Ventilasi

Paper Mâché [Indonesian]

Disclaimer: I don't own this story. It belong to PurplePluto


5.

 

Kyungsoo sedang duduk di atas kasur ruang kesehatan, merutuki nasib sialnya. Nyeri merambat di tulang pipinya saat dia menyentuhkan jarinya di bagian yang membengkak. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan dia lolos begitu saja? Tuhan, dia pasti sudah sekarat sekarang kalau begitu, pikirnya. Kyungsoo mendesah dan membiarkan tubuhnya terbaring lagi di atas kasur.

Kyungsoo memiliki dua aturan:

Aturan #1: Bersikaplah ramah. Apapun yang terjadi.

Aturan #2: Tidak pernah bersosialisasi dengan teman sekolah di luar sekolah. Sama sekali.

Kyungsoo belum melanggar aturan nomor duanya semenjak dia membuatnya beberapa tahun yang lalu (mengesampingkan kejadian baru-baru ini). Lagipula, Kyungsoo pernah bereksperimen dan melanggar aturan pertamanya dulu. Kurang lebih setahun yang lalu, keramahan palsu mulai membuat Kyungsoo menderita. Dia semakin lelah karenanya. Sebagai orang dengan rasa penasaran tinggi, Kyungsoo membayangkan akan jadi apa hidupnya andai dia memutuskan untuk menghapus aturan pertamanya. Otaknya yang sedang lelah saat itu cukup puas dengan beberapa skenario yang dia buat, jadi dia mencobanya.

Sekolah yang ia jadikan percobaan terkenal akan murid-muridnya yang nakal. Kau mungkin menduga anak baru, pendek, dan bermata besar itu jelas akan menjadi target. Saat Kyungsoo berpikir lagi, dia membayangkan akan menghadapi apapun di hadapannya dengan senyuman. Namun nyatanya, dia menukar senyum palsu itu dengan tatapan tajam. Mengesampingkan aturan pertama, dia membiarkan dirinya melawan. Yah, ‘melawan’ mungkin bukan kata yang tepat saat dia memulainya; hal itu cukup sulit dan menyiksa tetapi Kyungsoo belajar dengan cepat. Bagaimana cara memukul sepantasnya dan bagaimana membebaskan diri dari cekikan merupakan beberapa dari banyak hal yang dia pelajari.

Waktu berlalu dan dia puas dengan hasil yang didapat dari percobaannya. Sesudahnya, orang-orang lebih memilih membiarkannya sendiri. Beberapa bahkan menolak berada di ruangan yang sama dengannya. Bagaimanapun juga, rupanya Kyungsoo sangat ahli dalam membela dirinya hingga teman-teman sekelasnya menganggap kemampuannya tersebut sebuah tantangan untuk ditaklukkan. Di luar perkiraan, mulai tersebar gosip tentang “D.O Si Galak” (bukan, bukan dia yang membuatnya) dan preman-preman dari sekolah lain pun berdatanga dengan kunjungan yang tidak-begitu-baik.

Dari situ keadaan mulai memburuk. Memang, bersikap menyenangkan melelahkan pikiran, namun dipaksa bertarung untuk hal-hal remeh melelahkan pikiran dan tubuhnya. Yang dia inginkan hanyalah sendiri, jauh dari orang-orang. Dia menjadi sangat waspada karena semakin banyak orang-orang menghasut dan/atau menyerangnya. Ketika saatnya tiba bagi Kyungsoo untuk pindah rumah, dia menyimpulkan bahwa lebih baik tersenyum palsu daripada merawat luka-luka.

Harusnya dia sudah belajar untuk tidak berbuat macam-macam aturannya setelah itu. Namun kini di sinilah ia, melakukan percobaan dengan aturan keduanya yang hasilnya tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Sama sekali.

“A-apa ada yang salah?” Kyungsoo bertanya, saat gadis yang duduk di depannya menoleh dan menatapnya saat peralihan jam pelajaran pertama dan kedua. Dia tersenyum penuh ragu sembari memainkan kincir angin di bangkunya.

Gadis itu menatapnya penasaran, “Kau kenal dengan Kai?”

“Ah, semacam itu.” Kyungsoo membatin betapa mustahil untuk tidak mengenal Kai selama dia bersekolah di situ.

“Bagaimana bisa?” Dia segera bertanya kembali. “Apa kalian berteman?”

Kyungsoo merasakan amarahnya menguar pada nada ikut-campur yang menjengkelkannya dan berusaha menahan diri untuk tidak berkata padanya untuk mengurusi urusannya sendiri. Tersenyum Kyungsoo, ingat baik-baik untuk tersenyum dan berakting ramah.

“Berlebihan kalau dikatakan kami berteman. Kami hanya bertemu saat makan siang kadang-kadang.”

“Tapi kenapa dia memberimu kincir?”

Oke, terkutuklah dia. Sampai mengujinya seperti itu.

“Memangnya itu urusanmu?” dia akhirnya menyentak, tidak mampu menyembunyikan kejengkelannya lebih lama. Gadis itu terperanjat tetapi tidak dia pedulikan. Gadis itu harusnya tahu kapan dia harus menutup mulut.

“Hei, Kyungsoo, tidak melihatmu kemarin.” Sebuah suara yang ia kenal terdengar dari sisinya. Kyungsoo mendongak dari bangkunya dan bertemu dengan sepasang mata milik pemimpin geng ‘tipe kedua’.

“Maaf, aku benar-benar sibuk,” Kyungsoo menyahut, mengarahkan kembali pandangannya ke buku catatannya. Sebuah tangan memukul mejanya dengan suara yang memekakkan. Murid-murid yang kaget menoleh ke arah sumber suara dan menatap kedua orang tersebut.

Sang ketua tersenyum pada Kyungsoo dengan mata yang kejam. “Sayang sekali, bagaimana kalau bergabung dengan kami saat makan siang untuk menebusnya?” Sang ketua berbicara dengan sedikit nada mencemooh. Kyungsoo menyipitkan mata, terang tidak senang akan keramahan itu.

“Aku sudah ada rencana.” Dia berkata, memastikan tatapannya setajam, kalau tidak lebih tajam, dari siswa yang menjulang dari dirinya.

“Oh, benarkah?” Sang ketua menyeringai, “Apa kebetulan rencana tersebut dengan teman barumu, Kai?”

Kyungsoo menyeringai balik, “Siapa yang tahu?”

Sang ketua tidak terlihat senang dengan olok-olokan. Sebelum dia sempat mengatakan kemarahannya, guru jam pelajaran kedua memasuki ruang kelas. Dengan saling menatap tajam sekali lagi, sang ketua beranjak balik menuju kursinya.

Bel jam makan siang akhirnya berbunyi dan Kyungsoo menerima lebih banyak tatapan yang mengawasinya daripada biasanya saat dia meninggalkan kelas. Dia mengambil jalan yang lebih jauh, takut kalau-kalau seseorang mencoba mengikutinya. Persetan, dia tidak tahu seberapa jauh yang akan orang-orang tempuh untuk memenuhi rasa penasarany mereka.

Setelah mengambi jalan memutar, dia menaiki tangga dan menemukan Kai yang melukisi kotaknya sendiri. Kai segera menyadari kedatangannya dan tersenyum. “Kau lebih lama dari biasanya.”

“Ambil jalan memutar,” Kyungsoo menggerutu begitu dia meringkuk di samping kotaknya. Dia meneliti sisi di hadapannya sebelum mengambil gulungan selotip dari kantongnya. Dengan kincir angin di genggaman, dia menempelkannya di salah satu sudut. Setelah berdiri tegak, kincir itu menangkap angin dengan mudahnya dan mulai berputar. Kyungsoo mau tidak mau tersenyum melihatnya.

“Kau sangat menyukainya?” suara Kai berhembus di telinganya. Kyungsoo terperanjat akan kedekatannya dan Kai meminta maaf sambil tertawa kecil.

“A-ada masalah dengan itu?” Kyungsoo tergagap, berusaha menyembunyikan rasa malunya sambil menggosok telinga tempat Kai tadi berbicara.

“Tidak, tentu saja tidak. Aku senang sudah kembali dan membelinya.” Kai meringkuk di sebelahnya dan menengok wajahnya. Kyungsoo memalingkan muka sebagai hasilnya. Kai mendesah dan mengarahkan pandangannya kembali ke kotak Kyungsoo, “Kincir itu cocok dengan kotaknya.” Dia berbisik sebelum memutar baling-baling kincir yang seragam.

Kyungsoo mendongak dan melihatnya berputar. “Ya.” Dia berbisik juga, “Aku juga merasa begitu.” Kai dan Kyungsoo duduk di situ beberapa saat sebelum tangan Kai terulur dan mengacak-acak rambut Kyungsoo. Kyungsoo menepisnya pelan dan menatap Kai yang tersenyum lebar.

Kai berdiri tanpa banyak kata dan berjalan menuju kotaknya sendiri. Dia mengambil palet yang dia taruh di lantai dan mulai melukis lagi. Kyungsoo menekuk lututnya dan melingkarkan tangannya di sekitar lutut. Disandarkannya kepala di situ dan mengamati Kai.

Kai benar-benar tampak tentram. Kehampaan yang mulanya Kyungsoo rasakan saat pertama bertemu Kai di koridor sekolah menghilang sepenuhnya. Dengan sapuan kuas yang mantap dan ekspresi fokus, Kai menjelma dari sosok misterius yang terasa jauh menjadi seorang seniman yang penuh semangat. Kai mempunyai ambisi sementara Kyungsoo tidak, selain kotak.

Tidak menyukai kesimpulan yang dia dapat, Kyungsoo masuk ke dalam kotaknya dalam hitungan detik. Sebuah gelombang yang tidak asing menguasai dan menenangkannya. Di situ hanya ada dia dan kotaknya. Aroma kardusnya, sinar matahari yang menyengat kepalanya dari atap dan lembutnya dinding-dinding yang menyentuh lututnya. Kyungsoo merasa damai. Kyungsoo ada di rumah.

Ketika bel berbunyi, dengan enggan Kyungsoo meninggalkan kotaknya. Begitu keluar, dia disambut dengan pemandangan sebuah lukisan bunga terbaik yang pernah dia lihat. Bentuknya simpel namun sangat orisinil. Dengan tepian yang tidak beraturan dan pewarnaan biru hijau, bunga itu berkarakter.

“Kau suka?”

Mata Kyungsoo menemukan milik Kai, yang muncul tiba-tiba dari belakang kotak. “Ini… bagus,” jawab Kyungsoo.

“Bagus? Aku menghabiskan sepanjang jam makan siang ini membuatnya!” Kai menaruh tangannya di hati seolah sakit hati. “Aku juga menggunakan warna yang kau pilih sendiri!”

Kyungsoo menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. “Ini… benar-benar bagus, Kai. Kau berbakat.”

“Panggil aku Jongin.” Kai berkata perlahan setelah beberapa saat, “Namaku Jongin. Bukan Kai.”

Nada dan kerjapan matanya membuat Kyungsoo terkejut, “Tapi, bukannya itu—“

“Itu nama samaranku sebagai seniman. Aku membuatnya di kelas seni beberapa waktu yang lalu dan nama itu melekat… tapi, kupikir di antara teman, kau boleh, kau tahu.” Kai mengalihkan pandangannya dan menggaruk-garuk belakang kepalanya cepat, “Maaf, lupakan saja. Kau boleh memanggilku apa pun semaumu.”

Kai berbalik dan menuruni tangga dari atap. Kyungsoo menatap kepergiannya, merasa sedikit bersalah. Matanya terarah kembali ke bunga yang dibuat Kai dan terus mengaguminya. Mengapa dia tidak bisa mengeluarkan pujian yang lebih baik? Sebelum dia bisa memikirkan baik-baik apa-yang-harusnya-bisa-dia-katakan, Kyungsoo teringat ada pelajaran. Dan dia akan sangat terlambat kalau tidak berlari ke kelas. Jadi, dia berlari.

Kyungsoo dan Kai bertemu di gerbang sepulang sekolah (tepatnya, Kai yang menunggu Kyungsoo di gerbang). Tanpa banyak kata terucap, mereka berjalan beriringan. Mereka tiba di rumah Kyungsoo tidak lama kemudian tetapi saat Kai berbalik untuk pergi, Kyungsoo berteriak.

“Sampai ketemu besok, Jongin.” Dan dia segera masuk ke dalam rumah, meski disayangkan ia melewatkan senyum bodoh yang terkembang dengan sendirinya di bibir Kai.

Keesokan harinya, Kyungsoo bangun dengan rasa sakit mengaduk-aduk perutnya. Ada yang salah. Dia tidak yakin apa itu tepatnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Dia berusaha keras untuk tidak mengacuhkan perasaan itu saat dia bersiap-siap seperti biasanya dan berangkat ke sekolah.

Dia memasuki ruang kelas seperti biasa dan duduk di tempatnya. Dia menghabiskan waktu dengan mengoreksi ulang PR yang dikerjakannya tadi malam. Bel pun berbunyi, menandakan berakhirnya homeroom. Pintu di depan kelas terbuka cepat dan sang ketua geng tipe kedua bergegas masuk.

“Oi, dari mana saja kau?” Seorang pengikutnya bertanya dari belakang begitu mereka saling menyapa dengan salaman tangan yang aneh dan semacamnya.

“Hanya merenovasi sesuatu,” jawab sang ketua yang kemudian bersandar dengan malas ke sandaran kursinya. Lalu, matanya dan mata Kyungsoo bertemu. Sebuah seringai terjahat terpampang di wajahnya, seolah menghina Kyungsoo. Mengesampingkan kebingungannya, dia memutar bola mata dan menghadap ke depan begitu gurunya mulai menerangkan.

Jam makan siang tidak pernah datang lebih cepat. Sang ketua menatap Kyungsoo dengan tatapan yang aneh sejak pagi tadi dan dia tidak tahu alasannya.

“Bung, apa itu cat di lengan bajumu?” Seorang pengikut bertanya.

“Sial!” Sang ketua merutuk. Kyungsoo menjadi semakin penasaran dan dia melihat sang ketua menggosok-gosok sesuatu yang terlihat seperti noda cat hitam. Kyungsoo mengira dia mendapat karmanya dan mengedikkan bahu selagi berjalan.

Dia berjalan melewati jalan yang biasanya. Dia berhenti berjalan ketika menyadari udara di sekitarnya berbeda. Kyungsoo mencium sesuatu yang asing, seperti cat yang menyengat. Mungkin Kai sudah sampai duluan di sana sebelum dirinya dan tengah mengerjakan proyek lain di kotaknya.

Kyungsoo menaiki tangga dan membeku seketika saat dia bisa melihat atap. Dia menggerakkan tubuhnya menaiki tangga, dengan mata masih tertuju pada kotak-kotak di situ. Dia berdiri dan hanya menatap semuanya.

Rusak total, sama sekali.

Cat semprot hitam pada masing-masing kotak, campuran antara gambar-gambar tidak jelas dan kata-kata merusak permukaannya. Hiasan-hiasan tambahannya disobek dan terpotong-potong. Kincir angin Kyungsoo juga dirusak dan dipotong menjadi dua bagian dengan baling-balingnya juga terpotong, sudah tidak bisa menangkap angin lagi. Bunga buatan Kai… dirusak.

“Kyungsoo?”

Kyungsoo berbalik cepat dan melihat ekspresi Kai dari bingung berubah menjadi kaget. Dia berjalan  mendekati semua kerusakan itu dan berbalik menghadap Kyungsoo yang sedang menggigit bibir keras-keras.

“Kyungsoo, kau… baik-baik saja?”

“Ya, aku tidak apa-apa.” Kyungsoo menjawab sebisanya. Kakinya beranjak menuju kotaknya. Dia mengangkatnya dan memeriksa dalamnya. “Bagian dalamnya baik-baik saja. Itu yang terpenting. Aku tidak apa-apa.” Dia memandang Kai yang sama sekali tidak merasa yakin. “Sungguh, aku baik-baik saja. Tidak apa-apa. Kotaknya juga tidak apa-apa. Lagipula aku tidak pernah mempermasalahkan luarnya,” Kyungsoo menjawab cepat dan tegas, nyaris seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Apa… kau baik-baik saja?”

Kyungsoo melihat Kai yang berdiri tegak dengan tangan terkepal, “Tidak. Aku tidak baik. Aku marah. Kenapa seseorang melakukan ini?”

“…Aku tidak tahu,” Kyungsoo berbisik, tidak yakin menghadapi sosok baru Kai. Pemuda yang marah itu dengan kaku beranjak ke arah Kyungsoo dan menggenggam lengannya kuat.

“Aku tidak tahu bagaimana atau mengapa ini terjadi, Kyungsoo, tapi aku akan memperbaikinya. Ya?”

Kyungsoo tidak tahu harus berkata apa dengan pernyataan itu. Bagaimana mungkin Kai berpikir mau memperbaikinya? “Tidak apa-apa, Kai. Tidak ada yang perlu diperbaiki. Aku akan baik-baik saja. Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri.” Kyungsoo memindahkan tangah Kai darinya perlahan dan berjalan menuju kotaknya. Diangkatnya dan dibiarkannya empat dinding itu mengelilinginya. Tidak apa-apa, yang harus Kyungsoo lakukan hanyalah mengabaikan bau menyengat cat yang sangat kuat dan semuanya akan baik-baik saja. Masih tetap sama.

Waktu sekolah berakhir. Kyungsoo merasa sangat tidak berguna dibanding sebelumnya. Saat Kyungsoo kembali dari istirahat, tatapan dari ketua geng tipe kedua itu semakin tidak enak saja, lebih menghina malah.

Sebelum Kyungsoo memutuskan untuk pulang, dia pergi ke toilet sebentar. Disiramnya toilet dan baru saja dia akan keluar dari bilik toilet saat mendengar suara yang tidak asing memasuki kamar kecil.

“Ya, sayang. Aku akan menemui sebentar lagi.”

“Kau tahu, aku minta maaf soal tadi malam, sayang. Aku harus memberi seseorang pelajaran.”

“Hanya mengerjai seseorang. Dengar, dia dan teman gay-nya bermain dengan kotak-kotak ini selama jam makan siang, tahu?”

“Aku mengerti, mereka menggambar atau apalah di kardus-kardus tolol mereka itu. Jadi, aku hanya—“

Kyungsoo menendang pintu bilik toilet, buta oleh amarah. Dengan tatapan datar, dia berjalan cepat ke arah sang ketua geng tipe kedua dan merebut ponsel dari tangannya.

“Hei, dengar. Pacarmu akan meneleponmu lagi nanti.” Lalu Kyungsoo melemparkan ponsel itu ke lantai dan menghentakkan kakinya keras di benda itu.

“Breng—“

Kyungsoo mencengkeram bagian depan kemeja sang ketua dan menghempaskannya ke dinding keramik kamar kecil.

“Kau mau tahu balasan atas apa yang kau lakukan padanya?”

“Bung, Bung! Lepaskan! Aku minta maaf!” Sang ketua mengangkat tangannya tanda menyerah. Pemandangan yang menyedihkan.

Kyungsoo melepasnya dan menperingatkan, “Jangan macam-macam denganku lagi.”

Sang ketua itu lega. Dia merapikan bajunya sebelum dengan tiba-tiba melayangkan pukulan ke pipi Kyungsoo.

“Jangan macam-macam denganku!” Dia berteriak. Kyungsoo menyentuh pipinya, amarahnya semakin menjadi-jadi. Dia tolol untuk bisa tertipu trik murahan itu.

Sebelum sang ketua sempat berkedip, Kyungsoo mendorongnya ke dinding lagi, “Aku sudah memberimu kesempatan. Sekarang, lihatlah betapa kau akan menyesal sudah melakukannya.”

Sang ketua itu melawan Kyungsoo namun sia-sia. Kyungsoo mencengkeramnya di tempat yang tepat dan karena aksi kecilnya tadi, dia tidak merasa harus menahan diri melawannya.

Ini untuk kotak-kotak itu, Kyungsoo membatin tanpa menghiraukan alasan menyedihkan yang dilontarkan manusia itu.

Ini untuk Jongin.

Jadi, setelah puluhan menit berlalu, Kyungsoo anggap dia sudah memberi ketua itu cukup pelajaran untuk hari ini dan membawanya ke ruang kesehatan. Sang perawat  tampak baru akan pergi ketika mereka memasuki ruangan. Dia bergegas menuju sang ketua yang bersandar lemah di bahu Kyungsoo. Kyungsoo memberitahunya informasi bahwa dia menemukannya dalam keadaan begitu. Perawat itu menatapnya curiga saat melihat memar di pipi Kyungsoo. Dia menunjuk ke satu tempat tidur yang kosong dan menyuruhnya menunggu supaya dia dapat merawatnya setelah mengurus sang ketua.

Jadi, di sinilah dia. Menatap eternit langit-langit, keempat belas persegi itu, dia menunggu perawat itu datang dan memakaikan krim untuk memar. Jujur saja, tidak bisakah ia langsung pulang?

Suara langkah sepatu menghentak lantai bergema keras dari luar ruangan dan pintu ruang kesehatan terbuka tidak lama kemudian. Di situ berdiri Kai yang kehabisan nafas. Matanya mengamati seluruh isi ruangan dengan cepat hingga dia menemukan sosok Kyungsoo. Dia bergegas ke tempat tidur dan tampak lega.

“Anak yang satunya itu kelihatannya lebih parah, ya?” tanya Kai.

“Jauh lebih parah.” Kyungsoo menjawab dan mengangkat dagunya ke arah anak yang sedang merengek-rengek kesakitan di ujung ruangan.

Kai mengulurkan tangan dan dengan hati-hati menyentuh memar di bawah mata Kyungsoo. Kyungsoo tersentak dan menepis tangan itu.

Kai langsung tertawa dan mengacak-acak rambut Kyungsoo. “Bagus.”


 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ