Release

Give Me Your Love
Please Subscribe to read the full chapter

Minho menghabiskan air di gelasnya dalam sekali tegak. Dadanya naik-turun, napasnya tersengal. Ada sesuatu yang sesak hingga membuat dirinya kesulitan untuk mengganti karbon dioksida dengan oksigen di ruang alveolusnya. Pemuda itu tersenyum miris menyadari apa yang menimpanya sekarang ini.

 

Jatuh hati pada sesorang yang tidak mungkin dapat diraihnya.

 

Kenyataan yang cukup mengenaskan baginya. Meski mungkin ini bukan pengalaman cinta pertamanya, tetapi rasanya sangat menyakitkan. Bahkan dirinya sudah dipaksa menyerah sebelum berjuang. Ini semua karena takdirnya dan takdir si gadis jauh berbeda. Ada dinding penghalang di antara keduanya yang tak mampu Minho loncati bahkan hancurkan. Perbedaan status. Huh, masih ada saja penghalang cinta yang seperti itu di era modern seperti ini?

 

“Hei, Choi Minho.”

 

Minho berbalik cepat. Jantungnya bergemuruh liar ketika mengetahui siapa yang barusan memanggil namanya. Si gadis merepotkan yang menjadi alasan utama kegelisahannya akhir-akhir ini.

 

“Belum tidur?”

 

Minho hanya mengangguk. Pemuda itu sama sekali tidak berniat bersuara guna menjawab pertanyaan si gadis. Bukan karena tidak mau menjawab. Hanya saja suaranya tertahan di tenggorokan, tak mau keluar meski untuk gumaman pelan.

Gadis di hadapannya sendiri masih menatap Minho dengan aneh. Biasanya Minho akan menjawab pertanyaannya dengan begitu ketus. Atau mungkin akan meninggalkannya dengan menyisakan kedongkolan karena sikap ketidaksopanan Minho. Tapi, itu tidak terjadi. Minho malah tetap diam di tempat sambil menggenggam gelasnya erat.

 

Huh, itu bukan urusannya. Si gadis mememilih bersikap acuh dengan berjalan melewati Minho. Mengambil segelas air dan meneguknya perlahan.

 

“Dia itu siapa?”

 

Si gadis terdiam sebentar. Menatap Minho sambil mengernyitkan dahinya bingung. Siapa yang dimaksud Minho.

 

“Kim Jongin. Sebenarnya dia siapamu?”

 

Oh, Jongin? Si gadis mengerjap sebentar lantas menundukkan kepalanya. Dirinya bingung harus menjawab pertanyaan Minho seperti apa. Mudah sebenarnya, cukup bilang teman. Tapi, entah kenapa ada bagian dirinya yang menahan untuk mengucapkan kata itu. Kata teman tidak terlalu tepat untuk menggambarkan sosok Jongin yang kini terkesan spesial di kehidupannya.

 

“Dia kelihatannya menyukaimu. Dia bahkan memanggilku kakak ipar,” ujar Minho karena tak kunjung mendapat jawaban dari si gadis.

 

“Bukankah itu bukan urusanmu?”

 

Minho tercengang mendengar penuturan si gadis yang begitu tajam kepadanya. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Gadis yang kini mengisi ruang hatinya kembali bersikap seperti sebelumnya. Minho mendesah lega. Jika terus seperti ini, dia pasti akan lebih mudah menghapus perasaannya sebelum berkembang lebih jauh.

 

“Kau benar. Itu bukan urusanku,” balas Minho dengan senyum yang masih tercetak di wajah tampannya. “Aku hanya ingin sekedar mengingatkan seperti sebelumnya.”

 

Dengan berani Minho melangkah mendekat. “Ingat statusmu, nona muda. Kau sudah memiliki tunangan. Ku harap kau bisa membatasi diri berhubungan dengan lelaki lain,” ujar Minho dengan nada menyindir.

 

Minho dapat dengan jelas melihat raut tegang ditunjukkan oleh gadis yang berdiri di hadapannya itu. Tangan si gadis mengepal sempurna. Sepertinya apa yang Minho ucapkan merupakan suatu hal yang begitu sensitif baginya.

 

“Minho-ya.”

 

Minho yang tadinya berniat melangkah pergi, mengurungkan niatnya. Kembali berbalik dan menatap si gadis yang kini tengah terlihat gelisah.

“Aku sudah mencoba bertahan, Minho. Tapi, aku bukan robot. Aku juga masih punya hati. Tidak bisakah aku menemukan kebahagianku sendiri selain yang ditawarkan tunanganku?”

 

Hati Minho terasa teremas mendengar ucapan si gadis. Kalimatnya barusan menunjukkan bahwa dia sudah lelah terus dilukai.

 

“Ahh, bahkan tidak ada kebahagiaan yang ditawarkan Sehun padaku,” si gadis terkekeh miris. Menertawakan kebodohannya selama ini. Terpaku pada satu orang yang belum tentu mencintainya.

 

“Apakah salah ketika merasakan cinta dari orang lain? Aku juga membutuhkannya, Minho. Sangat membutuhkannya.”

 

“Nona….”

 

“Ahh, sudahlah,” sela gadis itu segera. “Kurasa aku terlalu berlebihan menanggapi perkataanmu. Kau benar, seharusnya aku lebih tahu diri.”

 

Tidak. Minho berteriak dalam hati. Bukan itu maksudnya. Dia sama sekali tidak berniat membuat si gadis kembali bersedih.

 

“Terima kasih,” ujar gadis itu tulus. Senyumnya mengembang meski terlihat memilukan. “Kau tahu, kurasa lain kali aku butuh dirimu untuk sedikit berbagi. Tadi itu cukup membuatku merasa lebih baik,” ujar gadis itu sambil menerawang. Sekelebat bayangan Jongin dan Sehun muncul bergantian di benaknya. Dengan posisi yang berbeda.

 

Minho menatap punggung si gadis yang menjauh dari hadapannya dengan nanar. Ada secuil penyesalan dari dalam diri Minho. Seharusnya dia tidak bersikap seperti tadi. Si gadis begitu rapuh meski terlihat tegar. Seharusnya Minho menyadarinya sejak awal.

 

“Maafkan aku, Jung Soojung,” guman Minho pelan. “Jika terus begini, aku tak yakin bisa mengahapus dirimu dari dalam sini,” ujar pemuda itu sambil menekan dadanya. Entah kenapa rasanya semakin nyeri sekarang ini.

 

O0O

 

Soojung menatap buku yang dibacanya tanpa selera. Pikirannya sama sekali tidak fokus ke bacaannya. Pikirannya melayang-layang jauh entah ke mana. Bisa dibilang bahwa jiwa dan raga Soojung tidak berada di tempat yang sama. Semua berkat ingatannya mengenai ucapan Minho malam tadi.

Soojung menghela napasnya pelan. Dia kembali harus mengingat soal statusnya sekarang ini. Meski Soojung sudah berniat melepaskan Sehun –tungannya, tetapi perjodohan tak begitu saja berakhir. Karena baik Soojung maupun Sehun belum memutuskannya secara resmi. Dengan demikian, seperti kata Minho, tak seharusnya Soojung melakukan hal yang kelewat batas. Dia harus menyadari statusnya meski menginginkan cinta yang lain. Cinta yang tidak pernah diberikan oleh sang tunangan kepadanya.

 

“Soojung?”

 

Soojung mendongak segera. di depannya sudah ada Jongin yang menatapnya cemas. “Kau kenapa? Sakit?”

 

Soojung mengulas senyum tipisnya seraya menggeleng, “Tidak. Hanya sedang banyak pikiran,” jawab gadis itu, menyembunyikan fakta yang benar-benar mengganggunya saat ini.

 

“Mau cerita?”

 

Soojung mengerjap pelan. Kepalanya kembali menunduk. Memandangi buku yang terbuka tanpa membaca kalimat yang tertuang di sana sama sekali. Gadis itu mengigit bibir bawahnya. Terlihat menimbang tawaran Jongin barusan.

 

“Tidak perlu,” kata gadis itu sambil menggeleng. “Bukan sesuatu yang penting, kok,” tambahnya lagi seraya mengangkat kedua sudut bibir ke atas.

 

Jongin menatap Soojung tidak percaya. Dilihat dari gelagatnya, gadis itu pasti memiliki masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan. Tetapi, Jongin tidak berniat memaksa gadis itu untuk menceritakan kegelisahannya. Dia tidak ingin Soojung menjadi tidak merasa nyaman pada dirinya.

 

“Ahh, baiklah. Aku yakin kalau kau memang baik-baik saja.”

 

Soojung menghembuskan napas lega. Syukurlah Jongin tidak bertanya lebih lanjut. Di lain pihak, Jongin masih saja memandanginya khawatir. Tetapi, kelihatannya Soojung tidak menyadari kekhawatiran Jongin padanya. Dia kembali melamun hingga tidak menyadari kalau sedari tadi Jongin masih betah menatapnya.

Banyak hal yang Soojung pikirkan. Tentu saja. Bahkan pemuda yang duduk di hadapannya kini juga menjadi salah satu tokoh yang dipikirkan Soojung. Yang lainnya? Ada Sehun dan … entahlah, banyak bayangan orang yang lalu lalang memasuki pikirannya.

Soal Kim Jongin. Pemuda yang satu itu entah bagaimana kini sudah memporak-porandakan segala yang Soojung bangun. Pemuda itu datang dan memberikan secercah harapan lain bagi diri Soojung. Termasuk untuk mendapatkan kebahagian lain selain dari Oh Sehun –tunangannya. Jongin menuntunnya perlahan untuk melupakan sosok sang tunangan meski berat dilalui. Dan kini berakhir dengan dirinya yang terjebak dalam lingakaran Jongin-isme. Bolehlah Soojung menyebutnya begitu. Karena akhir-akhir ini Jongin memang memenuhi pikirannya. Menggantikan tempat Sehun. Sejak kapan? Entahlah. Mungkin sejak ciuman mereka, atau sebelum itu?

Dan setelah berhasil melalui fase dengan menerima Jongin dalam kehidupannya, Sehun justru kembali mengganggunya. Baiklah, mungkin ini tidak seperti sebelumnya. Seperti saat Sehun memberinya harapan palsu dengan menerima bekal buatan Soojung, bukan. Ini justru lebih parah. Sikap Sehun yang aneh ditunjukkan dengan bagaimana pemuda itu menciumnya dengan kasar, membuat Soojung sedikit terluka. Dia tidak mengerti dengan Sehun. Pemuda itu bersikeras membuat dirinya menyerah. Tetapi, secara bersamaan dia menarik Soojung kembali. Entahlah apa yang dimau pemuda yang satu itu. Apakah ini memang hobi Sehun? Dengan menyakitinya terus menerus?

 

Soojung kembali mendesah frustasi. Dia benar-benar merasa otaknya akan mendidih, kepalanya akan pecah, jika terus memikirkan Jongin dan Sehun bergantian. Ada suatu beban ketika memikirkan dua orang yang berbeda dalam satu waktu. Dan itu benar-benar menyiksa Soojung. Jika begini, dia butuh cara untuk menenangkan diri.

 

“Jongin?”

 

Jongin yang tadinya sedang memandangi Soojung sambil memangku dagu segera meraup kesadarannya. Pemuda itu mengerjap pelan saat melihat Soojung menatapnya penuh harap.

 

“Danau yang waktu itu,” ujar Soojung pelan. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam sebelum kembali bersuara. “Maukah kau mengajakku ke sana lagi?”

 

O0O

 

Jinri bersenandung ringan. Kedua kaki jenjangnya melompat pelan seiring dengan langkahnya. Kedua lengannya berayun pelan. Membuat tas belanjaannya ikut terbawa menari bersamanya. Langkah Jinri terhenti ketika melihat sosok asing tak jauh dari tempatnya berada. Kedua kelopaknya mengerjap pelan. Dirinya seperti tidak mempercayai bayangan yang ditangkap oleh retina matanya.

 

“Oh, Jinri,” sosok itu tersenyum saat melihat Jinri. Membuat si gadis mengeratkan pegangan pada tas belanjaannya. Dia harus menahan diri, jangan sampai jatuh terpesona pada senyuman itu lagi.

 

“Kau ada waktu luang? Mau jalan-jalan denganku sebentar?”

.

.

.

.

.

.

Jinri menggerakkan ayunan yang dinaikinya dengan pelan. Sesekali kedua matanya bergerak ke samping. Mencuri pandang ke arah pemuda yang duduk di sebelahnya. Pemuda ini terlihat aneh. Dia tampak frustasi, setidaknya itu yang dapat Jinri nilai.

 

“Jinri?”

 

“Eoh?” Jinri dengan cepat mengalihkan pandangannya. Segera menatap ke depan, takut si pemuda menyadari aksinya barusan.

 

“Kau pernah menyukai seseorang?”

 

Jinri mengerjap pelan. Dirinya lantas menoleh ke arah pemuda yang kini tengah menunduk sembari memainkan tanah di sekitar sepatunya. Jinri mengigit bibirnya. Bingung harus menjawab bagaimana. Haruskah dia mengatakan yang sejujurnya?

 

“Jinri?”

 

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
rizkyginting #1
Chapter 30: akhirnya kaistalnya balekan lagi
amiisiltya #2
Chapter 38: Demi apa luhan sedih bangeeeett. Kasian luhan :"""
affexions
#3
Chapter 38: wow!! that was so sad:( goodjob authornim... aku suka side-storynya walaupun agak sedih juga
ysmnfrh #4
Chapter 35: Plot twist bgt ga nyangka bakal kaya gini. Bagus ceritanya thorrr
viannafe #5
Chapter 37: Thor izin minta psswrdnya dong. Maaf jika gangguin
viannafe #6
Chapter 33: Hyeyeon kok bilang gitu deh. Kan kasian soojong dijelekin
viannafe #7
Chapter 30: Smga sehun rela ngelepaskn soojong. Kaknya jongin digelarnya nenek sihir. Keke
viannafe #8
Chapter 35: Aduh. Kasian bangat Luhan. Sehunie kok jd begini
kyuhyun12 #9
Chapter 36: Aku harap kaistal berakhir bahagia jangan sad ending please
kyuhyun12 #10
Chapter 35: Kerennn kaka ff nya