5. Selalu ada bagian terbaiknya

Being The Tyrant Girlfriend
Please Subscribe to read the full chapter

Bobby membawaku ke rooftop. Dan aku duduk di kursi sambil memejamkan mata membiarkan ia mengusap mataku dengan tisu basah yang ia klaim punya wali kelas kami, Ms. Kim. Ia berada dalam jarak tak kurang dari 30 senti, dan aku tak merasa dalam bahaya sedikit pun berada di dekat seseorang seperti ini. Lagipula Bobby wangi. Harumnya.

Sambil menunggunya aku terus mengulang kata: jadi ini rasanya punya teman yang baik seperti Bobby. Aku jadi tak henti-hentinya menyebut namanya dalam hatiku.

Bobby, Bobby, Bobby.

Oh, ya. Kenapa namanya Bobby, ya?

"Bobby, kenapa namamu Bobby?" tanyaku menyuarakan pertanyaan yang baru muncul dalam kepalaku.

"Kenapa? Itu nama kerenku." ujarnya, kedengaran bangga atas namanya itu. Aku yang mengiyakan dalam hati tak mengeluarkan komentar. Ternyata dugaanku benar.

Beberapa saat kemudian, Bobby lalu selesai dengan hal yang harusnya bukan menjadi urusannya ini. Aku menggumamkan terima kasih lagi padanya dan dia mengangguk, tak keberatan sama sekali.

"Nah, sekarang kau cerita tentang jeritanmu itu dan kenapa kau menangis?"

Apa aku benar-benar harus cerita? Bobby... lihatlah tatapan matanya yang sedang menunggu jawabanku itu sekarang. Pancaran sosok malaikat bersayap tercermin di bola matanya yang bening itu. Dia sungguh terlalu baik untuk menjadi seorang manusia. Dia santai dan easy going person. Kuharap aku bisa berpindah posisi dengan Bobby saat ini. Tapi, aku tidak mau menyulitkan pemuda yang sudah terlalu baik titelnya di mataku.

"A-aku... Aku..." apa yang harus kuberitahukan pada pemuda ini? Aku tidak mau dia ikut memusuhi dan menganggapku orang aneh. Tapi, Minwoo, yang sedang bertanya padamu adalah Bobby. Pikirkan apa untung dan ruginya jika kau memilih untuk berbohong atau jujur padanya.

"Kau tidak bisa bilang?"

Kepalaku otomatis mengangguk. Dia sungguh peka. "Maafkan aku, Bobby. A-aku ingin bilang padamu—tapi—tapi—" oh, tidak. Aku sama sekali tak kuat jika Bobby bakalan tahu dan tak berteman denganku lagi. Bagaimana hari esokku bisa berjalan jika tidak ada Bobby yang mau tetap membantu sosok menyusahkan sepertiku. "Bobby, kau berteman dengan Hanbin?" aku bertanya secara tiba-tiba. Melihat tatapannya dan kernyitan di dahinya, aku malah merasa tolol kalau-kalau itu pertanyaan yang salah. Astaga, Minwoo!

"Kami teman sekelas. Tentu saja." kini ekspresinya digantikan oleh alis yang bertaut. "Kadang kami bertanding main basket. Kemarin kami baru saja main basket."

Mendengar pernyataan Bobby, aku jadi teringat perkataan Jinhwan kemarin kalau diliburkannya Hanbin adalah hadiah untuk Bobby mungkin hanya karangan pemuda itu saja. Bobby dan Hanbin tak pernah memancarkan aura permusuhan, mereka tak mungkin punya kenangan masa lalu dan semacamnya.

"Kenapa jadi cerita tentang aku? Kau belum menjawab pertanyaan yang kuajukan,"

Tentu saja aku belum menjawabnya karena mencoba memastikan hubunganmu dan tyrant sekolah itu. "Se...sebenarnya..." aku melirik ke kanan dan kiri. Rasa takut itu kembali membuatku memilih bungkam. Tapi aku mana boleh berbohong, mengabaikan pertanyaan Bobby. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah mau mati lapar sekaligus takut di sini. Kumohon, apakah ada gunanya jika aku terus menerus bernegosiasi pada diri sendiri di dalam hati seperti ini? Aku takut menjelaskannya dan aku juga takut kalau Bobby tahu sebabnya dari penghuni sekolah. Aku takut semuanya dan sekarang aku hanya mau mengubur diri akibat rasa takut dan laparku!

"Kalau tidak mau cerita gapapa," perkataan Bobby membuatku hampir meloloskan nafas lega. Ya ampun, Bobby. Kebaikanmu membuatku ingin menangis.

"T-tapi, kau pasti akan tahu sendiri!" ujarku menatap Bobby yang mengantongi tisu basah Ms. Kim ke saku jas sekolahnya.

"Oke... By the way, aku lapar. Kau mau ikut ke kantin? Aku juga harus mengembalikan tisunya."

"Uh... Itu..."

Tidak mungkin. Tidak. Seluruh isi sekolah mungkin juga akan memusuhimu jika kau terlihat berjalan berdua denganku. Semua juga akan menganggapmu aneh jika kita berjalan berdua. Tidak, aku tidak mau memberikan masalah untuk orang lain. Aku bisa menanggung resiko dan semua yang akan terjadi ke depannya walau harus menahan rasanya putus asa jika aku mendapat masalah lagi.

"Kau saja. Kau 'kan memang mau makan siang tadi." ujarku lalu tersenyum. Sama sekali berbohong. Tapi aku masih bisa menahan rasa lapar ini. Aku pasti kuat menahannya sampai pulang sekolah.

"Aku belikan roti, ya?" tawarnya.

"Oke. Boleh, boleh." aku menjawab kelampau antusias. Tentu saja, aku menerima itu bukan karena perutku yang lapar. Tapi karena aku tahu Bobby itu temanku yang perhatian. Tuhan sungguh memberkati orang sepertinya.

"Yaudah, ayo turun?" ujar Bobby sambil berjalan mundur ke arah pintu rooftop.

Aku menggelengkan kepala. "Duluan saja."

"Oke." begitu mendengar perkataanku, Bobby yang tersenyum itu lalu berlari keluar setelah membuka pintu. Sementara aku sendirian semakin nampak seperti manusia terpuruk di sini. Aku takut sekali.

Aku tidak sanggup jika satu sekolah menatapku dengan pandangan aneh. Aku tahu aku bisa mengabaikan mereka tapi kata aneh itu membuat kepalaku ingin pecah. Sama seperti ketika mereka menyebut-nyebutku dengan berbagai julukan bahkan berbagai nama hewan berkaki empat untukku saat aku SMP. Aku tidak pernah memiliki satu hari pun kedamaian di sekolah. Di sekolah untuk mencari teman dan belajar justru menjadi sumber ketakutanku. Apa harus aku berhenti lagi? Mau jadi apa aku kalau tahunya hanya nonton televisi sambil ngemil di rumah?

Ibu... Apa dosaku hingga aku berakhir menjadi begitu sengsara ketika harus menjadi mahluk sosial? Apa selamanya aku harus terus menahan rasa takut? Ibu, aku sungguh takut...

Aku pun memilih mengeluarkan ponselku. Aku ingin mendengar suara ibu. Dia pasti sedang mengikuti seminar kecantikan lagi entah di mana itu.

Aku tak bisa berhenti menahan sesenggukan yang kembali muncul sambil menyentuh tombol hijau pada history incoming call terakhirku. Aku tahu aku tidak boleh menangis jika menelepon ibu atau ia dan ayah hanya akan datang menjemputku pulang sesuai perjanjian yang mereka berikan jika sekolahku kali ini tidak berjalan sesuai keinginan.

Menempelkan ponsel di telinga, pada dering ketiga ibu lalu mengangkatnya.

"Ibu..." aku malah terisak saat menyebut namanya. Ingin rasanya pulang dan makan masakan ibu saat ini juga. "M-maaf, jangan salah paham kenapa aku menangis, tidak ada yang jahil kok. Aku hanya—" aku kembali menangis dengan kencang karena tak sanggup melanjutkan kalimatku. Demi Tuhan, bagaimana ini? Ibu pasti akan mengurus surat pindahku besok. Tolong aku, aku tidak bisa menghentikan tangisanku...

"Ibu, a-aku hanya—aku hanya mendapat seorang teman hari ini. Jadi, jangan khawatir, oke? Aku... hiks—a-aku sampai terharu karena akhirnya aku punya teman ibu... eh... eh... Maafkan aku..."  aku mengusap mataku berulang kali. Kini aku berusaha meredakan tangisan. Maafkan aku, bu. Aku tidak mungkin bohong padamu jika aku punya teman juga tidak mungkin berkata padamu jika aku dikatai aneh oleh satu sekolah. Aku sungguh minta maaf. "Ibu—hiks—kau di mana?"

Jalur telepon sempat hening, aku dapat mendengar hembusan nafas di telingaku. "Di rumah."

S-su-suara laki-laki?

Tersentak, aku langsung menjauhkan ponsel itu dari telingaku dan menyalahi diri sendiri saat aku menemukan nama 'KSATRIAKU' besar-besar telah terpampang di layar tipis ini. Cobaan apa lagi ini? Aku tidak mabuk, mana mungkin aku salah pencet. Ibu selalu menjadi orang yang memenuhi history telepon masuk maupun keluarku. T-tapi... kemarin... Oh, tidak. Telepon yang masuk terakhir kali kemarin adalah dari Hanbin.

Kesialan yang datang secara beruntun membuatku sempat terpikir bagaimana caranya agar bisa mati dengan damai. Kalau sudah begini apa yang harus kulakukan? Bagaimana ini? A-apa yang harus kukatakan?

"M-maafkan aku, aku salah sambung. Sampai jumpa, Hanbin." aku buru-buru mematikan sambungan teleponnya secepat kilat. Dalam hati hanya bisa berdoa semoga ini bukanlah masalah baru.

Aku baru saja mencurahkan isi hatiku pada Hanbin secara tidak sengaja. Oh, tidak mungkin. Ya ampun memalukan. Kau memalukan! Aku menggeram kesal berulang kali sambil memukuli pahaku. Isakan yang baru saja ingin kuredakan malah semakin parah.

Belum sampai satu menit, ponselku kini bergetar memunculkan nama palsuku untuk Hanbin. Degupan yang berasal dari jantungku akibat rasa gelisah dan takut muncul memperburuk keadaan. Aku pun menggenggam ponselku kuat-kuat akibat perasaan campur adukku yang memiliki kenekatan untuk menolak panggilan ini.

Tidak boleh mengabaikan orang yang meneleponmu. Tapi apa yang diinginkan Hanbin tentu membuatku merasa tak bisa mengangkat teleponnya.

"ARRRGGH!!!" aku menghentak-hentakkan sepatuku kuat-kuat ke tanah. Jeritan frustasi tak bisa mengeluarkan apa-apa saja yang berada dalam kepalaku yang kecil ini. Daripada mendapat masalah yang lebih besar, sambil menahan pening di kepala, aku mengangkat panggilan maut itu dengan kedua tangan supaya getaran di tanganku tak membuat benda ini jatuh.

"H-halo?"

"Kau dibully?" apa yang kuharapkan? Tentu dia tidak akan menanyakan kenapa aku menangis.

Sebelum menjawab, aku berdehem, usaha meredakan isakan anak cengengku. "Tidak," bukan tidak, tapi belum. "Aku sudah mengatakannya secara tak sengaja tadi... M-maaf..."

"Kau tahu, aku merasa muak mendengar kata maaf yang terus-terusan keluar dari mulutmu itu."

"Ma—lalu aku harus apa? Kalau berbuat salah tentu saja minta maaf! Kau ini bagaimana sih?! Kau sama sekali tidak mengerti aku!" balasku terlampau kesal. Sudah muncul banyak masalah, dia mau membuat masalah lagi dengan mengomeliku—dan aku malah balas mengomelinya. Ya ampun. Aku terperangah sambil membekap mulutku sendiri.

Aku. Mengomeli. Hanbin.

"Kau membentakku?"

"T-tidak! Ugh—maaf. A-aku sungguh kesal. Maafkan karena aku membentakmu,"

"Tck, terserah," orang yang berada di ujung telepon terdengar berdecak, aku tahu karena aku kembali meminta maaf.

"Kenapa kau menelepon?" tanyaku mengecilkan volume suara.

"Aku akan menemuimu."

"K-kapan?" dia selalu saja membuatku syok.

"Kau tahu taman yang berada di jalan Gupyong?"

"Di mana itu?" mana bisa aku tahu sementara untuk pergi ke rumah tetanggaku saja aku bisa tersesat.

"Datangi tempat itu pulang sekolah nanti."

"Bagaimana aku bisa datang sementara—" tutt... tutt—teleponnya dimatikan?! "Ugh, bagaimana ini?" aku mendesah karena lelah. Melihat ke arah jam di ponselku, lima menit lagi jam makan siang akan usai.

Astaga. Apa aku patut memberikan 'masalah' sebagai nama tengahku?

Satu lagi masalah yang menjangkiti kepalaku. Tolong kuatkanlah aku.

Dengan keberanian yang ada, aku mulai berdiri dari tempat dudukku untuk menghadapi banyak orang di bawah sana. Kakiku rasanya akan lepas menjadi potongan dadu jika saja aku benar-benar tidak memiliki pegangan bahwa masih ada Bobby yang berada dipihakku—atau mungkin juga tidak.

Mengusap wajahku sekali lagi, aku mengantongi ponselku dan mulai mengambil langkah menuju pintu keluar.

Aku kuat. Aku kuat. Aku kuat.

Kuulang kalimat itu dalam hati bagai mantera pada setiap anak tangga yang kuturuni. Aku pun sengaja menyisiri poniku dengan jari agar sedikit menyamarkan wajahku.

Aku tak tahu harusnya kemana arah bola mataku menuju. Selama perjalanan ke loker bukuku lalu ke kelas, aku tidak mendengar bisikan apa pun yang mengarah padaku. Yes, mereka belum mengenali betul diriku.

Shh... kenapa aku terdengar seperti buronan?

Menggelengkan kepala sebagai bentuk pengalihan pikiranku yang mulai berbelok-belok, aku lantas menemukan papan kelasku yang menggantung di atas tinggal beberapa langkah lagi untuk bisa kucapai. Sekali lagi aku berusaha menghilangkan sisa isakan dan mengabaikan bagaimana merahnya mataku saat ini.

"Aneh."

Aku tersentak. Langkahku terhenti sehingga kini aku berada tepat satu langkah di luar pintu kelas yang tertutup.

"Apa yang akan Hanbin lakukan kalau dia tahu anak aneh itu suka padanya?"

Aku mengurung niat membuka pintu ini. Memandang ke dalam melalui kaca yang ada di pintu berharap aku tak perlu masuk ke dalam sana.

"Murid pindahan memang aneh-aneh."

Mereka semua mengatakan hal yang sama. Membuatku diam seperti ada perekat di sepatuku, mengepalkan tangan menahan banyak hal agar aku tidak membuat adegan menangis di koridor sekolah. Tapi, aku menuruti kata hati dan percaya ini semua akan segera berakhir dengan meletakkan kembali tanganku pada gagang pintunya dan melangkahkan kakiku masuk untuk berjalan ke arah kursiku.

"Kudengar dia bekas bullyan." aku langsung mendengar kalimat itu begitu aku masuk. Tidak. Teganya Jinhwan membeberkan rahasiaku.

"Dia memang cocok dibully lagi oleh Hanbin." aku mengenal kalau ini adalah suara Bora. Sumber masalah dari semua ini.

"Tadi pagi kudengar Dean dan Jinhwan membullynya di halaman belakang."

"Ck ck ck, kasihan."

Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Mengecek keadaan kursiku dan menggoyangnya sekali.

Bangkuku di hari kedua. Dan sudah ada lem di sana.

Makin mengeratkan kepalan dan gigiku, aku membuka dan memeriksa isi tas. Tidak ada yang aneh. Aku pun merobek selembar kertas dari buku yang baru kuambil di loker buku untuk les kali ini dan meletakkannya di atas kursiku.

"Sialan! Dia tahu!"

Seruan keras terdengar, aku menoleh sekilas dan mengetahui kalau itu adalah seruan dari anak laki-laki yang berada di pojok kiri.

"Apa kau lihat-lihat?" bentaknya sambil menendang meja.

Aku tersentak dan buru-buru memasukkan bukuku dan duduk. Degupan dari jantungku terasa menyesakkan. Aku tidak kuat jika besok hal yang lainnya akan terjadi padaku. Ibu, tolong teruslah berdoa untukku.

Beberapa saat kemudian, Bobby datang bersamaan dengan Jinhwan dan Dean. Aku tak berani menatap kedua manusia yang berada di dekat Bobby itu dengan langsung mengalihkan pandangan. Jinhwan, apa dia juga membeberkan semuanya pada Bobby?

"Yo." Bobby meletakkan bungkus rotiku di atas meja sebelum duduk di kursinya. Apa... dia sudah tahu? Tapi aku tak berani bertanya dan menggumamkan kata terima kasih padanya sekecil mungkin.

Sebelum aku sempat meraih rotiku, J

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Min, ini tu dibukukan ga ya? Pingin baca sampe tamat
Tikakyu #2
Min?? Okay kah???
Tikakyu #3
Chapter 13: Ga akan udate lagi kan iniㅠㅠㅠㅠ

난 괜찮아 (안괜찮아)
보고싶지 않아 (너무 보고싶어)
Tikakyu #4
Chapter 13: Ahhhh sayang bgt aff sekarang g ada yg updateㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Miss you author-nim 🤍🤍🤍
crunchymiki
#5
Chapter 13: 4000words ga berasa ah weee, bentar kali isss :(((
Note : jinhwan bisa ga si gausa suka ikut campur kaya nasi campur, nyebelin kali kau
Tikakyu #6
Chapter 13: Ihh serius deh, makin cinta ma bobby... ♡u Authornim
Felchey
#7
Chapter 13: Sis, mana mau tengok English version ya?
Tikakyu #8
Chapter 12: Gak tau mau ngomen apa yg jelas sangat sukaaaaa...

Siip lahh
Tikakyu #9
Chapter 11: Ya ampun... Ada kalimat 'apa salah dan dosaku?!' Dan otamatis kata sayang muncul di kepala sambil nyanyi pula.. aigooya
Tikakyu #10
Chapter 10: Ya ampun... hanbin-bobby bener2 gemesin.. ♡♡♡♡
(Emotikon lucu apa ya??)