6. Ngomong ya gampang banget

Being The Tyrant Girlfriend
Please Subscribe to read the full chapter

Kau tahu bagaimana rasanya mengetahui bila besok kau akan menjumpai banyak orang yang terang-terangan menentangmu dan mereka melakukan hal yang tak pantas untuk menunjukkan kalau mereka benar-benar menentang hal itu?

Besok hari ketiga. Hari di mana penderitaan dan kesengsaraan sementaraku (yang mana bagiku seperti seribu tahun) akan berakhir di esok harinya. Dengan demikian aku bebas dan dapat pergi dan pulang sekolah dengan hati damai—atau mungkin juga... hanya mungkin.

Dan demi mengatasi hal itu, di sinilah aku, duduk di atas kasur dengan sebuah penggaris dan rok sekolah.

Aku mengukur roknya apabila aku memotongnya sepanjang 21 senti sesuai persetujuan Hanbin atau bisa kukatakan itu ancaman. Dan melihat hasilnya, itu tak bisa untuk tak membuatku menganga terkejut karena ya, selain mengetahui bahwa aku ini adalah aneh, seluruh isi sekolah juga akan mengetahui warna celana dalamku setiap harinya.

"Ini tidak akan berhasil." aku menggerutu—gerutuan yang mendekati pasrah. Mengambil ponsel di dekat lampu tidur dan menelepon Hanbin.

Telepon diangkat. "Halo?" ini... seperti bukan suara Hanbin. Aku yang kaget layaknya terkena trauma telepon salah sambung pun mengecek caller IDnya lagi. Dan di sana tetap tertera nama 'Ksatriaku'.

Aku memilih menanyakan Hanbin dengan suara—uh... aku takut ini teman dari aliansi kejahatannya. "Aku mencari Kim Hanbin."

"Apa itu penting? Sepertinya dia..." yang berada di ujung telepon bergumam cukup lama. "Sepertinya dia sedang tidak bisa diganggu."

"Oh, ya?" uh, bagaimana ini? "Oke, selamat malam." aku langsung memutus sambungan teleponnya.

Sepertinya tidak akan ada yang berjalan sesuai rencana bila aku harus seperti ini. Aku pasti mahluk sial. Kukira kalau berpacaran itu... mudah-mudah saja, tapi... "Apa yang akan kulakukan? Dan kenapa aku berharap keromantisan dari orang paling kejam itu di sekolah?" aku mulai bercerita sehingga nampak mengenaskan saat mulai berbicara dengan foto Suzy di wallpaperku.

"Hanbin mengajariku agar tidak takut pada apa pun... Niatnya memang membantu tapi itu tidak sesuai dengan rencanaku karena... mungkin aku akan menggunakan kekerasan pada orang lain bila ini terus berlanjut." pemikiran ini sempat membuatku termenung sejenak. Benar juga, aku tak boleh menciptakan kerusuhan, sama sekali tak boleh menimbulkan kebencian dengan kemampuan bela diriku. Tapi mau bagaimanapun, melihat kejamnya Hanbin... pasti itu akan terjadi mau tidak mau tetapi aku pasti bisa mengatasinya.

Oh, Suzy, kembaranku. Parasnya yang sempurna juga membuatku menghela nafas panjang. Dia sungguh membuatku terus terusan berdoa kapan aku bisa bertemu dengan sosoknya secara langsung. Tiba-tiba aku pun jadi tersenyum mengingat perkataan teman Jaewoo tadi sore. Mengusapkan layar ponselnya pada pipiku sambil berkhayal, selanjutnya aku kembali pada rok sekolahku.

Kurasa ibu takkan marah mendengar permintaanku nanti ketika curhatan malam kami dengannya dimulai.

***

Aku muncul di dapur sambil menyembunyikan roknya di balik tubuhku. Ibu sedang membuatkan dua gelas susu seperti yang biasa ia lakukan. Itu untukku dan Jaewoo. Aku pun mengambil tempat duduk di ruang makan sambil menunggunya.

Dan ini dia.

"WHAA!" setan kecil yang tiba-tiba muncul mengagetkanku terabaikan. Aku terlalu dalam berpikir sampai tidak terkejut pada sosok Jaewoo yang memakai kain tidurnya sebagai sayap yang diikatkan di leher. Aku malah menelengkan kepala sambil menatapnya, menghela nafas berat. Maaf, Jaewoo. Semenjak aku sekolah kau kelihatan sedih dengan reaksiku untuk bisa masuk karakter. "Kenapa kau menghela nafas seperti ini, 'Haaah...'. Kau pasti punya masalah."

Aku menatap Jaewoo yang sudah duduk di sebelahku. Tak heran dia selalu mengatakan hal yang harusnya tak dikatakan oleh anak seumurannya. Dan anehnya dia itu selalu tepat dengan kalimatnya yang ketuaan itu. Jaewoo pasti akan jauh lebih dewasa dariku. Dia terlihat ceria setiap hari tanpa satupun beban di hidupnya karena wajahnya selalu nampak bersinar. Aku memendam rasa iri lagi pada adikku.

"Kau makan coklat yang kuberikan?" tanyaku, menopang kepala dengan sebelah tangan yang kuletakkan di atas meja dan menahan pada bagian pipi. Ini posisi terbaik untuk terbengong.

"Aku makan kok." dia berhum, memainkan jarinya di atas meja, membuat gerakan orang menari dengan dua jari.

"Baguslah. Aku akan membelikannya lagi kalau sempat besok."

"Kenapa? Memangnya besok kakak mau pergi ke taman Gupyong lagi? Ayo, ajak aku ke sana!" tiba-tiba dia langsung menarik-narik lengan bajuku. Aku memilih diam dengan tatapan pasrah.

"Kalau sempat, Jaewoo." aku tak mau berjanji. Kalau berjanji aku sangat menghindari kalau-kalau tidak bisa menepatinya.

Tak lama kemudian ibu bergabung denganku dan Jaewoo. Membawa sebuah nampan dengan dua gelas susu dan secangkir teh. Mengecek jam dinding dan mendapati sekarang adalah pukul 9 aku malah jadi ngantuk. Biasanya curhatan malam yang rutin dilakukan ibu seminggu sekali seperti ini hanya untuk Jaewoo—semenjak aku homeschooling. Namun karena ya, aku sudah menjalani kehidupan yang namanya sekolah secara asli sekarang. Pemikiranku saat ini membuatku menghempaskan tubuhku pada bantalan kursi.

"Siapa ingin memulai duluan?" tanya ibu setelah menyesap tehnya.

"Aku! Aku!" Jaewoo berbaik hati memulai curhatannya lebih dulu. Sementara aku cuma diam memandangi gelas susuku dan memainkan jariku mengelilingi mulut gelasnya.

"Baiklah, kau Jaewoo." suara ibu yang lembut kadang bisa mempersuasiku untuk mengatakan seluruh hal maha rahasiaku padanya. Untuk itu aku sama sekali tak pernah memiliki rahasia dari ibu. Aku menggenggam rokku yang masih kusembunyikan di balik meja. Apa yang akan kukatakan kalau dia bertanya untuk apa aku memendekkannya? Disuruh Hanbin karena itu perkataanku sendiri. Itu adalah jawaban terakhir yang ingin kukatakan pada ibu.

Sembari menunggu giliran aku hanya menyimak Jaewoo dan ibu.

"Hari ini aku dapat lebih banyak teman, anak-anak laki-lakinya pun suka main game! Tapi anak-anak perempuannya suka memukul,"

"Apa kau dipukul, sayang?"

"Tidak. Temanku yang dipukul. Di kelas juga gurunya baik-baiiiiiiik sekali. Karena aku diam saja dan gak ribut jadi aku dapat nilai plus. Lalu, lalu, tadi aku menangkap tupai di pohon halaman belakang sekolah dengan Wonwoo, Jaemin, Daehan. Tapi tupainya ada yang punya jadi kami mengembalikannya,"

Aku yang menyimak mengatupkan bibirku rapat-rapat. Lagi-lagi aku iri padanya. Bahagianya cerita sekolahmu, Jaewoo.

"Apa Jaewoo senang dengan sekolahnya?"

"Ya, aku suka." Jaewoo tersenyum ceria. Ibu pun mencondongkan tubuhnya, mengusap kepalanya dan anak itu langsung menghabiskan susunya.

"Nah, Minwoo?" tentu saja, sekarang perhatian ibu teralihkan padaku.

Aku menghentikan gerakan jariku yang dari tadi terus berputar pada mulut gelas, menatap mata ibu yang sudah memasang raut cemas.

"Hari pertamanya... baik." dan... "Hari keduanya..." aku menarik nafas dalam-dalam. "Aku dapat teman." aku lalu menghela nafas. Kemudian melanjutkan, "Satu." dan melanjutkan lagi. "Laki-laki."

"Namanya?"

"Kim Jiwon. Tapi semua memanggilnya Bobby." aku kembali diam. Saat melirik Jaewoo, ekspresinya hampir sama seperti milik ibu—khawatir. Oh, malaikat kecil, apa yang harus dilakukan kakakmu ini?

"Kau belum menceritakan semuanya, Minwoo." saat aku kembali menatap ibu, dia tersenyum lemah. Aku mengeratkan pejaman mata dan melanjutkan ceritaku. Menumpahkan semuanya dengan perasaan takut namun, saat menatap mata ibu lebih serius, perlahan perasaan itu menghilang.

"Di kelasku, ada yang pernah satu SMP denganku dan dia adalah seorang pembully," ibu tak berkomentar. Ayolah, betapa beratnya mengatakan semua hal ini pada ibu. "Tapi dia tidak membullyku lagi, kok." aku mengatakan ini dan ibu nampak sedikit merasa lega. Hanya sedikit. Aku sama sekali tak berani menyebut-nyebutkan hal yang berhubungan dengan Hanbin. Dan aku bersumpah aku sama sekali tak tahu bagaimana cara menjelaskan tentang hariku yang menyangkut:

1. Aku punya pacar dan dia adalah Hanbin.

2. Hanbin adalah orang yang ditakuti penghuni sekolah dan dia jelas orang kejam. Dan dia juga mengajariku untuk mengucapkan kata kotor, menyakiti orang lain, dendam, dan hal mengerikan yang tak mau kusebutkan apa-apa saja itu.

3. Dan saat ini seluruh sekolah menganggap aku aneh.

4. Aku pingsan di halaman belakang sekolah.

5. Aku tertimpuk bola.

6. Aku menangis.

7. Ada yang menaruh lem di bangkuku.

Dan yang terparah dari semua itu:

8. Aku memukul orang dengan bola hingga hidungnya mengeluarkan darah.

Oke? Apa itu yang kalian harap agar aku menjelaskannya pada ibuku sendiri? Lalu apa yang akan kudapat selain kekecewaan karena kali ini pun ibu gagal membuatku senang, menikmati masa remaja, masa sekolah dengan bahagia penuh pelangi dan bunga seperti harapannya. Harapan kami semua. Aku sama sekali tak mengharapkan hal itu untuk keluar dari mulutku. Karena semua lembar baru sekolahku sudah rusak sepenuhnya jadi itu sama sekali tak patut diceritakan sekarang ini.

Detik selanjutnya, ibu bertanya. Memotong rentetan masalah yang sedang kuuraikan di dalam pikiranku. "Apa... masih ada lagi?"

Dan saat ini, untuk saat ini saja, untuk pertama kalinya aku berbohong pada ibu dan mulai menyimpan sesuatu. Uh... tentu saja... masih ada banyak. "Tidak."

Tapi, aku pasti akan memberitahukan semuanya, bu. Aku janji tapi tidak sekarang karena aku tak mau kau merasa gagal sebagai ibu untukku. Aku tak mau melihatmu sedih karenaku. Aku tak ingin hal itu terjadi.

"Baiklah. Pertanyaan terakhirnya, Minwoo. Kau suka sekolahnya 'kan?"

Sekelebat rasa bersalah itu muncul saat aku diberi senyuman keibuan dari wanita berambut pendek dihadapanku. Oh, ibu. Kau ingin aku menangis lagi setelah hari ini aku sudah menangis hingga mataku bengkak?

"Aku suka kok. Gurunya baik."

Aku pun segera mengumpulkan keberanian pada tangan kiriku. Aku yang masih menatapnya perlahan mengeluarkan rok yang kupegang di balik meja sejak tadi.

"Kenapa rokmu, Minwoo?" dia segera memasang wajah terkejut, menunggu aku menjelaskan. "Bekas lem? Oli?"

"Bukan. Itu... Ibu bisa 'kan potong rokku? 15 senti saja."

"Kalau dipotong nanti pendek dong," Jaewoo menyambung. Aku hanya meliriknya yang sekarang melipat tangan dan menyandarkan dagunya di atas meja. Dia tersenyum manis ketika kutatap.

"Kenapa?" ibu mengambil roknya. Dia menggumam dan nampak mengukur rok itu dengan membentangkannya.

Aku sama sekali tak tahu alasan apa yang dapat kupakai. Tanyakan saja sana pada Hanbin.

"Ohh, kau mau kelihatan seperti girlgroup-girlgroup di acara musik itu, yaaa?" ibu tersenyum jahil padaku. Aku pikir itu bukan alasan yang buruk jadi aku hanya mengangkat kedua alis dan tersenyum. "Memang sih, anak SMA sekarang banyak yang meniru gaya idolanya. Kau juga bisa seperti itu, sayang."

"Benarkah?" tanyaku menganga karena terkejut hingga saat ini aku tak tahu berada di mana rahangku jatuh.

"Tentu saja, sayang. Kalau memang itu yang membuatmu bisa lebih senang berangkat sekolah."

"Aku juga bisa 'kan, bu! Aku mau seperti Lee Minho! Lee Minho!"

"Tidak, sayang. Kau sudah jauh lebih tampan dari dia." ibu tersenyum pada Jaewoo yang mana itu membuat bocah di sebelahku menyeringai bagai idiot pada ibu sebagai balasan. "Nah, Minwooku yang cantik dan lebih cantik dari Suzy, apa hanya ini?"

Aku tersenyum—entah menyeringai entah tersenyum aku tak tahu namun kedua sisi pipiku rasanya sampai sakit. "Aku sama sekali tidak tahu, 'kan ibu yang tahu."

"Ohh, jadi ini juga alasan kau meminjam eyeliner ibu 'kaaan?" dia lagi-lagi tersenyum jahil. Aku menahan malu dengan tersenyum janggal. Membiarkannya berpikir seperti itu karena mungkin tidak ada ruginya kalau kubiarkan—dalam waktu dekat ini. Jadi teringat olehku saat Bobby membawaku ke rooftop dan dia membantuku dengan benda konyol itu.

"Iya, eyelinernya sempat rusak jadi Bobby yang membersihkannya."

Dan dengan mulutnya itu Jaewoo menyambung, "Jangan-jangan yang namanya Bobby Bobby itu pacarmu yang tadi sore mau kau temui di taman 'kan, kak?"

"Jangan membicarakan hal yang tidak penting, Jaewoo." aku langsung menatapnya dan berharap setan kecil ini tak lagi menumpahkan semua kacangnya pada ibu.

"Oh, ya? Kau pergi ke taman?" ibu menyesap tehnya lagi. Dia menatapku dengan wajah tertarik pada topik ini. Ayolah, aku sama sekali tak mau memention-mentionkan taman Gupyong itu saat ini.

"Iya! Dia bilang menemui teman padahal aku yakin menemui pacar!"

"Jaewoo!" aku merengek padanya tapi itu malah membuat dia senang.

"Kau punya pacar, eh?" ibu, kenapa dia malah percaya-percaya saja dan berada di pihak Jaewoo?

"Iya! Dia sampai membelikanku coklat batangan lagi!"

"Tidak! Bukan seperti itu," aku menatap ibu dengan harapan agar ia memercayaiku dan bukan si Setan Kecil.

"Ohh, atau kau memiliki orang yang kau... sukai? Di sekolah?"

"Hah?" aku terpelongo. Kenapa pembicaraan kami jadi mengarah ke mari dan ujung-ujungnya pasti jawaban dari semua ini adalah Hanbin.

"Gapapa, sayang. Itu wajar." ibu menganggukan kepala dengan mata terpejam. Astaga, kenapa sih mereka suka sekali membuat persepsi sendiri padahal semuanya belum tentu benar—uh... atau memang benar semua? "Yaudah, memang benar ada 'kan? Gapapa kok, Minwoo." ibu terkekeh padaku padahal tidak ada yang salah. Jaewoo pun ikutan tertawa dan berdiri untuk mencubit kedua pipiku seperti yang biasanya dilakukan ibu.

"Pipinya gak kayak bakpao lagi," komentarnya saat kubiarkan dia melakukan hal kurang ajar itu padaku. Kubiarkan kau karena kau adalah adikku, Jaewoo.

Aku malah jadi ikutan tersenyum. Sebagai penutup aku menghabiskan gelas susuku dan pergi setelah mengucapkan selamat malam pada ibu dan Jaewoo.

***

Selesai jogging dan mandi, aku selesai melakukan persiapan berangkat ke sekolah hampir bersamaan waktunya dengan Jaewoo. Dia sudah memanggilku turun untuk sarapan. Aku yang masih di dalam kamar berdiri di depan cermin hanya menyahut agar si Setan Kecil menunggu sebentar lagi.

Aku meletakkan jepitan berbentuk pita dari Jaewoo di laci meja belajar. Menyisir rambut, membiarkan rambutku tergerai. Dan di saat itu pula ibu masuk ke kamarku dengan senyuman di wajahnya.

"Aku akan turun, kok," kataku lalu buru-buru menyambar tas sekolahku. Namun ada yang aneh karena ibu malah menyuruhku duduk. Aku pun menurut, duduk di atas kasur di sebelahnya.

"Mana tempat alat make upnya kemarin?" pertanyaannya sempat membuatku bingung. Pagi-pagi begini ibu mau make upan? Atau dia yang mau mendandaniku?

Aku menyerahkan dompet yang be

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Min, ini tu dibukukan ga ya? Pingin baca sampe tamat
Tikakyu #2
Min?? Okay kah???
Tikakyu #3
Chapter 13: Ga akan udate lagi kan iniㅠㅠㅠㅠ

난 괜찮아 (안괜찮아)
보고싶지 않아 (너무 보고싶어)
Tikakyu #4
Chapter 13: Ahhhh sayang bgt aff sekarang g ada yg updateㅠㅠㅠㅠㅠㅠ
Miss you author-nim 🤍🤍🤍
crunchymiki
#5
Chapter 13: 4000words ga berasa ah weee, bentar kali isss :(((
Note : jinhwan bisa ga si gausa suka ikut campur kaya nasi campur, nyebelin kali kau
Tikakyu #6
Chapter 13: Ihh serius deh, makin cinta ma bobby... ♡u Authornim
Felchey
#7
Chapter 13: Sis, mana mau tengok English version ya?
Tikakyu #8
Chapter 12: Gak tau mau ngomen apa yg jelas sangat sukaaaaa...

Siip lahh
Tikakyu #9
Chapter 11: Ya ampun... Ada kalimat 'apa salah dan dosaku?!' Dan otamatis kata sayang muncul di kepala sambil nyanyi pula.. aigooya
Tikakyu #10
Chapter 10: Ya ampun... hanbin-bobby bener2 gemesin.. ♡♡♡♡
(Emotikon lucu apa ya??)