Chapter 6

Claimed: My Fiancée

-Han Jihoon-

 

Entah apa yang merasuki diriku sehingga timbul rasa keingintahuan yang lebih terhadap ruangan ini. Aku bangkit dari kasur, berjalan menuju kloset dimana Kai baru saja masuk. Di ambang pintunya aku berhenti. Cukup hanya dengan melongokkan kepalaku, aku bisa melihat isi di dalamnya.

 

Pemandangan yang aku tangkap membuatku berpikir apa benar ini suah kloset pribadi? Bukan salah satu butik yang menjejer di Apgujeong. Maksudku Prada, Hermes, Dolce & Gabbana, Louis Vuitton dan nama-nama dunia yang membandrol harga dua digit pada setiap helai produknya

 

Di tengah-tengah ruangan ditempatkan sofa hitam yang tak terlalu besar menghadap ke sebuah cermin ukuran super yang langsung menempel pada dinding ruangan tersebut. Rak-rak gantungan didominasi oleh pakaian warna hitam yang kontras dengan lantai marmernya yang putih.

 

Kerluargaku memang tergolong keluarga kaya raya, namun sudah pasti bukan keluarga yang super kaya raya seperti ini. Oh baiklah, untuk apa aku bandingkan? Mereka keluarga kerajaan tentu saja.

 

“Hey,” lamunanku kabur saat suara Pangeran Kai masuk menyentuh gendang telingaku.

 

“Apa?” aku mengangkat kepala.

 

Pangeran Kai meraih sebuah paper bag dari sofa hitam di tengah ruangan tadi, berjalankan ke arahku kemudian menyodorkan benda itu. Soie-Cool Hermes. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

 

“Kenapa kau memberikannya padaku?”

 

“Saat kau tertidur, aku membelikan beberapa pakaian untukmu. Aku sendiri yang memilihnya, semuanya ada di dalam sini,” jelasnya dengan senyum lebar.

 

“Oh... terima kasih eumm... Yang Mulia. Kau benar-benar pengertian.”

 

“Huh? Yang Mulia? Hanya saat aku membelanjakanmu sesuatu?” tawa Pangeran Kai meledak, “cukup panggil aku Kai sepeti biasanya. Aku lebih menyukainya,” tawanya mereda digantikan senyuman di bibirnya yang membuat matanya juga tersenyum.

 

“Uh, terserah. Aku akan ganti di kamar mandi,” sahutku agak mengalihkan pandangan dari senyumannya.

 

“Kenapa mengatakannya kepadaku? Kau mengundangku?” godaan dari Pangeran Kai semakin menjadi, aku sendiri merasa bodoh sudah mengatakannya. Kenapa aku tak langsung mlengos ke kamar mandi tanpa menghiraukannya tadi? Aku dapat merasakan tekanan darahku naik dan berpusat di wajahku.

 

“Diamlah!” nada kesal bercampur malu keluar dari mulutku, “kau juga cepat pakai pakaianmu!” dengan itu aku langsung berbalik, berjalan menuju kamar mandi. Di belakangku, dapat kudengar tawa renyah Pangeran Kai mulai merambat mengisi ruangan.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Aku masuk kembali ke lemari, masih diiringi dengan suara tawaku. Melihat wajah Jihoon yang merona merah membuatku terbahak, sungguh. Tawaku mereda ketika bayangan Jihoon tertidur di pelukanku melintas dalam pikiranku, bayangan sekejap itu dapat membuatku tersenyum seharian. Melihat reaksinya sekarang, aku rasa dia tidak mengetahui aku mencium ujung bibirnya saat ia tertidur.

 

Tanganku tanpa sadar bergerak menyetuh bibirku. Aku kemudian menyadari sesuatu, bahwa aku benyak bertingkah aneh akhir-akhir ini.

 

**

 

 

“Tanganmu!”

 

“Apa?”

 

“Berikan tanganmu!”

 

“Tidak.”

 

“Oh, ayolah.”

 

“Aku bilang tidak!”

 

Aku membuat wajah memelas---wajah paling memelas di semesta yang bahkan tak seekor anak Chihuahua pun dapat membuatnya---saat Jihoon menolakku untuk menggenggam tangannya.

 

“Apa kau yakin kau seorang pangeran?” tanyanya tak percaya, “kenapa kau membuat ekspresi seperti itu?” lanjutnya.

 

“Karena kau tidak mengizinkanku memegang tanganmu,” aku masih bertahan dengan ekspresi awalku.

 

“Oh Ya Tuhan,” eluh Jihoon dengan wajah frustasi.

 

Pakaian yang aku pilih benar-benar cocok untuknya---setidaknya menurutku. Kaus putih bertuliskan ‘Wild Spirit’ dengan jeans hitam model pas pinggul, beberapa gelang berbeda warna dan sneakers merah muda. Tak terlalu berlebihan, tapi ia terlihat manis meski dengan potongan rambutnya yang benar-benar tak berbentuk. Catatan, aku harus membuatnya menata ulang rambutnya itu.

 

“Ahhh... bianglala raksasa,” ia berteriak dan menunjuk di waktu yang bersamaan kemudia berlari ke arah bianglala itu sepersekian detik kemudian, meninggalkan aku berdiri sendirian. Beberapa meter menjaraki kami, barulah Jihoon berbalik melirikku, “Kai! Cepatlah! Apa status sosialmu terlalu berat sampai membuatmu begitu lamban, huh?”

 

Aku tertawa kecil bendengar teriakannya, “Ladies first, baby,” sahutku, “aku hanya memberimu start lebih awal. Jangan menangis jika kau kalah,” aku mulai berlari ke arahnya. Melihat aksiku, Jihoon kembali berbalik dan melanjutkan larinya ke arah bianglala itu.

 

Beberapa kali Jihoon menengok ke belakang pundaknya selagi berlari, tak mengetahui sosok yang berdiri tepat di jalur larinya. Tak perlu waktu lama sampai Jihoon menabrak punggung sosok tinggi itu. Aku menurunkan kecepatan melihat kejadian itu dan benar-benar berhenti saat sosok yang Jihoon serang berbalik.

 

Aku dapat melihat Jihoon membungkukkan badan beberapa kali, meminta maaf. Dan sosok itu, lelaki itu pun beberapa kali menepuk bahu Jihoon, mungkin mengatakan bahwa itu bukan masalah besar. Kembali sepenuhnya ke dalam kesadaranku, aku bergerak mendekati mereka.

 

“Chanyeol! Apa yang kau lakukan disini?” aku tidak sadar bagaimana ekspresiku saat mengatakannya. Namun melihat Jihoon yang melihatku dengan ekspresi bingung membuatku berkesimpulan bahwa kemungkinan aku berteriak marah tadi.

 

Chanyeol memasang senyum lebar dengan tangan mengusap tengkuknya sendiri, “aku... sedang mengambil cuti.”

 

Aku mengangkat alis mendengarnya, “siapa yang mengizinkanmu untuk cuti?”

 

Tidak ada. Aku ulangi, tidak ada yang memberikan perintah di istana selain aku. Uhh dan orang tuaku tentu saja. Namun aku yakin bahkan kemungkinan babi melayang lebih tinggi daripada kemungkinan orang tuaku menghubungi istana hanya untuk memberikan cuti.

 

Chanyeol menggerakkan kaki kanannya, seakan sedang menggali tanah dengan sneakerNike Dunk yang ia kenakan. Terlihat jelas ia mengharapkan untuk dapat menghindari pertanyaanku.

 

“Chanyeol. Jawab pertanyaanku,” titahku tenang. Dari ujung mataku dapat kulihat mata Jihoon bergerak bolak-balik ke arahku dan ke arah Chanyeol.

 

Dengan penuh keraguan, Chanyeol mulai membuka mulutnya, “aku... uhh.. aku meliburkan, diriku sendiri,” akunya. “Kumohon jangan bunuh aku, Kai,” pintanya dengan wajah memelas yang konyol.

 

Aku menatapnya tak percaya. Dia memohon padaku dengan ekspresi anak usia 7 tahun yang memohon agar tak diadukan setelah ketahuan memecahkan vas kesayangan ibunya.

 

“Apa aku tidak salah dengar? Demi Tuhan, Chanyeol, kau seorang bangsawan, terlebih kau juga seorang pangeran. Bertingkahlah seperti seharusnya,” kataku masih separuh terperangah dengan tingkahnya, di tempat umum.

 

“Kau seorang pangeran juga?!” suara Jihoon membelah udara bahkan sebelum Chanyeol sempat mengambil nafas untuk menjawab.

 

Aku masih menatap Chanyeol yang kini melirikku sinis, “maksudmu bertingkah seperti layaknya seorang pangeran? Begitu? Hah...”

 

Oh well, kalau kau tanya apa aku keberatan dengan sikap Chanyeol terhadapku sekarang, jawabannya tidak. Ini bukan pertama kalinya ia melempar tatapan tajam ke arahku atau menaikkan intonasi bicaranya padaku. Memang tidak terlalu sering juga, tapi ia hampir selalu seperti ini setiap aku berbicara membawa status sosialnya. Terlalu jelas terlihat bahwa ia begitu membenci siapa dia sekarang. Uh, aku mengatakan ini bukan karena aku menyukai ‘pekerjaanku’, tapi setidaknya aku menikmatinya.

 

Aku baru saja bersiap untuk menggerakkan rahangku, mengeluarkan suaraku untuk menjawabnya ketika ponselku berbunyi. Aku mengambilnya dari saku samping jeans yang ku kenakan dan melihat layarnya sekilas. Tulisan ‘Ayah’ berkedip di layarnya.

 

Sedikit rasa panik mulai menyiram tubuhku saat ibu jariku bergerak menyapu layar untuk menjawab panggilan itu.

 

“Uhh hai, ayah.”

 

Aku melirik sebentar ke arah Chanyeol. Dari tatapan matanya---yang sama sekali berbeda dengan beberapa detik yang lalu---aku tahu bahwa Chanyeol memiliki pemikiran yang sama denganku, memiliki kekhawatiran yang sama denganku.

 

Ayah tak pernah menelpon kecuali ada berita sangat penting, atau berita sangat buruk.

 

“Kai, kau baik-baik saja?” aku melirik Jihoon dari ujung mataku dan menemukannya memandangku dengan tatapan khawatir. “Kau terlihat pucat, Kai,” sambungnya dengan kedua tangan meremas ringan tangan kananku.

 

Aku tidak sempat menikmati perhatian Jihoon. Pikiranku semakin berkabut saat suara ayahku kembali terdengar, “apa gadis itu disana? Baguslah, karena aku ingin membicarakan tentangnya.”

 

Pernyataan terakhir ayah soal ingin membicarakan Jihoon membuatku merasa kehilangan seluruh energi yang aku miliki. Seakan semua kekuatanku keluar dan berevaporasi menjadi gas-gas yang akhirnya menghilang terbawa angin.

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Kai menarik tangannya dari genggamanku dan bergerak menjauh, dia bahkan tak melirikku. Uh, baiklah, terserah, mungkin sesuatu yang genting terjadi. Aku tanan kirinya menggenggam ponsel begitu erat---terlalu erat---saat ia membisikkan sesuatu disana.

 

Aku berbalik menatap pria yang Kai panggil Chanyeol itu. Matanya juga terfokus menatap Kai. Aku menyentuh lengannya, ringan namun cukup untuk dirasakannya. Aku berharap ia tahu apa yang membuat Kai tiba-tiba bertingkah aneh dan mau memberitahukannya kepadaku. Namun colekanku hanya membuatnya melirikku sekilas sebelum akhirnya kembali menatap Kai.

 

Aku kembali mengganggunya, meminta penjelasan darinya. Tapi usahaku terputus, aku reflek memutar kepalaku ke arah Kai berdiri saat kudengar ia mulai berteriak.

 

“Apa maksudmu?!” suaranya penuh amarah.

 

“Ayah, kenapa kau melakukan ini padaku?! Tidak... untuk kali ini... apa?... Ayah!” wajahnya bertopengkan kemarahan yang murni.

 

Wajah marah itu kembali menghilang, digantikan kerutan frustasi. Kai tak lagi berteriak, ia kembali berbicara dengan ponselnya dengan volume suara yang tak dapat kudengar karena jarak kami.

 

Aku menatapnya lekat sambil mencoba mengerti apa yang ia bicarakan, mencoba membaca bibirnya. ‘Ya... konyol... jangan... gadis itu... tahu...’. Tidak, aku tidak dapat menjangkau gerakan bibirnya lebih jauh lagi. Tapi apa yang ia bicarakan hingga menyangkut soal ‘gadis’?

 

Kai semakin menjadi. Emosinya tak stabil. Ia marah, lalu diam, lalu berteriak, lalu diam lagi dan sekarang ia membanting ponselnya ke tanah. Aku tidak tahu apakah ia melakukannya saat ponsel itu masih terhubung dengan si penelpon atau setelah si penelpon menutup panggilannya, namun aku yakin si penelpon telah membawa berita tak menarik---berita buruk---untuk Kai.

 

Aku mulai kehilangan kesabaranku dan mulai bergerak mengambil langkah menuju Kai saat tiba-tiba sebuah tangan menahan langkahku dengan memegang lenganku. Chanyeol.

 

“Aku sarankan agar kau membiarkannya dulu hingga tenang sebelum kau mendekatinya, atau kau akan berakhir seperti ponselnya,” suaranya terdengar serius.

 

Tanpa menjawab atau mempertanyakan nasehatnya, aku meletakkan tangan kananku di pipi kirinya. Aku menengadah untuk menemukan matanya agar dapat kutatap. Ibu jariku bergerak sedikit menyapu bagian kecil pipinya.

 

Mata besar Chanyeol semakin membesar menatapku, ia terlihat bingung dengan perlakuanku namun tak mencoba melepaskan kontak tanganku di pipinya.

 

“Apa yang.. sedang kau lakukan?” suaranya terdengar berbisik.

 

Masih tanpa jawaban, aku terus menatapnya lekat.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Persetan dengan semua ini!

 

Aku dapat mendengar ponselku mengeluarkan suara keras saat badannya menyentuh tanah. Retakan besar terlihat di layarnya namun ponsel itu masih berfungsi, layarnya masih mengeluarkan cahaya berwarna. Aku mengepalkan tanganku sekuat-kuatnya, mencegah diriku sendiri agar tak kehilangan kontrol berlebih.

 

Orang-orang mulai melirikku dengan tatapan penuh keanehan, dan itu benar-benar mengganggu. Persetan dengan mereka. Aku melemparkan balik tatapan penuh ancaman kepada mereka---kepada siapapun yang berani melirikku.

 

Sungguh! Aku hanya ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama Jihoon hari ini. Tapi semua yang terjadi kini membuatku kehilangan selera untuk melakukan apapun---apapun dalam artian apapun.

 

Aku berbalik untuk mencari Jihoon dan pemandangan yang aku temukan membuatku hampir menggigit lidahku sendiri. Matanya tak berkedip menatap sepasang milik Chanyeol dan tangan kanannya mengusap lembut pipi pria itu.

 

Sial! Apa mungkin hari ini bisa menjadi lebih buruk lagi?!

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Aku menjauhkan telapak tanganku dari pipi mulus pria yang Kai panggil Channyeol ini sebelum akhirnya aku tempelkan kembali ke tempat semula---di pipi kirinya---dengan tenaga yang jauh lebih besar. Aku rasa tamparanku cukup brutal karena aku sendiri merasa panas di bagian telapak tanganku setelah sentuhan kasar itu.

 

Well, memangnya kau pikir apa yang akan aku lakukan?” kataku saat Chanyeol memegang pipi kanannya sendiri secara penuh, seakan melindunginya dari kemungkinan tamparan susulan dariku. Matanya melebar menatapku tak percaya.

 

“Ak.. aku.. apa---“

 

“Jangan mencampuri urusanku!” aku memotong kata-kata terbatanya, “Kau tidak punya hak apapun untuk melarangku untuk mendekati tunanganku sendiri!” entah apa alasannya aku melakukan penekanan kuat saat mengucapkan kata ‘tunanganku’.

 

Oh baiklah, apa itu tadi? Apa barusan aku baru mengatakan ‘tunanganku’? ‘Tunanganku’ dalam artian pangeran yang sedang berdiri sisi lain itu? Uhh tidak-apa-apa, aku hanya merasa kesal kepada teman Kai yang satu ini. Hanya karena itu saja, tidak ada alasan lain.

 

Melihat ekspresi Chanyeol, sedikit demi sedikit hatiku digerogoti perasaan bersalah. Memang bukan kesalahan untuk melarangku---menasehatiku---membiarkan Kai. Ia hanya ingin menolongku agar terhindar dari amukan Kai, yang aku sendiri tak tahu akan jadi seperti apa dahsyatnya.

 

Baiklah, aku benar-benar marasa bersalah sekarang. Aku akui aku hanya kalap karena kefrustasianku atas rasa penasaran akan apa yang dibicarakan Kai di telepon tadi. Kenapa ia membawa kata ‘gadis itu’? Siapa yang ia bicarakan?

 

Sial! Kenapa aku harus peduli?!

 

Aku kembali menatap Chanyeol, “maaf, aku... tidak bermaksud melakukannya.”

 

“Uhh...”

 

“Aku tidak sempat berpikir tadi, well, aku memang sering ceroboh seperti itu jadi... kumohon ma---“ lidahku membeku seketika saat sebuah lengan melingkari pinggangku dari belakang, menarik tubuhku semakin mendekat kepada tubuh pemiliknya.

 

“Kau tidak perlu meminta maaf, sayang,” suara berat pemiliknya mulai terdengar, suara Kai, “Kau adalah calon istriku, calon Ratu Seoul. Kau tidak meminta maaf kepada siapapun, kecuali aku,” lanjutnya, suaranya datar namun keseriusan cukup kental di dalamnya.

 

Entah karena mendengar kata-katanya atau karena merasakan langsung suhu tubuhnya, benda kecil di rongga dadaku mulai meliar. Detakannya begitu kencang hingga kupikir benda sialan itu mampu mendobrak tulang rusukku kapanpun juga.

 

Aku mencoba mendongakkan kepalaku untuk memandangnya, namun lengannya yang semakin erat memelukku membuatku kesulitan bergerak. Apa yang ia lakukan? Apa yang ada di pikirannya? Aku mulai berpikir bahwa Kai memiliki gangguan dalam pengendalian emosinya. Maksudku, baru beberapa menit yang lalu ia diselimuti amarah, dan kini bertingkah tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa.

 

“K-kai.. lepaskan aku,” bisikku, “orang-orang mulai memperhatikan kita.”

 

Aku melihat sekelilingku dan mengetahui bahwa kami baru saja menjadi pusat perhatian yang baru. Orang-orang menatap, menunjuk hingga mengambil beberapa foto kami. Apa lagi yang akan orang-orang katakan jika ‘drama kecil’ kami ini terekspos di media massa?

 

Lengan Kai mulai melepaskan pinggangku. Dengan cepat aku mengambil pergelangan tangannya dan berusaha menyeretnya mencari pintu keluar. Oh, ya, aku minta maaf karena saat itu aku sedikit melupakan keberadaan Chanyeol. Kau tahu, efek panik.

 

“Cepat hubungi supirmu, Kai!” kataku masih dengan tangan melingkar di pergelangan Kai.

 

Kai berhenti seketika, membuat langkahku juga tertahan. Kelopak matanya bergerak memperlihaatkan lebih banyak bagian bola matanya.

 

“Sial! Aku meninggalkan ponselku disana!” umpatnya, “aku harus kembali kesana dan mengambilnya!”

 

“Apa kau gila?! Tinggalkan saja!” aku mengencangkan genggamanku saat Kai berusaha melepaskan diri untuk kembali ke tempat tadi. “Chanyeol! Hubungin seseorang!”

 

Chanyeol dengan cepat merogoh saku jaketnya. Ia mengangkat poselnya dan beberapa kali namun layar ponsel itu tak kunjung bersinar. “Uhh.. kupikir baterainya habis.”

 

“Ap---Kai!” sebelum aku sempat merutuki ketidak beruntungan kami, tangan kanan Kai yang tidak aku genggam manarik tanganku dari pergelangan kirinya. Mudah saja baginya. Kemudian tanpa aba-aba lebih lanjut, ia berlari kembali ke tempat awal. “KAI!!!” panggilku lagi.

 

“Pergilah dulu! Masuk ke dalam minimarket, aku akan segera menyusul kalian!” serunya tanpa menghentikan langkah panjangnya.

 

Orang-orang yang tadi mengikuti kami di belakang ikut berbalik arah mengikuti arah lari Kai. Pandangan mataku masih menatap punggungnya yang pada akhirnya menghilang karena kerumunan yang mengikutinya.

 

“Ayo! Dia akan baik-baik saja!” Chanyeol menarik tanganku dan memaksaku mengikutinya. Aku mulai mengikutinya masih dengan keraguan untuk meninggalkan Kai. “Cepatlah,” katanya lagi.

 

Aku menghembuskan napas dengan kasar. Terserahlah, jika saja kali ini Kai nantinya benr-benar diculik, itu karena tindakan bodohnya sendiri. Aku maih sempat melihat pucuk rambut pirangnya sebelum akhirnya mengambil langkah ke arah berlainan mengikuti Chanyeol.

 

Kami berlari ke arah bangunan 7-11 yang ditunjuk Kai sebelumnya. Bel yang terpasang di pintu masuk bergerak saat Chanyeol membukanya, menciptakan suara gemerincing mengisi ruangan. Dengan cepat Chanyeol melangkah masuk menuju ujung ruangan minimarket tersebut.

 

“Ya Tuhan!”

 

“Apa?! Ada apa?! Kau baik-baik saja?” Chanyeol menghentikan langkahnya dan menelitiku dengan tatapan cemas. Kemudian matanya memadang ke sekeliling kami, mencari kemungkinan adanya ancaman, namun ia tak menemukan apapun. Hanya ada kami berdua dan seorang nenek di bagian rak minuman.

 

Aku melepaskan diri dari Chanyeol, berjalan ke arah salah satu rak makanan disana, mengangkat satu kemasan dan menunjukkannya ke Chanyeol, “mereka masih memiliki edisi terbasata Reese Peanut Butter Cookies! Aku mati-matian mencarinya ke segala tempat!”

 

Chanyeol penepuk keningnya sendiri, kepalanya menggeleng, tawa ringannya mulai terdengar, “Sungguh Jihoon? Di waktu genting seperti ini?”

 

“Uhh hey, aku benar-benar minta maaf soal tadi. Aku benar-benar tidak berniat melakukannya.”

 

Chanyeol mengangkat sebelah alisnya, mungkin ia bingung kenapa aku kembali mengangkat kejadian tadi lagi. “Sudahlah, tidak apa-apa. Banyak sekali tipe wanita di dunia ini, dan mungkin aku belum bisa mengerti tipe sepertimu.” Aku membalas senyuman yang ia berikan dengan seringaian ‘penuh arti’.

 

“Apa lagi?” bingo! Chanyeol menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sekarang.

 

“Uhh well.. jadi, aku meninggalkan dompetku di mobil Kai... dan uh... kau tahu? Maksudku... apa kau mau membantuku?” aku mengangkat dan menggerak-gerakkan kemasan Reese Peanut Butter Cookies di hadapannya.

 

“Hhaah... kau benar-benar,” gerutu Chanyeol sebelum mengambil kemasan itu dari tanganku, “jangan bilang permintaan maafmu tadi hanya pancingan agar aku mau membelikanmu ini juga?” Chanyeol menggelengkan kepala dan berbalik menuju kasir.

 

Ia kembali dengan kantung plastik kecil di tangannya. Well, terlalu berlebihan karena yang aku tahu ia hanya membeli satu kemasan yang aku tunjukkan.

 

“Ambil semuanya,” tangannya menyodor, menungguku mangambil alih plastik itu.

 

“Kau yakin?” Aku mengintip isinya, Milky Ways, Mars Bars dan beberapa kemasan lain. “Aku bahkan tidak memintanya. Tapi jika kau memaksa, baiklah,” aku mengedipkan mata kananku ke arahnya, lagi-lagi ia hanya menggeleng.

 

Sepertinya Chanyeol orang yang menyenangkan, aku menyukainya. Well, siapapun pria yang memberiku coklat secara otomatis mendapatkan tempat di perutku---uhh, maksudku di hatiku.

 

“Sekarang ayo kita keluar dari sini.”

 

“Apa? Bagaimana dengan Kai? Kita harus menunggunya!” aku melempar tatapan tidak setuju bersama argumenku.

 

Uhh... lagipula apa yang membuat Kai membutuhkan waktu selama ini?! Aku melirik jam tanganku, sudah lebih dari sepuluh menit dan dia belum kembali!

 

 

 

-Kim Kai-

 

Sial! Sial! Sial!

 

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. Berkeliling seperti orang bodoh mencari ponsel yang sudah retak?!

 

Tidak. Bukannya aku tidak memiliki cukup uang untuk membeli yang baru, karena percayalah, aku memilikinya lebih dari cukup. Dan jika saja aku menginginkannya, aku bisa membeli keseluruhan perusahaan yang memproduksinya dan mengganti namanya dengan namaku. Tapi di dalamnya---di dalam ponsel itu---tersimpan sesuatu yang penting untukku, sesuatu yang aku yakin akan jauh lebih sulit didapatkan daripada berusaha mendapatkan sebuah perusahaan ponsel.

 

Aku tidak dapat kehilangan benda itu! Sial! Dimana aku melemparnya tadi?! Bodoh! Idiot!

 

‘Pangeran Kai! Tolong lihat kemari!’

 

Dan sekarang para wartawan datang, baguslah, sepertinya hari ini memang tidak bisa lebih buruk lagi.

 

‘Pangeran Kai, bagaimana bisa tunangan Anda muncul bersama Pangeran dari Ilsan?’, ‘Apa hubungannya dengan Pangeran Chanyeol?’, ‘Apa dia telah membohongi Anda?’

 

Aku menggerutu dalam hati mendengar pertanyaan-pertanyaan konyol yang mereka lemparkan. Nama Chanyeol yang tak lupa mereka bawa membuatku semakin risih. Si Brengsek itu! Aku hampir saja terkena serangan jantung melihat Jihoon menyentuhnya seperti tadi. Semua rantai yang seolah mengekangku tiba-tiba hancur saat pada kenyataannya Jihoon melakukan hal itu hanya untuk mendaratkan tamparan keras ke pipi Chanyeol.

 

Aku tertawa dalam pikiranku sendiri mengingatnya. Tentu saja, dia gadisku, tak ada yang dapat mengalahkannya. Uhh.. aku menggeleng. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi Jihoon! Kenapa juga aku harus memikirkannya lebih lanjut?!

 

Aku tida di tempat dimana seharusnya ponselku berada. Namun sejauh mata memandang, benda itu tak terlihat juga. Beberapa kali aku menyapukan jari-jariku di rambutku, membuatnya berantakan, tak berbentuk sekarang. Tapi aku tidak peduli. Ponselku yang sekarang berada entah dimana telah menguasai seluruh pikiranku. Aku tidak bisa kehilangan ponselku. Benar-benar tidak bisa!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting