Chapter 9

Claimed: My Fiancée

-Han Jihoon-

 

Tak ada hal yang normal terjadi dalam hidupnya selama dua minggu terakhir ini. Mengakhiri semua kegilaan ini dengan segera merupakan salah satu impian baruku sekarang. Aku ingin kembali bekerja di kafe seperti biasa, mengobrol dengan buku di sekeliling kami bersama Nyonya Cha ataupun Hakyeon dan menjalani hari-hari normalku dengan berpura-pura seakan semua ini tak pernah terjadi.

 

Jadi inilah rencananya. Aku akan bertemu dengan raja dan ratu malam ini, mengatakan kepada mereka langsung bahwa aku tak memiliki keinginan untuk dinikahi oleh putranya dan seluruh kejadian yang mereka dengar dari media adalah opini liar orang-orang di luar sana. Ya aku akan melakukannya, mengatakannya, dan kemudian aku akan kembali menjadi aku yang dulu di suasana yang dulu.

 

Aku menuruni tangga mengikuti Hyuk menuju limo yang telah terparkir di hadapan kafe. Waktu belum memasuki pukul setengah tujuh, mungkin itulah mengapa jalanan masih sepi dan tentu saja, kafe masih tutup.

 

Hyuk berdeham setelah membukakan pintu limo untukku, menungguku untuk masuk. Setelah aku menjatuhkan bokongku di atas jok empuk limo itu, Hyuk menutup pintu dari luar memutari mobil ini untuk mencapai kursi kemudi. Aku baru menyadari bahwa Hyuk tidak sendiri, dua orang dengan pakaian serupa dengan Hyuk duduk di depan. Mereka menyapaku dengan anggukan, aku merespon balik dengan anggukan kecil.

 

Entah dari mana, sebuah pemikiran datang. Jika saja malam tadi tidak terjadi, apa mungkin Chanyeol akan duduk di depan sana menggantikan salah satu bodyguard itu? Tentu hanya gestur kecil yang kami lakukan malam itu, namun entah kenapa aku merasa gelisah mengingatnya. Membuatku tak ingin bertemu dengannya hari ini, dan besok, dan nanti, dan mungkin selamanya.

 

Aku menyandarakan sisi kepalaku di jendela mobil, menikmati gerak semu jalanan Seoul yang dihasilkan oleh kecepatan mobil yang aku tumpangi. Toko-toko, pepohonan, bunga-bunga dan manusia yang berlalu lalang di luar sana terlihat kabur namun tetap indah.

 

Ada hal yang kucemaskan. Aku khawatir saat aku bertemu dengan Kai nanti aku akan kehilangan diriku dan mulai mencakari wajah tampannya dengan kuku yang kebetulan belum kupotong pendek. Kenapa? Itu mungkin saja terjadi, kan? Arrhhgg terserah! Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatku naik pitam.

 

Kendaraan roda empat ini berhenti, disusul dengan getaran mesinnya yang kini tenggelam tak terasa lagi. “Kita sudah sampai, Nona. Rumah masa depan Anda,” aku dapat melihat sepasang mata Hyuk melihatku dari kaca spion depan.

 

“Tidak akan, Hyuk,” jawabku dengan tawa kecil yang dipaksakan.

 

Sebelum Hyuk sempat mambalas pernyataanku, pintu di sampingku terbuka. Aku bergerak dan membungkuk keliar dari limo. Detik selanjutnya aku sedikit terkejut melihat beberapa---dalam artian banyak---pelayan, pria dan wanita, berbaris di depan pintu masuk.

 

Well, aku tidak menduganya karena seingatku saat aku menjejakkan kakiku di tempat mewah ini adalah ketika aku datang untuk menemui Kai yang berakhir dengan aku menjambaknya dan saat Kai membawaku, dalam keadaan tak sadarkan diri.

 

Wajahku memerah malu mengingat aku masih terbalut dalam piyama dengan gambar domba dan sandal kelinciku. Oh ya Tuhan, sungguh aku tak sadar aku memilih untuk memakai sandal ini saat aku keluar dari kamarku mengikuti Hyuk. Tapi aku berusaha menenangkan diriku. Kalaupun para pelayan itu melihat kelucuan atas penampulanku, setidaknya sekarang mereka masih memberi senyum selamat datang ketimbang menertawakanku. Oh yang benar saja, tentu saja mereka takkan menertawakanku, aku adalah tunangan Kai.

 

Oh apa tadi kubilang? Tunangan? Uh maksudku aku masih tunangan Kai di mata mereka, bukan karena aku menyetujuinya.

 

Salah satu dari mereka mendekatiku, “Nona, namaku Sunhee, dan aku yang akan mengantar Anda keruangan yang telah disediakan.”

 

Wanita itu membuka lebar pintu ganda di hadapannya. Pemandangan ukiran kayu jati yang dipoles dengan warna putih dan emas itu pun berubah.

 

Entah kenapa aku baru menyadarinya setelah sekian kali mengunjungi tempat ini. Namun biarkan aku ternganga atas megahnya bangunan ini. Tempat ini benar-benar gila dalam artian yang indah. Aku bahkan tak tahu bagaimana cara untuk mendeskripsikannya.

 

Ruang tengahnya sendiri lebarnya separuh luas keseluruhan rumahku di Jeollado, dan asal kau tahu, rumahku disana bukanlah rumah sederhana dengan rumah anjing kecil di halamannya. Rumah Jeollado keluargaku cukup besar, atau seharusnya harus jujur kubilang besar.

 

Suasana lain yang kutangkap dari tempat ini adalah ketenangan, tidak, mungkin lebih tepat kusebut kesunyian. Beberapa pelayan berlalu lalang membuat suara ketukan sepatu dan lantai marmer di ruangan ini, ya hanya suara sepatu itu, selebihnya, diam.

 

Aku sempat berpikir, dimana yang lainnya? Tentu aku tahu raja dan ratu belum tiba, tapi...

 

“Sunhee-ssi, Kai itu... putra tunggal, kan?” tanyaku akhirnya. Aku benar-benar merasa sebagai warga negara yang buruk karena tak mengetahui tentang silsilah keluarga kerajaan.

 

Sunhee berhenti dan berbalik ke arahku dan menjawab, “betul, Nona. Pangeran merupakan putra tunggal dan...” matanya menatapku lembut, baiklah, entah mengapa aku jadi merindukan ibuku saat melihat tatapannya.

 

“Dan?”

 

“Anak itu benar-benar kesepian sejak kecil,” dari jawaban Sunhee yang menyebut Kai dengan sebutan ‘anak itu’, aku menyimpulkan bahwa wanita itu telah cukup lama bekerja disini untuk melihat Kai tumbuh sampai sekarang. “Aku sangat bahagia akhirnya menemukanmu kembali,” Sunhee kembali melemparkan senyum hangatnya.

 

Aku tertegun, “apa... maksudmu?”

 

Sunhee memegang kedua tanganku, mengangkatnya dan menyatukannya di antara kami, “kau tidak mengingatnya, Jihoon?” sekarang fakta bahwa Sunhee memanggil namanya langsung membuatnya semakin bingung. “Saat kalian masih enam ta-“ Sunhee tiba-tiba berhenti setelah sebuah pekikan melengking memanggil namanya.

 

Sesosok lelaki dengan dandanan nyentrik dan rambut merah cepaknya muncul dan mendekati mereka.

 

“Ohhh, lihatlah keindahan yang bergerak ini,” lelaki itu tersenyum lebar sambil menggesturkan tangannya ke arahku, lagi, dengan suara melengkingnya. “Tak heran Pangeran kita begitu terjerat pesonamu, Sayang.”

 

Baiklah, tata bahasa lelaki ini membuatku merinding.

 

Cengiran lebar yang tadi menggantung di wajahnya tiba-tiba luntur, tergantikan ekspresi tak percaya saat ia berdiri di hadapanku. “Ya Tuhan! Dimana kau merusak mahkotamu? Siapa yang melakukannya? Ini benar-benar gaya terburuk yang pernah kulihat.”

 

Dan yang ia maksudkan adalah rambutku. Saat itu aku baru menyadari bahwa aku lupa menata ulang rambutku.

 

“Aku... memotongnya sendiri... dalam sebuah insiden,” jawabku ragu, pipiku memanas karena malu.

 

Mata lelaki itu hampir saja keluar saat mendenga jawabanku---jika saja itu mungkin terjadi. Ia mengangkat tangannya dan meletakkannya di dadanya dengan cara yag amat sangat dramatis, seperti halnya terkena serangan jantung.

 

“Ayayayayay... Zut alors! C’est la fin des haricots!**” telunjuk kanannya menuding ke arahku sedang tangan kirinya masih menjaga jantungnya, di dadanya. 

 

Setelah itu, lelaki itu mengangkan kedua tanganku dan meletakkannya di dadanya. Ia menatapku dengan tatapan penuh keyakinan sambil mengatakan...

 

“Aku, Daniello De La Rouse El Marco Jean Pablo, dengan segenap kemampuan yang kumiliki, akan memusnahkan segala keburukan yang terjadi pada rambut indahmu. Percayakan segalanya padaku, Mademoiselle** Han.”

 

Aku mengangkat sebelah alisku atas reaksinya kemudian mengangguk kecil.

 

“Berhenti membuatnya takut, Dan,” suara Sunhee kembali terdengar.

 

“Baiklah, baiklah,” lelaki dengan super nama panjang itu memutar bola matanya. “Ayo ikuti aku, Nona,” ia tersenyum kepadaku sebelum berjalan.

 

Aku mengikuti di belakangnya. Sepanjang langkah kami, hanya satu hal yang memenuhi pikiranku. Perkataan menggantung Sunhee. Enam ta-? Tahun? Enam tahun Kai? Apa hubungannya denganku?

 

 

 

-Kim Kai-

 

Aku menyeringai kepada pantulan bayanganku sendiri di cermin. Beberapa kali aku membetulkan kerah kemeja putih yang terperangkap di dalam jas biru gelap yang kukenakan. Perias istana menata rambutku ke belakang, membuatnya benar-benar terlihat rapih. Tentu saja wanita akan tertarik dengan pria dengan penampilan seperti ini. Aku bertaruh Jihoon akan melupakan kejadian itu hanya dengan melihatku sekarang. Atau mungkin tidak.

 

Aku meraih ponselku yang sejak tadi terbaring di ranjang. Kutekan tombol utama kemudian kugerakkan ibu jariku menyapu bagian bawah layarnya. Gambar yang muncul di layarnya membuatku tersenyum pada diri sendiri.

 

Fotoku bersama Jihoon yang tengah tertidur di pelukanku saat ia aku membawanya dalam keadaan tak sadar setelah insiden melompat dari jendela kamarnya sendiri. Kepalanya menempel pada dadaku dengan tanganku melingkari pinggangnya. Matanya masih terpejam ringan, sedangkan aku, mataku lebih tertarik untuk melihat wajahnya daripada melihat lensa kamera.

 

Mungkin sebuah pemikiran yang sempit, namun itulah alasan terbesarku untuk mendapatkan kembali ponsel ini daripada menggantinya dengan yang baru. Bayangan tentang kehilangan foto ini agak membuatku kosong. Mungkin takkan ada lain kesempatan lagi untukku membuat kenangan seperti foto ini di masa mendatang. Atau mungkin Tuhan memiliki skenario lain.

 

Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Tanganku reflek memasukkan ponsel yang tadi kugenggam ke dalam saku jas saat kulihat salah satu pelayan menampakkan dirinya di ambang pintu.

 

“Nona Jihoon sudah siap dan Yang Mulia Raja dan Ratu akan tiba sesaat lagi, Tuan.”

 

Ake meresponkan laporannya dengan mengangguk. Mengambil nafas dalam dan bergumam lebih pada diriku sendiri, “baiklah.”

 

Aku melangkah keluar dari kamarku dan menatap pintu kamar di seberangku yang masih tertutup. Jihoon akan keluar dari sana kapanpun, dalam waktu dekat. Saat aku baru menundukkan kepalaku, suara knop pintu terdengar. Aku mengurungkan niatanku untuk menatap lantai marmer istana dan kembali menegakkan kepalaku untuk menemui sosok Jihoon.

 

Seluruh partikel di sekelilingku berhenti saat mata kami bertemu. Rasanya mataku memiliki kemampuan baru yang menyerupai kemampuan lensa kamera tercanggih. Aku tak merasakan adanya jarak diantara kami dan pandanganku tertuju padanya, hanya padanya dengan efek blur di sekitarnya.

 

Gaun satin warna gading yang ia kenakan menyatu sempurna dengan figurnya, seolah gaun itu memang dibuat khusus untuknya dan hanya bisa dikenakan olehnya. Ujung gaunnya jatuh tak jauh di atas lututnya. Tak banyak aksesoris yang menempel namun seluruhnya dipilih dengan sangat hati-hati sehingga dapat menciptakan keharmonisan saat bertemu dengan gaunnya.

 

Rambutnya kita tak hitam ataupun panjang. Hanya jatuh sampai bahunya dengan warna pirang kemilau, seperti warna rambutku. Aku selalu mengakui kecantikannya secara penuh dengan rambut terdahulu, dan aku bahkan tak percaya ia tak menurunkan satupun poin dari penilaianku atas gaya rambut barunya.

 

Dan saat itupun aku merasakannya. Perasaan yang idealnya hanya pernah aku tahu dengan melihat film atau membaca buku-buku dengan cerita roman picisan. Aku rasa inilah yang mereka sebut cinta. Well, entahlah, tapi jika merasakan cinta sama seperti rasanya dihantam truk bermuatan baja, mungkin, memang benar itu yang kurasakan.

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Kai menatapku seperti seseorang yang... melihat hantu, saat aku melangkah keluar kamar. Matanya terbuka lebar dan wajahnya terlihat... pucat?

 

Ya Tuhan! Apa aku benar-benar terlihat seburuk itu?! Aku menunduk sambil menilai diriku sendiri. Baiklah, jika Kai memang berniat menjatuhkan rasa percaya diriku dengan tatapannya itu, dia benar-benar berhasil.

 

“Aku tak ingin bicara denganmu!” lemparku ketus saat Kai mendekat. Mataku menatapnya tajam, namun maskara sialan yang menempel di bulu-bulu mataku membuat tatapan mematikanku tak sampai padanya. Terlebih rasanya masih begitu lengket dan berat di mataku. Aku merutuki Pablo karena telah membubukan benda ini dengan begitu tebalnya di mataku. Tunggu, Pablo? Atau Marco?

 

“Tuan, Nona, Raja dan Ratu telah tiba dan menunggu Anda di ruang makan,” seorang pelayan memotong adegan-dalam-diam kami.

 

“Sial, mengapa cepat sekali,” gumaman Kai dapat kudengar cukup jelas.

 

“Mari, saya akan mengantar Anda,” ujar pelayan itu lagi.

 

Sejujurnya, kakiku mulai bergerak, bukan hanya bergerak melangkah namun juga bergerak bergetar karena gugup saat aku mengikuti pelayan itu. Kai dan aku berjalan berdampingan, cukup dekat namun tetap tak menciptakan kontak fisik. Jantungku berdebar kencang, benar-benar kencang. Rasanya jika saat itu ada pilihan untukku mati, aku akan memilihnya.

 

Di tengah-tengah kegaduhan dan kericuhan dalam jiwa dan ragaku, sesuatu meraih tangan kananku. Tangan Kai menggenggamku, ibu jarinya bergerak pelan mengelus punggung tanganku. Aku tak mengerti apa arti sebenarnya namun gerakan kecilnya itu membuatku sedikit tenang, membuat kegugupanku menyalur dan terbagi kepadanya. Detik berikutnya aku mengencangkan genggaman itu.

 

Kai menengok ke arahku kemudian pandangannya turun ke tangan kami. Aku sempat berpikir ia akan melepaskan tangannya, namun ia malah bergerak menyelipkan jari-jarinya di sela-sela jariku dan kembali mengunci tangan kami.

 

“Aku minta maaf... untuk semuanya,” ucapnya lembut bersamaan dengan tatapannya yang entah apakah lebih lebut dari suaranya. Tiga kata awal tadi membuat lidahku terikat. Tak pernah sebelumnya Kai meminta maaf kepadaku. “Aku tidak berharap kau akan memaafkanku. Maaf tidak akan mengubah segalanya, kan? Itu hanyalah sebuah kata. Sebuah kata yang aku gunakan untuk mencoba menebus semua masalah yang kau hadapi karenaku,” lanjutnya ketika ia sadar aku tak menjawabnya.

 

Aku tidak memiliki pihan lain selain menatap matanya. Kedua manik itu begitu memikat sekarang seperti binar-binar kaledoskop dengan warna coklat yang hangat. Aku mencoba untuk tak tenggelam dalam mata itu dengan memaksa diriku sendiri mencari titik lain untuk kulihat.

 

“Okay,” gumamku pendek, karena hanya itu yang bisa kugumamkan.

 

“Okay? Hanya itu? Ayolah, Jihoon, kita tidak sedang berperan dalam The Fault In Our Stars sekarang,” balas Kai dengan tawa renyahnya.

 

Aku ikut tertawa, “aku tidak percaya kau juga membaca buku itu.”

 

Kai hanya memutar bola matanya menanggapi pernyataanku. Aku tersenyum. Baiklah, bahkan orang jahat pun memiliki sisi baik meskipun sedikit, dan tentu saja orang menyebalkan seperti Kai pun sudah semestinya memiliki sisi yang menyenangkan. Seperti saat ini, dan aku menyukai Kai di mode ini.

 

“Aku ingin menanyakannya sejak awal kau keluar dari kamar, mengapa kau tidak mengenakan gaun yang aku berikan padamu?” tanya Kai dengan mata menyelidikku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

 

Aku menghembuskan nafas penuh, “itu adalah gaun terburuk yang penah kulihat sepanjang hidupku,” dan tentu saja aku tak benar-benar serius dengan yang aku katakan, sebaliknya aku menemukan gaun yang ia kirimkan cukup indah. “Tapi tak perlu cemas, aku tidak akan membiarkan uang yang kau keluarkan untuk gaun itu menjadi sia-sia. Aku mungkin akan menggunakannya saat untuk tidur,” lanjutku.

 

Kai menyeringai mendengar jawabanku, “hhmmm, untuk tidur, ya? Sepertinya itu pilihan yang lebih baik mengingat ada resleting di belakangnya. Itu akan mempermudahku untuk mele---aww!” kata-katanya terganti oleh rintih kecil ketika aku memukul lengannya, cukup keras. Dan bukan melanjutkan apa yang ingin ia katakan, Kai malah tertawa.

 

Pelayan yang mengantar kami berhenti dan aku baru menyadari kami telah berdiri di hadapan pintu besar yang tak jauh berbeda dengan pintu masuk istana, hanya sedikit lebih simpel di bagian ukirannya.

 

Pelayan itu membuka pintu di hadapannya dan saat itu juga, aku merasakan ketenangan yang aku dapatkan saat berbincang dengan Kai kembali terusik, jantungku seakan berhenti berdetak mengingat apa, atau lebih tepannya siapa yang akan kuhadapi.

 

Dan untuk memperburuk keadaanku, aku melihat seorang lelaki tinggi yang tak asing lagi bagiku berdiri di sisi ruangan di belakang Raja. Chanyeol. Sungguh apa yang ia lakukan disini?!

 

Aku kembali terfokus ketika mendengar Kai berdeham, mataku seketika terlembar ke wajahnya.

 

“Ayah, Ibu, aku perkenalkan tunanganku, Han Jihoon.”

 

=========================================================================

 

Ps:

** Zut alors!: French cursing. Semacem ‘Damn!’ ‘!’ ‘Jerk!’ ‘Kampret!’ ‘Sial!’

** C’est la fin des haricots: French phrase. Translate kasar bisa diartikan jadi ‘Itu adalah kacang terakhir’ yang bisa dimaksudkan ‘Ngga ada lagi yang bisa dimakan’. Prakteknya kalimat ini diucapkan untuk menunjuk sebuah kepasrahan menghadapi sebuah kefatalan, ungkapan Indonesia-nya sih kayak ‘Ngga ada lagi yang bisa kita lakuin’ atau ‘Ngga ada harapan lagi’ dalam konteks dramatis.

** Mademoiselle: Nona

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting