Kotak Surat

Paper Mâché [Indonesian]

 

Disclaimer: I don't own this story. It belong to PurplePluto.


14. 

 

 

Suara dengung pelan dan hembusan napas ringan bergema di pikiran kosong Kyungsoo saat dia menyandarkan kepalanya di bahu Kai. Tangan Kai melukis lingkaran-lingkaran kecil di lengan Kyungsoo yang terbuka saat mereka berdua menengadah ke atap dan ke langit. Saat ini adalah saat yang tentram, dengan kabut kekalutan bercampur di bawah permukaan.

Mereka terhubung. Kyungsoo bisa merasakan dengan nyata sebagian dirinya seperti dirobek sementara suatu perasaan baru datang dan melengkapinya lagi. Mengetahui pertukaran antara mereka itu membuat Kyungsoo diliputi perasaan hangat, senang, dan sakit. Debaran ringan berubah semakin keras dan keras, karena akibat pertukaran itu ada pula konsekuensi.

Kyungsoo bergelung di sisi Kai dan menghela napas. Dia ingin meyakini bahwa dia tidak menyesalinya, namun dia memikirkan ulang keputusannya. Lewat pernyataan cinta mereka yang tersendat-sendat, Kyungsoo merasakan hatinya hancur di suatu tempat di tengahnya. Dia cinta Kai dan Kai pun cinta padanya. Lantas, apa yang akan terjadi saat yang-tak-terhindarkan terjadi dan mereka tidak bisa bertemu satu sama lain lagi, saat mereka tidak bisa membaui, menyentuh, atau bersama lagi? Kyungsoo bertanya-tanya akankan kepergiannya lebih menyiksa lagi?

“Hentikan.”

Rentetan pemikiran Kyungsoo terhenti segera mendengar interupsi. Dia menengadah dan bertemu dengan tatapan Kai.

“Apa yang sedang kau pikirkan itu, hentikan.”

Kyungsoo menghela napas berat dan menoleh supaya bibirnya bertemu dengan leher Kai. “Aku hanya... Aku minta maaf.” Suara pelannya bergetar ringan di kulit. Kai menyusuri rambut Kyungsoo dengan jemarinya sebelum bicara.

“Aku tidak.”

Tatapan menantang Kai membuat Kyungsoo tak nyaman hingga dia memalingkan muka dan menatap langit. “Tapi ini akan melukai kita berdua,” kata Kyungsoo dengan parau.

“Kau benar. Tapi dengar,” Kai mendorong bahunya naik, membuat Kyungsoo menghadap Kai lagi, “aku baru menyadarinya tadi. Inilah harga yang rela aku bayar.”

Kyungsoo ingin protes. Ingin ia katakan pada Kai bahwa dia tak pantas untuk itu dan bahwa dia tidak ingin menjadi alasan di balik rasa sakit Kai.

“Kyungsoo,” suara Kai berubah, “apa kau—apa kau menyesal bersamaku?”

Waktu berhenti beberapa saat dan saat kembali ke sediakala, ada perasaan senang. Seolah pertanyaan Kai adalah potongan yang hilang dari teka-teki dalam benak Kyungsoo. Bisakah Kyungsoo menyesali semuanya? Cara Kai menatap matanya; rasa tubuhnya saat bersentuhan dengannya dan cara Kai memanggil namanya... Tidak, Kyungsoo tidak mungkin menghendakinya pergi.

Kyungsoo menggenggam tangan di lengannya dan menggeleng. Kemampuan untuk mengatakan sesuatu untuk menenangkan hilang. Lidahnya kelu dan kata-kata tercekat di tenggorokan. Yang bisa ia lakukan hanya terus menggelengkan kepala dengan semangat sampai Kai mengangkat dagunya dan menciumnya lembut. Kyungsoo luluh, napas terhela darinya. Dia tidak bisa menyesali ini. Dia tidak mampu menyesali sesuatu sebaik ini.

Sisa jam sekolah terdiri dari Kyungsoo dan Kai beristirahat dalam kotak dengan hanya mengenakan bawahan seragam yang kusut. Mereka bermain permainan kecil dengan tangan, kaki, dan sesekali bibir. Bersama, mereka tertawa memandang formasi awan dan menebak gambar yang dibuat di kulit masing-masing dengan jari. Kai memiliki kemampuan untuk membuat Kyungsoo merasa senang sekarang tanpa perlu khawatir akan apa pun.

Bel berbunyi, menandakan akhir dari waktu-waktu sekolah lagi. Dengan enggan, Kyungsoo dan Kai dengan urakan memasang seragam mereka dan meninggalkan kotak mereka. Jemari dan jemari, mereka saling berkait tangan sambil berjalan menjauhi bangunan sekolah. Di gerbang rumah Kyungsoo, seperti biasa ada ciuman sekilas dan cengiran dengan tambahan genggaman sayang lewat gandengan mereka. Entah mengapa, Kyungsoo merasa lebih malu hari ini. Dia mendorong pundak Kai pelan sambil membisikkan tentang tetangganya atau, yang lebih penting, orang tuanya yang mungkin kedapatan melihat mereka. Senyuman Kai berubah devil sebelum mencium bibir Kyungsoo dengan cara yang agresif juga dengan lidah, di tengah-tengah protes Kyungsoo. Kai meninggalkan Kyungsoo sembari tertawa dan menghindari tendangan Kyungsoo ke selangkangannya.

Kyungsoo masuk ke rumahnya dan memberi salam pada kedua orang tuanya. Dia pun mandi, makan malam, dan menyelesaikan PRnya seperti yang didikte rutinitas biasanya. Selimutnya  hangat dan buku sketsa putih  yang dia ambil dari kolong tempat tidur menenangkannya. Dengan santai dia menikmati halaman per halaman sebelum tidur.

Sisa hari-hari sekolah berlalu. Mungkin waktu berlalu dengan sedikit bayang-bayang kebahagiaan, atau mungkin itu kesedihan. Mungkin aneh kalau Kyungsoo sampai tidak tahu. Dia tahu kalau rasanya berbeda dari yang biasanya ia rasakan. Bagaimanapun juga, Kai, master pengalih perhatian, membuat Kyungsoo melupakan semua kesedihannya dengan tepat.

Kyungsoo tiba di rumah di suatu Jumat malam setelah Kai membawanya ke toko baru peralatan seni yang terkenal dengan patung-patung paper mâchénya. Ia bersandar ke pintu depan rumahnya dan tersenyum ke origami kucing kejutan dari Kai sebelum berjalan pergi. Tanpa pikir panjang ia menendang lepas sepatunya dan berjalan masuk cepat-cepat saat aroma yang familier menarik perhatiannya. Suasana hatinya memburuk seketika.

Tas sekolahnya jatuh ke lantai dengan bunyi ‘bruk’. Ia segera menuju ke dapur dengan langkah kaku dan berat. Begitu di dalam, orang tuanya yang bahagia menyambutnya. Makan malam sangat mewah dengan garnish indah dan berbagai macam lauk-pauk. Namun bukannya berjalan ke kursinya dan duduk manis, Kyungsoo terdiam di depan pintu dapur, mata tak pernah beranjak dari tudung makanan besar di tengah-tengah meja.

“Kyungsoo.” Ibunya sumringah melihat kedatangannya. “Kami sudah menunggumu! Aku memasakkanmu makanan kesukaanmu, ayo duduk.”

Lucu sekali bagaimana makanan favoritnya menjadi pertanda final. Sambil menikmati makanan yang paling ia sukai, biasanya orang tuanya akan menceritakan tempat baru yang akan mereka tinggali. Ia pun menghibur diri dengan keriangan indera pengecapnya untuk mengatasi perasaannya yang jungkir balik.

Namun dari semua itu, ini pertama kalinya bau sedap makanan kesukaannya membuatnya mual. Jijik malah. Dan lalu, rasa jijiknya berubah jadi amarah.

“Tidak,” katanya perlahan saat matanya berdenyut dan terasa pedih. Dia menguceknya kasar dan menggertakkan gigi. “Kita tidak akan membicarakan ini.” Dia bisa merasakan tatapan kaget menembus kulitnya.

“Kyungsoo....” Ayahnya berkata dengan hati-hati. “Apa ada masalah?”

Kyungsoo segera menoleh tajam pada ayahnya dan memberinya tatapan panas dengan senyum yang dipaksakan sampai bergetar. “Sekarang di mana?”

“Kyung—”

“Biar kutebak, di kota pesisir? Kalau tidak, mungkin di kota besar. Kalian berdua rupanya hanya sanggup bertahan selama ini di pinggiran kota.” Ia pun tertawa garing sebelum memandang lantai. Dicengkeramnya kuat-kuat celana sekolahnya. “Apa... Apa ini sulit bagi kalian untuk tetap tinggal sekali saja?”

“Sayang,” Ibu Kyungsoo beranjak dari kursinya dan berjalan ke arahnya, “ada apa?” Dan beliau meletakkan tangannya di pundak Kyungsoo. Ia malah tersentak karena sentuhan itu dan mundur.

Matanya mulai terasa sakit karena usahanya menahan air mata frustasi. “Ibu ingin tahu apa yang salah?” Suaranya pecah di sela-sela sindirannya. “Aku tidak ingin pindah. Itu masalahnya. Itu yang selalu menjadi masalah.”

Kyungsoo harus menahan keinginan untuk tertawa melihat wajah kaget kedua orang tuanya. “Apa? Menurut Ibu gampang menyesuaikan diri dengan sekolah baru? Menyenangkan memiliki teman-teman baru, hanya untuk kehilangan mereka? Apa Ibu pikir aku menikmati pindah?” Dia berkata dengan nada mencela, berkata dengan senyum yang terlalu menyakitkan untuk disimpulkan.

Hening menghantui saat informasi itu diterima. Kyungsoo terjebak di antara dua pilihan, beranjak keluar atau melakukan sesuatu yang mengandung acara teriak-teriak dan piring pecah.

Ayahnya berdehem, “Kyungsoo, duduklah dan kita bisa—”

“Aku lebih suka berdiri,” dia cepat menjawab dengan tatapan dan nada datar. Dilihatnya ibunya lewat sudut mata saat beliau duduk kembali di kursinya.

“Saat kau masih kecil, saat kami memberitahumu kita akan pindah, apa kau ingat apa yang kau katakan pada kami?” Ibunya tersenyum, namun tidak mampu menghilangkan sorot lelah di matanya. “Tidak, aku rasa kau tidak mungkin ingat. Itu sudah lama sekali.” Beliau menghela napas. “Kau sangat gembira. Kau bilang pada kami tentang semua orang baru yang akan kau temui dan semua tempat baru yang kau jelajahi. Kau bilang itu akan jadi sebuah petualangan.”

Senyumnya berubah jadi lebih sedih dan pahit saat beliau menunduk menatap piring kosongnya, “Aku pikir ide itu tertanam di kepalaku setelah bertahun-tahun. Tapi... kenapa kau tidak mengatakan apa pun sebelumnya?”

“Bagaimana mungkin aku melakukannya?” Kyungsoo membalas lemah. “Ibu sangat bahagia dalam duniamu sendiri. Aku tidak berpikir aku penting.”

“Tentu saja kau penting!” Ibunya protes keras, membuat Kyungsoo terlonjak kaget. “Kyungsoo, kami mendapat panggilan-panggilan dari sekolahmu. Mereka bilang kau bolos. Kami pikir mungkin ini pertanda kau tidak suka di sini.”

“Dan Ibu langsung menyimpulkan begitu saja dan menganggap itu yang benar? Ibu tidak bisa bilang padaku tentang itu?” Dia membalas.

“Jangan bicara pada ibumu seperti itu,” potong ayahnya. “Apa lagi yang bisa kita simpulkan? Kau mulai berbeda semenjak kita pindah kemari. Tingkahmu tidak aturan—”

“Berbeda? Tidak aturan? Aku tidak tahu kalau menjadi bahagia sebegitu anehnya,” dia tertawa sarkas, “bukan berarti kesenanganku bertahan lama juga. Hati kecilku selalu mengingatkan kalau ini akan terjadi. Kalau aku akan memulai hidupku lagi dan meninggalkan semuanya di belakang.” Air mata menetes saat ia membuka satu tangannya dan menemukan kertas origami kucing hitam yang kerisut. “Aku sudah terbiasa dengan itu tapi aku sudah berubah sekarang. Seseorang merubahku dan membuatku sadar kalau aku... sudah tidak bisa melakukan ini lagi.”

Berat mengisi udara di atas kepala mereka. Orang tua Kyungsoo bertukar pandang sebelum berbalik ke Kyungsoo lagi. “Apa yang kau ingin kami lakukan?” bisik ibunya.

Ia pun menatap ibunya selagi memikirkan jawaban yang tepat. Anak kecil di dalamnya terus meminta untuk tinggal, tapi dia tahu itu adalah langkah yang terlalu besar untuk ditangani orang tuanya. Ia pun memikirkan alternatifnya sampai ia menemukan satu. Hal yang mudah, menurutnya. Dia ingin lebih banyak waktu. Sedikit saja. “Hanya sampai kelulusan. Hanya... dua bulan lagi dan kita bisa pergi.”

Ekspresi di wajah orang tuanya menjatuhkan harapannya dalam sekian detik. “Maaf Kyungsoo, tapi... itu akan sedikit sulit bagi kami,” ayahnya angkat bicara. “Kami sudah membayar sewa bulan pertama di tempat yang baru; kita akan kehilangan banyak uang dan bahkan rumahnya  kalau kita batalkan sekarang.”

Harusnya dia tahu. Ia pun mengangguk dan tidak berkata apa-apa selaku berbalik dan berjalan keluar dapur. Dia menyeret langkah menaiki tangga dan memasuki kamarnya. Berganti piyama dan merebahkan diri di kasur. Perutnya berbunyi protes, meminta untuk diisi sebelum Kyungsoo mengistirahatkan matanya. Dia hanya bisa berusaha semampunya  mengabaikan laparnya dan memeluk bantalnya untuk kenyamanan. Ia pun tertidur dengan, kontras, kasarnya kertas di telapak tangannya dan empuknya kasur.

Kyungsoo mendapati dirinya perlahan terbangun namun keras kepala untuk tetap memejamkan matanya. Mungkin saja ia bisa tertidur lagi. Mungkin waktu akan berhenti. Mungkin tadi malam hanya mimpi buruk. Bagaimanapun, cukup beberapa menit yang panjang dan menjengkelkan sebelum dia menyerah dan membuka mata. Ia pun mengulet untuk menghidupkan kembali otot-ototnya saat sesuatu menusuk lehernya. Menyingkirkan benda itu, didapatinya bekas origami kucing miliknya. Ia pun mengumpat dalam hati sambil bersusah payah mengembalikan kerta yang lecek kembali ke bentuk kucing semula. Akhirnya kembali ke bentuk semula meskipun lemas dan compang-camping. Dengan sinis ia menghubungkannya dengan keadaannya kini.

Diletakkannya origami kucing itu di meja tidur sebelum keluar dari selimutnya dan menapak lantai yang dingin. Saat menegakkan punggung, perutnya mengerang dan sakit karena kekurangan nutrisi. Angka-angka jam bersinar di dekatnya dan menunjukkan bahwa ia memiliki kesempatan untuk makan sebelm orang tuanya bangun pagi. DIpaksanya tubuh untuk bergerak lebih cepat untuk mencapai dapur tepat pada waktunya.

Dia hanya bisa terdiam saat pemandangan kedua orang tuanya duduk di meja makan menyapanya. Tidak tampak koran ayahnya dan ibunya telah memilih jus apel daripada teh. Senyum mereka saat melihatnya membuatnya curiga dan bingung. Seolah-olah lautan kebahagiaan tengah menyelimuti mereka berdua. Apa benar kemarin malam itu hanya mimpi buruk?

“Duduklah.” Ayahnya menyuruhnya duduk di kursinya yang biasa. Ia pun  mengikuti perintah halus itu, sebelum teringat bahwa harusnya ia marah dan memberontak.

“Ibumu dan aku bicara panjang tadi  malam,” perlahan ayahnya memberi tahu, satu tangan menggenggam tangan ibunya. “Dan kami pun sepakat.”

“Kami percaya padamu, Kyungsoo,” ibunya angkat bicara. “Kau tidak pernah membuat masalah besar bagi kami. Kau tidak pernah mementingkan diri sendiri dengan apa yang kami—aku paksakan padamu. Karena kau sudah delapan belas tahun dan kami belum bisa menjual rumah ini, ayahmu dan aku pun membuat kesepakatan.”

Kesepakatan? Kesepakatan macam apa? Kyungsoo bersumpah ia tengah kena serangan jantung. Tidak mungkin detak jantung yang sangat cepat ini normal.

“Kami memutuskan kau bisa tinggal di sini sampai rumah ini terjual atau sampai kelulusanmu. Kami akan tinggal di rumah baru selama itu.”

Itu dia. Hatinya serasa melayang. Pikirannya pun tak percaya. Ini pasti mimpi. Ini mimpi.

“Tapi jangan kau pikir bisa lolos begitu saja!” Ayahnya menunjuk-nunjuk dirinya dengan pura-pura curiga. “Kami akan sering-sering mampir dan saat kau tidak menduganya juga.”

“Angkat dagumu,” ibunya tertawa, “kita bisa dan akan menarik kembali tawaran ini kalau ada alasan yang menunjukkan kau tidak bisa hidup mandiri. Tapi kami pikir kau akan baik-baik saja... ya, kan?”

Kyungsoo mengangguk saja.

“Bagus! Ngomong-ngomong, saat kami mencari-cari rumah baru, kami juga mempertimbangkan pendidikanmu nanti. Kota yang akan kita tempati memiliki sekolah dan kesempatan kerja yang sangat luas untuk dipilih. Saat kami membayar sewa rumah kita, kami juga mengambil beberapa brosur universitas kalau kau tertarik.” Ibunya mengeluarkan beberapa pamphlet di atas meja. Kyungsoo melihatnya, mata menelusuri halaman depan yang dekoratif.

“Boleh aku permisi?” Ia bertanya. Orang tuanya berkedip bingung sebelum mereka berdua perlahan menganggukkan kepala. Sesudah mengangguk sekali, Kyungsoo memuncurkan kursinya dan kursinya berderit kecil. Dengan tenang ia berjalan keluar dapur kemudian ke depan, mengambil jaket tipis dari lemari dan menutup risleting jaketnya sambil memakai sneaker-nya. DIbukanya pintu depan dan ia pun keluar rumah.

Dia merapatkan lengannya dan langkahnya semakin lebar dan cepat. Saat kurang satu blok lagi, ia pun berlari. Kakinya berhenti hanya pada saat tiba di depan pintu yang mirip dengan pintu rumahnya. Dia ketuk pintu itu dengan keras dan tak beraturan sambil terengah mencari napas. Pintu terbuka menampilkan pria berwajah keras yang kelihatannya kebingungan sama seperti Kyungsoo bingung melihatnya.

“A-apa Jongin ada?” Kyungsoo tergagap saat menyadari siapa di hadapannya.

Ayah Kai mengangkat alis sambil mengamati Kyungsoo. Lalu Kyungsoo tersadar seketika kalau ia meninggalkan rumah tanpa mengganti piyamanya dulu.

“Dia sedang mandi. Mungkin kau bisa kembali lagi nanti?” Ayah Kai memandang tajam ke celana flannel Kyungsoo.

“Tidak!” sahutnya. “Maksudku—tidak, aku akan menunggunya di sini. Ini benar-benar penting.” Dia berkata dengan sangat, matanya berusaha menunjukkan tekadnya.

Pria itu agak kaget. “Baiklah, kalau kau mau menunggu, sebaiknya masuk daripada di luar kedinginan.” Dia membuka pintunya lebih lebar dan memberi jalan. “Ayo masuk sekarang, sebelum udara dingin masuk.”

Kyungsoo melangkah sekali, lalu tersandung birai kecil di lantai. Ayah Kai menahan lengannya untuk menstabilkannya dan memarahinya untuk mejaga langkahnya. Bisa dibilang dia malu. Pertemuan pertamanya dengan Ayah Kai tidak akan bisa lebih buruk.

Kyungsoo pun segera menemukan bahwa, ya, itu bisa bertambah buruk. Ayah Kai menunjukkannya ruang tamu dan menyuruhnya duduk di kursi. Dia menunjukkan postur sopan dan bahu tegang saat ayah Kai duduk di kursi buatan La-Z-Boy yang menghadapnya. Ia menduga Ibu Kai ada di dapur saat didengarnya suara berisik dan suara air mengalir dari dekat.

Setelah beberapa saat dalam keheningan yang canggung, , dan Kyungsoo berusaha sebisa mungkin tidak menghiraukan tatapan tajam yang tidak juga beralih darinya; pria itu berkata, “Jadi... kau teman Jongin?”

Sebelum Kyungsoo dapat menjawab, dia mendengar bunyi gedebuk datang dari tangga dan melihat saat Kai berjalan santai ke ruang tamu dengan handuk di sekitar bahunya. Mata mereka bertemu dan Kai terhenti di tengah jalan. Dia melirik ayahnya lalu kembali ke Kyungsoo.

“Ada apa ini? Kenapa kau di sini?” Dia bertanya dengan nada khawatir. “Ayah, apa yang kau—”

“Apa ini... temanmu yang kau bicarakan itu?”

“Bukan, aku sudah bilang kan, dia kekasihku.” Kai menghentakkan kaki ke arahnya dan menyambar tangan Kyungsoo. “Ayo, ke atas.” Dia mengaitkan jemari mereka dengan jelas  dan menunjukkannya pada ayahnya sebelum menyeret Kyungsoo yang speechless pergi.

“K-Kekasih?” Kyungsoo tergagap saat mereka memasuki kamar Kai. ”Apa yang kau—Dan kepada ayahmu! Aku tidak bisa... itu ayahmu!”

“Tenanglah, aku sudah memberitahunya kapan hari tentang dirimu. Dia masih membiasakan diri dengan itu, tapi jangan khawatir berlebihan. Dia sudah mulai lunak sejak... kau tahu, tentang seni.” Kai tersenyum dan menarik Kyungsoo untuk duduk di kasur di sampingnya. “Jadi, apa yang sudah aku lakukan sampai mendapat kunjungan ini?”

Kebingungan Kyungsoo berhenti. “Oh... oh! Benar juga!” katanya. Dia berbalik menghadap Kai dan menarik napas. “Aku bicara dengan orang tuaku semalam dan—eh, kenapa dengan wajahmu?” Kyungsoo berhenti sejenak melihat senyum dan sorot mata Kai pudar.

“Inikah saatnya kau memberitahuku kau akan pergi?” bisik Kai sambil menunduk. Dibelainya wajah Kyungsoo perlahan, kemudian tertawa tanpa suara.

“Tunggu, apa? Tidak, Jon—”

“Meski aku tahu hari itu akan datang tak lama lagi, tetap saja itu menyebalkan.” Kai memandangi langit-langit dan senyum sedih tampak di bibirnya.

“Dengar, bisakah kau—”

“Berapa lama?” tanya Kai. “Tinggal berapa lama lagi sampai kau pergi?”

“Jongin... Aku tidak—”

“Tunggu! Sebelum kau mengatakannya, Kyungsoo,” Kai menggenggam tangan Kyungsoo erat, “kau tahu aku mencintaimu, kan? Kau tahu itu meskipun kau jauh, aku akan tetap mencintaimu.”

Kyungsoo tidak dapat menahan senyumnya. “Jongin... aku tahu dan aku mencintaimu juga, tapi kau harus mendengarku dulu. Apa yang mau aku katakan padamu dari tadi yaitu bahwa aku tidak pergi, setidaknya, tidak sampai setelah kelulusan atau sampai rumahku terjual.”

Kai perlahan menoleh ke arah Kyungsoo, mulut membuka-menutup. “Kau bercanda....”

Kyungsoo menyeringai balik. “Apa? Kau ingin aku bercanda?”

“Tidak!” teriak Kai sebelum menenangkan diri. “Tapi, serius kau tetap tinggal? Sampai kelulusan?”

“Ya, itu yang mereka bilang,” ia pun tertawa renyah. “Tapi setelah itu, mungkin aku akan pindah dengan orang tuaku lagi. Kota yang mereka tuju punya banyak universitas bagus untuk dipilih.”

“Kota?” Kai terdiam, lalu berkata cepat. “Semacam kota besar di dekat sini?”

“Eh, mungkin? Orang tuaku bilang mereka akan sering mengunjungiku,” jawab Kyungsoo sambil mengernyitkan alis. “Kenapa?”

Kai beranjak dari kasur dan berlari ke meja belajarnya. Dia mencari-cari di tumpukan kertas sebelum kembali dengan kertas putih bercetak. Dengan semangat disodorkannya pada Kyungsoo. Kyungsoo membacanya dan segera menyadari itu surat penerimaan Kai.

“Um, kenapa kau berikan ini?”

“Lihat alamatnya, apa kau kenal?” Kai menggigit bibir dengan mata penuh harap.

Kyungsoo melihat pojok kiri-atas kertas dan membaca alamatnya. Nama kotanya mentereng daripada tulisan lainnya. Lalu Kyungsoo teringat sudah melihat nama yang sama saat melihat sekilas brosur universitas dari orang tuanya tadi pagi.

“Kumohon.” Kai berkata di sela-sela lamunan Kyungsoo. “Katakan itu tempat kau akan pergi.”

Kyungsoo menurunkan kertas itu ke pangkuannya. “Y-ya. Sekolah senimu di sana? Benar—Uff!” Kyungsoo didorong jauh ke tempat tidur dengan Kai yang mengeratkan pelukannya. Kai tertawa senang di leher Kyungsoo. Kyungsoo berniat membalas kesenangannya tapi lengannya akan tetap terpancang di sisi kalau Kai terus memeluknya erat.

Akhirnya Kai melonggarkan pelukannya untuk menggoyang-goyangkannya dan memberinya ciuman di tiap sudut wajah Kyungsoo, sengaja menghindari bibirnya dengan cengiran. Kyungsoo hanya bisa tersenyum dengan tingkah Kai. Saat itulah, dia melihat pintu kamar yang terbuka dan Ayah Kai mengintip.

Segera Kyungsoo mendorong keras-keras Kai menjauh. Kai sempat menyambar selimutnya supaya tidak jatuh dari tempat tidur. Dia baru akan mempertanyakan Kyungsoo saat menyadari Kyungsoo yang mundur sambil menutup wajah dengan tangannya. Kai menoleh ke belakang dan mengerang saat melihat ayahnya di pintu.

“Ayah, tidak bisakah mengetuk pintu?” gerutunya. Kyungsoo mengintip di sela-sela jarinya untuk mendapati tatapan dingin Ayah Kai.

“Ibumu sudah cukup baik membuatkanmu makan siang. Jangan lama-lama atau makanannya akan dingin.” Dan ayahnya melangkah pergi, pintu menutup di belakangnya.

“Ya-Tuhan,” pekik Kyungsoo. “A-Ayahmu! Dia melihat kita!”

“Itu yang terjadi kalau dia tidak mengetuk,” jawab Kai dengan senyum buas di bibirnya sambil merayap ke arah Kyungsoo.

“Demi langit, Jongin! Kau ada di atasku. Dan jangan pandangi aku seperti itu! Orang tuamu di rumah dan mereka mungkin bisa mendengar kita.” Pernyataan Kyungsoo bertentangan dengan sikapnya yang membiarkan Kai menguncinya tanpa perlawanan.

Ciuman itu adalah satu yang membawa sengatan-sengatan listrik. Rasanya seperti momen-momen berharga di film saat Kyungsoo dan Kai merayakannya dengan menempelkan dan melepaskan bibir mereka. Jemari bersentuhan lembut di wajahnya sementara tangannya sendiri di helai rambut Kai.

Bibir mereka bertemu dan lengan mereka semakin erat di pelukan satu sama lain, terasa benar dan sangat nyaman. Kyungsoo memejamkan matanya dan menikmati perasaan yang nyaman itu. Dia tidak akan pergi ke mana-mana. Dia akan berada di sini di pelukan Kai.

Dan kali ini, itulah yang sebenarnya. 


t/n: maafkan apdet yg terlambat ini. Dobel apdet dah  gantinya.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ