Kebun Bunga

Paper Mâché [Indonesian]

Disclaimer: I don't own anything. Story belongs to PurplePluto.


3.

 

Pada suatu waktu di sekolah menengah, Kyungsoo memutuskan untuk berhenti mencoba. Hal itu tidak berguna. Ibunya terlalu suka berpindah rumah dan tidak ada tanda-tanda dia ingin berhenti. Jadi, Kyungsoo menghadapi kesulitannya dengan gigih dan memutuskan untuk.berhenti.mencoba.saja. Usaha yang ia kerahkan dari waktu ke waktu untuk menemukan seseorang yang dapat ia sebut teman benar-benar melelahkan. Pada suatu hari yang biasa dia mulai bertanya-tanya, apakah semua usaha itu ada gunanya? Apakah benar berguna baginya berusaha keras untuk mencari teman yang akan menghilang dalam rentang waktu tiga bulan (kalau dia beruntung)?

Tidak, dia menyimpulkan, itu sia-sia. Dia tidak suka harapan yang dia beri pada dirinya sendiri tiap waktu. Harapan bahwa suatu hari, dia akan menetap di satu tempat dan tetap berteman dengan teman-teman sekelasnya hingga lulus. Lalu sisi realistis Kyungsoo akan muncul dan mengatakan bahwa itu hanyalah ide yang tidak akan menemukan pencerahan.

Jadi, demi kepentingannya, Kyungsoo mengatur dirinya sendiri dengan membuat beberapa peraturan. 

Peraturan #1: Bersikaplah ramah. Apapun yang terjadi.

Dia selalu ramah kepada siapa pun, selalu berbicara dengan nada yang menyenangkan dan selalu tertawa sesuai dengan gurauan yang disampaikan di kelas. Biasanya itu akan mencegahnya dari masalah penggencetan yang merepotkan, atau terisolasi yang berakibat guru-guru akan memihak padanya.

Peraturan #2: Tidak pernah bersosialisasi dengan teman sekelas di luar sekelas. Sama sekali.

Beri mereka alasan seputar orang tua yang ketat dan mereka akan meluluskannya. Sebagian orang curiga setelah beberapa saat, tetapi, seperti Kyungsoo menetap cukup lama saja untuk mempermasalahkan hal itu.

Hubungan Kyungsoo dengan semua orang telah menjadi suatu kebiasaan. Dia memiliki rutinitas dengan gurunya. Dia memiliki rutinitas dengan teman-teman sekelasnya. Dia bahkan melakukannya juga dengan orang tuanya. Sayangnya, saat Kyungsoo mencoba membuat suatu rutinitas dengan Kai, dia dihadapkan dengan berbagai masalah. Bukan berarti Kai ikut campur masalah Kyungsoo seperti yang kau kira. Malah sebaliknya. Mereka biasanya saling membiarkan satu sama lain dengan kesibukannya sendiri di atap yang mereka bagi. Kyungsoo duduk dalam kotaknya dan Kai menggambar sketsa di bukunya. Hanya itu. Dan Kyungsoo kira itu akan menjadi rutinitasnya.

Tidak. Sebab di suatu jam makan siang, Kai memutuskan untuk bertanya apakah dia bisa menukarkan potongan apel miliknya dengan kiwi milik Kyungsoo. Bagaimana Kai tahu kalau Kyungsoo membawa kiwi untuk makan siangnya dia tidak mengerti, tapi dia setuju-setuju saja dengan tawarannya. Lagipula, dia lebih menyukai apel daripada kiwi, jadi dia tidak melihat adanya bahaya.

Namun satu kejadian berubah menjadi beberapa, yang berubah menjadi kadang iya kadang tidak, kemudian lebih sering iya daripada tidak. Hal itu berulang kali terjadi sampai-sampai Kyungsoo lelah mengangkat kotak bekalnya untuk ditukar. Solusinya? Ambil pisau X-Acto terpercayanya dan buat jendela. Jendela itu persis seperti atap geser di atasnya, selain bahwa jendela itu ada di sisi samping kota. Itu lebih mirip jendela pintas di batin Kyungsoo.

Rutinitas baru dimulai. Kai mengetuk jendela. Kyungsoo menurunkan jendela. Mereka mengamati bekal masing-masing dan menentukan jika mereka ingin bertukar atau tidak. Setelah itu, tidak ada satu kata pun terucap di antara mereka dan, begitulah. Kyungsoo menutup jendela dan Kai tidak mengetuk lagi. Kyungsoo duduk dalam kotaknya dan Kai menggambar sketsa di bukunya. Akhirnya, Kyungsoo pikir, ini akan menjadi rutinitasnya.

Tidak juga.

Kyungsoo menaiki tangga gudang lama yang berkarat pada suatu jam makan siang di hari Senin dan terkejut. Kai tiba di atap sebelum dirinya. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Jadi, terang saja rasa penasaran Kyungsoo tergelitik.

Di balik sosok Kai yang meringkuk, sebuah benda familier tertangkap matanya. Kardus. Kai sedang melakukan sesuatu dengan kardus itu. Tidak, itu bukan kotak kardus Kyungsoo. Benda itu tergeletak tidak jauh dengan aman. Kai sedang—astaga, Kyungsoo tidak yakin apa yang sedang Kai lakukan dengan kotak kardus yang sudah diratakan itu. Bergulat? Melipat? Menari dengan kepala dimiringkan entah bagaimana?

Setiap impuls dalam diri Kyungsoo memberitahunya untuk tidak mengacuhkan Kai dan pergi saja ke kotaknya namun suatu hal menahannya. Mungkin terdengar gila bagi orang lain tapi Kyungsoo bersumpah kardus di tangan Kai memanggil-manggil dirinya. Meminta pertolongan.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Kyungsoo, mengepal erat tangan di sisinya di belakang sosok Kai yang meringkuk.

Kai mengarahkan pandangannya dari kardus itu ke Kyungsoo, lalu kembali lagi. “Aku hanya ingin melihat apa yang menarik dari ini.” Kai akhirnya menjawab setelah beberapa detik suasana semakin menegang. “Tapi, ini jauh lebih sulit daripada kelihatannya.”

Kyungsoo pun bingung. “Tapi… apa yang sedang kau coba lakukan?” Dia melihat keraguan Kai untuk menjawab, tapi dia mengetahui jawabannya saat dia melihat caranya menatap kotaknya. “Kau, kau pasti bercanda,” Kyungsoo bergumam.

Akhirnya Kai berbalik menghadap Kyungsoo dengan rengutan di bibir. “Jangan tertawa,” Kai bergumam balik dengan tingkah menyedihkan yang tidak terduga.

“Aku—“ Kyungsoo berkata sebelum bibirnya mengatup dengan sendirinya dan dia menghembuskan nafas dari hidung. Matanya menelusuri kardus yang tersiksa di hadapan Kai.

Kyungsoo, tangisnya, tolong aku Kyungsoo.

Kyungsoo mendesah, “Geser.” Dia berkata dengan keras dan meringkuk di sebelah Kai sambil merenggut kardus dari tangan Kai. “Aku tidak percaya kau tidak tahu cara membuat kotak,” dia menggerutu. “Selotip?” Kai menyerahkan selotip dengan cepat.

Dia sudah siap untuk menyelotip dua bagian tutup bersamaan seperti yang biasa dia lakukan, saat Kai menghentikannya. “Tidak, aku ingin keempat sudut ini tersambung dengan yang lain.”

Kyungsoo menaikkan alis. “Kenapa?” perlahan dia berkata, jelas berpikir bahwa Kai gila karena memberitahu Kyungsoo atau ‘Tuan Kotak’ cara membuat kotak.

“Bisakah kau tunjukkan padaku caranya?” tanya Kai, tidak menghiraukan pernyataan Kyungsoo sebelumnya.

“Kenapa?” Kyungsoo mencoba lagi tapi dengan sedikit lebih keras dan tegas.

“Akan kutunjukkan kalau kau mau melakukannya,” jawab Kai. Kyungsoo tidak ingin mengikuti perintah Kai, tapi dia tetap melakukannya karena dia ingin tahu kenapa Kai ingin menyatukan keempat sisi tutup kardus. Dia tidak bisa mengguntingkan sebuah atap kalau tutupnya disatukan begitu.

“Tunggu, pelan-pelan.” Kai menangkap tangan Kyungsoo yang sedang sibuk. Yang menyebabkan Kyungsoo membeku seketika. Saat Kai melepaskannya, Kyungsoo melanjutkan pekerjaannya namun dengan lebih perlahan dan tangan sedikit gemetar. Dia selesai dan mengistirahatkan tangannya di atas lutut, melihat Kai untuk meminta instruksi lebih jauh.

Tangan Kai meraih dan menarik bagian tengah tutup kardus yang terlipat. Kyungsoo kira Kai akan merombaknya sepenuhnya dan memintanya membuat dari awal. Namun, Kai malah berhenti di sambungannya dan membukanya. Sepertinya kotak itu akan segera meledak. Kelihatan menggelikan.

Kyungsoo menyadari dirinya bertanya lagi, “Apa yang mau kau lakukan?” dan memegang lututnya lebih keras dengan gugup.

Sebuah seringai yang ia kenal terlihat di bibir Kai, “Sabar Kyungsoo, sabar.” Kai menggapai ke arah Kyungsoo dengan satu gerakan lambat dan mengambil selotip yang tergeletak di sebelahnya. Dengan sebuah decitan, selotip itu ditarik dan disobek dengan gigi. Lalu Kai mulai melakukan… sesuatu.

Ketika ia sudah selesai, Kyungsoo membatin kalau kotak itu terlihat menggelikan dan jelek. Atapnya berbentuk kerucut dengan lubang aneh di tengah-tengahnya.

“Apa… itu?” tanya Kyungsoo.

“Aku menyebutnya, konsep atap terbuka.” Kai mencondongkan badan ke belakang dan mengagumi hasil karyanya.

“Itu jelek.”

“Kau hanya berpikiran sempit. Aku belum selesai.”

“Kau merusaknya.”

“Kau hanya berpikiran sempit.” Kai tersenyum, masih terpesona akan kreasinya. “Tunggu saja, kau pasti iri.”

Kyungsoo berani mempertaruhkan semua kotak kardus di rumahnya kalau prediksi Kai tidak akan pernah terjadi.

Dan untung saja dia tidak mengucapkan taruhan itu keras-keras, karena dia akan kalah.

Setelah serangkaian jam makan siang dilewati, Kai menambahkan bermacam-macam aksesori di kardusnya dan kotak itu mulai terlihat indah. Kyungsoo tidak pernah memikirkan tampak-luar kotaknya sebelumnya karena, yah, hanya ada satu kotak di situ. Siapa yang peduli selain dirinya?

Jadi, ketika kotak kardus Kai yang indah dengan gambar-gambar bagus dan berbagai perlengkapan yang dibuat dengan mahir, berdiri beberapa meter darinya, Kyungsoo mulai merasa iri seperti hiasan-natal-tetanggaku-jauh-lebih-bagus-dari-rumahku. Dia membencinya. Dialah yang memiliki box-complex. Kai tidak berhak untuk mengalahkan Kyungsoo dalam permainannya sendiri.

“Berikan itu.” Kyungsoo menunjuk ke arah spidol di sebelah Kai yang sibuk menggunting bunga-bungaan untuk ditempelkan di bagian bawah kotaknya. Kai melihat dan mengerjap pada Kyungsoo.

“Spidolnya?” tanyanya, sambil menelengkan kepala. Kyungsoo menggigit bibir bawah keras-keras dan mengambil spidol itu. Dia beringsut ke kotaknya sendiri begitu selesai dengan misinya mengambil spidol. Dia menyilangkan kaki dan mulai menggambar di atas gambar yang sudah Kai buat sebelumnya.

Berkata bahwa Kyungsoo adalah seniman yang baik tentu saja bohong. Dia payah. Buruk. Kyungsoo menyadarinya saat membandingkan gambar jendelanya dengan gambar Kai. “Bagaimana dia melakukannya?” dia menggumam, rasa iri menjalar di seluruh syarafnya.

“Apa?”

Kyungsoo membeku dan terdiam. Sayangnya, itu tidak cukup untuk membuat Kai menjauh.

Sinar matahari yang mengenai punggung Kyungsoo terhalang oleh bayangan Kai yang berdiri di belakangnya. “Apa itu jendela?” Kai bertanya, nada bicaranya tidak bermaksud merendahkan tapi Kyungsoo merasa begitu menyedihkan.

“Ya.” Dia bergumam dan menurunkan bahunya. “Aku hanya… tanganku tidak cukup stabil.”

Kai tersenyum lembut ke arahnya dan duduk di sebelahnya, “Kau ingin aku membantumu?”

Kyungsoo menghela nafas dalam-dalam dan harga dirinya memberi tahu untuk menolak tawaran  tersebut. Dia, pada kenyataannya, tetap bergeming. Dia hanya menatap Kai tidak yakin. Senyuman Kai terus tersirat ketika menghadap ke kotak. Dia memutar kotak Kyungsoo ke sisi yang lain. “Tidak apa-apa. Kau bisa melakukannya dan aku akan mengarahkanmu.”

Kyungsoo menatap kotaknya dan dengan ragu-ragu mengangkat tangannya yang gemetaran. Mendapati Kai memperhatikannya membuatnya gugup. Bagaikan murid yang diamati gurunya; kau ingin membuatnya terkesan tapi kau tahu kau tidak punya cukup kemampuan untuk melakukannya.

Ketika spidol itu menyentuh permukaan kardus, Kau menyuruhnya berhenti. Tangan yang memegang spidol itu diliputi tangan lain. Tangannya dibuat berubah ke posisi lain yang terus terang lebih nyaman. “Supaya lebih teratur.” Kai berbisik, kemudian dia membuat tangan Kyungsoo bergerak. Kyungsoo, masih merasa dalam kendali untuk menggambar, menyadari dirinya menggambar garis yang lurus dan sejajar dengan bantuan Kai.

“Coba lagi.” Kai berkata begitu ia menarik tangannya dari Kyungsoo. Kyungsoo menurut. Sebuah garis lurus dan sejajar lagi. Dia membuat lagi dan menemukan sebuah gambar jendela di hadapannya. Bukan sesuatu yang istimewa, tapi terlihat bagus dan, yang lebih penting, persis jendela.

“Tidak buruk untuk pemula.” Kai mengangguk-angguk menghargai dan mengacak-acak rambut Kyungsoo. Kyungsoo menjauhkan kepalanya dan berusaha merapikan kekacauannya sebagai balasan. Dia menatap Kai lagi.

“Terima kasih.” Dia berkata, tidak begitu menyukai perasaan bahwa dia berutang pada Kai.

“Sama-sama.” Kai menjawab simpel, “ Terima kasih sudah membuatkan kotakku.”

Kyungsoo tidak berpikir dia butuh di-terima-kasih-i, mengingat bahwa itu sudah beberapa hari yang lalu dan membuat kotak tidak membutuhkan banyak tenaga. Dia tidak dapat menahan rasa senangnya meskipun begitu. “Sama-sama.”

“Apa kau mungkin… ingin membantu membuat bunga-bungaan? Kau bisa memakai kardus yang aku bawa dan membuat sendiri milikmu.”

Kyungsoo sepenuhnya terkejut dengan usulan tersebut. Alarm peringatan berbunyi di kepalanya. Ini terlalu ramah. Ini berlebihan. Batalkan misi, batalkan misi. Bagaimanapun, sekali lihat pada kotak hasil kreasi Kai mencetuskan sebuah keirian lain. Cetusan tersebut cukup meyakinkan Kyungsoo untuk menyetujui.

“Tentu.”


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
amusuk
maaf, kalo ada notif apdetan, saya lagi nge-proofread ulang

Comments

You must be logged in to comment
darkpinkeu
#1
Chapter 15: Huwaaa endingnyaaa sweet lah walau aku pengen liat kelanjutannya wkwk merasa haus kalau tentang kaisoo tuh, nice buat authornim makasih sudah membuat cerita sebagus dan semenarik ini buat translator pun makasih banyakkkkkk sudah menyempatkan diri menerjemahkan ff ini dan membantu banyak orang supaya lebih mudahh membaca dalam bahasa sendiri hehe thanks bgt makasih banyak sukses selalu ya kalian
darkpinkeu
#2
Chapter 14: Huwaaa sweet nya wkwk lucu nya ayahnya kai akhirnya soo :')
darkpinkeu
#3
Chapter 13: Huhubu padahal hot tapi berujung kesedihan :'(
darkpinkeu
#4
Chapter 12: Yawlahh kaisoo sweet bgt sih bikin iri
darkpinkeu
#5
Chapter 11: Wahh kaisoo kaisoo abis yg nggak nggak nih wkwkk
darkpinkeu
#6
Chapter 10: Suka bgt sama adegan mereka pas berebutan sketch book yaampun manis
darkpinkeu
#7
Chapter 9: Huwaa kaisoo ku udah dewasa ya huhuhu
darkpinkeu
#8
Chapter 8: Kaisoo ih gemay yaampun
darkpinkeu
#9
Chapter 7: Yahh udah sweet sweet padahal ㅜ.ㅜ
darkpinkeu
#10
Chapter 6: Wahhh akhirnyaa kisseu jugaa ㅠ.ㅠ