Impression

Wae

 

Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa saat lalu. Beberapa orang murid mulai membuka bekal makan siangnya, atau pergi ke kantin untuk membeli makanan. Akan tetapi, ada juga yang tetap duduk di bangku, seperti Chanyeol dan Luhan. Luhan yang pengurus kelas itu masih menekuni buku pelajarannya. Sementara Chanyeol tengah menidurkan kepalanya di atas meja dengan malas-malasan.

 

Itu adalah salah satu sifat Chanyeol yang bertolak belakang dengan Luhan. Laki-laki dengan surai gondrong berantakan yang dikenal sebagai berandalan itu sungguh pemalas. Tidak jarang ia bolos pelajaran, tidur di kelas, atau dihukum karena tidak mengerjakan tugas. Sungguh berlainan dengan Luhan yang rajin, disiplin, dan dinilai baik di mata guru-guru.

 

Sebenarnya saat itu Chanyeol sedang sangat malas untuk bergerak, atau melakukan apapun. Akan tetapi, perutnya yang berbunyi minta diisi tak bisa dihiraukannya dengan tidur. Karena itu, ia merengek pada Luhan yang duduk satu bangku di depannya.

 

“Ya! Lulu!” panggilnya tanpa membuka mata.

 

Luhan tidak memberi respon. Entah memang tidak mendengar, atau tidak mau dengar.

 

“Luhan, aku lapar! Mana bekalnya?” rengek Chanyeol.

 

“Aku tidak sempat buat,” sahut Luhan sambil lalu.

 

“Mwo?? Kalau begitu belikan aku makan siang. Aku sangat lapar,” ujar Chanyeol lagi.

 

Namja bersurai coklat cerah itu tidak menyahut.

 

Chanyeol mulai kesal karena Luhan tidak menanggapinya. Ia membuka matanya dan menatap pungguh Luhan yang duduk di depannya. “Lulu! Ayolah, belikan aku makan siang! Aku lapar,” ujarnya lebih keras.

 

Namun Luhan sama sekali tidak mempedulikannya. Karena merasa dirinya tidak dianggap, Chanyeol benar-benar kesal. Ia duduk dengan tegak dan berteriak ke arah Luhan. “YA!! Lulu!!” panggilnya dengan suara keras dan membuat semua murid yang ada di kelas menoleh.

 

“Hei hei, dia dipanggil Lulu, tuh!”

 

“Hihi... Lulu ya? Cocok, kok, cocok.”

 

“Hihihi...”

 

Luhan bisa mendengar bisikan-bisikan para siswi yang sedang membicarakannya itu. ia menggertakkan giginya menahan kesal. Ia benci panggilan itu. Dan orang brengsek yang pertama kali memanggilnya dengan nama itu adalah...

 

Chanyeol mencoba memanggil Luhan lagi. “Lu –“

 

Omongannya terhenti di situ karena tiba-tiba Luhan berbalik dan membentak dengan sangat marah. “Berisik!! Berhenti memanggilku begitu!” teriak Luhan dengan suara amat keras.

 

Chanyeol sampai agak terlonjak karena terkejut. “Memangnya kenapa? Nama itu kan, cocok untukmu,” sahutnya.

 

“Apanya yang cocok!? Nama itu memalukan!” sentak Luhan.

 

“Kenapa marah, honey? Nama Lulu itu memang sangat cocok untukmu,” ujar sebuah suara dan diikuti kehadiran seorang siswa yang tiba-tiba merangkul Luhan.

 

“Benar. Nama itu menggambarkan wajahmu yang cantik ini, Lulu.” Seorang namja lain juga ikut bergabung dan menyentuh wajah Luhan yang sedang kesal.

 

“Lepaskan!” Dengan agak kasar, Luhan melepaskan diri dari dua orang temannya itu, Sehun dan Kai.

 

“Ah, kau kasar sekali, Lulu,” ujar Sehun sambil mengusap tangannya yang dipukul Luhan.

 

“Sudah kubilang, berhenti memanggilku dengan nama itu!!” seru Luhan.

 

“Tapi kan, nama itu memang cocok untukmu, Lulu,” sahut Chanyeol yang langsung mendapat tatapan penuh amarah dari adik angkatnya. Bagaimanapun juga, posisi Chanyeol memang yang paling berbahaya, karena dia adalah pelopor dari nama itu.

 

“Eh, tapi kau kan memang cantik, Lulu. Makanya cocok dengan nama itu.” Chanyeol mencoba membela diri agar terhindar dari amukan Luhan. “Hei, kalian setuju kan, kalau Lulu itu cantik? Dan nama ini cocok untuknya?” tanya Chanyeol pada seisi kelas.

 

Pertanyaannya itu mendapat sambutan hangat dari para penghuni 1-8. Semuanya serempak menyorakkan:

“Benar, Lulu memang cantik!”

“Nama ‘Lulu’ memang benar-benar cocok!”

 

“Kau lihat, darling? Semua orang setuju bahwa kau memang cantik,” ujar Kai sambil mengangkat dagu Luhan.

 

“A-aku tidak cantik! Lagipula, aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Mama,” sahut Luhan, dengan semburat merah di pipinya.

 

“Yaah, Mama kita itu memang sangat mempesona. Tapi, kau juga menawan, Sayang,” ujar Sehun sambil mengecup punggung tangan Luhan.

 

“Aku dengar sudah mulai banyak orang yang menyebut-nyebutmu sebagai Mama kedua,” timpal Kyungsoo, ikut nimbrung. Dia adalah pria serius dengan bola mata bulat yang senang menganalisis data semua murid di SM High ini.

 

Luhan menoleh pada laki-laki itu dengan terkejut sambil melepaskan diri dari Kai dan Sehun.

 

“Mama kedua? Omona, cocok sekali!” seru Sehun kegirangan sambil kembali mengusap pipi Luhan, tidak kapok-kapok meski berulangkali tangannya ditampar oleh siswa yang sebenarnya memang cantik tu. Dan karena ketidak-kapokannya itu dia kembali mendapat tamparan yang sangat keras di tangannya dari Luhan.

 

“Ta-tapi... Mama tak ada bandingannya. Aku tidak pantas dibanding-bandingkan dengannya,” ujar Luhan sedikit gugup. Dan lagi-lagi wajahnya bersemu merah. Entah karena apa. Yang pasti bukan karena tindakan Kai dan Sehun, karena setiap dua orang itu berbuat macam-macam padanya, Luhan langsung menatap mereka dengan garang. Lalu apa yang membuat pipinya merona merah begitu, ya?

 

“Ah... kau terlalu merendah, Chagi,” ujar Kai sambil pura-pura menangis haru.

 

Luhan sudah hendak memarahi pria itu ketika Chanyeol yang selama beberapa saat tadi diam saja, tiba-tiba angkat bicara. “Mama itu siapa?” tanyanya.

 

Empat siswa yang ada di hadapannya – ah ani, tepatnya, semua orang yang ada di kelas itu langsung menoleh padanya dengan tatapan tak percaya.

 

“Mian, sepertinya aku salah dengar. Kau bertanya apa tadi?” tanya Sehun.

 

“Kau tuli ya? Aku tanya, Mama itu siapa? Dari tadi kalian terus-menerus menyebutnya, memangnya dia itu siapa?” Chanyeol memperjelas pertanyaannya.

 

“TIIIIIIDDAAAAAAAKKK!!!! Kau benar-benar tidak tahu siapa Mama?” tanya Kai histeris. “Sungguh. Sungguh tidak tahu?”

 

“Apa sih? Memangnya kenapa kalau aku tidak tahu?” sahut Chanyeol balik bertanya dengan sebal karena reaksi mereka seperti itu.

 

“Omona!! Jangan-jangan kau dirasuki roh ya? Sampai-sampai kau tidak mengenal Mama!”

 

“Apaan, sih?!”

 

 

“Kau serius tidak tahu siapa itu Mama?”

 

“Iya! Aku tidak tahu! Makanya aku tanya, kan!? Memangnya kenapa kalau aku tidak tahu!? Memangnya dia itu siapa!?” ujar Chanyeol sambil berseru kesal.

 

“Baekhyun-nim,” sahut Luhan.

 

“Eh?”

 

“Mama adalah Baekhyun-nim,” ulang Luhan sambil menatap Chanyeol yang kebingungan dengan ekspresi yang sulit sekali diartikan.

 

“Baekhyun-nim?” Chanyeol mengernyitkan dahinya. “Nugu ya?”

 

“HUWAAA!!! Dia benar-benar tidak tahu! Dia tidak mengenal Baekhyun-nim! Mama SM High yang sangat terkenal itu!! Dia sungguh-sungguh tidak mengenalnya! Mengerikan! Ini bencana!” jerit Kai dan Sehun sambil berpegangan tangan dan menangis tersedu-sedu.

 

Kyungsoo menatap Chanyeol tajam. “Kau benar-benar tidak mengenal Byun Baekhyun?” tanyanya sambil memicingkan mata bulatnya.

 

“Ha? Byun Baekhyun? Nugu?” Chanyeol benar-benar kelihatan bingung.

 

‘Dia benar-benar tidak mengenalnya. Sama sekali tidak kenal!?’ batin seseorang yang ada di ruangan itu dengan perasaan tak percaya, kecewa, marah, dan kesal berdentum-dentum di hatinya.

 

“Byun Baekhyun, kelas 1-1. Siswa teladan dengan wajah yang sangat cantik, rambut coklat halus dan mata hitam yang mempesona. Sosoknya itu disukai bai oleh pria maupun wanita, bahkan di kalangan para guru pun dia populer. Karena kecantikannya, semua setuju memberinya gelar ‘Mama’. Baik kelas 1, bahkan kakak kelas 2 dan 3 pun memujanya. Di SM High ini tak ada seorangpun, baik laki-laki maupun perempuan, yang bisa menandingi kecantikannya.” Kyungsoo menjelaskan secara panjang lebar sambil melihat buku catatannya.

 

Selama ia menjelaskan, semua murid di kelas itu mengangguk-angguk setuju. Lalu, secara serentak mereka menatap Chanyeol dengan tatapan tajam dan menghina, seolah mengatakan: ‘Masa kau tidak tahu!?’

 

“Hee, sampai segitunya,” gumam Chanyeol. “Memangnya dia secantik apa?”

 

“Baekhyun-Mama memang sungguh mempesona.”

 

“Dia seperti dewi.”

 

“Kecantikannya tak tertandingin!”

 

“Dia pasti bidadari yang turun dari surga!”

 

‘Bidadari?’ Telinga Chanyeol langsung menjadi tajam dan menaruh perhatian begitu mendengar kata ‘bidadari’. “Apa....”

 

“Kau sungguh tidak tahu? Padahal seharusnya kau mengenalnya, kan?” ujar Kyungsoo.

 

“Kenapa aku harus mengenalnya?”

 

“Belakangan ini, bukankah kau digosipkan dengannya?”

 

“Oh ya?” Chanyeol bertanya sangsi.

 

Mata Luhan menyipit penuh selidik. “Kau tidak sadar kalau kau digosipkan dengan Baekhyun-nim?”

 

“Memang aku digosipkan apa?”

 

“Aaaaah! Aku tidak terima! Kenapa malah orang seperti ini sih, yang digosipkan dengan Mama!?”

 

“Benar! Curang! Aku juga ingin digosipkan dengan Mama!”

 

“Lebih baik Mama digosipkan denganku saja daripada dengan makhluk asing brengsek yang bahkan tidak mengenal Mama ini!!”

 

“Apaan sih!? Memangnya aku digosipkan apa??” Chanyeol mengulang pertanyaannya.

 

“Semua orang sudah tahu bahwa orang yang disukai oleh Byun Baekhyun adalah seorang siswa berandal bernama Park Chanyeol dari kelas 1-8,” ujar Kyungsoo menjawab pertanyaan Chanyeol.

 

“Mwo? Orang yang disuka? Aku??” Namja bersuara dalam itu bertanya dengan tampang tak percaya.

 

“Tidak adil!! Tidak adil!! Kenapa harus kau!??”

 

“Curaaaangg!! Aku juga ingin menjadi orang yang disukai Mama!!”

 

“Kau sungguh pria yang beruntung, Chanyeol-ah! Bisa mendapatkan cinta Mama yang sungguh menawan bak bidadari itu! kau sungguh orang yang sangat berbahagia!!”

 

“Apanya yang berbahagia?! Bertemu dengannya saja belum pernah!” tukas Chanyeol sebal.

 

“Kau salah,” bantah Kyungsoo.

 

“Eh? Apanya yang salah?”

 

“Bukankah kau sudah bertemu dengannya pagi ini?” tanya Kyungsoo.

 

Chanyeol mengerutkan dahinya, berusaha mengingat-ingat. “Rasanya pagi ini aku tidak bertemu dengan seseorang yang khusus,” ujarnya.

 

Kata-kata yang dilontarkannya itu langsung membakar emosi seseorang. ‘Dia tidak mengingatnya! Dia sama sekali tidak ingat dan tidak peduli!!’

 

“Wah, wah. Ingatanmu payah ya, Park-ssi,” ujar Kyungsoo mengejek.

 

“Mwo!?”

 

‘Aku setuju denganmu. ingatannya memang sangat payah!’

 

“Coba kau ingat-ingat kejadian tadi pagi, sebelum bel masuk berbunyi. Di lorong setelah kau meelwati kelas 1-1, ada seorang siswi yang menyerahkan syal rajutan tangan warna biru. “Apa kau ingat apa yang dikatakannya?” ujar Kyungsoo, berusaha memancing ingatan Chanyeol.

 

Namja bersurai gondrong berantakan itu memutar ingatannya pada beberapa jam yang lalu.

 

“Ini syal rajutan tangan buatan Baekhyunnie.”

 

“Ah!” Chanyeol teringat kejadian itu.

 

“Kau sudah ingat? Kalau begitu apa kau juga ingat siapa yang ditunjuk gadis itu, sebagai si pembuat syal?”

 

Ingatan Chanyeol kembali berenang-renang di waktu itu. Dia ingat ada seseorang yang ditunjukkan oleh gadis itu. seorang siswa dengan tubuh ramping semampai. Rambut coklat yang halus, kristal kelam yang teduh, wajah mungil yang mempesona meski terlihat pucat.

 

“Ooh... orang itu.”

 

“Kau ingat?”

 

“Laki-laki lemah yang seperti banci itu?”

 

“MWOYA!!??”

 

Ucapan Chanyeol yang keluar dari lidahnya yang tajam itu tentu saja membangkitkan amarah seisi kelas.

 

“Kau bilang apa tadi, Park Chanyeol??” Kai mendekatkan wajahnya pada Chanyeol dengan penuh amarah.

 

“Laki-laki lemah yang seperti banci?” ujar Chanyeol cuek.

 

“Kurang ajar kau, Park Chanyeol!! Beraninya menghina Mama! Padahal Mama yang seperti dewi itu telah bermurah hati mau menyukai berandalan tengik sepertimu!”

 

“Cih! Memangnya siapa yang butuh!? Siapa juga yang sudi disukai namja yang penampilannya seperti yeoja begitu!? Menjijikkan!”

 

Ruang kelas 1-8 itu sudah dipenuhi oleh api kemarahan yang ditujukan pada Chanyeol. Entah kekacauan seperti apa yang akan terjadi bila bel masuk tidak keburu berbunyi dan guru pelajaran selanjutnya segera masuk kelas.

 

Untuk sementara Chanyeol terhindar dari amukan massa. Tapi, dia sudah menempatkan dirinya sebagai orang yang dibenci dan dia harus bersiap-siap dengan konsekuensinya.

 

Selama pelajaran berlangsung, semua murid kelas 1-8 tepatnya, berusaha menekan emosi yang terbakar. Begitu pun dengan Luhan. Ia menundukkan kepalanya di meja dengan ditopang oleh sebelah tangan. Sementara tangan yang satunya mencengkeram dadanya yang terasa sakit.

 

‘Tenang, Luhan! Tenang! Kendalikan emosimu! Jangan biarkan amarah menguasaimu! Tuan mengajarkan begitu, kan!? Kendalikan dirimu, Luhan! Jika dikuasai amarah kau tidak akan bisa menjalankan tugas dengan baik! Tugas adalah yang paling penting, Luhan! Kendalikan dirimu!!’ batinnya, sambil berusaha menguasai diri.

 

.

 

.

 

.

 

Hari sudah sore, lingkungan SM High mulai ramai oleh para murid yang baru saja bubar kelas. Di ruang kelas 1-8, api kemarahan semakin menipis. Meski semua orang kesal pada Chanyeol, tapi mereka lebih memilih untuk tidak mencari gara-gara dengan berandalan itu.

 

“Ya, Lulu. Pulangnya beli makanan dulu, ya? Aku sangat lapar –“

 

Omongan Chanyeol terhenti karena tiba-tiba ada pengumuman dari ruang penyiaran lewat speaker yang ada di setiap kelas.

 

Ting. Tong. Ting. Tong.

 

“Mohon perhatian. Ditujukan kepada Park Chanyeol dari kelas 1-8, diharap segera datang ke ruang kepala sekolah. Terima kasih.”

 

Luhan menatap kakak angkatnya, meminta penjelasan. Akan tetapi, Chanyeol sepertinya tidak berniat menjawab. Dia hanya mendengus sebal dan menggerutu sambil menyelendangkan tasnya.

 

“Cih! Menyebalkan! Pasti diceramahi lagi!”

 

Siswa yang sudah jadi langganan tetap dipanggil ke ruang kepala sekolah itu berjalan menuju pintu dengan cuek. Ketika tiba di ambang pintu, ia menoleh pada Luhan yang juga sedang menatapnya.

 

“Buatkan makan malam yang banyak, ya! Aku benar-benar kelaparan! Ingat ya, begitu aku pulang, makanannya harus sudah jadi!” ujarnya, lalu berbalik dan pergi keluar kelas.

 

“Lagi-lagi dia dipanggil ke ruang kepala sekolah.”

 

“Kali ini ada apa lagi?”

 

“Aku benar-benar tidak mengerti kenapa Mama menyukai orang seperti dia!”

 

“Apa sih, bagusnya dia!?”

 

 

Kasak-kusuk tak menyenangkan tentang Chanyeol itu bisa didengar jelas oleh Luhan. Namun, sang ketua kelas itu tak berkomentar apa-apa. Dia hanya menatap arah kepergian Chanyeol dengan tatapan dalam.

 

.

 

.

 

.

 

Langit semakin gelap seperti tinta karena kehilangan sinar matahari yang tengelam di sebelah barat. Lampu-lampu rumah penduduk sudah mulai dinyalakan. Namun, ada sebuah kamar di lantai dua di sebuah rumah yang ada di kawasan pinggiran kota Seoul, tetap gelap gulita. Penghuni kamar itu, seorang murid SMA tidak beranjak dari kasurnya untuk menyalakan lampu.

 

Laki-laki itu hanya menatap langit-langit kamarnya sambil telentang. Matanya tampak kosong menatap kegelapan di sekelilingnya. Meski begitu, sejak tadi kepalanya terus sibuk berpikir.

 

Lamunannya buyar ketika terdengar alunan musik dari arah HP-nya. Namja itu segera bangkit dan mengambil benda elektronik itu. ia tahu siapa yang akan menghubunginya. Dan tebakannya terbukti benar saat nama orang itu terpampang di layar.

 

“Selamat malam, Tuan.”

 

“Selamat malam. Maaf mengganggumu. Aku ingin mendengar laporanmu hari ini,” ujar sebuah suara di seberang sana. Suara seorang namja seumuran dengan penghuni kamar itu. suaranya terdengar lembut, ringan, dan terdengar seolah pemilik suara itu mengatakannya dengan selalu diiringi senyum.

 

Pemuda penghuni kamar itu sudah tahu dia akan meneleponnya. Dan ia sudah mempersiapkan laporannya. Selama beberapa menit, laki-laki penghuni kamar gelap gulita itu menyampaikan laporannya pada laki-laki di seberang sana, yang dia sebut ‘tuan’ tadi.

 

“Geure yo?” ujar namja di seberang sana, menanggapi laporan si penghuni kamar gelap. “Tadi dia dipanggil ke ruang kepala sekolah, ya? Kau tahu sebabnya?”

 

“Maafkan saya, Tuan. Dia tidak mau memberitahu saya.”

 

“Geure?”

 

“Begitu dia pulang, saya akan langsung menanyakannya,” ujar si penghuni kamar.

 

“Dia belum pulang?”

 

“Belum, Tuan.”

 

“Hmm... padahal sudah malam,” gumam suara di seberang sana, terdengar khawatir.

 

Namja penghuni kamar tidak tahu harus mengatakan apa untuk menghilangkan kekhawatiran tuannya. “Maafkan saya, Tuan,” ujarnya. “Maafkan saya karena tidak menjaganya dengan baik.”

 

“Eh? Ani~ Tidak perlu meminta maaf. Aku tidak menyalahkanmu. Mengawasi dan menjaga itu berbeda dengan menguntit. Paha,?”

 

“Saya mengerti, Tuan. Maafkan saya.”

 

Laki-laki di seberang sana tersenyum. “Sudahlah. Kalau terjadi sesuatu, cepat beritahu aku, ya?”

 

“Baik, Tuan.”

 

Selama beberapa saat keduanya terdiam. Masing-masing merasa masih ada yang ingin dibicarakan, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Saat namja bersuara lembut di seberang sana hendak mengakhiri pembicaraan, laki-laki penghuni kamar yang gelap itu memanggilnya.

 

“Tuan...” ujarnya ragu-ragu.

 

“Nde. Ada apa?”

 

Namja yang memberi laporan itu tampak ragu. Ia tidak yakin apakah dirinya pantas mengucapkannya dan mengutarakannya pada tuannya. Namun, bayangan kejadian pagi tadi di sekolahnya membuat dadanya bergejolak dan mendorong mulutnya mengutarakan pikirannya.

 

“Saya tidak mengerti, Tuan,” ujarnya.

 

“Eh? Mwo?”

 

“Saya tidak bisa mengerti kenapa Anda.... Mengapa untuk orang seperti dia –“

 

“Jangan menghinanya. Kau tinggal satu rumah dengannya dan pasti lebih mengenalnya. Apa kau tidak menemukan kelebihannya?” ujar laki-laki yang disebut ‘tuan’ itu, menyela.

 

“Saya tahu, Tuan. Saya tahu dia tidak seburuk anggapan orang. Saya tahu sebenarnya dia orang yang baik. Hampir sepuluh tahun saya tinggal bersamanya, saya mengerti kebiasaannya. Tapi...”

 

“Tapi, lalu kenapa?” Laki-laki itu tetap bertanya dengan suara tenang, menghadapi lawan bicaranya yang mulai emosi.

 

“Tapi saya tidak bisa terima, Tuan. Saya tidak bisa terima perlakuannya pada Anda,” ujar si penghuni kamar dengan suara tertahan karena marah.

 

“Aku tidak mempermasalahkan hal itu,” sahut Sang Tuan.

 

Murid SMA pnghuni kamar yang gelap itu menggigit bibir bawahnya menahan amarah. Namun, ingatan atas kejadian di sekolah tadi membuat pertahanannya jebol. Dadanya terasa sesak karena luapan kemarahan. “Tapi dia menghina Anda, Tuan! Saya tidak bisa terima itu!!” ujarnya dengan seruan tertahan. Napasnya agak tersengal karena luapan emosi yang berusaha ia kendalikan.

 

Laki-laki yang disebut tuan itu memejamkan matanya. Ia tidak mengatakan apa-apa sampai abdinya itu tenang. Lalu, ia memanggilnya dengan suaranya yang lembut. “Xiao Lu,” ujarnya perlahan.

 

“Jeosonghamnida, Jeonha,” ujar Sang Abdi cepat dengan perasaan bersalah.

 

Di seberang sana, tuannya tersenyum penuh kasih. “Kau ingat apa yang sudah kuajarkan padamu tentang kemarahan?” tanyanya.

 

“Saya ingat, Tuan. Saya tidak akan pernah lupa.”

 

“Jangan biarkan kemarahan menguasai dirimu karena itu akan membuat kau tak bisa berpikir jernih dan melakukan hal-hal bodoh,” ujar mereka berbarengan.

 

“Maafkan saya, Tuan,” ujar Sang abdi. “Saya hanya kesal pada sikapnya terhadap Tuan. Padahal Tuan sudah –“

 

“Dia tidak tahu,” sela Sang Tuan sambil kembali diiringi senyum.

 

“Justru itu yang membuat saya semakin tidak mengerti. Kenapa Anda tidak memberitahunya?”

 

Di seberang sana, laki-laki itu tertegun. “Kenapa, ya? Aku juga tidak tahu. Itu hanya keegoisan pribadi.”

 

“Karena itu saya bilang saya sungguh tidak mengerti, Tuan.”

 

Tuannya hanya tersenyum manis. “Aku melakukannya karena aku ingin. Karena aku ingin menolongnya. Jadi... meski dia tidak tahu pun... Kau bisa mengerti itu, Xiao Lu?”

 

“Tidak, Tuan. Saya tidak bisa mengerti.”

 

Di seberang sana, tuannya hanya menghela napas dan diiringi sebuah senyum tipis.

 

Keduanya kembali terdian. Tapi, keheningan itu tak berlangsung lama karena dari lantai satu di rumah Sang Abdi terdengar sebuah suara rendah.

 

 

“Sepertinya dia sudah pulang, ya?” ujar Sang Tuan. “Terima kasih atas laporanmu hari ini, Xiao Lu. Aku juga berterima kasih karena selama hampir sepuluh tahun ini kau bersedia memenuhi keegoisanku untuk mengawasi dan menjaganya.”

 

“Saya melakukan ini demi Anda, Tuan. Perintah Anda adalah hukum bagi saya.”

 

Tuannya kembali menyunggingkan senyum. “Tapi selama sepuluh tahun ini dia berubah, ya? Tak lagi cengeng dan berputus asa pada kehidupan seperti sepuluh tahun lalu. Dia sudah jadi laki-laki yang kuat.”

 

“Yah... Tapi saya rasa itu sudah seharusnya, Tuan. Dengan egitu pengorbanan yang Anda lakukan untuknya tidak sia-sia.”

 

“Geure yo? Aku mohon padamu Xiao Lu, jangan benci dia. Lindungilah dia demi diriku dan tolong, cepat beritahu aku jika terjadi sesuatu. Ingat, kendalikan emosimu dan rahasiakan hal ini darinya. Selamat malam, Xiao Lu. Jaljayo.”

 

“Selamat malam.... jeonha...”

 

Klik.

 

Dengan itu hubunganmu terputus. Sang Abdi kembali merebahkan diri di atas kasur. Dadanya masih berdentum-dentum.

 

“Saya sungguh tidak mengerti Tuan,” bisiknya.

 

“KYAAAAAA!!!!!”

 

Jeritan dari lantai satu rumahnya membuat namja itu tersentak bangun dan bergegas turun menghampiri sumber suara.

 

.

 

.

 

.

 

A/N: chapter ini kebanyakan percakapannya ya? Haish, mianhe....

yak, gomawo sudah bersedia baca, kritikannya masih ditunggu~

 

Regards,

 

Allotropy.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
stellarstarlight
#1
it make me feel so many emotions!
Nisa_Park
#2
Chapter 10: emaaakk!
Padahal baekhyun udah berhasil mendapat tuh si chanyeol...
Kenapa author udh nyulik dia aja TT_TT aku nangis... Emaak.. Huhuhu
tapi ya.. Ini emang bagus.. Kenapa setiap angst selalu diakhiri dgn salah satunya pergi? Kenapa gk keduanya aja #nista
biar kyk romeo juliete gitu #plak
5 jempol buat author-nim
jujur awalnya sempat gk ngerti soalnya author nulis percakapannya pake rahasia2an jadi aku gk tau siapa aja yg ngomong..
Tapi, akhirnya aku ngerti sangat ngerti..
Ditunggu karya selanjutnya!
gotikuneko
#3
Chapter 10: T_T bagus bgt ff nya... Tp sad ending... Tp baguuuus bgt T_T
gotikuneko
#4
Hueee suka bgt ma ceritanya author-nim xD
chyshinji
#5
Chapter 10: T_T Sad ending ..... Kasian sekali chanyeol. Wah, ternyata Kris suka sama Luhan yah? Masa takut kalah sama Baekhyun sih,, kekekek,, ayo taklukan (?) Luhan.
chyshinji
#6
Chapter 9: Huweeeeeeeeeee,, gimana bisa Baekhyunnya malah metong T_T Padahal kan baru aja dapet first kiss dari chanyeol kan, huwaaaaaa,, nyesek sekali kalo jadi chanyeol, masa baru beberapa menit bahagia, langsung sedih selamanya -_-
chyshinji
#7
Chapter 8: Aigoooooooooooooooooo,, Chanyeol, lo bego apa tolol sih? Kan cuman mata baekhyun doang yang ditutup, wajahnya kan engga, masa engga kenal sih sama bidadari lo itu. Itu baekhyuuuuuuuuuuuunn >.< Aigooo,, itu baekhyun gak mati kan ya? semoga,, kekekek
chyshinji
#8
Chapter 7: Aigoooooo Lulu udah tau ada masalah sepenting ini lah malah masih mentingin gurunya, harus bisa dong pilih yang lebih penting -_- Urusan nyawa mah gak bisa ditunda, gak kayak urusan sekolah -_- Aigoooooo,, takutnya kalo nanti sampe Baekhyun nolongin Chanyeol trus mati, huwaaaaaaaaaaa
chyshinji
#9
Chapter 6: KYAAAAAAAAAAA!!! Bawa Sehun buat Luhan please!! Sumpah aku malah kasian sama Luhan disini. Oh ayolah Luhan kamu gak boleh suka sama baekhyun, masa namja cantik sama namja cantik juga. uke uke dong. Luhan lindungin Chanyeol yah,kekek
chyshinji
#10
Chapter 5: Luluuuuuuuu,, jangan jangan Chanyeol ini bisa terdeteksi sama para Iblis gara gara perlindungan Luhan yang mulai luntur. habisnya Luhan dalem hatinya marah marah terus sih sama Chanyeol, malah kayaknya lumayan benci juga gitu sama Chanyeol. Lindungi Chanyeol ya author. kasih pasangan buat my Lulu, biar dia nantinya gak ngerecokin Baekyeol, kekekek. kai ataupun Sehun gak masalah, dua duanya oke.