Chapter 4.
Net.
"Apa yang barusan terjadi?" Suara panik Wendy dari sebrang telepon menyambut kuping Irene setelah menutup—membanting—pintu.
Irene duduk ditepian ranjangnya dengan napas menderu karena marah. Wajah Seulgi dibalik pintu membuat emosinya naik mendadak.
"Dia datang kemari,"
"Dia? Siapa—Seulgi?!" Jerit Wendy.
Irene mengangguk meskipun Wendy tidak bisa melihatnya.
"Lantas? Suara tadi.."
"Aku menutup pintu."
"Irene.."
"Aku tidak ingin berbicara dengannya."
Terdengar helaan napas Wendy disebrang sana.
"Kenapa? Jika dia saja berani datang, kenapa kau tidak? Ini kesempatan kalian untuk meluruskan masalah–apapun itu, diantara kalian."
"Aku tidak mau." Gigih Irene keras kepala.
"Lalu kau akan melepaskan pertandingan esok? Dan melewatkan Yonsei? Irene, kau masih membutuhkan Seulgi. Terima ataupun tidak. Bicaralah baik-baik, dia mungkin datang untuk meminta maaf. Lagian, kau juga turut salah dalam hal ini. Ayolah, hmm?" Bujuk Wendy.
Irene merenung sesaat, menimang saran sahabatnya itu. Dia memang membutuhkan Seulgi, tetapi gadis itu juga selalu menghabisi kesabarannya.
"Memangnya dia masih menunggu disana? Dia mungkin sudah kembali ke kamarnya sekarang."
"Kalau begitu kau yang harus menghampirinya,"
"Kenapa harus?" Irene balik bertanya. Merasa berat dengan solusi dari si pelari.
"Irene.."
Irene mendesah kasar, "berhentilah menyebut namaku dengan nada itu. Kau menjengkelkan."
"Irene.."
"Baik, baik."
Irene kemudian kembali berdiri menuju pintu. Separuh dirinya berharap Seulgi sudah kembali ke kamarnya, tapi separuhnya lagi merasa kecewa jika itu benar terjadi.
"Aku akan membuka pintu, kututup dulu telponnya."
"Hmm, bicaralah dengan baik."
Tut.
Setelah mengantongi ponselnya, Irene menarik napas dalam dan membuka pintu.
Hal pertama yang ia lihat adalah dinding putih disebrang dan lorong yang sepi.
Irene mengatupkan rahangnya. Yah, apa yang bisa diharapkan dari gadis idiot itu. Tentu saja dia sudah kembali ke kamarnya. Sesuai prediksi.
Namun yang tak disangka oleh Irene adalah suara Seulgi yang tiba-tiba terdengar.
"Sunbae,"
Kepala Irene menoleh cepat, terdengar bunyi seperti mengatuk dari lehernya.
"Awh..." Irene mengaduh kesakitan. Memegangi lehernya yang terasa seperti patah karena gerakan kilatnya tadi.
Seulgi yang menyaksikan tentunya kaget dan langsung mengecek keadaan rekan timnya itu.
"Kau tidak apa-apa Irene-sunbae?"
Irene justru malah memelototinya dengan masih memegangi leher. "Kau! Kenapa masih disini?!" Geramnya menahan sakit.
Seulgi mundur selangkah. "Oh, itu..hmm," Seulgi terbata-bata, bingung untuk menjelaskan maksudnya.
Langsung pada poinnya saja! Otak Seulgi memarahi.
Menatap Irene yang masih menatapnya tajam, Seulgi menelan ludah.
"Apa aku boleh masuk?" Hal yang malah dikatakan Seulgi. Membuat Irene sontak membulatkan matanya marah dan hampir kembali menutup pintu diwajahnya. "Maksudku kita bicarakan didalam! Iya, begitu. Anu, orang lain mungkin akan mendengar. Di sini bukan tempat yang baik, begitu maksudku." Racau Seulgi cepat menghentikan tangan Irene yang hendak menutup pintu.
"Aku hanya ingin berbicara."
Keduanya saling memandang dengan posisi tangan masing-masing menahan pintu.
"10 menit," jawab Irene akhirnya. Tubuhnya bergeser sedikit, memberi ruang untuk Seulgi masuk.
"Terima kasih."
Setelah mereka berada dalam kamar Irene, Seulgi menyempatkan diri melihat sekitar ruangan. Teman sekamar Irene tidak berada disana, koper dan tas milik mereka berdua bertumpuk dipojokan dekat lemari.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Pertanyaan dari Irene menarik kembali fokus Seulgi pada pemilik kamar. Irene entah sejak kapan duduk disalah satu sisi ranjang. Menatapnya dingin.
Seulgi segera mengkomposisikan diri setenang mungkin sebelum kemudian membungkuk 90 derajat, pada Irene.
"Sebelumnya aku ingin meminta maaf mengenai ucapanku padamu diruang loker siang tadi, Irene-sunbae. Aku menyadari perkataanku sudah melewati batas, tetapi sunbae.." Seulgi mengangkat wajahnya dan menatap lurus pada Irene, "yang kau katakan padaku benar-benar jahat."
Irene masih duduk diam menunggu gadis satunya meneru
Comments