Chapter 11

Claimed: My Fiancée

-Han Jihoon-


“Bagaimana jika kukatakan Jongin... apa kau akan mengingatnya?”

Sekujur tubuhku seakan disiram air dingin saat Kai menyebut nama itu. Aku masih menatap matanya dalam kebingungan, dan ia terlihat menatapku dengan harapan. Apa yang ia harapkan? Entah, aku tak terlalu memikirkannya. Yang berkelibat di kepalaku adalah, bagaimana Kai bisa mengetahui tentang Jongin?

“Jong...in?” gumamku, dibalas oleh anggukannya. “Ba...bagaimana? Bagaimana bisa kau tahu tentangnya?”

Kai menepuk keningnya sendiri kemudian menemijat pelan pelipisnya. “Karena dia adalah aku!” jawabnya tak sabar.

Aku berkedip tiga kali ke arah Kai sebelum akhirnya tertawa. “Hahaha! Kau mencoba membodohiku dengan kebohongan bodoh, Kai! Hahaha yang dunia ini tahu, kau adalah Kai!” ucapku di sela-sela tawa.

Kai bergerak mendekat, tubuhnya ia condongkan ke arahku. Detik berikutnya dua tangan besarnya menelungkup kedua pipiku, membuatku memutuskan aliran tawaku.

“Aku Kim Jongin, Jihoon!” akunya dengan ekspresi dan nada serius.

Aku menatapnya dua detik, kemudian tanpa berpikir lebih lama, kudaratkan tamparan ke pipi kirinya. Cukup keras menurutku. Kai terkejut dan menatapku tak percaya.

“Kenapa kau menamparku? Sial! Ini pertama kalinya dalam hidupku! Demi Tuhan! Aku seorang pangeran dan aku ditampar dua kali dalam satu malam!” omel Kai.

“Kau, bertanya padaku untuk apa tamparan tadi?” telunjukku naik menyentuh dada Kai. “Jangan pernah mengguraukan Jongin! Dasar penguntit! Jangan pernah lagi kau mencoba mengulik hal-hal pribadiku!” teriakku padanya.

“Aku tidak berbohong! Aku Kim Jongin, Little Hun,” balasnya, nadanya semakin rendah di ujung kalimat.

Aku membeku seketika, bahkan tak sangggup berkedip. Little Hun. Panggilan itu, Sehun yang menciptakan panggilan bodoh seperti itu. Dan selain kakaknya itu, hanya Jongin yang memanggilnya begitu. Kutatap mata Kai lebih dalam untuk menemukan kebohongan disana. Well, sebenarnya aku tak benar-benar menatapnya karena otakku melemparku ke masa itu.

 

“Hunhun!”

“Apa?” aku dan Sehun menyahut secara bersamaan.

Anak laki-laki tujuh tahun yang menjadi pelaku pemanggilan tadi berkedip dua kali setelah mendapat respon dari dua orang sekaligus.

“Uhh... yang kupanggil itu, Jihoon,” jelasnya.

Sehun memutar bola matanya malas. “Kau baru saja membuang waktu berhargaku bersama spiderman hyung, kau tahu,” ujarnya malas kemudian kembali sibuk dengan permainannya sendiri, model figur berbentuk spiderman.

“Aku hanya membuatmu menengok sebentar tanpa sengaja,” balas anak itu membela diri.

Sehun kembali menengok ke arahnya. “Kau harus berhenti membuat kami bingung saat memanggil nama kami, Jongin.”

“Itu salah kalian, mengapa memiliki nama yang sama?” Jongin—anak laki-laki itu—membalas, tak mau kalah.

“Apa masalahnya? Nama kami sama karena ayah dan ibu kami sama,” Sehun menjulurkan lidahnya.

Dan saat itu aku hanya menyaksikan adu mulut tanpa manfaat antara Jongin dan Sehun. Aku tidak repot-repot menanyakan Jongin tentang untuk apa ia memanggil namaku karena aku terlalu terhibur dengan pertunjukan dadakan yang ditampilkan antara kakakku dan teman baru kami itu.

“Kalau begitu berhenti memanggil kami Hunhun!”

“Aku memanggil siapapun dengan cara yang kusukai!”

“Tapi kau membuatku bingung!”

“Itu masalahmu, dasar anak kecil!”

“Bodoh! Kau sama kecilnya denganku!”

“Aku sudah besar!”

“Besar? Aku bahkan lebih tinggi darimu!” lemparan kalimat Sehun yang berbarengan dengan juluran lidahnya membuat Jongin cemberut dan diam.

Sehun kembali ke permainannya. Dan Jongin, katakan saja bocah itu kehilangan selera bermainnya. Ia hanya duduk bersandar di dinding rumah pohon kami dengan mempertahankan wajah cemberutnya. Aku pun kembali pada kesenanganku setelah pertunjukan mereka berakhir.

Cukup lama kami tenggelam dalam dunia masing-masing hingga suara Jongin kembali terdengar.

“Hunhun!” panggilnya lagi.

Aku menengok. Sehun menengok.

“Aku memanggil Jihoon!” ujarnya sebal ke arah Sehun.

“Yah! Tak bisakah kau memberi pembeda untuk memanggil adikku? Tambahkan sesuatu, Hunbun, atau Hunji, Huni, Huna, Hune...” Sehun mulai meracau tak jelas.

“Kau bilang apa, sih?” aku memandang kakakku sendiri dengan tatapan aneh.

Sehun tak menghiraukanku, ia masih sibuk meracaukan nama-nama aneh dari mulutnya. “Hunboy, Hunman, Hunky, Bobo-Hun, Little Hun---“ Sehun berhenti mendadak, berkedip dua kali. “Little Hun terdengar hebat!” ulangnya. “Aku bisa menjadi Super Hun jika adikku seorang Little Hun! Wah... aku genius!” lagi-lagi Sehun meracau pada dirinya sendiri, dan parahnya kini ia memuji dirinya sendiri.

“Nama macam apa itu?” ejekku.

Aku tak mengerti mengapa Sehun begitu terobsesi dengan superhero sehingga ia sebegitu bahagianya saat memikirkan nama baru untuknya itu. Aku masih menatap Sehun dengan tatapan aneh kemudian melirik Jongin yang kuduga memiliki ekspresi yang sama denganku. Namun ternyata yang aku lihat begitu berbalikan.

Jongin, masih duduk disana dengan mata berbinar-binar menatap Sehun, seakan ia memuja Sehun saat itu. Aura kesal yang menyelimuti keduanya beberapa menit sebelum ini hilang entah kemana. Jongin merangkak mendekati Sehun.

“Woaaa... kau benar-benar genius!” ucapnya kepada Sehun, benar-benar tak ingat bahwa sebelumnya mereka saling melempar kata menyebalkan.

“Hahaha, aku tahu,” balas Sehun bangga.

“Itu nama yang hebat! Lain kali buatkan nama untukku!” seru Jongin dengan mata berbinar.

“Tu-tunggu... apa maksudnya?” aku terpelongokan oleh dua anak laki-laki aneh yang masuk dalam kehidupanku itu.

 

Sejak saat itu Sehun dan Jongin memanggilku dengan nama aneh itu. Little Hun. Dan lagi, Sehun memaksa kami memanggilnya Super Hun. Itu benar-benar menggangguku, namun pada akhinya aku lelang mengeluhkan kegilaan mereka. Ya, mereka aneh. Tapi setidaknya, mereka membuat masa kecilku tak berjalan monoton.

Aku baru menginjak 5 tahun saat itu. Sebelum pindah ke Busan, kami tinggal di Seoul dengan rumah yang lebih sederhana daripada yang sekarang kami miliki. Kehidupan kami juga sangat tenang, hanya aku, Sehun, ayah, ibu dan Vivi, anjing peliharaan kami. Keluargaku memang keluarga mapan sejak awal, namun saat itu ibuku belum benar-benar menjalankan bisnis keluarganya dan ayahku masih membantu kakek.

Hari itu aku dan Sehun, seperti biasa, bermain petak umpet di sekitar rumah. Saat tiba giliranku mencari, bukanya menemukan Sehun, aku malah bertemu seorang anak laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Sehun di dalam rumah pohon kami, aku dan Sehun. Dia adalah Jongin dan ya, dia memang seumuran dengan Sehun.

Aku baru akan berteriak memanggil Sehun, namun kuurungkan niatku setelah melihat Jongin menatapku dengan tatapan kesal. Ia menatapku seakan akulah yang bersalah. Seakan akulah orang asing yang menyusup di rumah pohonnya. Tapi saat itu aku tetap mencoba mengajaknya berbicara. 

 

“Uhh, halo... aku Jihoon. Apa yang kau lakukan di rumah pohonku? Siapa namamu?”

“Apa? Hunhun-apa? Kenapa aku harus beri tahu namaku?”

“Bukan Hunhun! Jihoon! Dan kau harus memberitahu namamu karena... uhh... Sehun tidak suka anak tanpa nama di rumah pohonnya. Jadi---”

“Jongin.”

“Halo, Jongin. Kau mau ikut bermain petak umpet bersama kakakku?”

“Tidak. Permainan itu hanya untuk pecundang. Tidak keren!”

 

Sesuatu menghantam kesadaranku saat bernostalgia tentang Jongin. Sebagaimanapun aku ingin mengingkarinya, tapi sebagian kecil diriku menyetujui tentang kesamaan antara Kai dan Jongin. Jongin merupakan bocah sombong, keras kepala, menyabalkan dan suka bertingkah semaunya. Seperti Kai.

Jongin mengatakan apa yang ingin ia katakan. Melakukan apa yang ingin ia lakukan. Harus mendapatkan apapun yang ia inginkan. Tanpa peduli dampaknya kepada orang-orang di sekitarnya. Seperti Kai.

“Percayalah padaku,” ujar Kai.

“Diam!”

“Sungguh! Aku ingin mengatakannya padamu tapi---“

“Kubilang diam!”

“Aku hanya butuh bantuanmu, Ji---“

“APA KAU TIDAK MENGERTI ARTI KATA DIAM?!” teriakku.

Dan Kai benar-benar diam kali ini.

Aku tidak bermaksud meneriakinya. Hanya saja aku benar-benar butuh ketenangan untuk mengurangi kekalutan jiwaku sekarang. Pasalnya sebagian dari diriku mempercayai pengakuan Kai, namun sebagian lagi mengatakan ini hanya salah satu leluconnya.

Apa Kai benar-benar Jongin? Setelah kuingat, Jongin memang memiliki hidung yang tak terlalu lancip dan bibir tebal. Dan untuk kesekian kalinya harus kuakui, seperti Kai. Tapi selain hidung dan bibir, aspek lain pada wajah Kai tak mencerminkan Jongin. Dan Jongin memiliki rambut hitam pekat, bukan rambut pirang seperti milik Kai.

“Mungkin dia melakukan operasi plastik dan mewarnai rambutnya setiap minggu,” gumamku pada diri sendiri.

“Tidak, hormon pertumbuhanku yang menjadikanku seperti sekarang. Dan sebetulnya, aku mengecat rambutku setiap bulan,” jelas Kai.

Aku melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Ia kemudian mengalihkan wajah menghadap jalanan dan mengangkat tangannya.

“Baiklah, maaf. Aku akan diam sekarang.”

Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah keluargaku. Kami berkendara dalam diam hingga siluet rumah keluargaku terlihat dari jarak kami. Aku melirik ponselku.

Pukul 9:39.

Aku menepikan mobil di pinggir jalan tepat di depan rumahku. Tak membawanya masuk karena sudah pasti, gerbang depan telah dikunci.

“Turun, sepertinya gerbang samping tidak dikunci.”

Tanpa menunggu balasan Kai, Aku membuka pintu mobil dan keluar. Aku yakin seluruh orang rumah masih terjaga sekarang, mereka seperti burung Hantu. Itulah mengapa aku berencana untuk mengetuk pintu depan.

Aku mendorong gerbang samping, well, sebenarnya tidak bisa disebut gerbang karena hanya berupa satu pintu tunggal. Kai berjalan tepat di belakangku. Dan aku cukup terpukau menyadari kali ini dia benar-benar diam. Mungkin aku harus serig-sering memintanya untuk diam.

“Pantas rumahmu yang dulu kosong, ternyata sekarang kau tinggal disini,” bisik Kai dari belakang.

Uhh baiklah, kutarik kembali kata-kata dan keterpukauanku tadi.

Dari celah ventilasi, aku tidak melihat cahaya lampu menyala di ruang tamu. Tak seperti biasanya. Aku memencet bel dan mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Apa mereka benar-benar sudah tidur? Pada jam ini? Aku kemudian menarik Kai ke halaman belakang rumah, memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang. 

Sebuah pot bunga berukuran sedang diletakkan di samping pintu. Aku mengangkatnya dan diluar dugaanku, kuncinya tak ada disana.

“Sial!” umpatku pelan.

Aku menarik Kai lagi menuju sisi kiri rumah. Saat itu aku sempat merasa jahat mengetahui kenyataan bahwa Kai dengan pasrahnya mengikutiku dalam diam kemanapun aku menariknya. Tapi aku kembali meluruskan pikiranku. Ini rumahku, aku yang mengetahui seluk beluknya, dan itulah mengapa Kai tak berkomentar saat aku menariknya seperti peliharaan.

Aku mendongak ke arah kamar Sehun dan benar saja, jendelanya masih terbuka lebar. Dasar anak itu, apa dia tidak pernah melihat film dimana psikopat berkeliaran dan bisa saja melompat masuk dari jendela untuk membunuhnya?

Oh baiklah, itu hanya film.

Lagipula Sehun merupakan lelaki dewasa sekarang.

Pemikiran bodoh.

Pipa berkelok yang menjulur dari atas ke bawah dan melintasi sisi jendela kamar Sehun mungkin terlihat kecil, tapi aku yakin itu cukup untuk menahan berat beban kami... atau setidaknya itu yang ingin kuyakini.

Aku memberikan sinyal kepada Kai untuk memanjat terlebih dahulu. Aku perlu berjaga, kan? Di samping itu, sekarang aku masih memakai gaun, dan aku tidak ingin Kai melihat pakaian dalamku jika aku memanjat terlebih dahulu.

“Kau bercanda!” desis Kai, matanya melebar menatapku. “Aku bahkan tidak tahu apa yang menungguku di atas sana!”

“Jangan takut, Vivi anjing yang baik, ia takkan menggigitmu,” jawabku enteng. “Lagipula Vivi tidak suka masuk kamar Sehun.”

“Ini sulit dipercaya,” gumam Kai setelah menghela nafas panjang. Ia kemudian mulai memanjat dengan meraih apapun yang bisa ia gunakan untuk pegangan dan pijakannya.

Kai mulai mengatur posisi tubuhnya agar dapat masuk dari jendela tersebut. Aku menunggu hingga jendela itu benar-benar menelannya.

Baru bersiap akan memanjat, sebuah teriakan berat, milik Sehun menghentikanku dan memaksaku mendongak. Kini lampu kamar Sehun menyala.

“YAAHH!!!” suara Sehun kembali terdengar.

“AAAA JIHOOOOON!!!!!” teriakan lain yang tak lain merupakan milik Kai menyusul.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting