Balkon

Paper Mâché [Indonesian]

 

Disclaimer: I don't own this story. It belongs to PurplePluto 


6. 

 

Keesokan harinya, panggilan ke ruang kepala sekolah tidak datang-datang dan ketua geng tipe kedua itu bahkan menolak untuk sekedar memandang ke arah Kyungsoo. Kyungsoo sudah menduganya. Dia tahu sang ketua akan membuat cerita kecil tentang bekas lukanya yang akan menambah kepopulerannya. Lagipula, berbohong itu lebih mudah. Dan juga, tidak membuat kita terluka saat kebohongan bisa menjadi lebih menarik daripada kenyataan. Kenyataan yang menyakitkan, dalam hal ini, seorang murid baru yang berhasil mengalahkan atlit terpilih yang populer.

Kyungsoo dapat merasakan semua pandangan tertuju pada pipinya yang mulai pulih saat dia memasuki ruang kelas keesokan hari. Meskipun begitu, tidak ada yang menanyakan apa yang telah terjadi atau bagaimana kondisinya. Kyungsoo merasa lega sebagai gantinya. Dia terlalu sering berbohong sehingga dia akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat cerita bohong. Benar-benar mudah mengarang cerita, terlalu mudah.

Sampai pertengahan waktu sekolah semua berlalu tanpa halangan, meskipun sedikit kecanggungan dari ketua geng tipe kedua yang jelas tidak nyaman pada Kyungsoo itu lumayan lucu. Kyungsoo meninggalkan ruang kelas dengan bekal makan siang dan buku biasanya di tangan, berusaha mengabaikan perhatian yang tertuju padanya.

Kondisi kotak-kotak itu masih tetap sama, tidak peduli seberapa besar Kyungsoo berharap mereka bisa kembali ke bentuk asal mereka secara ajaib. Kyungsoo menarik nafas panjang dan masuk ke dalam kotaknya. Bau cat semprot sudah terserap dalam kardus dan menyerang indera penciumannya tanpa ampun. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah setitik kekurangan di tempat bernaungnya. Dia dapat mengabaikan bau itu. Lagipula, dia masih memiliki keempat dinding tak asing yang menenangkan dan memeluknya.

Kyungsoo memakan bekalnya dengan satu tangan dan membaca buku dengan tangan lainnya. Dia begitu tersedot dalam alur yang semakin berkembang saat ketukan di sisi kotaknya muncul, dia pun terperanjat. Sialnya, kekagetan kecilnya itu membuat Kyungsoo menjatuhkan bukunya. Merengut karena kehilangan halaman yang dia baca, dia membuka jendela samping dan memandang Kai yang sumringah dengan tatapan dongkol dan tajam.

“Ada apa?”

“Keluar.” Kai tersenyum, terlihat tak sabaran.

“Kenapa?”

“Kau akan tahu kalau keluar.”

Kyungsoo memandangi mata Kai untuk beberapa saat, mencari jawaban yang lebih baik. Saat pencariannya sia-sia, dia menggigit bbir dan memandang buku yang tertutup di pangkuannya. Karena kehilangan halaman yang dia baca, mungkin tidak apa-apa untuk menengok sesuatu yang membuat Kai begitu bersemangat. Jadi, setelah meletakkan buku dan bekalnya di samping, dia mengangkat kotaknya dan keluar dari situ.

Kai sedang duduk di sebelah kotaknya dengan sebuah ember di sebelah kirinya dan setumpuk koran di sebelah kanannya. “Sudah kubilang aku akan memperbaikinya.” Kai berseru, “Aku tidak tahu kenapa tidak terpikirkan ini sebelumnya. Maksudku, kita bisa saja mengecat kotak-kotak itu seluruhnya, tapi cara ini jauh lebih baik, murah, dan menyenangkan.”

Kyungsoo menatap bergantian antara ember, Kai, dan koran-koran, dan berusaha mencari kesinambungan antara ketiganya. “Aku tidak paham,” katanya setelah beberapa saat.

Senyum Kai berubah menjadi seringai. Dia menyobek selembar koran dan mencelupkannya ke dalam ember. Dia mengeluarkannya setelah koran itu terendam sepenuhnya oleh cairan putih dan menempelkannya pada kotak. Potongan koran itu dengan mudah menyembunyikan apapun yang ada di bawahnya, tempat ditempelnya, termasuk grafiti cat itu.

“Paham sekarang? Ini disebut paper mâché.” Kai menjawab, sambil terus menutupi kotaknya dengan berbagai bentuk guntingan koran. “Oh, dan lagi—“ Kai sibuk merogoh kantong belakangnya dan mengeluarkan sebuah gunting. Dia menyobek beberapa lembar koran dan mulai menggunting. Dengan cepat dia membuat bentuk bintang, mencelupkannya ke ember dan menempelkannya pada kotaknya, “—kau dapat melakukannya juga. Bagus, kan?”

Nafas Kyungsoo tercekat. Matanya beralih antara kotaknya dan kotak Kai. Dia tidak begitu yakin bagaimana harus bereaksi. “Apa itu juga menutupi baunya?” Dia bertanya.

“Tidak sepenuhnya, mungkin baunya akan jadi seperti lem untuk sementara.” Kai menjawab, sembari terus menempeli kotaknya dengan guntingan koran yang berbeda-beda. “Jadi, apa kau mau bergabung denganku? Aku hanya punya satu ember.”

Kyungsoo menelan ludah begitu dia memproses ajakan tersebut. Setelah melepaskan desahan panjang, Kyungsoo menyeret kotaknya dan duduk di sisi lain ember tersebut.

Segera setelah dia menempelkan guntingan koran dan mengagumi kehebatan kertas itu menutupi grafiti, Kyungsoo pun mempercepat kerjanya. Dia tidak peduli untuk menggunting bentuk-bentuk yang cantik seperti Kai; yang dia tahu hanyalah bahwa dia ingin seluruh permukaannya kotaknya tertutupi dari atas sampai bawah. Dengan bau menyengat cat yang mulai menghilang dan digantikan oleh bau samar lem, Kyungsoo merasa bersemangat mengambil potongan koran satu per satu.

Kyungsoo tanpa sadar mencelupkan potongan kertas koran dalam ember bersamaan dengan Kai dan tangan mereka bersentuhan. Keduanya terkejut akan sentuhan tersebut dan menjatuhkan kertas mereka masing-masing ke dalam cairan kental itu. “Maaf,” Kyungsoo menggumam dan mengambil potongan tadi. Dia baru saja akan menempelkannya pada kotaknya saat dia menyadari bahwa yang dia ambil adalah kertas berbentuk hati milik Kai. “Oh, em, maaf. Ini.” Kyungsoo memberikan kertas berbentuk hati yang basah itu pada Kai.

Kai tersenyum dan menggelengkan kepala. “Tidak apa, kau boleh memakainya.” Kyungsoo menarik tangan yang tadi terulur itu dan memandang bentuk hati itu. Dia memperhatikan dinding yang hampir selesai itu dan mencoba mencari tempat untuk menaruhnya. Dengan kurangnya kreativitas yang dia miliki, dia menempelkannya tepat di tengah-tengah dinding. Kai tertawa lewat hidungnya dan berguman, “Manis,” sebelum menghadap Kyungsoo dengan ekspresi bahagia dan bersemangat, “Hei, aku ada ide! Bagaimana kalau kau mendesain salah satu dindingku dan aku mendesain salah satu milikmu?”

Kyungsoo menatap datar Kai selama beberapa detik sebelum membandingkan kotak mereka. Sejauh ini Kai baru menyelesaikan dua dinding dan nyaris semuanya tertutupi dengan potongan-potongan koran yang bagus. Namun begitu, dua sisi dinding milik Kyungsoo semata-mata hanya terdiri dari sobekan-sobekan koran. “Kau yakin? Maksudku, buatanku tidak akan sebagus yang sudah kau buat.” Kyungsoo menjawab dengan ragu.

“Tidak apa-apa. Itu akan membuatnya berkarakter. Jadi, ayo tukar.” Kai mengambil kotaknya dan mengisyaratkan Kyungsoo untuk memindahkan kotaknya juga. Kyungsoo menghela nafas sebelum mendorong kotaknya pada Kai dan melihat Kai meletakkan kotaknya di hadapan Kyungsoo. Pertukaran selesai, mereka berdua mulai menggunting dan menyobek.

Kyungsoo membuatnya persis seperti yang dia lakukan pada kotaknya sendiri, menyobek kertas koran secara acak dan menempelkannya. Namun begitu, saat dia hampir menyelesaikannya, dia mengintip pekerjaan Kai dan terpesona dibuatnya. Kai hampir selesai membuat sejenis maha karya kertas mâché. Dindingnya berhiaskan gambar kucing yang sangat mendetil dan apik (bahkan bertekstur pula, demi langit!)

“Kucing?” Kyungsoo berkata secara spontan sebelum dapat menghentikan dirinya. Dia segera berpaling dan memfokuskan diri menempelkan lebih banyak potongan kertas ke kotak di depannya.

“Itu karena kau mengingatkanku pada kucing liar,” Kai berujar setelah beberapa detik.

Kyungsoo terpaku sebelum memberi Kai tatapan penuh tanya. “Aku seperti itu?”

“M-hm.” Kai mengangguk dan terus menyelesaikan gambar kucingnya. “Kalian sama-sama memiliki kebebasan semacam ini dan sama-sama tahu cara menjaga diri. Biarpun begitu, kalian sangat sulit mempercayai orang selain diri kalian sendiri.”

Kyungsoo, jika di hari lain dan bersama orang lain, mungkin akan merasa tersinggung. Tapi, realistis saja, Kai memang benar. Kyungsoo memandang kembali dinding yang hampir selesai di hadapannya dan merasa tidak puas menemukannya sangat tidak meriah dibandingkan dengan buatan Kai. Dia tahu dia tidak dapat menyaingi Kai dalam hal bakat seni, tapi setidaknya dia lebih memilih untuk mencobanya. Jadi, dia mulai memikirkan hal yang mengingatkannya pada Kai. Bayangan-bayangan tentang Kai berkelebatan di pikirannya namun tidak ada satu pun ide. Lalu gambaran Kai yang tersenyum muncul begitu saja di kepalanya dan melekat di sana. Kyungsoo pun bersandar ke belakang dan mengamati pemandangan langit. Dia beristirahat saat hangatnya sinar turun dari matahari ke wajahnya.

Itulah saat dia tersadar. Dia tahu sesuatu yang mengingatkannya pada Kai. Jadi, Kyungsoo mengambil potongan besar koran dan dengan hati-hati menggunting sebuah lingkaran besar. Setelah selesai, dia mencelupkannya ke dalam ember dan menunggu sampai kertas itu terlumuri sepenuhnya oleh lem. Sesudah itu, dia menghempaskannya ke kotaknya. Dengan sisa-sisa kertas yang dipotong menjadi lingkaran tadi, Kyungsoo membuat segitiga-segitiga kecil dan menaruhnya di sekeliling lingkaran. Setelah Kyungsoo selesai, dia merasa sedikit bangga dalam hati.

“Apa itu matahari?” Kai bertanya sembari mengamati kreasi Kyungsoo dengan penasaran, “Kenapa matahari?”

Kyungsoo memerah seketika. Gerangan apa dia akan mengatakan pada Kai bahwa dia mengingatkannya pada matahari. “Tidak kenapa-kenapa. Matahari itu bagus.” Kyungsoo tergagap dan menyibukkan diri dengan guntingan-guntingan koran di tangannya. Kyungsoo merasakan tatapan Kai yang hampir menembus tubuhnya untuk beberapa saat sebelum Kyungsoo memberanikan diri untuk menoleh dan menatap mata Kai. “Apa?”

“Apa kau suka bintang?” Kai bertanya dengan wajah serius.

Alis Kyungsoo menyatu dalam bingung, “Em, aku kira ya. Ya, mereka cantik. Kenapa?”

Bibir Kai berubah tersenyum lebar, “Bagus, temui aku di sini jam sembilan malam ini.”

“Apa? Kenapa?” Kyungsoo menyahut cepat-cepat, sinyal waspada menyala di kepalanya.

“Jangan khawatir, kau akan menyukainya. Jadi, sebaiknya kau datang atau aku yang datang dan menyeretmu ke sini.”

Sebelum Kyungsoo dapat bertanya lebih jauh atau menolak ajakan Kai, bel berbunyi. Kai tersenyum sekali lagi pada Kyungsoo sebelum bangun dan mengangkat pegangan ember, “Aku harus bergegas dan mengembalikan ini ke gudang. Jadi, sampai bertemu nanti malam.” Dan Kai pun turun dari atap, meninggalkan Kyungsoo untuk mengatur perasaan dan pikirannya.

Ketika dia pulang ke rumah selepas sekolah, pikirannya kacau balau. Peraturan kedua sedang menyentaknya, memberitahunya untuk tidak coba-coba melangkahkan kaki keluar rumah. Di sisi lain, sebagian dirinya berkata: oke, acaranya berada di lingkungan sekolah. Jadi secara teknis dia tidak melanggar peraturan keduanya. Oh, siapa dia mau mempermainkan peraturan itu?

Berteman dengan Kai itu menyenangkan, namun dia tidak ingin hubungan mereka berkembang semakin dalam. Mereka berteman akrab dan mengobrol dengan enak. Bagaimanapun, Kyungsoo merasa cemas. Dia tidak ingin merasa terikat dengan Kai. Faktanya, itulah masalah utama yang berusaha ia hindari selama bertahun-tahun ini. Dia tidak ingin terikat dengan siapapun karena, bila saatnya tiba dia akan pindah lagi, dia harus meninggalkan mereka. Melukai diri sendiri di masa lalu dengan meninggalkan sesuatu yang dia anggap teman baik, dia sama sekali tidak ingin mengalami rasa sakit itu lagi. Dan seiring berjalannya waktu, dia menyadari dirinya mengharapkan Kai tidak akan mengalaminya juga.

Secercah harapan menyeruak di sela-sela kecauan batin Kyungsoo. Kyungsoo tahu apa yang yang akan terjadi dan yakin dia dapat melindungi diri dari hal itu. Dia juga berpikir bahwa Kai mengerti hal ini pula. Lagipula, Kyungsoo sudah memperingatkan Kai kalau dia tidak akan tinggal lama.

Jadi, Kyungsoo sampai pada kesimpulan. Ya, dia akan menemui Kai untuk kejutan apapun yang dia rencanakan malam ini. Dan selagi dia sedang melakukannya, Kyungsoo akan memastikan untuk memberitahu Kai bahwa mereka perlu berhenti sejenak dan melangkah pelan-pelan. Dengan begitu, mereka tidak akan mulai membuat harapan-harapan tertentu dalam hubungan mereka.

Usai makan malam dengan keluarga dan menyelesaikan PR, waktunya Kyungsoo keluar. Jadi, dalam balutan celana jeans dan sweater tipis, dia melangkah keluar rumah dan berjalan menuju sekolah. Yang tidak dia duga, atau lebih tepatnya dia lupa, adalah saat melihat pintu gerbang sekolah yang tertutup. Kyungsoo menyusuri sekeliling sekolah sampai dia menemukan areal pagar yang cukup rendah dan memanjatnya. Dia berjalan menuju bangunan gudang lama dan ke atapnya.

Di situ, bersandar pada kotaknya, Kai yang sedang meneropong dengan teropong tangan. Mendengar kedatangan Kyungsoo, Kai menutup teropongnya dan menyeringai pada Kyungsoo.

“Kau datang.”

“Tidak ingin orang tuaku khawatir kalau aku sampai diculik,” Kyungsoo menjawab dengan bosan. Kai terkekeh pelan dan menyandarkan kepalanya kembali ke kotak, mendongak memandangi bintang-bintang.

“Kejutan,” bisiknya sambil mengangkat teropongnya. “Aku pikir melihat bintang bersama teman akan menyenangkan.”

Kyungsoo mendengus dan berjalan ke tempat Kai. Dia duduk beberapa meter di sebelah Kai dan meraih kotaknya yang berada tidak jauh dari jangkauan tangannya. Kotak itu serasa membutakan Kyungsoo sebelum dia membuka atap dan jendelanya.

Ketika dia membuka jendela, dia melihat rengutan yang menghiasi wajah Kai. “Ada masalah?” Kyungsoo bertanya, “Apa kau kedinginan?”

Kai tertawa kecil, mengalihkan pandangannya. “Tidak, aku tidak apa-apa.” Dia membuka teropongnya dan mengulurkannya pada Kyungsoo lewat jendela sampingnya. Kyungsoo menerimanya dan berterima kasih. Kai memberikan senyumnya, yang langsung surut begitu saja. Lalu Kai masuk ke kotaknya sendiri dan membuka jendela sampingnya. Kyungsoo mengamatinya, masih belum mengerti perubahan sikapnya. Itulah saat dia teringat bahwa tidak seharusnya dia memikirkan hal seperti itu dan bahwa dia harusnya berusaha menjaga jarak. Jadi, untuk mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah yang mulai muncul di dalam dirinya, dia mengintip lewat lensa teropong.

Pemandangannya indah. Meskipun teropongnya kecil dan tidak memiliki perbesaran yang terlalu bagus, pemandangan itu tetap mendebarkan. “Wow.” Dia berbisik dan sebuah senyum kecil terukir di bibirnya.

“Apa kau melihat bintang biduk?” Kai bertanya. Kyungsoo menggerak-gerakkan teropong ke berbagai arah, namun sayang dia tidak dapat melihat konstelasi itu.

“Tidak,” Kyungsoo bergumam dan merengut sedikit saat dia terus mencarinya. Dia menyerah setelah beberapa menit usaha yang sia-sia. Dia menatap Kai pasrah dan menemukannya sedang menahan tawanya.

“Jangan terlalu sedih hanya karena itu, itu hanya rasi bintang.”

“Tapi aku tetap ingin melihatnya,” Kyungsoo menjawab pelan.

“Lagipula, kau bisa melihatnya lebih baik tanpa teropong. Hanya orang berpengalaman yang tahu bagaimana cara mencari rasi bintang dengan teropong.”

Kyungsoo menaikkan alis mendengarnya. “Oh? Dan kau adalah satu dari orang berpengalaman itu?”

“Bisa dibilang begitu.” Kai meringis. Kyungsoo mendengus dan mengembalikan teropong Kai lewat jendela.

“Oke, buktikan. Dan jangan mencoba menipuku. Aku akan tahu saat kau berbohong.”

Seringaian Kai semakin lebar begitu dia menerima teropongnya, “Dengan senang hati.” Dan dia mengintip lewat lensa teropong dan mengarahkannya ke langit. “Ah, ada Cassiopeia. Nama itu diambil dari istri Cepheus, yang merupakan seorang raja pada zaman dahulu kala—“ Kai terus menemukan rasi-rasi bintang yang berbeda dan memberitahu Kyungsoo sedikit fakta menarik tentang tiap-tiap rasi bintang. Kyungsoo mendengarkan dengan sungguh-sungguh selagi memandang langit malam. Setelah beberapa menit, Kyungsoo merasakan dingin yang mulai merambat menembus pakaiannya. Dia tidak berpakaian untuk cuaca dingin dan dia tidak mengira akan berada di luar terlalu lama. Dia memeluk kedua lututnya lebih dekat dan mendengarkan penjelasan Kai. Beberapa menit berlalu dan Kyungsoo berusaha keras untuk tidak membuat badannya yang menggigil dan giginya yang bergemeletuk terlihat.

“—biasanya kau dapat menemukan Leo dengan mencari tanda tanya yang terbal— Hei, kau tidak apa-apa?” Kai memindahkan teropong dari matanya dan mengerjap mencari Kyungsoo menembus kegelapan.

Kyungsoo  menggosok-gosok tangannya dan tersenyum kecil. “Ya, hanya kedinginan.”

“Oh. Apa kau… mau masuk ke sini? Aku membawa selimut dan kotakku cukup besar untuk kita berdua.”

Mata Kyungsoo hampir saja keluar dari tempatnya. Wajahnya terasa agak menghangat dengan darah mengalir ke pipi. Dengan impuls, Kyungsoo segera menolak tawaran Kai. Kai hanya mengangguk membalasnya, sebuah tatapan kosong tampak sebelum dia terburu-buru melihat dengan teropongnya lagi. Beberapa menit berlalu dan Kyungsoo semakin kedinginan saja. Diam-diam melirik Kai yang sibuk sendiri lewat jendelanya, kebutuhan badannya pun menguasai kekhawatiran jiwanya. Dia keluar dari kotaknya dan mengetuk kotak Kai. “Boleh aku masuk?” Dia bertanya pelan dan berusaha menelan kegugupannya.

Wajah Kai berubah cerah seketika dan senyum tulus muncul, “Tentu kau boleh.” Dan dia mengangkat kotaknya. Kyungsoo merangkak masuk dan terapit tepat antara Kai di satu sisi dan dinding kardus di sisi lain. Kai bergerak sedikit, mencoba mencari posisi yang nyaman dan membetulkan letak selimut supaya bisa menutupi bahu mereka.

“Jadi,” Kai berbisik, “bagaimana, kau menyukai bintang-bintangnya?”

Mau tidak mau Kyungsoo tersenyum begitu melihat lewat “konsep atap terbuka” aneh Kai. “Mereka bagus. Sayang aku tidak pernah mengaguminya dari dulu,” dia berbisik kembali.

“Sama sekali?”

“Mungkin pernah saat aku masih kecil, tapi tidak lagi.” Kyungsoo menghela nafas.

“Kenapa tidak?”

“Aku tidak begitu ingat sekarang.”

Kai menyandarkan kepala ke lutut saat menatap Kyungsoo. “Apa pekerjaan orang tuamu?”

Kyungsoo mengerjap beberapa kali atas pertanyaan Kai. Itu cukup tidak terduga. “Keduaanya penulis fiksi. Jadi, pindah rumah tidak begitu mempengaruhi pekerjaan selama ada koneksi internet di mana pun mereka berada.”

Kai mengangguk dan menatap langit lagi. Dia mengulurkan teropongnya dan Kyungsoo mengambilnya dengan hati-hati. Dia memposisikannya di depan mata dan menikmati pemandangan bintang-bintang.

Semua rasa pada Kyungsoo benar-benar penuh hingga meluap, matanya tertancap pada pemandangan bintang-bintang yang indah, hidungnya yang terasa gatal dengan dunia dengan aroma udara dan aroma Kai, tubuhnya terasa nyaman karena dinding kardus dan kehangatan Kai, telinganya terbuai oleh suara jangkrik dan suara nafas teratur Kai, indera perasanya menikmati udara sekitar yang lembab dan bibir Kai yang menempel di bibirnya

Mata Kyungsoo terbuka lebar karena kaget. Dengan teropong yang tergenggam erat di tangan, Kyungsoo menoleh dan menundukkan kepala untuk menatap Kai yang terlihat khawatir. “Apa... itu?” Kyungsoo berusaha berkata.

“Aku tidak tahu,” Kai menjawab dengan suara parau, “Apa kau menyukainya?”

“Apa aku—A, aku tidak tahu,” Kyungsoo tergagap, mukanya jadi semerah kepiting rebus sekarang. Kai mencondongkan ke arah Kyungsoo dan bibir mereka bertemu kembali. Kai mengapit bibir atas Kyungsoo di antara kedua bibirnya dan menekannya lembut selama beberapa detik sebelum menjauh.

“Bagaimana sekarang?” Dia bertanya, kini jauh lebih dekat pada Kyungsoo.

“A-Aku tidak tahu, Jongin.”

“Jadi, apa kau membencinya?”

Kyungsoo menjilat bibir. “Aku tidak yakin.”

Kyungsoo berbohong. Kyungsoo jelas-jelas berbohong. Siapapun yang mengatakan bahwa berbohong itu lebih mudah itu benar. Karena Kyungsoo tidak membencinya. Dia sama sekali tidak membencinya. 


 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ