#15
Contract Girl [in indonesian]
Lampu merah menyala dari atas pintu, menandakan operasi sedang berlangsung. Satu jam sudah berlalu, seorang gadis menunggu dengan sabar dari luar ruangan. Dia berdoa dengan sepenuh hati. Ya, dia Song Irin. Ibunya sedang berjuang di dalam ruang operasi. Tak lama kemudian lampupun padam dan tim dokter segera keluar ruangan.
“dok, bagaimana keadaan eomma?” Irin bertanya penuh kepanikan pada nadanya.
Dokter itu melepaskan maskernya dan merengkuh kedua lengan Irin dengan tatapan sedih.
“a-andwae. Andwae. Andwae!!” Irin dapat merasakan pesan yang akan disampaikan dokter kim.
“maafkan kami Irin-ssi. Keadaan ibumu sebelum operasi sangat baik sehingga dia menyetujui untuk melakukan operasi. Tetapi di tengah pengoprasian keadaan ibumu melemah. Kami sudah mencoba segala cara dan peralatan untuk membantunya bertahan. Tetapi…” dokter kim tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
“ANDWAEE EOMMAAAAAA!!!” seketika Irin tersimpuh di lantai dingin rumah sakit.
Air mata mengalir deras seiring jeritan hati Irin sepeninggal ibunya. Dia memeluk ibunya untuk yang terakhir kalinya sebelum dia menyerahkan proses selanjutnya kepada dokter Kim.
Hari sudah petang, proses kremasi ibunya pun sudah selesai. Dokter Kim menyerahkan guci kecil berisi abu ibunya.
“maafkan kami irin-ssi. Kami sudah mencoba semua hal yang memungkin membantu ibumu tetap hidup.” Terdengar nada penyesalan pada kalimat Dokter Kim.
“tidak apa-apa dok. Eomma pasti sudah sangat lelah. Sekarang dia pasti sudah beristirahat dengan tenang. Aku tau ini pasti yang terbaik untuk eomma.”
Walau matanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti, tetapi terdengar ketegaran pada nada bicaranya. Senyum tenang tergambar pada wajah lesunya. Dokter Kim mengelus puncak kepalanya.
“kau juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk eommamu. Aku yakin, dia pasti bangga mempunyai putrid sepertimu. Sekarang, hiduplah dengan baik dan bijak. Walaupun kau sudah tidak memiliki siapapun, kau boleh menghubungiku kapan saja. Kau mengerti, Irin-ssi?” Dokter Kim berusaha membesarkan hati Irin.
“ye. Gamsahamnida bagsanim.” Irin membungkuk memberii hormat.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
“neo wasseo?” sapa Dongwoon dari dapur.
“hem.” Irin terlalu lelah untuk merespond Dongwoon.
“hei, aku ingin bikin ramyeon, kau mau?” Dongwoon menunjukkan dua bungkus ramyeon ke Irin yang sudah menyusulnya di dapur.
“pergilah lihat tivi, akan aku masakkan ramyeonnya.” Jawab Irin dengan tidak bersemangat.
“Irin-ah, kau kenapa?” Dongwoon khawatir dengan Irin yang terlihat tidak bersemangat.
“maafkan aku, aku tadi pagi pergi tanpa memberi tau oppa.” Irin masih sibuk memasakkan Dongwoon.
“memangnya kau kemana?” Tanya Dongwoon perhatian.
“. . . . . . . . .” Irin diam, sibuk memasak ramyeon Dongwoon.
Sepasang tangan merangkul pinggang Irin dari belakang. Irin dapat merasakan kenyamanan dalam dekapan itu. Dongwoon meletakkan kepalanya pada bahu kanan Irin, tidak mengeluarkan sepatah kata. Air mata Irin mengalir tanpa perintah darinya. Rasanya isi hati Irin ingin dia tumpahkan seluruhnya. Irinpun mematikan kompor yang memasak ramyeon Dongwoon. Sekuat apapun dia berusaha menahan airmatanya, kehangatan pelukan Dongwoon meluluhkan segalanya.
Irin merasakan lututnya sudah tidak sanggup menahan berat bebannya. Diapun jatuh bersimpuh, Dongwoon mensejajarkan badannya dengan Irin. Dia merengkuh wajah Irin yang bersimbah air mata, mengusapnya lembut dengan ibu jarinya.
“maafkan aku oppa, aku sudah berb-bohong padamu…”
_________________________________________________________________________________________________________________________
Comment and subscribe is welcome :D
Comments