Album Foto

Paper Mâché [Indonesian]

Disclaimer: I don't own this. Story belongs to PurplePluto. 


9. 

 

 

Membaca seseorang adalah satu hal yang bisa dibanggakan Kyungsoo. Setelah pindah rumah ke sana-sini, dia mulai menyadari pola-pola tertentu pada masyarakat sekitarnya dan mulai menggolongkan mereka. Saat bertemu seseorang, biasanya dia akan tahu termasuk golongan apa mereka, dan menebak perkataan serta tindakan mereka sesuai dengan itu. Contoh baru-baru ini, yaitu ketua geng  tipe kedua dan reaksinya setelah Kyungsoo menyapanya berkali-kali... dengan tinju.

Kyungsoo ingin percaya bahwa dia kenal Kai dengan baik. Dia menghabiskan lebih dari cukup waktu dan interaksi dengan Kai untuk mengenalinya dengan akurat. Meskipun demikian, setelah berbaring di tempat tidur di malam hari dan berpikir keras, Kyungsoo menyadari sebenarnya dirinya tidak mengetahui apa-apa tentang Kai. Mereka tidak pernah berbicara banyak tentang diri mereka atau masa lalu mereka. Namun, Kyungsoo yakin Kai entah bagaimana lebih mengenal dirinya daripada ia mengenal Kai. Dan Kyungsoo belum mengetahui apakah hal ini baik atau buruk.

Keinginan Kyungsoo untuk mengenal Kai lebih jauh mulai meracuninya, di luar fakta bahwa rutinitas anti-sosialnya membuat ide itu terlihat sangat menakutkan. Kemudian dia tiba pada kesimpulan bahwa dia tidak dapat membaca Kai karena dia tidak pernah bertemu seseorang seperti Kai sebelumnya. Kai adalah sebuah misteri, dan Kyungsoo menyukai misteri.

Di suatu sore, Kai mengajak Kyungsoo keluar. Kyungsoo tidak diberi tahu mereka akan pergi ke pameran seni megah. Jadi, berdirilah ia di samping Kai—yang mengenakan celana hitam longgar dan kemeja (beberapa kancing atasnya dibiarkan terbuka, memberi Kyungsoo pemandangan bagus kulit karamel Kai)—hanya mengenakan jaket biasa dan celana jeans. Kai menenangkannya, mengatakan bahwa ia terlihat sangat baik. Kyungsoo hanya memberinya tatapan tajam. Dia juga mengabaikan Kai yang memberitahunya bahwa wajah cemberutnya manis. Kyungsoo tidak manis. Dia hanya... dia hanya tidak manis.

Mereka duduk di kursi empuk yang terletak di depan lukisan lanskap. Lukisan itu menampilkan suasana pedesaan yang indah dengan langit cerah, padang hijau, dan bermacam-macam bunga di wilayah pedesaan. Mereka berdua duduk di sana dan memandangi lukisan itu. Meskipun begitu, saat pelayan datang menyuguhkan hors d’œuvres, mereka mengambil segenggam penuh (mengabaikan berbagai jenis tatapan oleh pelayan itu saat mereka mengosongkan nampan). Mereka tidak bersuara. Rasa campuran krim yang asin masih menempel di lidah Kyungsoo setelah dia menelan sejenis biskuit lezat.

Kyungsoo merasakan dadanya berdebar. Ini waktu yang tepat. Gerakkan bibir, rangkai kata-kata, keluarkan suara, bicara.

“Kau tahu, ayahku tidak menyetujui seni.”

Kyungsoo berpaling ke arah Kai, memproses kalimat yang mengawang di udara antara mereka. “Kenapa?” Didapatinya dirinya bertanya.

Kai mengangkat bahu dan bersandar ke belakang, mata terpaku pada lukisan di depan mereka. “Dia pikir itu hanya buang-buang waktu dan itu tidak akan menambah apa pun.”

Kyungsoo memandangi Kai dan mencoba membacanya, namun Kai menjaga ekspresi. Dia menjaganya dengan baik, Kyungsoo akui, namun itu terlalu terjaga untuk dibilang alami. “Apa beliau tahu kau melukis?”

Dengan malas Kai melirik ke arah Kyungsoo sebelum mengembalikan pandangannya pada lukisan seni. “Tidak,” desahnya. “Dia pikir aku ingin melanjutkan ke tempat yang terhormat, seperti bisnis atau hukum.”

“Seni itu terhormat,” gumam Kyungsoo, menatap ke pangkuannya. Dia mereka ulang Kai menggambar, Kai melukis, Kai menggunakan tangannya untuk membuat sesuatu yang menakjubkan. Bagaimana mungkin hal itu tidak dianggap terhormat? Apa yang Kai lakukan dengan imajinasinya tiap hari itu lebih baik daripada seseorang yang mendapat nilai baik karena sedikit hafalan.

Sebuah tangan terselip di antara jemari Kyungsoo dan menggenggamnya. “Terima kasih.” Kai berbisik dan Kyungsoo dapat merasakan ketulusan terima kasih itu lewat pernyataannya. Itu membuatnya sedikit senang. Dia berusaha mencegah untuk tersenyum dan entah bagaimana berhasil dengan sangat sedikit kedutan di wajah. Dengan semangat ia pandangi lukisan pedesaan di hadapan mereka dan sejurus ide muncul pada Kyungsoo.

“Kenapa kau tidak—“ Dia memulai namun berhenti segera. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk mengatakan idenya. Dia tidak suka yang berpotensi merusak ketengangan yang baru saja kembali di udara.

“Apa itu?” Kai mendorong Kyungsoo, mengubah arah pandangnya sedikit, “Teruskan apa yang kau katakan.” Kyungsoo sangat ingin membungkam mulutnya setelah melihat seringai kecil Kai. Dia tidak ada keinginan untuk menjadi orang yang menghapus senyum itu. “Berhenti melihatku seperti itu. Tidak apa-apa, beritahu saja aku.” Kai berkata dan menggosokkan ibu jarinya di atas tangan Kyungsoo.

“Itu hanya...” Kyungsoo berhenti sejenak, mengumpulkan kata-kata, “aku pikir, mungkin, kau bisa menunjukkan padanya apa yang sudah kau buat dan mungkin beliau akan berpikir ulang tentang pandangannya terhadap seni. Maksudku, karyamu... itu hebat, Jongin.”

Senyuman itu tidak pudar; bagaimanapun juga, senyumnya digantikan oleh sesuatu yang lebih kaku dan pahit. “Aku bisa, tapi aku, aku pikir mungkin aku sedikit takut. Dari awal pun aku dan ayahku tidak memiliki hubungan yang baik. Aku takut hubungan kita akan lebih menderita bila aku menunjukkan ayah kesenanganku pada seni.”

Topeng Kai sedikit demi sedikit mulai runtuh. Senyumnya memudar dan sinar matanya menampakkan sedikit kesusahan. Kyungsoo agak kaget dengan perubahan ini. Dia pikir dia tidak akan membenci apa pun selain tatapan datar Kai, namun dengan segera Kyungsoo menyadari bahwa dia lebih memilih tatapan datar Kai daripada tatapan kecewa Kai. Dia harus melakukan sesuatu, apapun itu untuk membuat Kai kembali seperti semula.

“Kau tahu, aku tidak begitu peduli dengan seni sebelum aku bertemu denganmu.” Kyungsoo bergumam, memandangi tangan mereka yang saling berkait. “Saat pertama kali kau menggambari kotakku, aku marah. Rasanya seperti bukan kotakku lagi. Tapi,,, setelahnya, aku menyadari bahwa rasanya tidak sama karena kotak itu terasa lebih baik dari sebelumnya. Lebih seperti rumah. Mungkin gambit-gambar itu sederhana saja bagi orang lain, tapi bagiku, kotakku mendapat sedikit nyawa.” Kyungsoo mendesah, “Apa yang ingin kukatakan itu bahwa senimu, senimu itu bisa melakukan sesuatu. Entah ia bisa mengubah sebuah kotak menjadi rumah atau membentuk sebuah ikatan antara dua orang seperti kita, senimu itu dapat melakukan hal-hal luar biasa.”

Keheningan rapat mengisi ruang udara. Suara ramai orang-orang di sekitar mereka samar-samar menghilang saat Kyungsoo tenggelam di mata Kai. Kyungsoo mampu menguasai diri lagi dan memalingkan muka, “Maaf, itu sangat cheesy. Aku cuma ingin membuatmu merasa lebih ba—“

Kai mencium Kyungsoo di situ juga; di tengah-tengah pameran, di tengah khalayak ramai. Ciuman itu bukan ciuman lembut dan hangat yang biasa mereka lakukan. Ciuman itu dalam, mendesak, dan Kyungsoo nyaris dibuat tersedak kaget karenanya. Dia memukul dada Kai dengan tangannya yang bebas dan mendorongnya. Kai menggigit bibir bawah Kyungsoo hingga tertarik sedikit saat ia mundur. Bibir bawahnya pun muncul setelah dilepaskan.

Sebelum Kyungsoo sanggup berkata-kata, Kai menarik Kyungsoo keluar pameran. Kyungsoo tidak tahu persis harus berpikir apa sampai punggungnya terdorong menyentuh dinding gang yang remang. Tangan Kai mendorong bahu Kyungsoo, lalu dia menyambarnya. Bibir mereka bertemu lagi, dengan kedalaman dan desakan yang sama seperti tadi. Kai meminta izin di detik-detik awal dan Kyungsoo menurut. Pikirannya berkabut dengan cara yang tidak asing. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda. Dia dibawa ke banyak macam tempat dibanding sebelumnya. Tempat ini panas, dan membuat kulitnya dijalari olehnya. Mencium Kai biasanya mendatangkan suatu ketenangan bagi Kyungsoo. Satu ciuman ini membuat tubuh dan pikiran Kyungsoo berputar-putar seolah tidak pernah merasakannya sebelumnya. Dia tidak dapat menahannya. Napasnya kian pendek dan jantungnya berdetak terlalu kencang.

“J-Jongin!” teriaknya sambil terengah setelah berhasil memisahkan bibir mereka. Kai, bagaimanapun juga, tidak berniat berhenti. Dia menciumi garis rahang Kyungsoo sebelum membuat jalannya menuruni leher Kyungsoo. Kyungsoo mendesah dan mencengkeram kemeja Kai saat Kai menghisap bagian, yang tidak pernah dia sadari, sangat sensitif. Kyungsoo bisa merasakan senyuman terbentuk di lehernya sebelum Kai mulai menghisap lebih keras. Kyungsoo nyaris berteriak karena sakitnya. Meskipun mereka tidak lagi berciuman dan secara teknis Kyungsoo bebas bernapas sebanyak yang ia mau, rupanya sangat sulit melakukannya. Dia mencoba memikirkan cara untuk menenangkan jantungnya. Hal pertama yang muncul di pikirannya adalah lukisan pedesaan... dan percakapan setelahnya.

“Jongin.” Kyungsoo memegang pundak Kai dan mendorongnya pelan. Udara dingin melintas di antara tubuh mereka dan leher Kyungsoo berdenyut. Bibir penuh Kai terlihat merah dan bengkak dan matanya tampak berkabut. Kai mencoba menciumnya lagi namun Kyungsoo menolehkan kepala.

“Ada apa?” bisik Kai, “apa ini berlebihan?”

Kyungsoo berpikir apa bisa wajah merahnya bertambah panas lagi. “T-tidak. Tidak juga.” Kai tersenyum dan menyatukan bibir mereka secepatnya. Kyungsoo mendorongnya sekali lagi. “Tunjukkan karya senimu pada ayahmu!” kata Kyungsoo, mungkin sedikit terlalu keras dan terlalu cepat dari yang dia inginkan.

Mata Kai yang menyiratkan semua dengan terbuka perlahan-lahan mulai terhalangi. Pegangannya pada Kyungsoo melemah dan kaki yang bergerak di antara kaki Kyungsoo pun ditarik. Kai tidak menyentuh Kyungsoo lagi dan dia merasa dingin meski memakai pakaian yang wajar.

Kai menghela nafas, dalam. “Jam berapa ini?” Kyungsoo menatapnya beberapa saat sebelum mengecek arloijnya dan memberitahunya. Kai mengangguk dan meraih tangannya. “Akan aku antar kau pulang.”

Kyungsoo tidak melawan saat Kai menuntunnya keluar dari gang menuju trotoar. Sepanjang perjalanan mereka sunyi tanpa bertukar kata sama sekali. Kyungsoo hanya fokus pada satu-satunya hal saat itu, yaitu betapa kuatnya genggaman tangan Kai dan udara yang menyesakkan di sekeliling mereka.

Mereka tiba di depan pagar rumah Kyungsoo tidak lama kemudian. Kai melepaskan tangan Kyungsoo namun Kyungsoo terus menggenggamnya.

“Kau bilang padaku untuk mencoba.” Kyungsoo berkata seraya menatap lurus mata Kai. “Sekarang ku bilang padamu untuk mencoba. Cobalah demi kebahagiaanmu. Kalaupun tidak bisa, cobalah untuk senimu.”

Senyum sedih terukir di bibir Kai. Dia mendekati Kyungsoo dan mencium keningnya. “Selamat malam,” katanya sebelum berbalik menjauh.

Biasanya senyum Kai akan menciptakan kehangatan yang mengalahkan mentari. Malam ini Kyungsoo hanya merasakan dingin. 

 


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ