7. Yang paling dibenci: banyak

Being The Tyrant Girlfriend
Please Subscribe to read the full chapter

Aku memiliki musuh di mana-mana saat ini. Sehingga di kelas pun rasanya seperti ada yang membuat hawa ruangan ini panas. Menoleh ke belakang tatapan menggertak semua anggota grup Nana dan teman-temannya terarah padaku, aku kembali menoleh ke depan sambil menelan ludah berat. Mereka serius. Ya, mereka serius. Aku juga bisa mencoba untuk serius demi menghadapi bahaya yang tak bisa kuprediksi ke depannya nanti.

Tatapan mereka ibaratkan sebuah laser yang berniat menghangus gosongkanku.

Untungnya saat bel pulang sekolah, selesai mencampakkan buku-bukuku ke dalam tas, aku langsung ngacir pergi untuk menjemput Jaewoo—termasuk bersiap mana tahu ada orang yang iseng menungguku di loker, pintu gerbang sekolah, dan semacamnya.

Dan ternyata semua itu tidak ada. Membuatku menghela nafas seakan-akan telah terbebas dari sesuatu yang membahayakan nyawa.

"Minwoo."

Perjalananku yang baru menginjak sepuluh menit ke sekolah Jaewoo tidak semulus seperti yang kubayangkan. Kalian tahu siapa orang dengan sepeda motor dan helm yang menghentikan langkah kakiku di trotoar. Lantas mata yang membelalak menjadi sambutanku atas sapaan Hanbin.

"Oh—hai." entah kenapa rasanya begitu janggal untuk menyapa pacarku sendiri. Tatapannya tak pernah lepas dari jenis tatapan bosan entah tatapan muak pada orang-orang. Itu sedikit banyak membuatku menemukan alasan kenapa menyapa Hanbin bukanlah sebuah hal yang wajar.

Saat kuperhatikan lagi, dia mengenakan jaket dan kaos hitam di dalamnya serta celana jins.

Dia masih diam pada detik selanjutnya sambil menatapku, aku menoleh ke kenan dan kiri tak mendapati orang yang memperhatikan si Tyrant bersama dengan pacarnya. Dia mau ke mana?

"Kau mau aku naik?" tanyaku, tatapan matanya yang tak ingin mengeluarkan sepatah kata pun kian menjadi. Aku baru sadar, pemuda ini mana mau berboros kata dengan hanya memberikanku ancaman demi ancaman melalui matanya. Ya, aku tidak tahu kenapa bisa ada orang seperti ini, padahal tidak ada salahnya berkata: 'Ayo, naik.'.

"Aku harus menjemput adikku, ingat?" kataku dan dia pun melepas helmnya.

"Lalu kenapa kemarin kau bisa datang menemuiku?" dia langsung memasang ekspresi mengenai perkataanku yang sepertinya menyulitkannya. Bukannya aku yang harusnya merasa kesulitan? Itu pun ditambah dengan terpaksa mengeluarkan uang jajan untuk membeli sebatang coklat agar bisa menemuimu dan malah mendapati diri dengan nekat-nekatan menghampiri kelompok berandalan. Ugh, aku jadi merinding mengingatnya.

"Aku mengantarkan adikku dulu ke halte,"

"Kelas berapa dia?"

"Kelas satu SMP di Daesan."

"Dan dia tidak bisa pulang sendiri?"

"Uh—itu—bisa sih, cuma—ibuku nanti..."

"Bisa kau berhenti mengkhawatirkan semua hal di dalam kepalamu? Naik."

"Tunggu sebentar." aku memasang ekspresi tak rela untuk pergi dengannya, yah kalau memang ceritanya akan sama seperti kemarin. Ponsel yang kukeluarkan dari saku jas sekolah lalu dinyalakan untuk menelepon ibuku. Dia langsung menjawab panggilanku dan menyapa.

"Ya... Aku sudah pulang sekolah... Jaewoo mungkin baru pulang... Ya, ya... Tapi, aku ingin pergi bersama teman pulang sekolah ini... I—i...ya sih, laki-laki... Bobby? Uh, kurasa... Oke, aku tahu, aku tahu, bu... Jam 7? Ya, baiklah. Sampai jumpa, bu."

Setelah memutus panggilannya, aku pun memajukan langkah kaki untuk menerima tumpangan Hanbin. Mungkin dia mau membawaku pergi ke suatu tempat. Kalau bertanya kurasa tidak ada kemungkinan jika Hanbin akan menjawab.

Sepeda motornya pun melaju kencang, memaksaku—yah mau tidak mau harus melingkarkan tangan di pinggangnya.

Tiba-tiba sesuatu yang terbersit di kepalaku saat ini membuat sudut bibirku tertarik membentuk senyuman yang kupaksa untuk ditahan. Aku langsung teringat akan mimpi indah yang kualami kemarin. Tak kusangka aku sungguh naik motor berdua dengan Hanbin walaupun ini adalah sore hari dan di mimpiku adalah malam hari. Aku pun merasakan sengatan hangat pada kedua sisi wajahku, mulai meremas jari sendiri akibat rasa geram pada pemikiranku saat ini.

Selama perjalanan aku sampai tak terfokus pada rute perjalanan yang kami lewati. Yang jelas terakhir kali aku mengecek jam adalah pukul 5 lebih beberapa menit. Dan sekarang, sepeda motor Hanbin berbelok melalui sebuah rute gang sepi dengan sebelah kananku adalah tembok yang tinggi. Ia menabrakkan begitu saja sepeda motornya pada sebuah pagar kawat rusak lalu kembali melaju ke dalam dengan tekstur jalan yang tak mulus penuh bebatuan.

Saat kami masuk, aku mulai mengedarkan pandanganku ke segala arah. Bangunan tua bertingkat bekas kebakaran membuatku mengeratkan peganganku pada Hanbin. Apa dia mau melakukan uji nyali berdua denganku di tempat ini?

Namun pikiran itu kutepis kala penglihatanku kini menangkap banyak kendaraan serupa terparkir bahkan mobil berbagai warna mencolok berada di sini. Orang-orang yang mendengar kedatangan kendaraan Hanbin kompak menoleh. Kalau kuasumsikan sendiri, mereka mungkin anak putus sekolah, bolos sekolah, atau mungkin yang sudah tamat sekolah namun memilih berkumpul-kumpul ke tempat seperti ini—tunggu... atau mungkin—m-mungkin mereka semua adalah bagian dari aliansi kejahatan Hanbin?! Ya Tuhan, jika kemarin aku masih bisa bermain pedang-pedangan dengan Jaewoo saat ini mungkin aku akan bermain dengan senjata sungguhan. Semua tampang mereka menakutkan bahkan beberapa sampai memiliki luka goresan di bagian wajah. Aku juga menyadari kalau bukan hanya aku perempuan di sini namun kami terlihat begitu kontras karena mereka memakai pakaian robek atau bahkan pakaian yang kekurangan bahan.

"Hei, B.I. Kau datang, kawan." seorang pemuda menghampiri Hanbin yang sudah memarkirkan sepeda motornya. Aku terpaksa melepas peganganku yang sudah gemetaran sendiri sejak tadi. Siapa yang dia sebut B.I? "Oooh... Pacar?" matanya menatapku dengan seringaian yang tidak dapat kukategorikan apa maksudnya.

"Tentu saja." Hanbin terdengar menjawabnya dengan datar setelah ia membuka helm. Dia hendak turun sehingga aku memutuskan untuk turun juga, mendapati banyak pasang mata merasa tertarik dengan kehadiranku. Aku bersumpah aku tidak ingin tahu siapa mereka.

Pemuda itu bertepuk tangan dengan kekehan, "Oh, ayolah. Apa pendiam, imut, dan manis adalah tipemu?"

"Donghyuk." Hanbin menggeram, ketika aku meliriknya, tatapan yang dapat membuang jiwa siapa saja ke neraka sedang ditujukan pada si Pemuda bernama Donghyuk.

"Entahlah, Hanbin. Oke, kenapa kau datang? Setelah memecat diri sendiri dari acara ini?" topik akhirnya teralihkan, Donghyuk pun bersandar pada sepeda motor yang terparkir di sebelah milik Hanbin.

"Hiburan."

"Ohh, sekarang kau yang menikmati acaranya..."

"Ya? Jadi kau menggantikanku dengan siapa?"

"Mino dan Mark tidak lebih baik darimu jadi, kau bisa kembali kapan pun kau mau. Aku bisa melipat gandakan tarif kemunculanmu per sesi. Semua orang merindukan si Defender Karismatik B.I,"

"Kapan pun aku mau? Kuterima. Ayo, Minwoo." Hanbin kemudian berjalan pergi, membuatku ikut untuk melangkah di sebelahnya mau tak mau. Sama sekali belum menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab tempat macam apa ini. Dari percakapan Hanbin, aku masih belum menemukan jawabannya.

Memerhatikan lagi kondisi sekitarku, ada banyak coretan berseni dari pilox di dinding, itu pun mencoret asumsiku kalau tempat ini pastinya bukan tempat uji nyali, melainkan kumpulan orang jahat. Satu fakta lagi; aku mungkin adalah bagian dari mereka juga.

Hanbin melangkah lagi memasuki gedung yang semakin nampak menyeramkan ini, kanan kiri hanya ada tumpukan benda rongsok bekas kebakaran dan kaca jendela yang tak memiliki daunnya. Sebuah koridor kecil dan bau terlewati, aku menutup hidung lalu meraih tangan Hanbin. Kukira dia akan menepisnya namun dia membiarkanku menggenggam tangannya.

"Hanbin,"

"Nanti. Oke?" ia menjawab dengan nada kesal.

"Oke..." aku menelan lagi pertanyaanku. Kini kami menaiki tangga yang hanya di beri penerangan lampu berwarna kuning remang. Di luar sana sudah mau gelap saja, aku pun meraih ponsel dan mendapati kalau ini adalah pukul 17:32. Mengantonginya kembali, perasaanku sudah mulai tidak karuan. Pikiran negatif mendominasi kepala selama langkah kaki yang kubuat mengikuti Hanbin di sebelahnya.

Tiba-tiba saja, Hanbin berhenti. Kurasa baru satu lantai yang terlewati selama kami menapaki anak tangga. Dan di sini, di tengah-tengah anak tangga, di bawah cahaya oranye itu dia menatapku—marah, kesal, dan semua yang buruk-buruk terpancar di sana. Bukan seperti milik Bobby yang bercahaya bahkan kalau bisa ia pun patut memiliki sepasang sayap dan cincin di atas kepalanya manakala ia tersenyum menatapku.

"Kenapa kau tidak melakukan apa yang kau katakan?" untuk ke sekian kalinya dari hari kemarin pertanyaan itu terlontar darinya.

"Aku melakukannya, tapi baru bisa besok saat kau masuk sekolah."

"Siapa yang memasangkan eyelinermu?"

"Ibuku." kenapa dia mesti bertanya padahal itu sama sekali tak penting.

"Sejenak kukira Bobby yang memasangkannya."

"Bobby?" aku mengulang namanya. Hanbin pun menatapku kian datar.

"Dari semua orang dan kau hanya bisa berteman dengannya." ia membeberkan fakta, tapi aku segera membalas.

"Kau tahu apa yang terjadi padaku di sekolah sampai saat ini 'kan?" bisa memiliki teman seperti Bobby saja kuanggap aku sudah lebih dari beruntung, sebuah anugerah.

"Sampai saat ini, belum."

Aku menangkap sesuatu dari pernyataannya.

"Ah, Jinhwan belum bergosip denganmu."

Hanbin mendelik, aku pun merasa harus menarik perkataanku namun aku tidak melakukannya. Saat itu juga aku pun teringat sesuatu. "Oh, ya. Kau membiarkan Jinhwan membullyku. Kenapa? Kau tahu apa yang kuinginkan dan aku juga menuruti kata-katamu, kenapa kau malah—kau membiarkan temanmu membullyku?"

Hanbin sempat diam. Perlahan rautnya berubah karena ingin tertawa garing atas perkataanku. "Kau pikir aku benar-benar mengatakannya?"

"A-apa? Tapi iya, Jinhwan bilang begitu," aku pun perlahan mulai menautkan alis menyatukan cerita. Jadi... itu hanya karangan bebas Jinhwan? Apa jebakan yang berniat ia pasang padaku? Semua tindak tanduk anak itu sulit dimengerti. "Kenapa dia tidak takut padaku? Kenapa dia mengancamku?"

"Dan kenapa kau banyak bertanya? Besok aku sudah masuk sekolah."

"Kau harus jamin Jinhwan tidak akan memiliki niat jahat padaku,"

"Nah. Bagaimana jika aku tidak ada?"

"A...ku—aku akan melawannya!"

Setelah kemarin dan sekarang Hanbin membentuk sebuah senyuman dari parasnya yang tampan itu. "Baguslah."

"Aku memang sedang coba supaya tidak takut atau... apalah. Tapi bantuanmu itu, termasuk dengan datang ke tempat seperti ini?" aku mengingatkan keberadaan kami sekarang. Tak kuambil perhatian bahwa dari sini samar-samar terdengar dentuman musik dan sorakan banyak orang.

"Ya, tentu saja."

"Kenapa kau membawaku kemari? Dan siapa orang-orang yang ada di bawah sana?"

"Kusebut ini kencan. Sebagian dari mereka adalah temanku—"

"HE-YO, BROTHERS!" suara lantang dari lantai atas sana menghentikan perkataan Hanbin. Ia menatapku kembali, aku mengecil di bawah tatapan itu, aku sungguh tidak tahu apa sebenarnya arti dari ia yang ingin membantuku selain untuk menjadi jahat sepertinya. Kencan dia bilang?

"Acaranya baru akan dimulai." dia langsung saja menggiringku untuk menaiki lagi anak tangganya. Aku menahan seluruh ketakutan itu pada koneksi genggaman tangannya padaku.

Satu-satunya hal yang kuinginkan dengan bersama Hanbin hanyalah mencari kedamaian di mana aku bisa mendapat keseganan dari orang-orang yang mengetahui bahwa aku adalah pacar dari si Tyrant sehingga mereka juga takut padaku. Namun, satu hal, kurasa ia tidak membiarkanku memanfaatkannya dengan mudah karena ia pun memiliki banyak sekali syarat dan walaupun semuanya kuturuti, belum ada barang satu efek yang membuatku merasa lebih baik. Justru sebaliknya.

Dan lagi—Hanbin mengatakan kalau ini adalah sebuah kencan. Maafkan aku tapi kalian juga pasti berpikir kalau ini adalah hal gila. Aku hanya melihat kencan adalah hal di mana kau bisa entah itu melihat bintang, es krim, gulali, berfoto berdua di taman, segala sesuatu yang menyenangkan hingga terlalu jauh untuk bisa mencapai kata 'takut'.

Ini bukan kencan. Karena aku begitu ketakutan saat ini.

Dua lantai lagi terlewati. Kembali mendapati koridor yang dihiasi jendela bolong di sisi ki

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Min, ini tu dibukukan ga ya? Pingin baca sampe tamat
Tikakyu #2
Min?? Okay kah???
Tikakyu #3
Chapter 13: Ga akan udate lagi kan iniㅠㅠㅠㅠ

난 괜찮아 (안괜찮아)
보고싶지 않아 (너무 보고싶어)
Tikakyu #4
Chapter 13: Ahhhh sayang bgt aff sekarang g ada yg updateㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Miss you author-nim 🤍🤍🤍
crunchymiki
#5
Chapter 13: 4000words ga berasa ah weee, bentar kali isss :(((
Note : jinhwan bisa ga si gausa suka ikut campur kaya nasi campur, nyebelin kali kau
Tikakyu #6
Chapter 13: Ihh serius deh, makin cinta ma bobby... ♡u Authornim
Felchey
#7
Chapter 13: Sis, mana mau tengok English version ya?
Tikakyu #8
Chapter 12: Gak tau mau ngomen apa yg jelas sangat sukaaaaa...

Siip lahh
Tikakyu #9
Chapter 11: Ya ampun... Ada kalimat 'apa salah dan dosaku?!' Dan otamatis kata sayang muncul di kepala sambil nyanyi pula.. aigooya
Tikakyu #10
Chapter 10: Ya ampun... hanbin-bobby bener2 gemesin.. ♡♡♡♡
(Emotikon lucu apa ya??)