11. Teman spesialku Bobby

Being The Tyrant Girlfriend
Please Subscribe to read the full chapter

Hanbin mengatur nafasnya, kemudian membuang muka ke kanan dan kembali menatapku lagi. Dia memegang kepalaku lalu menarik ikat rambut yang kupakai secara paksa.

"Aw! Itu sakit!" ringisku merasa perih. Apa mau Hanbin sebetulnya?

"Minwoo,"

Aku mengernyitkan dahiku, "Ya?"

"Aku capek, ayo kita cabut abis jam istirahat nanti."

Astaga...

"Tidak mau!" tolakku tanpa basa-basi.

Mata Hanbin menajam saat menatap mataku. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak goyah di bawah tatapannya. Dia pacarku, dan sudah sepatutnya kalau aku sedikit banyak berusaha membawa ia ke jalan yang benar. Walaupun itu mustahil... "Kau bakal kena masalah nanti, aku tidak mau kau di skorsing lagi..."

"Makanya jangan sampai ketauan." dia mendesis. Mataku mengerjap, menatapnya terus menerus selama beberapa detik berlangsung. "Lupakan." mataku kembali mengerjap saat kini Hanbin malah memilih untuk melangkah pergi.

Apa? Kenapa? Apa yang harus kulakukan? Hanbin kesal padaku, tapi kenapa...

"Hanbin." suaraku keluar begitu saja. Dengan jantung yang berdegup, kutarik nafas dan membuangnya perlahan. Hanbin diam di tempat, badannya berbalik menungguku bicara. Tak memiliki keberanian untuk membalas tatapan matanya, aku memilih untuk menunduk, mengarahkan bola mata pada sepatuku.

"Setiap kali kau memintaku melakukan ini dan itu, aku selalu berpikir kalau semua itu nyatanya memang bertentangan dengan sosok diriku yang sesungguhnya. Aku... bisa sampai pada tahap di mana kedua tanganku bisa melawan mereka yang menargetkanku sebagai korban bulian... semuanya karna kau. Aku sudah sampai sini dan aku gak menyesali apa pun hingga detik ini. Bad boy... dan bad girl style yang kau ingin aku lakukan itu, aku mau melakukannya. Aku dengan senang hati ingin melakukannya berdua denganmu karna aku... a-aku menyukaimu. Tapi—untuk sekarang, ayo kembali ke lapangan, Hanbin!" seruku dengan mata terpejam dan kedua tangan terkepal kuat di sebelah pahaku.

Sedetik... Dua detik... Tiga detik...

Aku membuka mata. Kuangkat kepalaku dan sosok Hanbin masih berada di tempatnya dan menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan.

Aku malu!!!

"Heh..." mendengar suara kekehan, mataku membulat lebar ke arah pemuda di hadapanku sekarang. Hanbin terkekeh dengan tampannya menampakkan deretan gigi-giginya.

"Kenapa kau tertawa?!" rengekku, menghentakkan kakiku ke lantai. Ini memalukan!

"Kau memang manis sekali." Hanbin mendekat, aku semakin was-was melihat langkah dan gerakan yang akan dilakukannya. Sampai lengannya terangkul di pundakku, aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutan yang kurasakan sekarang. "Ayo." Hanbin mulai melangkah, membuatku mengikutinya seperti anak kucing yang penurut. Aku membuang wajah darinya, menahan senyum lebar yang tak mampu kutahan.

***

Aku kadang bertanya-tanya pada diri sendiri. Selama ini, aku selalu memiliki niat yang besar untuk memiliki banyak orang di sekelilingku yang bisa kusebut dengan teman. Lalu tertawa dan berbagi berbagai cerita dengan mereka. Atau memiliki pacar dan kami melakukan hal lovey dovey bersama. Tapi apa poin utama dari semua itu jika aku masih memiliki ketakutan terbesar yang masih bersarang di dalam hatiku? Apalagi dengan Jinhwan yang masih mencapku sebagai target pembuliannya walaupun ia belum melancarkan aksinya secara nyata... Bagai bom waktu, keberadaan pemuda cantik itu sungguh meresahkan.

Lama kelamaan, aku pikir... memiliki teman yang bersedia bertukar pikiran dan saling membela bagiku hanya bisa menjadi angan belaka. Karena sekarang satu sekolah menganggap aku aneh. Aku sedikit banyak mengetahui sejarah Hanbin selama ia bersekolah di sini. Tapi informasi yang kudapatkan sama sekali belum cukup. Mana mungkin aku mengorek informasinya melalui Jinhwan si Pembual Besar (julukanku untuknya banyak juga, ya). Yang aku tau... Dia itu adalah seorang pembuat onar, pembuli dari segala pembuli, dia kejam (terbukti saat dia mengajakku kencan untuk pertama kali waktu itu), dan dia itu memiliki banyak masalah dengan sekolah lain. Kenapa aku hanya mengetahui sisi buruk Hanbin? Kenapa aku tidak mengetahui hal-hal penting mengenai dirinya seperti apakah Hanbin anak tunggal atau dia memiliki kakak atau adik? Apakah Hanbin tinggal sendiri atau masih bersama orang tuanya? Atau yang paling mendasar, apa makanan dan minuman kesukaan Hanbin? Apa Hanbin akan marah jika aku ingin mengetahui semua ini? Aku bahkan tidak tau bagaimana aku bisa menanyakan semua ini pada pemuda itu.

Aku berhenti mengerjakan tugas dan menoleh ke arah kananku. Hanbin juga sedang duduk dan fokus mengerjakan tugasnya. Dia sungguh terlihat tidak seperti seorang pembuli jika aku melihatnya dari sudut pandang seperti ini. Dia nampak seperti... anak sekolah yang tekun, anak sekolah biasa...

"Baiklah. Jam pelajaran saya hampir habis. Saya akan memberikan pekerjaan rumah." guru Bahasa Korea di depan kelas mengalihkan pandanganku dari Hanbin. Satu kelas kompak mengeluh karena pekerjaan rumah yang akan diberikan padahal kami baru aktif bersekolah selama seminggu. "Tugas kalian ada di halaman dua belas."

"Tugas kelompok?" tanya salah seorang di barisan belakang sana.

Aku mengernyit, membaca tugas yang tertera di halaman yang disebutkan.

"Ya, satu kelompok terdiri dari lima orang. Tugas di kumpulkan minggu depan hari Kamis. Mulai membagi kelompok. Selamat siang semua."

"Siang, Miss."

Semua mengiyakan perkataan Miss Jung yang setelah itu langsung keluar dari dalam kelas. Aku menoleh ke arah Hanbin, tentu saja hanya dia atau Bobby satu-satunya harapan agar aku mendapat teman kelompok.

Namun tiba-tiba, dari arah belakangku terdengar suara orang tengah bertepuk tangan. Siapa lagi kalau bukan si Mulut Ember kita yang tercinta—Kim Jinhwan. "Well, well, well. Biar aku yang nentuin kelompok kita. Yaitu aku, Dean, Hanbin, dan Minwoo. Bobby kau ingin masuk ke kelompok kami?"

"Hm, terserah aja."

"Oke, lengkap. Setuju?"

Aku menghela nafas berat. Pasrah sekali rasanya akan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika Jinhwan dan Dean menjadi teman kelompokku. Apa salah dan dosaku?!

"Baiklah, ayo berkumpul dan nentuin siapa yang akan ngerjain tugasnya." ucap Dean dengan mulut asbunnya itu. Dia berada di dekat meja Hanbin sementara Jinhwan dengan santainya meletakkan bokongnya di atas mejaku.

"Apa maksudmu dengan siapa yang bakal ngerjain tugasnya? Ini 'kan tugas kelompok." kataku menatapnya aneh.

"Aku gak punya waktu untuk ngerjain tugas kelompok. Benar begitu, Dean? Hanbin?"

Omongan Jinhwan diiyakan oleh Dean. Sementara Hanbin yang duduk di kursinya cuma diam mengamati ajudan-ajudannya angkat bicara.

"Kalo mau ngerjain tugasnya, aku bisa apa aja." sahut Bobby yang sedari tadi hanya diam.

"Kerjain di sekolah ajalah." ujar Dean seraya mencungkil telinganya dengan jari kelingking. Ew, menjijikkan.

"Aku harus menjemput adikku pulang sekolah." ujarku.

"Atau kita ke rumah Jinhwan aja?! Sekalian kita main PES! Wohooo!!" seru Dean dan Jinhwan meresponnya dengan sebuah tawa dan tepukan tangan seakan-akan itu adalah hal terjenius yang ia dengar. Sekalian main PES dia bilang? Yang ada mereka akan mengabaikan tugas kelompoknya dan main game terus! Aku tau itu.

Dan hasil keputusannya pun menjadikan rumah Jinhwan sebagai sarana bermain-main dengan embel-embel mengerjakan tugas kelompok bersama di hari Rabu tepat sebelum tugas dikumpulkan. Huft.

***

Karena ini hari Sabtu, selain mengantarku dan Jaewoo pergi sekolah, ayah juga menjemput kami berdua. Biasanya setelah ini, nanti malam adalah family quality time. Entah itu makan malam di rumah atau di luar, kalau ayah sudah di rumah, semua rasa rindunya pada kami akan terbayarkan dengan menghabiskan waktu bersama sampai hari Minggu siang dia akan kembali ke Busan. Hal ini selalu membuatku selalu merasa sedih tiap kali akan berpamitan dengan ayah.

Dan lagi-lagi, malam mingguku kuhabiskan dengan keluarga dengan makan malam bersama. Kami pergi ke sebuah restoran masakan Cina. Setelah makan malam, ayah mengajak kami pergi ke pasar malam dan bermain bersama-sama.

Kukira, akan seru jika aku bersama Hanbin datang ke pasar malam ini berdua sebagai bentuk kencan menggantikan kesalahannya waktu itu. Ya, seperti yang kalian ketahui, dia bersalah karena telah membawaku ke salah satu wilayah tempat berkumpulnya aliansi kejahatannya. Lalu di pasar malam kami akan bergandengan tangan, makan gulali, makan es krim. Membayangkannya saja membuat pipiku serasa terbakar karena malu. Karena punya pacar seperti Hanbin, kupikir hal lovey dovey seperti itu agaknya mustahil untuk terwujudkan. Dan tiap malam minggu... itu bukanlah hal wajib untuk kupakai kencan. Ya, Hanbin sibuk. Dia orang yang benar-benar sibuk karena terkadang kalau aku menelepon akan ada orang yang mengangkat telepon Hanbin untuknya. Demi kerang ajaib! Aku penasaran setengah mati akan hal-hal yang berhubungan dengan Hanbin. Karena bagiku, entah kenapa hal-hal yang menyangkut Hanbin terasa berbau misterius. Bahkan makanan kesukaannya saja aku tidak tau. Kalau di kantin, dia cuma akan meminta sekaleng soda atau mencomot makanan kacung-kacungnya.

Selama makan malam dan di pasar malam dengan keluargaku, tanpa kusadari isi kepalaku adalah semua persoalan mengenai Hanbin. Astaga... aku tidak bisa berhenti memikirkan pemuda itu. Belum lagi rasa maluku saat melakukan pengakuan di depan Hanbin pagi ini saat dia mengajakku cabut sekolah. Ini membuatku gila!

Bahkan, sampai pukul sepuluh aku dan keluargaku dalam perjalanan kembali ke rumah pun, aku masih memikirkan perihal Hanbin dan segala hal yang membuatku teringat padanya hari ini. Aku kecewa karena tidak mendapatkan pesan apa pun darinya. Di mana dia menikmati malam minggunya? Apa dia juga bersama keluarganya dan makan malam bersama? Atau dia bergabung bersama teman-teman kejamnya yang lain dan melakukan pesta ala-ala gangster seperti yang kulihat di televisi?! Atau... dia bertemu dengan perempuan lain?!

Tidak tidak tidak! Tidak mungkin. Bodoh sekali pemikiranku barusan. Lagipula aku yakin Hanbin bukan pemuda seperti itu, walau aku hanya sekedar mengetahui beberapa hal tentangnya.

"Iblis hijau, kenapa kau melamun terus?" pertanyaan Jaewoo memutuskan rentetan pikiranku yang aku yakin bila dihubungkan mampu menyaingi panjang rel kereta api.

"Siapa yang melamun?" aku balas bertanya. Kini sengaja membuang muka dan menoleh ke arah luar jendela mobil. Ya, kami dalam perjalanan pulang sekarang.

Aku menunggu Jaewoo kembali bertanya. Namun mobil ayah hanya diisi oleh suara musik dari radio, percakapan ayah dan ibu, serta suara game. Itu membuatku menoleh lagi ke arah Jaewoo yang kembali sibuk dengan game di iPadnya.

"Kak,"

"Hm?" responku sambil memperhatikannya yang begitu telaten memainkan jari-jarinya di atas layar sentuh itu.

"Ajarin bikin aku

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Min, ini tu dibukukan ga ya? Pingin baca sampe tamat
Tikakyu #2
Min?? Okay kah???
Tikakyu #3
Chapter 13: Ga akan udate lagi kan iniㅠㅠㅠㅠ

난 괜찮아 (안괜찮아)
보고싶지 않아 (너무 보고싶어)
Tikakyu #4
Chapter 13: Ahhhh sayang bgt aff sekarang g ada yg updateㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Miss you author-nim 🤍🤍🤍
crunchymiki
#5
Chapter 13: 4000words ga berasa ah weee, bentar kali isss :(((
Note : jinhwan bisa ga si gausa suka ikut campur kaya nasi campur, nyebelin kali kau
Tikakyu #6
Chapter 13: Ihh serius deh, makin cinta ma bobby... ♡u Authornim
Felchey
#7
Chapter 13: Sis, mana mau tengok English version ya?
Tikakyu #8
Chapter 12: Gak tau mau ngomen apa yg jelas sangat sukaaaaa...

Siip lahh
Tikakyu #9
Chapter 11: Ya ampun... Ada kalimat 'apa salah dan dosaku?!' Dan otamatis kata sayang muncul di kepala sambil nyanyi pula.. aigooya
Tikakyu #10
Chapter 10: Ya ampun... hanbin-bobby bener2 gemesin.. ♡♡♡♡
(Emotikon lucu apa ya??)