Pendingin Ruangan

Paper Mâché [Indonesian]

Disclaimer: I don't own anything. Story belongs to PurplePluto.


8. 

 

 

Kyungsoo tidak keluar kamar sepanjang akhir pekan. Dia katakan pada orang tuanya bahwa ia sakit, dan sebagai gantinya mereka meletakkan makanan Kyungsoo di depan kamarnya. Dia berpikir bahwa dia tidak sepenuhnya berbohong pada mereka. Rasa sesal yang berenang-renang di perutnya membuat Kyungsoo mual. Badannya terasa lelah dan otaknya terasa sakit karena terlalu banyak berpikir.

Bayangan ekspresi hampa Kai dan kepergiannya melekat erat di pelupuk matanya. Setiap kali berkedip, bayangan itu akan menghantuinya, lagi dan lagi. Kemudian Kyungsoo berusaha keras untuk tidak berkedip sepenuhnya.

Akhir pekan berakhir dan Kyungsoo berangkat sekolah. Hari itu terasa berbeda, terasa lebih dingin dan suram dari biasanya. Dia tidak bertemu Kai selama di kelas. Saat kelas dimulai, ia sulit konsentrasi pada hal lain selain jam dinding selama dua jam penuh. Saat bel makan siang berbunyi, ia membawa benda-benda seperti biasanya dan berjalan secepat kilat ke atap gudang. Kai tidak nampak batang hidungnya. Jadi, ia menunggu. Duduk di luar kotak dan menunggu Kai. Dia mencomot berbagai macam menu makan siangnya sementara matanya terpaku pada tangga.

Pada akhirnya kepala menyembul dan Kyungsoo hampir saja menjatuhkan apelnya. Tubuhnya mati rasa selagi melihat Kai menaiki tangga dan tiba di atas. Kyungsoo sangat lega Kai benar-benar datang, mungkin ternyata Kai tidak seberapa marah padanya. Akan tetapi, saat Kai berjalan santai menuju kotaknya dan memandang Kyungsoo datar—tatapan yang ia benci—sebelum masuk ke kotaknya, Kyungsoo tahu dugaannya ternyata salah.

Kai marah padanya. Dan Kyungsoo marah pada dirinya. Dia mengerti alasan mengapa Kai marah namun ia tidak mengerti mengapa dirinya marah. Bila dilihat-lihat lagi, apa yang Kai minta dari Kyungsoo itu sulit. Dia pikir Kai mengerti situasinya. Dia pikir mereka saling mengerti. Namun demikian, mengapa ia merasa terganggu karena Kai? Bukannya lebih baik mengakhiri semua sandiwara ini? Ya, ia menyukai Kai, namun faktor ‘kepergiannya’ juga tidak terlupakan. Bukannya akan lebih baik mengatasi sakit hati secepatnya sebelum terlambat?

Kedengarannya bagus. Tapi pada kenyataannya, ini konyol. Dia tidak ingin pergi seperti ini. Dia tidak ingin meninggalkan satu-satunya teman (atau apapun status Kai dengannya) yang ia miliki setelah bertahun-tahun hanya karena kesalahpahaman kecil tanpa akhir di antara mereka. Dia ingin bisa mengucapkan selamat tinggal dan menuliskan pesan sewajarnya. Dia merasa berhutang budi, banyak, pada Kai.

“Cobalah, Kyungsoo.”

Kyungsoo melingkarkan tangan di lutut dan memeluknya erat sembari memandang jauh. Bisakah itu berhasil? Kyungsoo benar-benar tidak berpikir akan demikian. Kai tidak mengenal orang tuanya seperti dirinya. Sama seperti Kyungsoo dan kotaknya, biasanya orang tuanya pergi ke suatu tempat hiburan saat akan pindah. Biasanya ibunyalah yang menentukan semua itu, namun ayahnya tidak pernah membantah permintaan ibunya. Begitu pula Kyungsoo. Dia akan melihat kegembiraan ibunya, jadi ia mengunci rapat mulut. Dia benar-benar tidak mengira dia bisa mencoba dan bicara pada mereka.

“Cobalah, Kyungsoo.”

Seperti bisikan mantra parau penuh irama, kalimat itu terus berulang-ulang di pikiran Kyungsoo. Bel makan siang membangunkan Kyungsoo dari lamunannya, memberinya cukup waktu untuk melihat Kai keluar dari dalam kotak dan meninggalkan atap tanpa sekali pun melihat Kyungsoo. Sakit. Itu sangat menyakitkan. Dia tidak menginginkan ini. Dia tidak ingin pergi tanpa bicara pada Kai untuk terakhir kalinya, dia tidak ingin pergi tanpa tersenyum dengan Kai untuk terakhir kalinya, dia tidak ingin pergi tanpa merasakan, menyentuh, dan mencium Kai untuk terakhir kalinya.

Dia harus mencoba. Setidaknya ia harus mencoba untuk Jongin.

Begitulah, saat makan malam harian keluarga dimulai beberapa jam lagi, Kyungsoo mencoba. Ibunya mengungkit-ungkit apel yang mulai menguning dan Kyungsoo membalas bahwa toko-toko sayur dan buah dekat rumah memiliki apel yang lebih berkualitas dan harga lebih murah. Ayahnya ragu apakah tetangga mereka pernah keluar, Kyungsoo memberitahunya kapan beliau pernah keluar juga. Kedua orang tuanya mengeluh soal lantai yang berdecit di pintu masuk dan Kyungsoo membalas, mereka bahkan tidak mendengar decitan itu selain saat seseorang keluar atau masuk rumah.

Setiap keluhan mendapat bantahan dari Kyungsoo. Bagaimanapun juga, tampaknya sama sekali tidak memberi pengaruh bagus. Malah, terlihat sebaliknya. Tiap kali Kyungsoo mengusulkan sesuatu, orang tuanya tanpa sadar menganggap perkataan Kyungsoo sebagai tantangan dan membalasnya dengan keluhan baru. Mereka bahkan meneruskannya sampai berkata bahwa cuacanya terlalu baik. Dan siapa pula yang bakal mengeluh tentang itu?

Usai mencuci piring dan mengerjakan PR, Kyungsoo pergi tidur dengan hati dan kepala penuh beban. Dia mencoba. Dia sudah melakukannya. Namun dia gagal. Ia mengecewakan dirinya dan ia mengecewakan Kai.

Kyungsoo berangkat sekolah keesokan harinya dengan keadaan yang lebih buruk daripada kemarin. Kata-kata guru meluncur begitu saja. Kepalanya yang keruh tidak mau diajak kompromi dengan hal yang tidak berhubungan dengan Kai dan masalah kepindahannya. Jadi, dia memutuskan untuk bolos jam pelajaran kedua. Lagipula kondisi otaknya sekarang tidak memungkinkan untuk menyerap pelajaran. Sekolah terlalu irelevan untuk saat ini.

Ia membawa bekal makan siangnya dan beranjak menuju ke atap gudang lama pada waktu jeda antar jam pelajaran. Ia putus asa membutuhkan sesuatu. Sesuatu yang tidak asing dan tidak pernah berubah. Perasaan baru yang dirasakan Kyungsoo terlalu berbeda; sangat jauh berbeda untuk ia tangani sekarang. Dia hanya membutuhkan sesuatu yang bisa selalu diandalkan.

Seperti balon, secercah tekanan lepas dari dalam Kyungsoo begitu dinding-dinding kardus mengelilinginya. Segera ia buka atapnya dan berjemur di bawah sinar matahari. Pikirannya berubah jernih untuk pertama kalinya selama tiga hari dan kekhawatirannya pun akhirnya mereda. Kyungsoo menyibukkan diri dengan menghitung garis-garis pada interior kotaknya pelan-pelan. Dia menggambari dinding dengan telunjuknya sambil menggigit kecil potongan roti isi miliknya. Bel makan siang pun berbunyi dan sejumput kegelisahan menghampirinya.

Diliriknya lubang intip dan dia hanya memandanginya sesaat sebelum menutup atapnya dan mengintip lewat lubang kecil itu. Dia menunggu, matanya terpaku ke luar, sampai dilihatnya Kai tiba. Tanpa susah payah Kai berdiri tegak begitu sampai di atap. Ia pun membeku, betapapun juga, saat tatapannya tertuju pada kotak Kyungsoo. Tatapan datarnya semula menguap begitu saja. Diliriknya ke kanan, ke kiri, dan ke belakang sebelum tertuju lagi pada kotak Kyungsoo. Menggigit bibirnya, perlahan Kai menghampirinya.

Mata Kyungsoo membulat dan dia pun mundur dari lubang itu, menutup mulutnya dengan tangan supaya tidak bersuara sebisa mungkin. Kai mengetuk kotaknya, setelah beberapa saat mengamatinya. Kyungsoo melirik jendela samping kotaknya. Apakah Kai akan mencoba membukanya? Haruskah Kyungsoo bahkan membukanya? Apa Kai menginginkan sesuatu?

Pemikiran Kyungsoo terhenti saat mendengar Kai menghela nafas keras disusul suara langkah kakinya yang menjauh. Kyungsoo segera, namun sesunyi mungkin, mendekat ke lubang intip dan melihat Kai bersandar di kotaknya seperti yang Kyungsoo lakukan kemarin. Kai mengeluarkan buku sketsa putih yang Kyungsoo pilihkan dulu dan mulai menggambar.

Kyungsoo tetap di posisi dalam kotaknya selama jam makan siang. Saat bel berbunyi, menandakan makan siang berakhir, dada Kyungsoo berdebar-debar menyakitkan. Dilihatnya Kai bangkit dan Kyungsoo tahu dia harus segera mengakhiri sikap pengecutnya.

“T-tunggu!” teriak Kyungsoo dari dalam kotak. Kai langsung berhenti dan melihat ke kotak, terkejut. Perlahan-lahan Kyungsoo mengangkat kotaknya dan beringsut ke sebelah Kai. Dia berdiri, tangan mengepal dan membuka di sisinya.

Kai berdiri di sana, matanya memandang Kyungsoo nanar. Kyungsoo tidak sanggup melihatnya. “Kau di bawah sana sepanjang istirahat ini?” Kai mengatakannya dengan nada marah di akhir. Mulut Kyungsoo membuka menutup, matanya terpaku ke atap. Ia tidak tahu harus menjawab apa atau langsung mulai mengatakan apa yang ia ingin katakan. “Kau tahu,” Kai menatapnya lurus-lurus, “kupikir kau berbeda.”

Rasanya seperti anak panah menghujam jantungnya. Kekecewaan terdengar jelas pada kalimatnya. Kyungsoo menghela nafas dan berusaha menenangkan diri. Gelisah mulai terbangun.

“Kupikir kau orang yang tidak takut untuk berpikir dan berbuat untuk dirimu sendiri.”

Saat Kai berbalik, Kyungsoo mendapati tubuhnya bergerak sendiri. Ia mengambil langkah panjang dan menangkap ujung kemeja Kai, dengan sukses membuatnya berhenti. Tangannya gemetaran tapi genggamannya tetap kuat. Dia tidak menginginkan ini. Tidak dari Jongin.

“Kau salah,” kata Kyungsoo dengan parau, tubuhnya makin tegang, “kau, kau harus biarkan aku menjelaskan. Kau tidak bisa meninggalkanku.”

“Bagaimana kau menginginkan aku tetap di sini kalau kau bahkan tidak ingin mencoba?” Kai berbisik sambil mencoba melepaskan tangan Kyungsoo.

“Aku sudah melakukannya!” teriak Kyungsoo, sekarang memakai dua tangan untuk menggenggam kemeja Kai. “T-Tapi tidak berhasil. Dan kau mengatakan bahwa kita harus memanfaatkan waktu kita sebaik-baiknya bersama. Tapi, kau malah... Kau menjauh dan itu bukan kesepakatan kita!” Kyungsoo mengguncang tubuh Kai sedikit, masih tidak mampu membuat kontak mata dengannya.

Tangan hangat melingkupi tangannya, memaksa Kyungsoo untuk berhenti menggerakkan tangan. Perlahan Kyungsoo mendongak dan lega saat yang dilihatnya adalah Jongin yang dia kenal. Bukan Kai yang berjalan di sekolah tanpa nyawa; bukan, ini benar-benar Jongin asli yang menatapnya, Jongin yang memiliki hati. “Apa yang terjadi?” Ia berbisik pada Kyungsoo.

“Aku sudah coba bicara dengan mereka.” Kyungsoo berdiri tegak dan melonggarkan genggaman tangannya. “Orang tuaku. Mereka tidak mendengarkan aku. Aku terus mencoba membuat mereka tahu bahwa aku tidak ingin pergi dan bahwa ada yang lebih di tempat ini tapi mereka tidak mende—“

Kehangatan menyelimuti Kyungsoo seraya Kai memeluknya. Wajah Kai menemukan jalannya ke leher Kyungsoo, udara hangat dari mulutnya membuat Kyungsoo merinding. Tangan Kyungsoo bergerak di sisi Kai sebelum memeluknya balik. Rasanya dilingkupi lengan Kai benar-benar hebat, menenangkan, menghangatkan, dan terasa enak saja.

Kai mencium leher Kyungsoo sebelum menariknya lagi. Dengan lembut diciumnya kedua pipi Kyungsoo, juga keningnya. “Terima kasih,” katanya, “karena sudah mencoba.” Kyungsoo mengangguk perlahan, dilimpahi oleh betapa leganya dia memiliki Kai kembali. Untuk mendengar Kai bicara, menyentuh, dan tersenyum padanya sekali lagi.

“Maafkan aku,” bisik Kyungsoo. “Maafkan aku ini tidak berhasil.”

“Aku juga,” Kai mendesah, menyisir rambut Kyungsoo dengan jarinya. “Tapi, kau benar, aku memang bilang kita akan memanfaatkan waktu kita sebaik-baiknya bersama.”

Kyungsoo mengangguk saja selagi sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Ia mengumpat, “Kita sangat terlambat untuk jam ketiga!” Kyungsoo mendesis dan baru saja akan beranjak ke tangga kalau Kai tidak menahannya.

“Hei, bukankah aku baru bilang kalau kita akan memanfaatkan waktu kita sebaik-baiknya?” Kai menyeringai dan membawa Kyungsoo mendekat padanya.

“Tapi, aku sudah bolos jam kedua,” protes Kyungsoo sambil merengut.

Kai memiringkan kepala. “Kenapa kau bolos jam kedua?”

Otak Kyungsoo pun blank untuk beberapa saat, dan dia berusaha secepat mungkin merumuskan kebohongan. “Um, aku... capek. Jadi, aku tidur siang. Kau tahu, dalam kotak.”

Sekali melihat wajah Kai, Kyungsoo tahu persis kebohongannya tidak dianggap serius, “Yah, kalau begitu boleh juga melanjutkan kegiatanmu tadi.” Kai menyeringai dan mencondongkan wajahnya lebih dekat pada Kyungsoo.

“Tapi—“

Sebuah ciuman di bibir cukup untuk mendiamkan Kyungsoo dan merubah pemikirannya untuk pernah meninggalkan Kai. 

 


 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ