intersection

god play a game on our destiny

-2PM-

 

Gelap…

 

Semuanya terlihat hitam. Sekuat apapun Junho berlari, memacu seluruh sel-sel tubuhnya, ia tetap tidak bisa melihat apapun. Sekelilingnya hitam pekat. Ia bahkan tidak bisa melihat tangan ataupun kakinya sendiri. Meski begitu ia terus berlari sekuat tenaga. Karena ia tahu ada yang mengejarnya tepat dibelakangnya.

 

Entah sudah berapa lama ia berlari dalam kegelapan. Anehnya, ia tidak merasa lelah sedikitpun. Tubuhnya justru semakin fit setiap kali ia berlari.

 

Suara derap langkah di belakangnya terdengar semakin jelas. Samar-samar, Junho bisa mendengar suara orang-orang memanggilnya. Suaranya begitu lirih dan sedih. Ingin sekali Junho membalas panggilan itu, namun tak sepatah katapun dapat keluar dari bibirnya.

 

Nuneo… Nuneo…

 

Suara itu semakin lama semakin keras menggema di telinga Junho, membuatnya sakit kepala.

 

Nuneo…

 

Rasa sakit di kepala membuatnya jatuh tersungkur. Ia menekan telinganya kuat-kuat berharap suara-suara itu pergi.

 

Junho-ya!

 

Junho menurunkan tangannya dari telinganya dan menatap sekelilingnya. Ia berada di sebuah lapangan besar. Tapi, sejak kapan? Matanya masih menyesuaikan pandangannya. Cahaya disekelilingnya begitu terang dan berbanding terbalik dengan keadaannya beberapa saat lalu.

 

Nuneo…

 

“Eomma?”

 

Sekarang Junho mengenali suara itu. Suara yang sangat ia rindukan.

 

“Eomma, kau dimana?” Teriak Junho sambil berputar ditempat.

 

“Eomma!”

 

Junho berlari kearah seorang perempuan yang berdiri disamping pohon besar. Meskipun jaraknya masih 20 meter, Junho dapat melihat dengan jelas sosok yang berada disana. Mimpikah ini? Tapi, Junho bahkan hampir tidak pernah memimpikan ibu nya selama 7 tahun belakangan. Ia bahkan hampir melupakan wajah ibunya, karena ia tidak punya satupun foto ibunya.

 

Junho-ya… Jangan pergi kesana!

 

Suara itu menghentikan langkah Junho. Ia berbalik ke sumber suara dan menemukan sosok ‘dia’.

 

“Wae? Aku mau bertemu eomma sebentar.” Balas Junho dengan teriakan lantang. Junho kembali berlari kearah pohon besar yang berada di tengah-tengah lapangan.

 

Andwae Junho-ya!!! Kembali!! Jeball…

 

Langkah Junho kembali terhenti untuk kedua kalinya. Ia menghentakkan kakinya seperti kebiasaannya saat sedang kesal.

 

“Sebentar lagi aku akan kesa—“

 

Junho tertegun. ‘Dia’ menangis. Sosok itu menangis tanpa isakan. Raut wajahnya memancarkan kesedihan mendalam, air mata mengalir deras di pipinya, namun tak sedikitpun terdengar suara isakan darinya. Jangan menangis, ingin Junho mengatakan itu padanya dan menghapus kesedihan dari wajahnya. Ia benci melihat sosok itu menangis, karena tangisannya juga menyakiti Junho dari dalam.

 

Seorang anak kecil berjalan dari belakang sosok itu, berdiri tepat disebelahnya. Matanya yang sipit sedikit bengkak karena menangis terus menerus. Pipinya yang chubby berwarna merah. Rambutnya acak-acakan. Meski begitu wajahnya terlihat datar seakan ia sudah siap menghadapi apapun dihadapannya, bahkan kematian sekalipun.

 

Tangan anak kecil itu menarik-narik ujung baju orang itu. Sosok yang tadinya berteriak kearah Junho, sekarang berlutut dihadapan anak kecil itu. Junho tidak bisa mendengar percakapan diantara keduanya. Jarak mereka terlalu jauh darinya. Meski begitu, Junho masih dapat melihat anak kecil itu menarik tangan orang itu menjauhi dirinya, berjalan kearah tepi yang bisa Junho yakini adalah sebuah jurang.

 

“Andwae!! Kajima!” Teriak Junho histeris.

 

Junho ingin berlari kearahnya, namun ia terjatuh. Aneh. Padahal ia yakin barusan saja ia berada di sebuah lapangan yang luas. Sejak kapan ia terjatuh dan bergantungan pada ujung tebing?

 

Anehnya lagi, tangannya sama sekali tidak terasa sakit. Junho melihat kesekeliling, mencari sosok tadi. Namun, yang ditemukannya hanya anak kecil yang bergantung disebelahnya. Keduanya saling memandang satu sama lain.

 

Nuneo, lepaskan saja. Eomma akan menangkapmu.

 

Baik Junho maupun anak kecil disebelahnya, sama-sama menoleh ke bawah.Keduanya sama-sama terkejut melihat sosok ibunya yang tadi berdiri disebelah pohon, sekarang berdiri dibawah tebing dengan tangan terentang. Tidak hanya itu, Junho juga melihat Appa-nya berdiri disebelah Eomma-nya sambil tersenyum meyakinkan kearah Junho.

 

“Eomma… Appa…” Gumam Junho.

 

“Eomma… Appa…”

 

Dengan gerakan cepat, Junho menatap anak kecil disebelahnya. Lagi-lagi, anak itu menatap Junho.

 

“Kau?”

 

“Kau?”

 

Junho melepas sebelah pegangannya, lalu melambaikan tangannya ke hadapan anak kecil itu. Namun yang terjadi adalah apa yang dilakukan Junho juga dilakukan anak kecil tadi.

 

Junho, pegang tanganku, cepat!

 

Junho melihat keatas, sosok itu muncul lagi. Kali ini ia terlihat tenang. Tak ada kesedihan sedikitpun diwajahnya. Ia bahkan tersenyum pada Junho bagai malaikat.

 

Ia melihat kearah bawah sekali lagi, lalu kearah sosok diatas tebing, dan kearah anak kecil disebelahnya. Junho pun sadar. Anak kecil itu sama sekali tidak menatap sosok diatas tebing. Matanya hanya terfokus pada kedua orangtuanya dibawah sana. Saat anak kecil itu menatap Junho lagi, pancaran kerinduan menggerakkan hati Junho.

 

“Mianhae…” Bisik Junho pelan. Lalu, keduanya melepaskan pegangan mereka dari tebing bersamaan.

 

Sosok itu memeluk Junho erat. Setelah menariknya dari tebing, ia langsung membawa Junho kedalam pelukannya. Junho membalas pelukannya dan menumpukan kepalanya di bahu orang itu. Matanya terasa berat. Sebelum Junho kehilangan kesadaran, ia mendengar bisikan pelan orang itu yang berkata lembut namun tegas padanya, jangan pernah lakukan hal itu lagi.

 

-2PM-

 

Semalaman Nichkhun memandangi wajah Junho yang tertidur. Tangannya menggenggam erat tangan Junho, meremasnya dan mengelusnya pelan.

 

“Cepatlah sadar Junho-ya, ada banyak orang yang menunggumu disini.” Bisik Nichkhun ditelinga Junho.

 

Setitik air mata tidak terlewatkan dari pandangan Nichkhun. Dengan gerakan yang sangat lembut, ia menghapus air mata yang ada di sudut mata kanan Junho.

 

“Uljima… Apa kau bermimpi buruk lagi?” Ujar Nichkhun.

 

“Eomma… Appa…” Gumam Junho pelan.

 

Kalau saja Nichkhun tidak melihat bibir Junho bergerak sedikit, ia mungkin tidak akan menyadari kalau Junho baru saja mengigau. Beberapa menit kemudian, Junho mulai membuka matanya yang sipit.

 

“Junho-ya, kau bisa mendengarku?” Tanya Nichkhun berkali-kali.

 

Junho mengangguk pelan.

 

“Nichkhun-hyung…” Panggil Junho pelan.

 

“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Junho dengan suara seraknya.

 

Dengan sigap, Nichkhun mengambil minum diatas meja dan membantu Junho minum. Ia tahu bahwa yang Junho butuhkan saat baru sadar adalah air. Setelah itu, ia segera memanggil Minjun, dokter yang bertanggung jawab atas Junho.

 

Minjun melakukan pemeriksaan sambil mengomeli Junho. Untungnya, Junho baik-baik saja. Operasinya berhasil dan sejauh ini belum ada efek samping yang membahayakan. Minjun memberitahu hasil pemeriksaan pada Nichkhun, lalu pergi untuk memeriksa pasiennya yang lain.

 

“Aku berhutang penjelasan padamu.” Ucap Nichkhun. Sejak sadar, Junho terus saja menatap Nichkhun.

 

“Penjelasan? Aku mengerti kok hyung. Memang sudah sepantasnya hyung meninggalkan aku.”

 

Nichkhun menatap Junho tidak percaya. “Bukan seperti itu Junho-ya… Meninggalkanmu saat itu adalah salah satu hal terberat yang kulakukan seumur hidupku.”

 

“Maafkan hyung…”

 

Junho memegang pipi Nichkhun yang tertunduk di hadapan Junho.

 

“Jangan sedih. Aku tidak suka melihat hyung bersedih.” Ucapnya sambil mengangkat kepala Nichkhun agar menatapnya.

 

“Hyung pasti mengalami saat-saat yang sangat sulit.” Komentar Junho.

 

Junho tersenyum kearah Nichkhun, berharap senyumnya bisa membuat hyung kesayangannya ikut tersenyum.

 

“Aku mengerti, hyung bisa cerita padaku semuanya. Aku, akan mengerti.”

 

Setelah berkata begitu, Nichkhun mulai menceritakan semuanya. Mulai dari kecelakaannya bersama Wooyoung, sampai bagaimana ia memutuskan bertunangan dengannya.

 

“… Separuh diriku merasa sangat bersalah, separuh diriku yang lain berusaha melupakannya dan kembali padamu. Pada akhirnya sebagian dari diriku itulah yang menang.” Ucap Nichkhun mengakui.

 

“Aku senang, hyung telah memilih hal yang benar.” Ucap Junho dengan mata berbinar.

 

Nichkhun tersenyum sambil menggenggam tangan Junho, “Apapun yang terjadi, Junho-ya. Aku selalu berharap kita bisa kembali ke masa-masa dulu.”

 

“Aku juga, hyung.” Balas Junho.

 

Keduanya tertawa bersama. “Apa sebaiknya kita memulainya dari awal lagi?” Canda Nichkhun.

 

-2PM-


Haiii semuanya ^-^

Akhirnya author kembali lagi #yeah!

Gimana nih ceritanya? Tambah geje kah? HaHa... Author berusaha menulis supaya alurnya tetep seperti semula. Ohya, ceritanya bakal segera author tamatin nih beberapa chapter lagi *spoiler*

Btw, ada yang bisa menebak siapakah 'dia' di chapter ini????

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
eyessmile14
#1
I dont have karmas yet to vote this fic up btw T^T
eyessmile14
#2
Chapter 13: Seriously, suka banget sama ff ini, author kid. Baru nemu :"D kapan lg bikin ff kaya gini. Kalo boleh kasi kritik, saya rasa alurnya agak sedikit cepat thor penyelesaian masalah chanwoo khunho. But overall, this is good. <3
sabrinanunneo #3
Chapter 13: AHHH SO SWEET BANGEYYYYSSS. UNTUNGLAH TAK ADA YG TERSAKITI DISINI... BTW CHAP NYA KURANGBPANJANG BUAT ENDING LOL... THOR GUD JOBB DEH... THOR EEQUEST DONK.. BUAT CERITA SEGITIGA TAPI OBJEK PREBUTANNYA SI JUNHO.... PLEASEEE.. KHUN WOO RIVAL SERU JUGA.... HEHHEHE
shaxobyarm #4
Chapter 13: khunwoo! chanho! horee!!

so sweet ending
HottestKY #5
Chapter 12: what is this? -_- i want khunyoung!
myrajunho
#6
Chapter 12: I vote forKhunHo ♡
casslah #7
cam back and upvoted! weehoooooooo!