hyomi mendekat. Hyomi menghela nafas dan mendekat.

 

Hyomi pov

 

Aku bertarung melawan Hyesan. Well.. sebenarnya aku agak tidak percaya diri mengingat kemampuannya selama ini. Woobin dan Jongsuk memang sudah melatihku untuk bertarung, tapi aku tidak pernah benar – benar tau kemampuan Hyesan. Sekuat apa dia, secepat apa dia, dan teknik serangannya. Tapi satu hal yang ku sadari selama berkelahi satu lawan satu dengannya, defense-nya kuat sekali.

Berkali – kali aku menendang, menyerang, menonjok, atau mencoba menyelengkatnya, dia selalu berhasil mematahkan seranganku dan membalasnya. Tentu tidak semua balasannya kena. Tapi hal itu cukup menguras energiku. Aku heran melihatnya yang seolah tidak pernah kehabisan energi. Apa dia benar – benar mesin petarung?

Satu tendangan dari Hyesan membuatku terjatuh. Perutku terasa sakit dan ngilu. Mataku menangkap Woobin yang sedang bertarung dengan Joongki. Dia dan Joongki terlihat imbang dan tidak tau siapa yang akan menang. Sebuah semangat seolah merasukiku. Aku tidak mau kalah. Aku harus membantu Woobin.

Aku sadar aku mencintai Woobin. Tapi aku sendiri ragu apa dia benar – benar merasakan hal yang sama. Sejak awal kami pacaran, dia tidak pernah benar – benar bertingkah romantis ataupun berinisiatif memulai sesuatu. Semuanya selalu aku. Bahkan ketika bertengkar, aku yang selalu mengalah padanya. Ketika dia marah, sakit, atau sedih, aku selalu ada untuknya. Untuk menghiburnya. Tapi sekalipun dia tidak pernah tau atau sadar kapan aku sedih, kapan aku sakit, dan kapan aku marah. Dia selalu sedingin es.

“Kenapa kau membantu Woobin?” tanya Hyesan di tengah – tengah pertarungan kami. Aku tersenyum mengejek padanya dan melayangkan tinju yang di tangkis kembali olehnya.

“Karena aku membenci Jung Ara dan... dan aku peduli pada Woobin” jawabku. Aku ragu mengucapkan aku hanya peduli pada Woobin. Tentu itu bohong besar. Semua ini lebih dari sekedar peduli.

“Kau mencintai Woobin” jawab Hyesan.

“Tidak” Aku menyangkalnya. Aku tidak bisa terlihat lemah di hadapan Hyesan. Perutku berdenyut ngilu ketika satu tinjuannya mengenai perutku. “Aku hanya peduli padanya” sambungku.

“Benarkah? Kau tidak mengakuinya karena kau tau Woobin tidak mencintaimu” Hyesan mengeluarkan smirknya. Seketika dadaku berdenyut sakit.

 

Woobin tidak mencintaiku..

 

Aku seperti tersiram air dingir mendengar pernyataan Hyesan. Dia dan smirk brengseknya. Aku benci melihatnya seperti itu. aku tidak mau melihatnya menang. Tapi seluruh sistem syarafku terpaku pada pernyataannya bahwa Woobin tidak mencintaiku. Aku akui, dia berhasil menghancurkan hatiku dengan mengatakan Woobin tidak mencintaiku.

Dan hatiku berseru bahwa dia benar.

“Jangan asal bicara kau!” seruku melayangkan tendangan ke wajah Hyesan. Hyesan menghindar ke samping dan membalasnya dengan satu sabetan di tengkukku. Aku merasakan gejolak rasa sakit yang luar biasa. Dan semuanya tiba – tiba gelap.

 

**

 

Woobin pov

 

Brengsek. Kuakui kemampuan Joongki meningkat drastis dari terakhir kali aku berkelahi dengannya. Dia lebih cepat dan mulai bisa membaca gerakanku. Aku tidak tau jatuh cinta bisa membuat orang senekat dan sekuat ini.

Persetan dengan jatuh cinta. Aku tidak butuh itu semua. Yang pasti harus terjadi adalah aku harus memenangkan pertarungan ini dan membunuhnya. Dengan itu seluruh keluarga akan tau siapa yang lebih pantas menerima warisan itu. Dan terutama orang tuaku. Aku ingin mereka sadar bahwa anak mereka jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada Joongki yang selalu mereka banggakan.

Untung saja Hyomi mau membantuku. Dengan sedikit sikap manis dan rayuan, dia sangat mudah untuk di mintai tolong. Cih. Semudah itu orang lain melakukan sesuatu untukku. Aku sadar sepenuhnya bahwa dia mencintaiku. Tapi maaf, Hyomi. Aku tidak merasakan hal yang sama.

Aku mendapat pria bernama Kim Jongin. Hah. Dia juga mudah sekali di dapatkan. Aku tau betul dia sudah jatuh cinta pada gadis bernama Jung Ara. Dia kecewa sekali melihat Ara yang dekat dengan Joongki. Jadi tidak sulit membuatnya menolongku membunuh Joongki. Sebagai gantinya kukatakan Ara pasti akan beralih padanya setelah Joongki mati.

Sebuah gigitan di perutku membuat staminaku menurun drastis. Titik kelemahanku adalah perut. Rasa sakit langsung menjalari tubuhku. Darahku dan Joongki membasahi rumput di padang ini. Aku tau kemungkinan aku akan kalah.

Tapi aku tidak mau kalah.

Joongki berlari mengejarku yang berlari ke arah pohon tempat Ara ku gantung dan ku ikat. Joongki terhenti ketika melihatku berubah ke wujud manusiaku. Joongki berubah mengikutiku. Aku mengeluarkan sebilah pisau dan menempelkannya di tali yang menggantung Jung Ara. Aku tau ini akan membuatnya lemah. Aku tidak peduli apa harus membunuh gadis ini atau tidak. Yang penting Song Joongki mati.

“Mendekatlah, kau ingin melihat kepergian gadismu bukan?” aku memandangnya penuh kemenangan. Wajahnya memucat dan dia terlihat tegang. Rupanya gadis ini benar – benar berharga untuknya.

“Woobin..”

“Apa? Kau masih tidak mau menyerahkan warisan keluarga kita? Hah.. ternyata kau labih memilih warisan itu daripada gadismu” aku mengatakan itu untuk menjatuhkan mental gadis ini. Aku agak kesal melihatnya tetap menatap Joongki penuh harap. Yang aku mau, gadis ini mempertanyakan ketulusan Joongki dan mereka mulai bertengkar. Tapi sepertinya rencana ini agak gagal.

“Tidak. Tapi aku tidak bisa membiarkan orang sepertimu memiliki semua itu. kau bahkan tidak pantas berada di keluarga ini” jawab Joongki yang sukses mendidihkan darahku.

“Ah.. sayang sekali huh? Sepertinya ini hari terakhir kau melihatnya” aku mendekatkan pisau itu. Mata Joongki melebar. “Ucapkan selamat tinggal pada Jung Ara” aku menggerakan tanganku.

“YAA KIM WOOBIN!”

Aku mendecak kesal mendengar seruan dari arah sampingku. Aku mengalihkan pandanganku. Mataku membesar melihat gadis itu. Hyesan? Atau siapapun itu, yang jelas dia gadisnya Haneul. Dia sedang menginjak Hyomi yang terikat di tepi jurang. Wajahnya.. membuatku ingin membunuhnya dan mencabiknya menjadi potongan kecil.

Aku benci melihat smirknya. Dan yang membuatku panik dan takut adalah teriakan minta tolong Hyomi padaku. Aku benar – benar tidak mengerti apa yang terjadi padaku sehingga dadaku berdetak sangat cepat melihat Hyomi seperti itu. Aku benci mengakuinya. Tapi aku takut Hyesan akan melempar Hyomi ke jurang.

“Kau potong tali itu dan ucapkan selamat tinggal juga pada Hyomi” ucap Hyesan. Jantungku semakin cepat.

Tidak. Ini semua di luar rencanaku. Fokus. Aku harus fokus. Jangan perdulikan Hyomi. Dia bukan orang yang penting untukmu, Woobin.

“Perempuan sialan” satu makian dariku keluar. Entah apa yang menggerakan bibirku.

“Kau lepaskan Ara, dan aku akan memberikan Hyomi padamu” ucap Hyesan.

Aku semakin panik mendengarnya bicara begitu. Dari wajahnya dia terlihat tidak bermain – main. Tapi aku tidak boleh terlihat lemah di hadapannya.

“Buang saja dia, aku tidak peduli padanya” ucapku. Dadaku seketika terasa sesak. Apa benar aku tidak peduli padanya? Otakku terasa kacau dan aku tidak bisa berpikir dengan baik. Wajah Hyomi yang penuh air mata. Aku... aku tidak bisa melihatnya seperti itu.

“Oh benarkah? Wah..” Hyesan menarik Hyomi berdiri. Hyomi menangis sesenggukan. “Dengar itu Hyomi? Dia bahkan tidak peduli jika kau mati, benar kan ucapanku? Hanya kau yang mencintainya. Tapi dia tidak” ucap Hyesan.

Mataku membesar mendengarnya. Rasa bersalah menyelimutiku seketika. Hanya dia yang mencintaiku dan aku tidak. Nafasku tercekat di tenggorokan. Aku ingin marah padanya karena bertingkah sok tau tentang perasaanku. Aku terkesiap melihatnya merendahkan pegangan talinya pada Hyomi dan membuat Hyomi semakin rendah menatap jurang.

“Woobin! Woobin tolong aku!” seru Hyomi sambil terisak. Teriakannya semakin membuat denyut sakit di dadaku bertambah. Aku.. aku tidak tau apa yang harus ku perbuat. Aku harus membunuh Ara tapi aku tidak mau Hyesan membunuh Hyomi.

Aku tidak mau Hyomi mati. Aku tersentak melihat Hyesan semakin merendahkan pegangan talinya. Hyomi menjerit.

“YAA!” seruku. Frustasi.

“Lepaskan Ara” suara Joongki menyadarkanku. Dia melangkah mendekat. Aku menatapnya bergantian dengan Hyomi.

Tiba – tiba sekelebat ingatan lewat di pikiranku.

Aku tidak bisa kehilangan Hyomi. Dia yang selalu merawatku, dia yang memperhatikan makanku, dia yang selalu ada ketika aku marah. Dia yang menjagaku ketika aku lemah setelah bertarung. Dia yang mengobati semua luka – lukaku. Dia yang selalu ada untukku. Aku menggertakan gigiku kesal. Nafasku naik turun. Tidak. aku tidak mau kehilangan Hyomi.

“Aku tidak akan kalah” gumamku. Dengan satu gerakan cepat aku memotong tali yang menggantung Ara dan berlari ke arah Hyesan dan melompat menjadi serigala.

“ARA!!” seru Joongki yang shock melihat Ara terjatuh.

Aku tidak lagi mendengar jeritan mereka ataupun teriakan putus asa mereka. Seluruh otakku terfokus untuk menolong Hyomi. Aku sedikit tertolong ketika perhatian Hyesan teralih ke Ara. Perempuan sialan ini harus membayar semuanya. Semua ketakutanku.

Aku mendorongnya dengan satu kakiku dan menarik tali yang mengikat Hyomi dengan mulutku. Aku membawanya dengan cepat masuk ke hutan. Aku berhenti dan menurunkan Hyomi yang masih menangis. Aku berubah dan menghampirinya.

Aku tidak banyak bertanya ataupun memikirkan hal lain. Aku segera membebaskan ikatannya.

“Naik ke punggungku” ujarku kemudian berubah kembali menjadi serigala. Hyomi tidak bicara apa – apa. Dia hanya segera naik ke punggungku. Aku berlari sekuat tenaga. Kembali ke kota. Yang terpenting sekarang yang harus kulakukan adalah mengantarnya pulang. Dia terluka banyak.

 

**

 

Aku tidak ingat apa yang terjadi denganku tadi ketika sampai di pintu rumahnya. Tapi ketika aku membuka mata, yang kulihat pertama kali adalah langit – langit berwarna jingga. Aku berada di kamar Hyomi.

“Kau sudah sadar?”

Aku menoleh mendengar suara itu. Hyomi duduk di sebelah tempat tidur yang ku tiduri. Matanya bengkak seperti habis menangis. luka – luka di tubuhnya sudah di obati. Aku terdiam melihat ekspresi wajahnya. Dia tersenyum. Tapi senyumnya seperti dipaksakan. Wajahnya sendu dan suaranya serak. Aku benci melihatnya seperti ini. Aku mengangguk. Aku memperhatikan tangan dan tubuhku. Semua lukanya memang sudah mulai pulih berkat kemampuanku menyembuhkan diri. Tapi jelas sekali beberapa luka di obati Hyomi. Dan ada perban yang menutupi lenganku. Aku terdiam.

Dia masih merawatku setelah mendengar aku tidak mencintainya ataupun peduli padanya. Dia tetap memaksakan tersenyum padaku dan menungguku hingga aku sadar.

Rasa bersalah menyelimutiku kembali. Seketika ada rasa sakit yang teramat di dadaku. Aku tidak pernah menerima perlakuan seperti ini. Ini semua terasa salah sekaligus benar.

“Aku-”

“Ku mohon..” kata – kataku terputus ketika mendengarnya bicara. “Aku mohon padamu, jangan mengatakan kalau kau tidak mencintaiku atau tidak peduli padaku.. aku tau semua itu. aku hanya tidak ingin mendengarnya..” Hyomi menatapku. bibirnya bergetar. Lalu setitik air matanya jatuh.

“Aku tidak ingin hidupku seperti ini... sudah cukup dengan kedua orang tuaku.. sekarang kau. Apa aku sebegitu berdosa sehingga semua orang meninggalkanku dan mengacuhkanku? Apa aku salah jika aku hanya ingin orang lain mengerti perasaanku dan menyayangiku? Apa aku salah mengharapkan itu semua?” Hyomi mulai terisak. Dadaku sesak. Dan mataku terasa panas.

“Aku.. aku hanya ingin diperhatikan oleh orang lain.. aku ingin mereka peduli padaku.. aku ingin hidup tenang dan bahagia. Aku ingin pergi bersama orang yang menyayangiku. Aku tidak perlu diajak pergi makan malam mewah ataupun belanja pakaian mahal... aku hanya ingin pergi dengannya ke satu tempat dimana dia memelukku dan mengatakan dia sangat menyayangiku.. aku hanya ingin tertawa bersamanya sambil makan permen kapas.. atau melihatnya berjuang memenangkan boneka di pasar malam untukku.. aku ingin dia menggandeng tanganku dan memastikan aku aman bersamanya. Aku ingin dia membunuh orang – orang yang mencoba menyakitiku.. aku ingin dia melindungiku.. menjagaku, dan merawatku.. aku hanya ingin itu semua..” tanganku terangkat hendak menyeka air matanya. Tapi dia menepis tanganku. Dan dadaku semakin sakit.

“Berhentilah Woobin kumohon... katakan sejujurnya kalau kau tidak mencintaiku ataupun tertarik padaku. Semua ini sangat menyakitkan.. mengetahui kau hanya di manfaatkan oleh kekasihmu.. oleh orang yang kau sayangi, oleh orang yang kau pedulikan.. dan oleh orang yang kau cintai..”

Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku ingin meredakan emosinya. Aku ingin dia berhenti menangis. Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan. Aku salah. Aku benar – benar salah.

Aku melukai gadis ini. Sangat dalam. Dia benar, aku tidak seharusnya menggunakannya untuk membalas dendamku.

“Pulanglah ketika kau pulih.. aku tidak akan mengganggumu lagi setelah itu.. aku tau kau tidak mencintaiku” Hyomi bangkit.

“Hyomi..” panggilku. Dia tidak menggubrisku dan keluar. Menutup pintu kamarnya.

Aku terdiam. Mataku terpejam. Aku mencoba menenangkan diriku untuk menghadapinya nanti. Semua ingatanku bersamanya meledak di pikiranku secara bersamaan. Dan rasa sesak ini semakin menyakitkan. Tenggorokanku terasa panas dan aku ingin berteriak. Aku kecewa pada diriku. Aku benar – benar marah dan menyesal.

Seharusnya aku bisa mengerti bagaimana perasaannya karena pada dasarnya dia sama denganku. Aku juga ingin di perhatikan.. aku ingin di sayangi.. aku merasakan semua hal yang diinginkannya. Semuanya sama persis. Aku tidak tau menyadari setitik air mataku mengalir ketika mengingatnya.

Mengingatnya membalut luka – lukaku. Mengingatnya tersenyum senang ketika pertama kali aku mengajaknya pergi. Mengingatnya memelukku dengan hangat. Mengingatnya menggenggam tanganku dan tersenyum dengan lembut.

“Apa yang sudah kulakukan...”

Aku menarik rambutku frustasi. Rasa sakit di tubuhku bahkan tidak ada apa – apanya di banding rasa sakit di hatiku. Aku memang monster. Aku mencoba membunuh seseorang bersamaan dengan aku menghancurkan hati orang lain.

Padahal dia selalu ada untukku.

Keduanya.

Song Joongki dan Kim Hyomi. Mereka orang – orang yang benar – benar menyayangiku.. mereka orang – orang yang benar – benar memperhatikanku. Tapi aku membuang semua itu karena termakan egoku. Aku membuang sesuatu yang kucari. Aku begitu bodoh.

Aku memejamkan mataku. Mencoba tidur untuk menenangkan pikiranku. Aku menarik nafas panjang dan mengeluarkannya. Menelan ludahku yang terasa semakin pahit.

Kali ini aku tidak mau kehilangannya. Aku tidak mau kehilangan Hyomi dan melakukan kesalahan yang sama.

Aku tidak mau kehilangan orang yang ku cintai lagi..

 

**

 

Author pov

 

Hyomi memejamkan matanya di sofa. Dia tidak mau tidur di tempat tidur atau di kamar lainnya. Dia ingin tidur di sofa. Tapi syarafnya tidak mau bekerja sama dan membuatnya tetap terjaga. Suara langkah kaki membuatnya harus berpura – pura tidur. Langkah kaki itu semakin mendekat hingga Hyomi merasakan seseorang duduk di karpet. Di hadapannya.

“Hm.. kenapa kau tidur disini?” suara Woobin. Hyomi mengenalinya dengan baik. Dia sedang tidak ingin melihat Woobin. Dia takut jika melihat Woobin, dia akan semakin sedih atau sakit.

Hyomi merasakan Woobin bangkit dan berjalan menjauh. Dia tetap berdiam dan mengembuskan nafasnya. Suara langkah kaki kembali terdengar. Hyomi terenyak ketika merasakan sesuatu menutupi tubuhnya. Dia akui dia memang agak kedinginan. Tapi dia tetap tidak menyangka Woobin akan menyelimutinya. Terlebih lagi Woobin mengira dia sudah tidur.

Sebuah tangan mengelus rambutnya perlahan. Hyomi tetap diam. Berpura – pura tidur. Dia ingin tau apa yang akan Woobin lakukan ketika dia tidur.

“Kau bisa sakit jika tidur disini..” Woobin menghembuskan nafas. “Aku takut kalau memindahkanmu ke tempat tidurmu, pasti kau akan bangun” Woobin kembali bicara. Hyomi tetap diam.

“Hey.. aku ingin mengatakan sesuatu. Aku.. aku tidak tau apa kau mau mendengarnya ketika kau bangun, tapi ku harap kau memang tidur sehingga tidak mendengarnya” Woobin menatap lembut Hyomi sambil mengelus rambutnya.

“Aku menyesal melibatkanmu ke hidupku. Hidupku berantakan, tidak berarti, dan hanya mendatangkan masalah. Tidak ada orang yang benar – benar membutuhkanku atau menginginkanku ada. Aku tetap hidup dalam dendam atas semua yang ku terima di masa lalu karena Joongki. Tapi itu semua sudah tidak penting sekarang” Woobin berhenti mengelus rambut Hyomi dan hanya memperhatikan wajah Hyomi.

“Aku minta maaf karena melukaimu sangat dalam. Aku minta maaf karena berpura – pura mencintaimu selama ini. Aku sudah merenungkannya tadi..” Woobin terkekeh. “Aneh memang, orang sepertiku bisa merenung.. Aku memang tidak ada sedikitpun perasaan padamu ketika awal kita pacaran. Tapi semakin lama aku merasakan sesuatu yang berbeda. Dan aku menyadari, aku bukannya tidak memiliki perasaan padamu, tapi aku terus menyangkal perasaanku padamu. Hingga aku tidak sadari, ternyata aku memang sudah mencintaimu..” Woobin menelan ludahnya.

“Aku dan kau sama. Kita sama – sama ingin perhatian orang lain... ingin kasih sayang orang lain.. tapi aku malah melakukan hal bodoh. Aku justru membuang semua hal yang kuinginkan hanya untuk dendam. Dan aku menyesali itu. Kau pasti sangat membenciku. Tidak apa – apa. Toh semua memang salahku,

Aku tau kau hanya memberiku satu kesempatan. Dan aku menyia – nyiakannya. Sekarang aku tidak punya siapa – siapa lagi” Woobin tertawa miris. “Aaah.. andai aku boleh minta satu hal sebelum aku mati, aku ingin satu kesempatan terakhir darimu.. aku tidak bisa berjanji untuk selalu melindungi atau menjagamu.. atau memberikan apapun yang kau mau.. aku hanya bisa berjanji untuk selalu menyayangi dan mencintaimu, aku minta maaf..” Woobin menyeka air matanya. “Oh untung kau tidak lihat. Aku benci ketika ada orang yang melihatku menangis. Aku sungguh memalukan” Woobin terkekeh. Dia mengusap air matanya.

“Tidur yang nyenyak.. maafkan aku.. aku mencintaimu” Woobin menunduk dan mengecup kening Hyomi.

 

Hyomi membuka matanya ketika merasakan Woobin berdiri dan melangkah menjauhinya. Dia menatap sosok tinggi yang memasuki kamarnya. Rasa sesak itu kembali muncul. Kali ini diiringi rasa takut.

Hyomi tidak tau apa dia harus mengambulkan harapan Woobin setelah hatinya terluka parah. Tapi di sisi lain dia ingin memercayai perkataan Woobin barusan. Kedua hal yang bertentangan itu sibuk berusaha mendominasi pikiran dan keputusan Hyomi.

Hingga akhirnya salah satunya menang.

“Woobin..” Hyomi menyeka air matanya. Dia menghela nafas menenangkan dirinya dan mencoba tidur.

 

**

 

Hyomi terbangun di pagi hari. Jam menunjukkan pukul 8 ketika dia membuka mata. Hyomi menguap dan bangun. Matanya melihat selimut yang di berikan Woobin padanya semalam. Dia menghela nafas dan tersenyum. Pagi ini, dia ingin melihat Woobin. Hyomi berharap Woobin belum pergi.

Hyomi berjalan membuka pintu kamarnya. Dia terdiam melihat kamarnya sudah rapi. Seprai sudah terganti, bantal dan guling sudah tertata rapi. Jendela kamarnya sudah terbuka.

Seketika dadanya berdenyut sakit. Woobin sudah pergi. Dan Hyomi tidak yakin apa dia masih bisa bertemu lagi dengan Woobin. Dia menyesal kenapa semalam tidak jujur kalau dia tidak tidur dan memberikan jawaban atas pertanyaan Woobin.

Hyomi mengusap wajahnya letih. Dia kembali ke ruang tengahnya dan duduk. Memeluk selimut yang di pakaikan Woobin semalam. Hyomi kini mencoba menerima kenyataan kalau tidak akan ada lagi Woobin dalam hidupnya.

Bel di pintu membuyarkan lamunannya. Hyomi membenarkan rambutnya dan berjalan ke pintu.

“Ne, nuguya?” jawab Hyomi sambil membuka pintu.

Matanya membesar.

Woobin berdiri di depan pintunya. Wajahnya terlihat gugup dan seolah kehilangan kata – kata.

“Woobin...” Hyomi menatap nanar Woobin.

Woobin membuka bibirnya. Mencoba mengatakan sesuatu.

“A.. Ini.. tadi pagi aku ingin membuatkan makanan untukmu dan pergi setelah itu. Tapi kulkasmu kosong.. jadi aku.. uh..”

Senyuman Hyomi mengembang melihat Woobin mencoba mengatakan sesuatu. Matanya melihat dua tas plastik berisi belanjaan di tangan Woobin. Hyomi tersenyum. Menyadari Woobin tidak pergi. Menyadari Woobin tidak bermaksud lain selain berbelanja. Dan kini pria tampan itu mencoba menjelaskan sesuatu padanya.

“Kau beli apa?” Hyomi tidak mau mengingat sakit hatinya kemarin lagi. Tangannya mengambil alih belanjaan Woobin dan membawanya ke dapur. Woobin terdiam melihat Hyomi yang tersenyum padanya dan membawa tas belanjaan itu ke dapur. Sedikit rasa lega mulai masuk ke dadanya. Dia mengira Hyomi akan menyuruhnya pergi dan membawa belanjaan itu. Tapi tidak.

Woobin menunduk. Senyumannya mengembang. Dia masuk dan menutup pintu. Hyomi terus mengoceh bertanya apa yang di belinya, apa dia kedingingan ketika berjalan di pagi hari, apa dia membeli bla.. bla.. bla..

Woobin duduk di hadapan Hyomi, satu tangannya menopang dagunya. Matanya terus menatap lekat Hyomi yang mengeluarkan belanjaan itu satu persatu.

Hyomi terhenti ketika menyadari Woobin tidak bereaksi. Dia menoleh dan mendapati Woobin tengah menatapnya lekat sambil tersenyum. Senyum yang tidak pernah dilihat Hyomi sebelumnya.

Dan dia tau, memberi kesempatan kedua untuk Woobin bukan pilihan yang salah. Dia kembali mengoceh dan bertanya ini-itu pada Woobin. Sementara Woobin tidak mendengarkan dan hanya menatapnya dengan senyuman.

 

This annoying .. I love her sooooo much...

 

Woobin terkekeh mendengar Hyomi mengomel padanya karena tidak memperhatikan tanggal kadaluarsa beberapa makanan yang di belinya.

 

I’ve found my peace.. in her arms..

 

TBC

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
VanillaCreamCookie #1
sumpah thor, aku ngefans banget sama Jongsuk dan disini Jongsuknya manis banget. duh beruntung banget itu si Park Kimmi...
friedrice #2
Chapter 3: baru baca sampe chap 3.. bentar ya meninggalkan jejak dulu hahahahaha xD
btw gue jadi agak sensitif dengan lalat..................................
friedrice #3
Chapter 2: uhuhuhuhuhuhuh joongkiii >/////<
friedrice #4
Chapter 1: LALAT................................................ PUHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA
karinoooy #5
Chapter 12: whooooaaaa sidestory nyaaa daebaaak (y)
tsubakitheshawol
#6
Eh ada Park Kimmi yang asli.. si nabilsey
nabilsey #7
Chapter 10: Omg! Kill me right now pls.
delevaprilla #8
Chapter 8: Uwooooo~
Thanks you for updating faster
좋아 XD
Next (y) ^^
delevaprilla #9
Chapter 7: Lanjut lahh.. XD cuss (y)
nabilsey #10
Chapter 5: Wuhuhuhu ternyata kimmi dengan lee jongsuk? Kampret gue gatau!! #brbsearching
Btw daebak thor ceritanya!!!!! Keep writing :D