our way + ending

god play a game on our destiny

-2PM-

 

Tangan Chansung tertahan pada gagang pintu kamar tempat Junho dirawat. Beberapa waktu lalu, setelah ia bertemu dengan Wooyoung, ia berjalan dengan langkah ringan hendak menemui Junho. Perasaannya terasa begitu ringan dan tenang saat Nichkhun mengabarinya bahwa Junho sudah sadar. Chansung tak pernah merasa sebahagia ini. Tuhan telah mendengar doa-doanya.

 

Namun sayang, pemandangan yang ada di hadapannya saat ini seakan menumbuhkan kembali keraguan yang ada di hatinya. Dadanya terasa sakit melihat Junho tersenyum bahagia kepada Nichkhun juga bagaimana Nichkhun membelai kepala Junho dengan lembut.

 

‘Apa aku sudah terlalu terlambat?’ Batin Chansung pada dirinya sendiri.

 

Tadinya Chansung ingin segera pergi meninggalkan keduanya untuk beberapa waktu namun rasa penasarannya muncul saat ia mendengar suara Nichkhun dari dalam.

 

“… Aku selalu berharap kita bisa kembali ke masa-masa dulu.”

 

Chansung membulatkan matanya. Ia tahu bahwa Nichkhun dan Junho dulunya adalah sepasang kekasih. Ia sudah mendengar seluruh ceritanya dari Wooyoung. Nichkhun masih memiliki rasa terhadap Junho, Chansung menyadari itu sejak semalam. Tapi Chansung tidak yakin dengan perasaan Junho sendiri. Junho bukanlah buku yang terbuka. Ia jarang mengeluarkan isi hatinya. Dengan was-was, Chansung mendekatkan telinganya ke celah pintu yang terbuka.

 

“Aku juga, hyung.”

 

Chansung terus berlari disepanjang lorong rumah sakit, mengabaikan teriakan para suster yang memperingatinya untuk tidak berlarian di rumah sakit. Dadanya terasa begitu sesak hingga ia merasa akan meledak kapan saja. Ia terus berlari sampai ia keluar dari gedung rumah sakit. Percakapan itu terus terngiang di telinganya.

 

“Aku selalu berharap kita bisa kembali ke masa-masa dulu.”

 

“Aku juga, hyung.”

 

Langkah kaki Chansung berhenti di taman belakang rumah sakit. Karena hari masih sangat pagi, tidak ada orang lain selain Chansung disana. Chansung duduk di salah satu bangku yang ada di pojok taman.

 

“Pabbo…” Chansung memukul kepalanya sendiri dengan kesal.

 

“Dasar namja pabbo, kenapa aku selalu saja terlambat menyadarinya…” Rutuk Chansung pada dirinya sendiri.

 

Chansung teringat akan percakapannya dengan Wooyoung beberapa waktu lalu. Keringat bercampur air mata mengalir di pipinya. Dengan tangan terkepal erat Chansung berteriak sekuat yang ia bisa, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihan yang melanda dirinya.

 

-2PM-

 

“Woo, sekarang aku akan membuka perbanmu.” Ucap Nichkhun sambil dengan terampil melepaskan perban yang melilit di kepala Wooyoung selama 3 hari belakangan.

 

Wooyoung meremas kedua tangannya was-was. Kegelapan ini akan segera berakhir. Seminggu yang lalu, Nichkhun membawanya menuju Busan, kota kelahiran Wooyoung. Disanalah Nichkhun mengoperasi mata Wooyoung. Setelah penantian panjang menunggu donor mata, akhirnya pengharapan itu terkabulkan. Seorang nelayan di Busan mengalami serangan jantung saat sedang memperbaiki kapalnya. Sesuai dengan wasiat yang ditinggalkannya, ia mendonorkan hampir seluruh bagian tubuhnya yang masih bisa didonorkan. Beruntung saat itu Wooyoung berada pada list teratas daftar calon penerima donor mata di Korea.

 

“Cobalah untuk membuka matamu perlahan-lahan…” Perintah Seulong, asisten Nichkhun yang turut serta dalam operasi Wooyoung.

 

“Woo, kau bisa melihatku?” Tanya Nichkhun sambil melambaikan tangannya di hadapan Wooyoung.

 

Mata Wooyoung mengerjap beberapa kali, menyesuaikan dengan kondisi sekitar. Ruangan putih di sekelilingnya membuat matanya silau. Ia memperhatikan lelaki tampan yang melambaikan tangan di depannya.

 

“Khun-hyung?” Tanya Wooyoung ragu.

 

“Apa kau bisa melihat segalanya dengan jelas?” Tanya Nichkhun was-was.

 

Wooyoung memindai seluruh ruangan sekali lagi, lalu mengangguk pelan mengiyakan.

 

“Bagaimana perasaanmu?” Tanya Seulong.

 

Wooyoung memijat pelipis kepalanya sambil berkata, “Aku sedikit pusing…”

 

“Jangan khawatir. Itu dikarenakan otak baru merespon cahaya lagi setelah sekian lama. Seperti yang sudah dijelaskan Nichkhun-hyung sebelumnya, operasimu berjalan dengan lancar. Kalau kau merasakan gejala lainnya seperti mual, atau sakit di bagian tertentu, kau harus segera memberitahu kami.” Jelas Seulong.

 

Setelah Seulong pergi, Nichkhun duduk di sebelah Wooyoung. Keduanya tidak berbicara namun hanya saling memandang satu sama lain.

 

“Wae? Apa aku begitu tampan sehingga kau terus menatapku seperti itu?” Canda Nichkhun.

 

“Ne hyung. Aku tidak tahu ternyata aku berurusan dengan seorang yang bertampang seperti malaikat.” Ucap Wooyoung polos.

 

Wooyoung terus saja memandang Nichkhun meskipun sekarang Nichkhun sudah memandang jauh ke luar jendela kamarnya.

 

“Mianhae Wooyoung-ah…”

 

“Eoh?”

 

“Karena telah membuatmu menunggu begitu lama. Mian.” Ucap Nichkhun tanpa melihat kearah Wooyoung.

 

Wooyoung menangkupkan kedua tangannya di pipi Nichkhun, menarik Nichkhun mendekat padanya. Wooyoung mendekatkan kepala Nichkhun di hadapannya sehingga mata Nichkhun bertatapan langsung dengan mata Wooyoung.

 

“Berhentilah meminta maaf padaku hyung. Semua yang terjadi bukan kesalahan siapapun. Bukankah aku sudah mengatakannya berkali-kali? Jadi berhentilah merasa bersalah.”

 

“Apa kau masih membenciku, Woo?” Tanya Nichkhun serius.

 

“Aku mungkin terdengar egois sekarang. Setelah semua hal yang terjadi padamu, pantas jika kau membenciku. Tapi aku harap kau tidak membenciku, juga keluargaku. Aku ingin kita tetap seperti dulu. Sampai sekarang pun, kau tetaplah tunanganku.”

 

“Hyung…”

 

Kedua tangan Wooyoung terjatuh ke pangkuannya. Hati Wooyoung bergetar lagi. Selama ini ia sudah menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta pada seorang Nichkhun, seorang yang telah merenggut sebagian hidupnya. Sayangnya, cintanya terus saja dihadapkan pada cobaan-cobaan.

 

Pada mulanya, Wooyoung menerima ajakan Nichkhun untuk bertunangan karena ia sudah tidak mempedulikan hidupnya lagi. Apapun yang terjadi biarlah terjadi, hanya itu yang terlintas dibenak Wooyoung. Namun Nichkhun menunjukkannya apa itu cinta dan membuatnya merasakan hidup meskipun ia berada di kegelapan.

 

Saat Wooyoung tahu bahwa Nichkhun dan keluarganyalah yang telah menghancurkan hidupnya, kebencian meliputi dirinya. Rasa benci itu membesar melebihi perasaan cintanya pada Nichkhun. Tapi itu hanyalah kebencian sesaat.  Rasa cinta untuk Nichkhun itu tetap ada. Justru perasaan Nichkhunlah yang selama ini dipertanyakan Wooyoung dalam diam.

 

Wooyoung yakin Nichkhun menyayanginya dengan tulus. Ia merasakan ketulusan yang mendalam di setiap tingkah Nichkhun padanya. Ia hanya tidak yakin apakah itu cinta atau hanya belas kasihan. Mengetahui Nichkhun masih memiliki rasa pada Junho membuatnya semakin ragu.

 

“Kau masih membenciku rupanya.” Ucap Nichkhun sedih. Ia salah mengartikan diamnya Wooyoung.

 

“Bukan seperti itu,” Bantah Wooyoung.

 

“Aku mengerti. Terkadang pun aku masih merasa tidak punya hak untuk berdiri di sampingmu.”

 

Nichkhun tersenyum miris.

 

“Aku sudah tidak membencimu hyung. Sungguh.” Ucap Wooyoung tegas.

 

‘Aku hanya masih ragu.’ Tambah Wooyoung dalam hati.

 

“Tidak perlu menghiburku, Woo. Akulah yang sudah menghancurkan hidupmu. Aku yang—“

 

“Hyung… Mari kita tidak membahas hal ini lagi. Semuanya sudah berlalu. Aku tidak mau hyung terus berada di jurang yang hyung buat sendiri. Aku sudah memaafkan hyung. Hyung juga harus memaafkan diri hyung sendiri. Saat itu… Kita, hanya berada pada waktu dan tempat yang salah. Jadi, tersenyumlah. Jangan menampakkan wajah bersalah setiap kali bersamaku.”

 

Nichkhun tersenyum sedikit seperti perintah Wooyoung.

 

“Gomawo, Woo. Boleh aku memelukmu?”

 

Wooyoung terkekeh sambil berkata, “Sejak kapan hyung meminta izin terlebih dahulu untuk memelukku?”

 

Perlahan tapi pasti, Nichkhun membawa Wooyoung kedalam dekapannya. Pelukan terlembut dan terhangat yang pernah diberikan Nichkhun.

 

“Aku sudah menyelesaikan semuanya dengan Junho.” Aku Nichkhun.

 

“A-apa maksud hyung?”

 

Tiba-tiba saja Wooyoung menjadi grogi. Ia mengerti kemana arah pembicaraan ini. Semua keraguan Wooyoung akan terjawab. Tinggal menunggu apakah berita baik yang akan menghampirinya atau berita buruk.

 

“Aku mencintaimu Wooyoung-ah. Apa kau juga merasakan hal yang sama denganku?”

 

“Hyung serius? La-lalu bagaimana dengan Junho?” Wooyoung melepaskan pelukan Nichkhun lalu menatapnya kaget.

 

“Aku memang sedikit terlambat menyadarinya. Tapi sekarang aku yakin 1000%. Karena itu aku bilang aku sudah menyelesaikannya. Junho akan baik-baik saja. Ia memiliki banyak orang yang menyayanginya dan seseorang yang sangat mencintainya. Perasaanku pada Junho selama ini bukanlah cinta sesungguhnya seperti yang kurasakan padamu.”

 

“Aku mencintainya seperti seorang saudara. Kau tahu aku adalah anak tunggal Horvejkul yang selalu dimanja sejak kecil. Melihat Junho, membuatku ingin selalu melindunginya. Aku ingin ia selalu bahagia, begitu pula denganmu. Tapi kedua itu rasa yang berbeda. Aku ingin Junho bahagia dimanapun ia berada. Tapi, aku ingin kau berbahagia bersamaku seorang.”

 

Mata Wooyoung mulai berlinang terharu.

 

“Apa kau tahu, hyung? Sesungguhnya aku tidak bisa membencimu karena… Aku mencintaimu, sejak dulu.”

 

Mendengar lampu hijau dari Wooyoung. Nichkhun segera berlutut dihadapan Wooyoung. Tangannya menggenggam kotak kecil di saku celananya. Sesuatu yang telah ia persiapkan sejak beberapa bulan yang lalu.

 

“Jang Wooyoung. Meskipun kau bukan cinta pertamaku, tapi maukah kau menjadi cinta terakhir untukku?” Ujar Nichkhun sambil menyodorkan kotak kecil berisi cincin pada Wooyoung.

 

“Ne hyung, aku mau.” Ucap Wooyoung.

 

-2PM-

 

Junho sudah keluar dari rumah sakit sejak 2 minggu yang lalu. Saat ini, ia dan Chansung, yang merupakan manager Junho, berada di salah satu villa kepunyaan paman Chansung yang berada di Ilsan. Minjun, yang merupakan dokter Junho, memberi “perintah” pada Junho untuk berhenti dari dunia hiburan untuk sementara waktu. Demi kesehatan Junho, ia mengusulkan pada Chansung untuk membawa Junho berlibur selama sebulan. Meskipun operasi Junho berjalan lancar, tapi ia dilarang melakukan aktivitas berat selama tiga bulan kedepan.

 

Awalnya Junho menolak ajakan Chansung untuk berlibur di Jepang. Setelah berdebat kecil dengan Chansung, ia akhirnya mengaku bahwa ia sangat ingin pulang ke Ilsan, kota kelahirannya. Kepopuleran Junho di Korea membuatnya sulit untuk berjalan-jalan santai dimanapun ia berada. Oleh karena itu, Chansung meminjam villa pamannya yang berada di Ilsan. Villa tersebut berada di dekat pantai yang cukup jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Meski sedikit terisolasi dari kehidupan sosial, villa tersebut memiliki pemandangan wisata yang luar biasa indah. Udaranya juga sangat bagus untuk pemulihan Junho.

 

Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya, Chansung melihat Junho berdiri menatap pantai dari balkon di ruang tengah. Sejak keluar dari rumah sakit, baik Chansung maupun Junho sedikit menjauh satu sama lain. Beberapa kali Chansung mencoba untuk menghampiri Junho di balkon, tapi tidak jadi dilakukan. Ia ingin Junho bahagia. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya membuat Junho bahagia.

 

“Channie, apa kau mau ikut jalan-jalan di pinggir pantai?” Tanya Junho membuyarkan lamunan Chansung.

 

Chansung dan Junho berjalan dalam diam. Hanya suara ombak yang menemani jalan santai mereka. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada seorang pun yang berani memulai percakapan.

 

“Tuan muda, ada paket dari Busan.” Teriak penjaga villa sambil menghampiri Chansung dan Junho.

 

Chansung berlari kecil ke penjaga villa untuk mengambil paket yang dimaksud. Setelah penjaga villa itu pergi, ia membuka paket itu. Didalamnya terdapat sebuah kertas tebal bertuliskan undangan dan selembar surat dari Wooyoung.

 

“Apa itu Chan?” Tanya Junho yang menghampiri Chansung.

 

“Undangan, dari Nichkhun dan Wooyoung.” Jawab Chansung.

 

Junho mengambil undangan dari tangan Chansung dan membacanya. Lagi-lagi keheningan meliputi kedua namja itu.

 

“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Junho cemas sambil melihat kearah Chansung yang mematung di tempat.

 

“Heh?”

 

“Jang Wooyoung. Bukankah dia alasanmu pergi ke Seoul?” Tanya Junho lagi.

 

Chansung menaikkan sebelah alisnya bingung. Junho mengkhawatirkan dirinya. Sedangkan dirinya selama ini mengkhawatirkan Junho. Bukankah Junho dan Nichkhun sudah berbaikan? Dan sekarang namjachingunya itu malah akan menikahi orang lain yang tak lain adalah sahabatnya.

 

“Aku selalu mendoakan kebahagiaan untuknya.” Jawab Chansung.

 

Kali ini giliran Chansung yang menatap Junho dengan tatapan ‘Bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja?’

 

“Aku baik-baik saja Chan. Aku sudah menemukan bintang yang lebih terang. Cahayanya begitu menyilaukan, membuatku menjadi buta dan tak bisa melihat hal lain selain dirinya.” Ucap Junho seakan ia bisa membaca pikiran Chansung.

 

“Apa maksudnya?” Tanya Chansung bingung.

 

-2PM-

 

Flashback…

 

Di sebuah café kecil yang ada di kota Seoul, Wooyoung dan Chansung duduk diam memegangi cangkir kopi masing-masing. Setelah lama tidak bertemu dan mengobrol bersama, atmosfir diantara keduanya terasa begitu canggung.

 

“Wooyoung-ah…”

 

“Chansung-ah…”

 

“Kau duluan Woo…”

 

“Ani, silahkan kau duluan…”

 

Setelah berkata-kata dengan canggung, keduanya terdiam sekali lagi.

 

“Bagaimana kabarmu?” Wooyoung akhirnya angkat bicara.

 

“Aku baik. Kau?”

 

“Seperti yang kau liat, aku juga baik.” Ucap Wooyoung dengan senyum khasnya.

 

Chansung ikut tersenyum memecahkan kecanggungan diantara mereka. Tanpa niatan apapun, ia mencubit kedua pipi Wooyoung gemas.

 

“Aigoo… Uri Wooyoung sama sekali tidak berubah.”

 

 “Apa Junho sudah sadar?” Tanya Wooyoung.

 

“Belum…”

 

Wooyoung bisa merasakan perasaan khawatir dan kesedihan dari nada bicara Chansung.

 

“Dia akan segera bangun. Kudengar operasinya berjalan lancar.”

 

“Tapi ini sudah hari kesebelas. Aku takut, Woo.” Ucap Chansung dengan nada bergetar.

 

“Kau begitu mencintainya ya?”

 

Chansung terlihat kebingungan sendiri.

 

“Mwo? Aku? Mencintai Junho?” Pertanyaan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri.

 

“Apa aku salah?” Tanya Wooyoung lagi.

 

Chansung tidak menjawab pertanyaan Wooyoung. Ia masih berusaha menata hatinya untuk menemukan jawaban. Selama ini Chansung memang sangat peduli pada Junho. Tapi ia yakin bahwa orang yang paling ia sayangi adalah Wooyoung, namjachingunya. Benarkah begitu?

 

“Kau selalu saja terlambat menyadari hal-hal seperti ini.”

 

“Menurut cerita dari Khun-hyung, Junho bukan anak yang terbuka. Kau harus memberitahunya lebih dulu, sebelum semuanya benar-benar terlambat.” Jelas Wooyoung.

 

Ia menghabiskan kopi di cangkirnya dalam sekali minum sebelum berkata pada Chansung.

 

“Chan, mari kita akhiri saja hubungan kita.”

 

Chansung yang mulai menyadari perasaannya sendiri tertunduk merasa bersalah.

 

“Mianhae Woo… Aku tidak bermaksud menyudahinya seperti ini.”

 

Wooyoung menggeleng sambil berkata panjang lebar,

 

“Ani, ini bukan kesalahanmu, ataupun kesalahanku. Kita berada pada garis takdir yang berbeda. Tidak ada gunanya lagi melanjutkan hubungan ini. Kita memiliki seseorang yang kita tidak bisa hidup tanpanya. Sampai kapanpun kau tetap sahabat baikku, Hwan Chansung.”

 

“Kau juga akan selalu menjadi sahabat baikku, Jang Wooyoung.”

 

End Flashback.

 

-2PM-

 

Chansung dan Junho masih berdiri berhadapan di pinggir pantai. Chansung memikirkan maksud perkataan Junho barusan.

 

“… Aku sudah menemukan bintang yang lebih terang. Cahayanya begitu menyilaukan, membuatku menjadi buta dan tak bisa melihat hal lain selain dirinya”

 

‘Apa itu berarti Junho akan selalu melihat Nichkhun? Ia menjadi buta karena cintanya yang begitu besar?’

 

‘Junho-ya, apa kau begitu mencintai Nichkhun?’

 

‘Aku juga ingin bisa membahagiakanmu…’

 

Junho berjalan melewati Chansung, hendak masuk kedalam villa namun pergelangan tangannya ditahan oleh Chansung. Dengan satu gerakan cepat, Chansung membalikkan tubuh Junho menghadapnya. Lalu memegang kedua bahu Junho dengan kedua tangannya dan menatap Junho dalam-dalam.

 

“Tak bisakah kau melihatku?” Tanya Chansung putus asa.

 

“A-aku sedang melihatmu saat ini Chansung-ah.” Ucap Junho terbata-bata.

 

Ditatap Chansung begitu dalam dengan jarak sedekat ini membuat pipi Junho memerah. Suhu pantai yang sedikit hangat tiba-tiba terasa begitu panas, membuat jantung Junho berdetak lebih kencang.

 

“Bukan itu maksudku Junho-ya…”

 

Chansung mengambil nafas dalam-dalam.

 

“Lupakanlah Nichkhun …”

 

“Lihatlah diriku seutuhnya. Aku yang selalu dan akan selalu berada di sisimu. Aku ingin kau bahagia, Junho-ya.”

 

“W-wae??”

 

“Karena aku menyukaimu.” Ucap Chansung cepat.

 

“Kau menyukaiku?” Tanya Junho tak percaya.

 

Chansung tersipu malu. Matanya bergerak cepat tak berani menatap mata Junho.

 

“Aku mencintaimu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku.” Ucap Chansung yakin.

 

“Kau adalah bintang menyilaukan yang aku maksud Channie…” Balas Junho sekaligus memperjelas kalimatnya tadi.

 

Chansung tersenyum mendekat kearah Junho. Ia memajukan mukanya mendekati Junho, begitu pula sebaliknya. Tahu maksud pergerakan masing-masing, Chansung sedikit memiringkan kepalanya. Jarak diantara keduanya semakin mengecil sampai pada akhirnya bibir keduanya bertemu. Dengan gerakan yang sangat lembut Chansung mencium bibir atas Junho. Kedua tangannya merangkul Junho, memeluknya dengan erat seakan mengisyaratkan bahwa ia tak akan pernah melepaskannya.

 

Beberapa saat kemudian, Junho melepaskan diri dari Chansung sambil tetap memegang tangannya.

 

“Sejak kapan kau mencintaiku?” Tanya Junho.

 

Chansung tampak berpikir sebentar sebelum menjawab.

 

“Aku juga tidak tahu, semuanya terjadi begitu saja. Perasaanku padamu tumbuh tanpa kusadari. Beberapa jam sebelum kau sadar, Wooyoung menyadarkanku akan perasaanku sendiri.”

 

Chansung tersenyum sendiri mengingat percakapannya dengan Wooyoung.

 

“Aku kira aku sudah sangat terlambat. Karena aku tahu kau masih mencintai Nichkhun.” Ucap Chansung seolah masih tidak percaya bahwa Junho juga mencintainya.

 

“Apa kau tahu Channie, saat aku koma...”

 

Chansung bergidik ngeri mengingat saat-saat Junho berada diambang ketidakpastian hidup.

 

“Aku hampir saja menuju tempat Eomma kalau saja aku tidak mendengar suaramu. Kau terus memanggilku begitu juga dengan Eomma. Saat itulah aku menyadari betapa pentingnya dirimu. Alam bawah sadarku pasti ingin selalu bersamamu.”

 

“Kita akan selalu bersama, selamanya.” Ucap Chansung sambil memeluk Junho sekali lagi dan mengecup bibirnya sekilas.

 

“Saranghaeyo, Lee Junho…”

 

“Nado…”

 

-2PM-


Hello everybody!!

Akhirnya setelah hampir 2 tahun author namatin FF ini :)

Yap dan pada akhirnya FF ini author tutup dengan total 65 halaman (16643 words) =] *Author sendiri ga nyangka bakal bisa nulis sebanyak ini*

Tadinya author mau bagi ceritanya jadi 2 chapter lagi, tapi akhirnya author putuskan buat jadi satu chapter yang lebih panjang dari chapter" sebelumnya supaya readers puas bacanya wkwk.. Semoga semuanya tetap setia membaca tulisan author yang makin hari makin gaje haha :D dan semoga ceritanya menghibur para readers sekalian ^.^ #bow

Mohon kritik dan saran untuk FF author yang udah finished ini ya!! ^-^v

 

Akhir kata,

Thanks to readers, subscribers and upvoters yang telah turut meramaikan FF ini.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
eyessmile14
#1
I dont have karmas yet to vote this fic up btw T^T
eyessmile14
#2
Chapter 13: Seriously, suka banget sama ff ini, author kid. Baru nemu :"D kapan lg bikin ff kaya gini. Kalo boleh kasi kritik, saya rasa alurnya agak sedikit cepat thor penyelesaian masalah chanwoo khunho. But overall, this is good. <3
sabrinanunneo #3
Chapter 13: AHHH SO SWEET BANGEYYYYSSS. UNTUNGLAH TAK ADA YG TERSAKITI DISINI... BTW CHAP NYA KURANGBPANJANG BUAT ENDING LOL... THOR GUD JOBB DEH... THOR EEQUEST DONK.. BUAT CERITA SEGITIGA TAPI OBJEK PREBUTANNYA SI JUNHO.... PLEASEEE.. KHUN WOO RIVAL SERU JUGA.... HEHHEHE
shaxobyarm #4
Chapter 13: khunwoo! chanho! horee!!

so sweet ending
HottestKY #5
Chapter 12: what is this? -_- i want khunyoung!
myrajunho
#6
Chapter 12: I vote forKhunHo ♡
casslah #7
cam back and upvoted! weehoooooooo!