Episode 08

EXchange
Please Subscribe to read the full chapter

Malam semakin larut. Obrolan mereka tidak berhenti begitu saja di meja makan. Orang pertama yang meninggalkan kursinya adalah Yuri dengan membawa beberapa kaleng bir ke lantai atas. Sunny menyusul di belakang dengan tiga kantong keripik kentang. Semua orang mulai berpindah, kecuali Yoona yang kalah dalam taruhan angka besar dan harus membersihkan piring-piring kotor.

“Apa yang kamu rencanakan?” tanya gadis itu tiba-tiba, nyaris membuat wanita yang lebih tua mengucapkan sumpah serapah.

Itu mengejutkan. Yoona sedang menghitung domba-domba yang melompat di atas awan ketika suara bisikan menusuk gelembung lamunannya hingga pecah. “Kenapa kamu ada di sini? Kupikir semua orang sudah naik ke atas.”

“Kenapa tiba-tiba kamu mengirim pesan?” desak Seohyun tanpa basa-basi. Sejak awal itu adalah tujuan utamanya turun ke lantai bawah.

Yoona mendesah berat. Dia mencuci tangan hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelah merasa siap, dia berbalik badan menghadap mantan pacarnya. “Itu rumit. Bagaimana aku mengatakannya; sangat sulit dijelaskan. Ada berbagai emosi dalam satu waktu.”

“Aku mengerti. Kamu mengira semua akan berjalan baik-baik saja tapi ternyata tidak.”

“Benar. Aku berusaha mengendalikan diriku. Aku bertanya-tanya apakah orang lain akan melihat sebanyak yang kulihat pada dirimu.”

“Aku tidak berharap banyak perhatian. Aku bisa berakting yang mencerminkan diriku.”

“Kurasa mereka tidak akan banyak melihat karena kamu tidak menunjukkannya.”

“Aku tidak banyak bicara.”

“Itu benar. Apa kamu merasa sulit?”

“Tidak. Hanya saja.. kamu benar, ini terlalu rumit.”

Obrolan singkat itu menggiring mereka pada satu senyum simpul. Yoona menepuk pelan pundak mantannya seolah mengatakan jika segala hal yang tampak abu-abu akan mulai jelas seiring berjalannya waktu.

Pada akhirnya mereka memilih bergabung bersama teman-temannya secara terpisah. Bukankah akan sangat mencurigakan kalau mereka terlihat bersama. Seohyun menjadi yang pertama. Setelah jeda beberapa menit, Yoona muncul dengan aura kegelapan.

“Ada apa?” tanya Yuri sambil membersihkan area di sekitar kaleng bir lalu membukanya. Itu adalah kaleng keduanya dan sama sekali belum ada niat untuk berhenti minum.

“Kamu tidak membantuku mencuci piring,” jawabnya pura-pura cemberut.

Mereka tertawa. Satu hal yang harus diakui, gadis itu tampak lucu dan menggemaskan saat mengerucutkan bibirnya. Mungkin itu juga menjadi alasan beberapa pasang mata tertuju padanya.

“Apa yang kalian bicarakan?”

“Tidak banyak.”

“Mari bicarakan ini; berapa perbedaan usia terbesarmu dari orang-orang yang pernah kamu kencani?”

“Oh, aku penasaran soal itu.”

“Aku juga.”

“Dari siapa kita mulai?”

“Kamu dulu karena kamu yang bertanya,” balas Taeyeon mencari alasan agar menjadi orang terakhir dalam putaran permainan.

“Oke,” kata Sunny menganggukkan kepala. “Perbedaan paling besar sejauh ini adalah empat tahun. Kamu?”

“Ini bukan giliranku. Berputar searah jarum jam, kan?”

“Tidak ada aturan khusus seperti itu. Kenapa kamu menghindarinya?”

“Aku tidak menghindar. Lagi pula semua akan mendapat giliran untuk menjawab.”

“Aku ingin kamu menjawabnya sekarang.”

“Aku tidak peduli soal usia,” jawabnya dalam nada kekalahan. Jika harus berkata jujur, itu hanya berjarak dua tahun. Bertahan dengan prinsip hidupnya tentang batasan usia dalam acara ragam ini cukup merugikan. Terlebih saat usia gadis yang dia sukai berada di luar jangkauan.

“Jadi, berapa?”

“Aku penasaran. Apa sampai sepuluh tahun? Taeyeon bahkan masih terlihat cocok untuk berkencan dengan anak sekolah.”

“Baiklah. Aku tidak akan mengatakan jumlah pastinya.”

“Lebih dari lima tahun?”

“Hm,” kepalanya mengangguk kecil.

Luar biasa. Taeyeon baru saja melakukan kebohongan besar yang membuat kening Tiffany berkerut dalam. Siapa? Kenyataan bahwa mereka merupakan pacar pertama untuk masing-masing pihak bukan sebuah rahasia.

“Itu tidak penting. Aku hanya memikirkan seseorang yang membuatku nyaman.”

“Sejujurnya aku juga tidak peduli soal usia. Saat kamu berada dalam acara kencan buta, kamu tidak akan langsung menanyakan usia mereka.”

“Kamu sering melakukan itu?” ledek Yoona pada teman sekamarnya.

“Apa? Bukankah kencan buta selalu populer di kalangan anak muda?”

“Itu benar,” balas Seohyun malu-malu. “Aku pikir beberapa teman kuliahku masih ada yang tertarik pada acara semacam itu. Aku tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana cara kita bertemu dengan pasangan, asalkan orang baik maka aku akan melanjutkannya.”

“Berapa untukmu?”

“Bagiku dua tahun perbedaan usia terbesar. Aku tidak mengencani banyak orang.”

“Aku mengira Seohyun akan mengatakan perbedaan usia yang cukup besar sekitar lima tahun atau lebih karena kupikir anak muda pada masa sekarang ini lebih tergila-gila pada sosok yang dewasa.”

“Itu pengalamanmu sendiri, bukan?”

“Mengapa kamu selalu menuduhku?”

“Katakan berapa jarak usia terbesarmu?”

“Delapan tahun,” jawab Yuri.

“Nah, benar kan, kamu berpikir seperti itu karena pengalaman pribadimu.”

Keributan kecil itu hampir membuat semua orang tertawa kecuali satu; mantan pacar pemilik kafe. Jessica diam-diam mengamati interaksi dua wanita yang tinggal dalam satu kamar. Itu menyebalkan. Dia bahkan tidak sanggup menarik sudut bibirnya hanya agar terlihat sopan di depan teman-temannya.

“Sepertinya tidak ada yang keberatan soal perbedaan usia karena itu bukan menjadi penghalang dalam sebuah hubungan.”

“Tepat sekali. Bagaimana kalau membahas tipe ideal pasangan yang kamu suka?”

“Bukankah kita pernah membicarakan hal ini?” tanya Sooyoung agak ragu dengan ingatannya yang kabur.

“Waktu itu hanya beberapa orang saja dan sekarang kita juga sudah kedatangan teman baru.”

“Ah, benar. Aku ingat. Saat itu Taeyeon tidak ikut bergabung jadi kita bisa mulai dari dia.”

Taeyeon merenung sejenak. Meskipun itu pertanyaan yang mudah namun terkadang dia kesulitan merangkai kata-kata. Dia benci jalan pikirannya yang rumit

“Aku menyukai bentuk mata yang cantik. Aku selalu menatap mata seseorang saat berbicara sehingga aku akan terhipnotis dengan kecantikan matanya.”

“Tunggu dulu. Aku harus mengamati wajah kalian satu per satu dan menemukan bentuk mata terindah milik mantan pacar Taeyeon,” komentar Yuri dengan nada bercanda. Itu memancing rasa penasaran setiap orang yang diam-diam mencuri pandang satu sama lain.

“Bagaimana dengan Tiffany, seperti apa tipe idealmu?”

“Aku suka orang yang gemar berolahraga dan juga pintar.”

“Oh, apa itu Yuri?” pekik Yoona agak heboh dengan tebakannya sendiri.

Yuri tertawa. “Apa kamu serius?”

“Kamu mantan atlet nasional.”

“Ya ampun, aku bahkan sudah lama tidak berolahraga. Aku hampir tidak punya waktu kosong sejak menjalankan bisnis kafe,” kata Yuri mengomel sambil mengunyah keripik kentang. “Aku penasaran dengan tipe ideal Jessica,”

Gadis itu menggeleng samar. Sungguh, dia tidak habis pikir apa yang membuat mantan pacarnya melempar pertanyaan konyol itu. Haruskah Jessica memberikan cermin agar jawabannya terlihat jelas? Dasar bodoh.

“Aku ingin seseorang dengan tangan hangat. Aku selalu kedinginan. Aku juga mendapat julukan putri es karena hal ini.”

“Bukan karena hal lain?” ledek Sooyoung main-main. Rasanya cukup menyenangkan setelah mengenal wanita itu lebih dekat. “Mungkin tatapan matamu yang dingin?”

Jessica tertawa. “Sejujurnya aku cukup sering mendapat komentar semacam itu.”

“Jadi, seseorang dengan tangan hangat ya. Berikan telapak tanganmu,” pinta Sunny pada gadis di sebelahnya. “Kamu dicoret dari daftar. Ini terlalu dingin. Biarkan aku menyentuh tangan kalian agar tahu siapa mantannya.”

“Bukankah saat membahas hal ini kita hanya minum bertiga?” kata Sooyoung mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu.

“Tidak,” balas Yuri menggeleng. “Saat itu kita berempat. Aku, Sunny, Sooyoung dan Yoona.”

“Ah, benar. Semua orang sudah kembali ke kamar masing-masing lalu aku lihat lampu di lantai dua masih menyala. Ternyata Sunny dan Yuri belum selesai dengan minumannya jadi aku ikut bergabung. Yoona juga datang setelahnya.”

“Kalau begitu sekarang giliran Seohyun.”

“Orang seperti apa yang kamu suka?”

“Mungkin tipe idealnya adalah seseorang yang dewasa,” kata Yuri yang tidak pernah kehabisan cara untuk membuat temannya tertawa.

“Aku tidak terlalu peduli dengan penampilan fisik. Dalam hal kepribadian, aku ingin orang yang berpikiran rasional dan menunjukkan kasih sayangnya untukku. Aku cenderung tertarik kepada orang yang bilang bahwa dirinya tertarik kepadaku lebih dahulu.”

“Cintamu pernah bertepuk sebelah tangan?” tanya Jessica dengan hati-hati meskipun itu sebenarnya terdengar seperti gurauan.

“Tidak terlalu sering. Tapi jika aku lajang dan ada yang menyukaiku, aku mungkin akan menyukainya.”

“Aku sering melihat tipe ini.”

“Aku juga.”

“Beberapa rekan kerjaku begitu. Meski dia tidak menyukainya, seperti itu tidak pernah terpikir olehnya, tetapi jika ada orang yang menyatakan perasaannya maka dia akan menemukan kelebihan orang tersebut.”

“Begitulah. Kamu akan terus memikirkan mereka lalu perasaan itu mulai tumbuh.”

“Apakah itu benar-benar berhasil?” tanya Taeyeon dengan pandangan skeptis. “Aku kebalikannya. Bagiku jika orang yang aku suka tidak menyukaiku, maka aku hanya melepaskan perasaanku.”

“Benarkah?”

“Kamu akan menyerah begitu saja?”

“Hm,” gumam Taeyeon sambil mengendikan bahu ringan seolah itu hanya hal kecil yang tidak membuatnya patah hati. “Bisakah kalian memaksakan diri padahal tidak ada perasaan apa pun?”

“Bagaimana kalau dia sangat menawan dan kamu benar-benar menyukainya?”

Taeyeon mendesah. “Meskipun aku sangat menyukainya namun perasaanku perlahan akan memudar. Aku tidak ingin berusaha mengejar jalan buntu.”

“Aku bisa memahaminya. Itu pasti terasa sulit karena kamu mencari stabilitas dalam hubungan.”

“Ya, itu benar.”

“Kalian tahu, aku sangat suka pembicaraan kita hari ini tapi sayang sekali ada pekerjaan yang menanti besok pagi. Jadi, ya, aku akan tidur lebih dulu,” kata Sunny seraya berdiri dan membereskan kaleng-kaleng minuman kosong di depannya.

“Sebaiknya kita semua segera tidur.”

“Tidak terasa hampir jam satu malam.”

“Waktu benar-benar cepat berlalu.”

“Selamat malam semuanya.”

“Selamat malam.”

Jessica membereskan barang-barang di atas kasurnya yang berantakan. Bedak, pengisi daya, buku bacaan; segala hal yang tumpang tindih tidak berada pada tempatnya. Dia baru saja menyandarkan kepala pada bantal ketika teman sekamarnya terlihat begitu sibuk.

“Aku harus mengambil pakaian kotor,” kata Tiffany sambil berjalan mondar-mandir. Tas hitam di tangan kanannya terlihat hampir penuh.

“Kamu mencuci pakaian sekarang?”

“Ya.”

“Astaga, kamu bisa mengerjakannya besok pagi.”

“Tidak apa-apa. Ini tidak akan lama.”

Tiffany bergegas meninggalkan kamar dan menuruni anak tangga dengan hati-hati. Itu sedikit gelap dan terlalu sunyi. Satu-satunya lampu yang masih menyala berasal dari ruang dapur.

“Kenapa kamu belum tidur?”

Sial. Tiffany mengutuk dirinya sendiri setelah tertangkap basah sedang mengendap-endap menuju salah satu kamar. Dia menggaruk telinganya dan berkata, “kamu tahu tempat mencuci pakaian?”

Terima kasih Tuhan. Dia bersyukur suaranya terdengar sangat alami atau gadis lain akan menganggapnya sedang terserang penyakit hipotermia.

“Mesin cucinya ada di teras luar tapi kamu bisa lewat kamar kami agar lebih cepat,” kata Sooyoung membuka pintu kamar dan menemukan mesin dalam keadaan menyala. “Oh, seseorang sudah memakainya.”

“Kalau begitu lupakan saja,” balas Tiffany setelah berterima kasih kemudian berjalan meninggalkan kamar itu. Dia memutuskan untuk duduk sejenak di meja makan sambil berharap sebuah ide muncul di kepalanya. Ayolah, dia benar-benar membutuhkan ide yang cemerlang.

“Kamu punya pengisi daya tipe C?” tanya Taeyeon dengan handuk kecil menggantung di lehernya. Dia baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan riasan di wajah dan melihat teman sekamarnya berdiri di ambang pintu.

“Aku punya,” sela Tiffany begitu cepat bahkan sebelum mata Sooyoung berkedip.

“Aku punya kabel yang sangat panjang,” katanya menambah informasi yang tidak diperlukan. Dia tidak peduli. Dia hanya terus berbicara agar mendapat perhatian gadis itu.

“Boleh aku meminjamnya?”

“Hm,” gumam Tiffany mengangguk kecil dan melambaikan telapak tangan sebagai isyarat agar Taeyeon mendekat.

Itu berhasil. Taeyeon berjalan tanpa suara setelah memastikan tidak ada mata yang mengawasi punggungnya. Dia bersandar pada tembok; lebih tepatnya bersembunyi. Entah untuk alasan apa namun dia merasa perlu melakukan hal itu.

Tiffany menyerahkan t

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kwonyy #1
Chapter 10: Moga yulsic bisa kembali bersama kkkkk
Dan jgn sampai sica ama taeng. Sory thor tp aku g suka taengsic 😂
kimkimsara
#2
Chapter 10: Akhirnyaaa update lagiii
Makin penasaran. Semoga aja ngga ada yg tersakitiii
kimkimsara
#3
Chapter 9: Setiap ada chapter baru, pasti bikin kepo chapter berikutnya bakalan kaya gimana. Semangat Author!
kwonyy #4
Chapter 9: Apakah sica memilih yoona??
kimkimsara
#5
Chapter 8: Gemeeeszsssssss gtiap chapter bikin penasaran kelanjutannya gimana
kwonyy #6
Chapter 8: Yg tabah ya yulk. Kamu juga g ngirim sica pesan kan
onesleven
#7
Chapter 7: Woaah kirain umurnya bakal sama ma asli, eh ternyata beda, Sica malah lebih mudah wkwks
Bakal ada drama gak ya episode selanjutnya, soalnya Taeng mulai spik-spik sama Sica walaupun sasaran utamanya Yoona 🤭
kwonyy #8
Chapter 7: Dasar yulk kirain dia orang cool gtu ternyata sifat player nya g hilang"
kimkimsara
#9
Chapter 7: Yuri Om-Om Buaya!!! hahahahahaha
kimkimsara
#10
Chapter 6: Serius deh, asik banget baca cerita iniii <3
Paling suka bagian mereka ngirim pesan untuk orang lain unyumunyushabidubidam!