Rintik Hujan

Paper Mâché [Indonesian]

Disclaimer: I don't own this story. It belongs to PurplePluto


10.

 

Kotak itu akan dia bawa. Itu keputusan final Kyungsoo. Dulu, Kyungsoo memiliki aturan untuk ‘tidak-memiliki-ikatan’ dan tidak akan berpikir dua kali untuk meninggalkan kotaknya. Lagipula, kotak-kotak itu mudah diperoleh dan butuh sedikit usaha untuk mengaturnya sesuai keinginan Kyungsoo. Namun, dalam kurun waktu beberapa bulan, sesuatu berubah. Kali ini, apa yang ditunjukkan oleh kotak itu berbeda. Kotak itu bukan lagi sekedar kotak tempat Kyungsoo mencari kenyamanan. Bukan, lebih dari itu. Ada kenangan-kenangan berharga melekat pada kotak berlapis koran itu. Ketika tiba waktunya bagi Kyungsoo untuk pindah lagi, dia tahu kenangan itu tidak dapat dibuat replikanya. Yang paling penting, tidak ada kotak lain yang mampu menghubungkan Kyungsoo dengan Kai seperti kotak paper mâché itu lakukan. Ini sudah final. Kyungsoo akan membawa kotak itu dan, di pikirannya, sepotong kecil Kai juga.

Seraya waktu mereka bersama semakin pendek, Kyungsoo menyadari dirinya menghabiskan lebih banyak waktu di luar kotak daripada di dalamnya. Dia terus tukar-menukar bekal makan siangnya dengan Kai dan kadang kala bertukar obrolan bagus. Namun, tak satu pun dari pertukaran ini melibatkan pembicaraan tentang ayah Kai. Kyungsoo benar-benar ingin mendorong dan mendesak masalah itu, tapi dia juga merasa bukan tempatnya untuk ikut campur. Bukan berarti dia dapat mengerti sepenuhnya dinamika hubungan Kai dan ayah Kai. Dan lagi, di tengah-tengah dorongannya, Kyungsoo takut dia akan membuat Kai marah. Membuat Kai marah mungkin dapat membuat Kyungsoo kehilangannya lagi dan dia sama sekali tidak ingin kehilangan Kai lebih cepat dari ini.

“Aku punya sesuatu untukmu.” Kai memberitahunya di suatu makan siang. Kyungsoo meliriknya dari balik novel yang dia baca. Dia melipat pojok halaman yang dia baca dan meletakkan bukunya. Kai memberi isyarat dengan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Dengan patuh Kyungsoo beringsut dan duduk di situ. Kai memberinya senyum kecil sebelum merogoh isi tasnya. Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan buku sketsa putih yang pernah Kyungsoo pilihkan di toko peralatan seni. “Ini. Ini milikmu sekarang. Kau tahu, untuk kau bawa saat kau pergi.”

Biasanya mereka tidak membahas kepergian Kyungsoo yang tak terelakkan dalam obrolan mereka. Mereka berdua tahu pada akhirnya itu akan terjadi, sehingga mereka tidak bersusah-susah memperpendek waktu mereka bersama dengan menyebutnya. Akan tetapi, saat Kyungsoo melihat buku sketsa itu, dia tahu Kai pasti punya satu alasan bagus untuk membawa-bawa topik itu.

Kyungsoo mengulurkan tangan dan mengambil buku itu hati-hati dari tangan Kai. Di kover putihnya tergambar kedua kotak mereka dengan detail yang mengagumkan. Kyungsoo menelusuri gambar kover dengan jarinya sebelum membaliknya ke halaman pertama. Di halaman tersebut ada gambar besar bunga yang cantik. Dia terus membalik halaman buku dan disambut oleh sebuah gambar baru lagi di tiap halaman. Dia berhenti saat sampai di tengah dan menatap Kai dengan pandangan penasaran.

“Itu untuk mendekor di masa mendatang. Yang harus kau lakukan hanyalah mengguntingnya dan menempelnya,” jawab Kai setelah mendapat tatapannya itu. Kyungsoo mengangguk mengerti dan terus mengamati tiap halaman buku. Saat mendekati halaman terakhir, dia menyadari ada sesuatu yang diletakkan di antara halaman terakhir dan kover belakang. Dia balikkan ke halaman terakhir dan mendapati sebuah amplop di situ.

“Untuk apa ini?” Kyungsoo mengambil amplop itu dan mengamatinya. Pipi Kai memerah sedikit, dan dia menyambar amplop itu dari tangan Kyungsoo. Dia masukkan lagi ke dalam buku dan menutup bukunya.

“Seharusnya kau membukanya saat pergi,” kata Kai, tangan masih tetap di atas buku. Kyungsoo menaikkan alis mendengarnya dan menatap buku di tangannya.

“Jadi, maksudmu aku harus menunggu... sampai aku pergi?” Dia bertanya pada Kai dengan mimik tak masuk akal. Kai mengangguk cepat, semburat merah mulai pudar dari wajahnya. Kyungsoo tidak biasa melihat Kai tampak sebegitu bingung. Yang sebaliknya, malah membuat Kyungsoo semakin penasaran dibanding menuruti permohonan Kai. Jadi, berbekal seringai, Kyungsoo menyambar buku itu dari bawah tangan Kai dan cepat-cepat menyingkir darinya. Dia menarik amplop dari buku itu saat Kai berusaha merebutnya dan menggasaknya.

Kyungsoo jatuh dengan punggung lebih dulu, dada Kai menekannya, selagi mereka berebut amplop. Kyungsoo mengangkat tangan yang memegang amplop di atas kepalanya dan bergelut untuk menyingkir dari bawah Kai. Sayangnya, terima kasih untuk tinggi badan dan tangan panjang Kai, dengan mudah dia mencuri amplopnya dari Kyungsoo. Senyum kemenangan Kai pudar seketika saat Kyungsoo melingkarkan kakinya di tubuh Kai dan membalik posisi mereka (ini salah satu trik yang dia dapat saat masih menjadi D.O Si Galak). Keadaan sudah terbalik. Menempatkan berat badannya di perut bawah Kai, Kyungsoo membuat Kai tidak dapat bergerak dan terjebak.

“Manisnya, kau masih meronta,” koor Kyungsoo seraya meraih dan dengan mudahnya merebut amplop itu kembali dari Kai yang masih meronta di bawahnya. Tentu saja, dia mendapat tatapan tajam setelah berkomentar seperti itu. Dia berhasil membuka tutup amplop itu saat tangan Kai berusaha menghalangi lagi. Kyungsoo memutar bola matanya melihat Kai, sebelum dia menyelipkan amplop itu di bibirnya. Dipegangnya kedua pergelangan tangan Kai dan menahannya di atas kepala Kai dengan satu tangan (yang bisa dibilang sebuah prestasi menilik tangan Kai yang sedikit lebih besar dari tangannya). Dengan satu tangan bebas dan tanpa gangguan tangan Kai, diambilnya kertas terlipat dari amplop. Saat itu, Kai sudah berhenti meronta-ronta dan mengaku kalah dalam diam. Kyungsoo membuka lipatannya dan dia disambut dengan gambar sama persis dengan pemuda di bawahnya itu.

“Potret diri? Sungguh? Ini yang membuatmu malu setengah mati?” Kyungsoo membalik kertas itu dan menunjukkan gambar itu pada Kai. Kai merengut sebagai gantinya dan mulai terlihat lebih malu daripada tadi. Kyungsoo mendengus melihatnya malu. “Aku tidak paham.”

Kai menggerak-gerakkan tangannya dan Kyungsoo mengerti pesannya untuk melepaskan tangannya. Segera Kai bangkit dengan kekuatan baru entah dari mana, dan itu membuat Kyungsoo merosot turun dari tubuh Kai ke pangkuannya sebagai hasilnya. Kai pun maju dan memberi Kyungsoo sebuah ciuman dalam. Tangan Kai menuruni sisi Kyungsoo sebelum menautkan jarinya ke ikat pinggang Kyungsoo dan menariknya maju. Saat ciumannya berakhir, Kyungsoo masih tetap bingung. Untung saja Kai menyadarinya, dan mendesah, “Itu agar kau tidak melupakan aku.”

Kyungsoo berkedip beberapa kali sebelum pandangannya turun ke kertas di antara dada mereka. Diamatinya sudut-sudutnya, garis-garisnya, dan lengkungan potret gambar Kai sebelum melirik yang asli. “Jangan bodoh.” Dia menggumam, “Bagaimana bisa aku melupakanmu? Kalaupun iya, kaulah yang akan melupakanku.” Kyungsoo menggigit bibir dan menatap gambar itu lagi.

Kai mengangkat dagu dan menciumnya sekilas. “Jangan bodoh juga. Aku tidak pernah bermimpi akan melupakanmu. Lagipula, aku sudah menutupi diriku dengan—Sial, maksudku... tidak. Tidak ada.” Kai memalingkan muka dengan mencurigakan. Kyungsoo menyipitkan mata dan berusaha mencari tahu apa yang Kai sembunyikan darinya. Kemudian, tiba-tiba, ia mengerti. Seringaian baru tertarik di bibir Kyungsoo sebelum dia beranjak dari pangkuan Kai dan beringsut ke tas sekolah Kai. Kai berusaha menahannya dengan menarik celananya namun Kyungsoo dengan mudah menendangnya.

“Di mana itu?” senandungnya seraya membuka tas dan mengaduk-aduknya. Dia melirik Kai dan mendapati Kai melipat tangan dengan rengutan kecil di wajah.

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” jawab Kai sombong.

“Lucu  sekali, aku pikir kau tahu betul apa yang aku bicarakan.” Kyungsoo tersenyum dan menggoyangkan pantatnya. Kai melihat pergerakannya hanya bisa memandang lama sampai baru tersadar betapa jelasnya kelakuannya, lalu ia memalingkan wajah dengan semburat merah. Kyungsoo memutar bola matanya sebelum melihat lebih dalam ke tas Kai. Dia menemukan buku sketsa dan membuka-bukanya. Tidak ada apa-apa. Dikosongkannya tas Kai, mengabaikan teriakan Kai untuk tidak membuat berantakan. Saat pencariannya tidak membuahkan hasil, pundaknya pun turun dalam kekalahan.

Namun demikian, saat dia melirik ke arah Kai dan melihat senyum arogan menyambutnya, dia merasa kebulatan tekadnya kembali. Dia memikirkan tempat lain untuk dicek dan nyaris membenturkan kepala sendiri saat ia tersadar. Bagaimana bisa dia melupakan tempat yang sangat jelas itu? Cepat-cepat dia merangkak ke kotak Kai dan mendengar suara berisik Kai dari belakangnya. Mempercepat langkahnya, dia meraih kotak itu dan mengangkat salah satu sudutnya. Dia meringkuk dan memasukkan kepalanya ke dalam.

Di dinding-dinding kardus itu ada banyak gambar sketsa. Dan beberapa di antaranya adalah gambar Kyungsoo. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain membeku saat menyadari berapa jumlahnya. Semuanya menggambarkan Kyungsoo dengan sudut berbeda-beda sesuai yang dilihat Kai. Salah satunya, ada saat mereka makan di rumah makan cepat saji, lainnya saat Kyungsoo memakai piyama di depan rumah, dan ada juga gambar di malam hari saat mereka melihat bintang.

Kyungsoo tidak diberi cukup waktu untuk meproses semua gambar itu saat kotaknya diangkat dari atas kepalanya. Dia menolehkan kepala dan melihat Kai menjulang tinggi dengan kotak di tangan. “Idiot,” gumamnya, masih tidak menatap mata Kyungsoo. “Aku  bilang aku tidak akan melupakanmu. Kau harusnya membiarkannya sampai di situ saja.”

Kyungsoo tidak dapat menahan tawanya. Tidak berapa lama, Kai pun ikut tertawa juga. Kai berjongkok di lantai lagi, menaruh kotaknya di belakangnya. Didekatinya Kyungsoo, lalu menarik Kyungsoo ke pangkuannya. “Kau tahu, kau pantas mendapat hukuman karena tidak mendengarkan aku.” Kai memandangnya tajam, meski senyumannya tidak membenarkan niatnya.

“Lakukan yang terburuk,” tantang Kyungsoo. Dan begitulah, Kai menempelkan bibir mereka dengan kasar. Selama menit-menit berlalu, Kyungsoo penasaran kapan hukuman pernah terasa sangat menyenangkan.

http://farm2.staticflickr.com/1156/1469645169_f89bf73c2d.jpg

Jam makan siang berbunyi dan mereka pun memisahkan diri. Sepulang sekolah mereka berjalan pulang seperti biasa. Kai mengantarkan Kyungsoo dan sempat mencuri ciuman kecil sebelum melangkah pergi. Kyungsoo bergegas masuk dan berlari ke kamarnya di atas. Dia menghabiskan malamnya untuk mengamati dengan seksama tiap halaman buku sketsa spesialnya dan memberi perhatian lebih pada potret yang terselip antara halaman terakhir dan kover belakang.

Kyungsoo bangun pagi harinya karena suara ketukan-ketukan keras di jendelanya. Terhuyung dia bangun dari kasur dan berjalan ke jendela yang menghadap halaman depan. Disingkirkannya kelambu, lalu jantungnya berdegup sakit melihat pemandangan itu. Badai. Angin kencang, hujan deras, kilat menyambar dan petir menggelegar. Dia berbalik dari pemandangan menyakitkan itu dan beranjak menuruni tangga. Berlari ke dapur dan melihat keluarganya duduk manis di meja makan. Ayahnya membaca koran kemarin dan ibunya santai meminum teh Sabtu paginya.

“Selamat pagi, Sayang. Akhirnya, ada yang berbeda dari semua cuaca baik yang kita punya,” komentar ibunya sambil tersenyum padanya. Dia berusaha tersenyum kembali, namun matanya tidak bisa lepas dari kekacauan di luar jendela dapur.

“Apa tidak ada peringatan tentang ini?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap mantap.

“Badai ini harusnya tidak melewati kota ini, tapi aku kira dewa cuaca berubah pikiran,” kata ayahnya dengan pelan dan lama, lalu membalik halaman korannya.

“Sudah berapa lama ini berlangsung?” Kyungsoo cepat-cepat bertanya, “Berapa lama lagi akan berakhir?”

“Hmm, aku pikir semalaman dan mungkin beberapa jam lagi,” jawab ayahnya. “Kenapa? Kau harus pergi ke suatu tempat?”

Beberapa jam? Itu terlalu lama untuk ditunggu. Dia mengabaikan menjawab pertanyaan ayahnya dan lari keluar dapur. Dia membuka lemari pakaian untuk mencari sepasang sepatu boot, jas hujan, dan terpal biru besar. Cepat-cepat dia memakainya dan melangkah keluar saat orang tuanya meminta keterangan darinya.

Rasanya seperti jarum menusuk-nusuk wajahnya saat dia berlari melawan gabungan angin dan hujan yang keras dan dingin. Dia berlari sepanjang perjalanan ke sekolah dan dengan tergesa mencari dinding yang rendah yang pernah dia panjat saat melihat bintang dengan Kai. Ketika dia menemukannya, dia memanjatnya dan meloncat turun. Kakinya terpeleset oleh rumput basah dan dia terjatuh keras. Dia mengumpat saat badannya sakit dan lumpur membasahi celana piyamanya. Hati-hati dia bangun dan berusaha mengabaikan rasa sakit di punggungnya dan beratnya lumpur kotor.

Dia berhasil tiba di atap pada akhirnya, setelah terpeleset dan jatuh berkali-kali sepanjang jalan. Saat dia menegakkan punggung dan berdiri di atap, pikirannya pun blank. Sakit di pipi, dinginnya angin dan mati rasa di tangannya menghilang semua. Yang dapat Kyungsoo proses saat ini hanya kerusakan di hadapannya.

Benda itu bahkan tidak bisa dibilang kotak lagi. Sudut-sudutnya terkulai dan atapnya bolong. Lembaran-lembaran koran mengelupas dan terbang dibawa angin. Kyungsoo tersentak dari keheningannya dan buru-buru menbentangkan terpal di tangannya. Dia baru saja akan berlari dan menutupi apa pun yang tersisa dari kotaknya, saat sebuah tangan menggaet tangannya dan menariknya.

“Apa kau gila!”

Kyungsoo tidak pula tersentak. Dia belum bisa berpaling dari kotaknya dan berusaha menarik tangannya kembali. Tangan itu menolak usahanya dan memegangnya lebih erat begitu dia melawan.

“Kyungsoo, kau harus turun sekarang!” teriak Kai yang terus menariknya menjauh. Genggamannya terlalu kuat dan urgen di lengannya. Tiap langkahnya kembali diseret paksa, tekadnya runtuh. Kyungsoo mendapati dirinya tidak lagi melawan begitu mengikuti instruksi Kai dan menuruni tangga. Kai, dengan tangan masih memegang lengan Kyungsoo, menariknya ke teras di salah satu pintu masuk sekolah.

Begitu mereka aman dari hujan, Kai menghempaskan tangan Kyungsoo dengan kasar. “Aku tidak percaya kau bisa begitu bodoh! Syukurlah aku datang mengecek atau kalau tidak, kau akan terpanggang seperti penangkal petir!” Kai meneriakinya, kegusaran jelas nampak di ekspresinya. “Apa kau ingin mati? Begitu? Kau mengharapkan untuk mati?”

“Kotaknya—”

“Jangan pedulikan itu Kyungsoo, aku tidak peduli dengan kotak! Nyawamu jauh lebih penting daripada itu!” Kai meledak lagi, menunjuk-nunjuk ke arah bangunan gudang lama dengan dramatis.

Kyungsoo tercekat mendengar pernyataan Kai. “Kau tidak mengerti,” gumamnya, mencari-cari mata Kai. Emosinya pun tersulut kemudian. “Bagaimana mungkin kau tidak mengerti!” ulangnya, berteriak lebih keras dari yang mampu dia bayangkan. “Kotak itu adalah hidupku! Stabilitasku! Mereka bukan hanya sekedar kotak!” Kyungsoo merasakan jejak basah mengalir di pipinya. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa itu hujan namun perih di matanya berkata lain. “Mereka adalah kotak-kotak yang kita buat bersama! Apa itu tidak berarti apa-apa bagimu? Apa kau benar-benar tidak peduli?” teriaknya. “A-Aku biasanya mengecek laporan cuaca tiap hari tapi hari-hari di sini cuaca baik. Dan aku tidak mengecek, dan kalau aku mengecek, ini pasti tidak akan terjadi dan aku pasti sudah ada persiapan untuk menyelamatkan mereka!” Kyungsoo meringkuk dan menekan telapak tangannya ke rongga matanya. Hidungnya tersumbat dan matanya basah. Tenggorokannya sakit dan anginnya dingin.

“Kemarilah,” bisik Kai di telinganya. Kyungsoo mengeluarkan suara antara degukan, gerutuan, dan rengekan sebagai jawaban, dan menjauhi Kai. Kyungsoo tidak terbiasa membiarkan orang menyaksikan dirinya dalam keadaan terlemahnya. Seluruh situasi ini jadi sedikit memalukan. Namun begitu, di sinilah ia, menangisi kotak. “Berhenti bersikeras dan kemarilah.” Kai merenggut mantel Kyungsoo. Kyungsoo jatuh karena tenaganya dan wajahnya terkubur tepat di leher Kai dengan kaki menjerat kaki Kai.

“Nah, sekarang lebih baik,” bisik Kai lembut sambil memeluknya, bergerak-gerak sedikit untuk mencari posisi yang nyaman. “Aku minta maaf sudah meneriakimu. Aku tahu seberapa pentingnya kotak itu untukmu dan aku peduli padanya. Aku hanya sangat khawatir padamu, kau paham?”

Kyungsoo menggerutu tidak jelas di leher Kai. Butuh beberapa menit sampai Kyungsoo menarik diri dan duduk, lepas dari Kai. Dia mengusap matanya dan masih tersedu-sedu, berusaha keras melancarkan hidungnya. “Maaf,” katanya dengan parau. “Aku juga tidak bermaksud berteriak padamu. Hanya saja....”

“Aku tahu, Kyungsoo. Aku tahu.”

Kai dan Kyungsoo menyandarkan punggung mereka ke pintu masuk samping sekolah, saling menggenggam tangan satu sama lain dengan erat selagi menunggu badai mereda. Ketika hujannya reda, Kai membawa terpal biru di tangannya dan mengantar Kyungsoo pulang.

Akan aku perbaiki. Itu yang Kai katakan padanya. Dia menjanjikan Kyungsoo bahwa dia akan memperbaikinya. Walaupun dia tidak yakin bagaimana Kai akan melakukannya, namun apa mau diperbuat selain percaya sepenuhnya pada Kai dan membiarkan dirinya mempercayai  janji itu.


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ