Chapter 3

Claimed: My Fiancée

-Kim Kai-

 

Pintu mobil dibuka dari luar. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu utama. Para pelayan membungkukkan badan menyambut kedatanganku selama aku berjalan. Langkah kakiku menggema ke seluruh ruangan saat aku memasuki ruang tengah dengan desain imperial ini. Lampu kristal yang besar menggantung kokoh di atasku. Lantai marmernya dingin. Sama dinginnya dengan keseluruhan tempat ini. Hal ini kembali membuatku bergidik.

 

Aku benci tempat dingin dan kosong seperti ini.

 

**

Setelah menghabiskan beberapa waktu di dalam jacuzzi---aku tertidur sebentar disana, aku merebahkan tubuhku di atas matras ukuran double-king-sized tanpa melakukan apapun. Bosan. Sungguh membosankan. Dan akhirnya aku memutuskan untuk melakukan beberapa ‘pencarian’.

 

Aku menggulingkan tubuhku hingga ujung matras kemudian menggapai tanganku menekan tombol ungu yang terpasang di meja kecil samping ranjang.

Kurang dari 40 detik kemudian, seorang pelayan membuka pintu kamarku dan berdiri di ambangnya.

 

Tablet-ku, 10 detik,” ucapku tanpa mengangkat kepala dari matras. Pelayan tadi bergegas keluar, mungkin ia panik.

 

Aku tidak memanggil mereka dengan nama karena kebanyakan dari mereka hanya akan bertahan sampai seminggu, atau tiga hari... atau bahkan setengah hari. Lagipula kau akan mengerti kenapa aku malas menghapal nama-nama mereka jika mengetahui jumlah mereka---well, sebenarnya aku sendiri tak tahu berapa jumlah keseluruhan pelayan di tempat ini.

 

Hampir satu menit belum ada tanda-tanda pintu kamarku akan dibuka. Uhhh, satu lagi alasan untuk memecat seseorang.

 

Sebut aku kekanakan atau manja atau yang lainnya. Tapi ayolah, aku benar-benar bosan dengan hidupku yang terlalu mulus ini. Aku butuh sedikit bermain-main dan hanya merekalah---hanya para pelayan itulah---yang orang tuaku berikan padaku, setidaknya di tempat ini.

 

Terserah, aku pakai IPhone ku saja.

 

Telunjukku menyentuh kolom pencarian seketika huruf-huruf hangul muncul. Aku menggeser keypad space, membuat huruf-huruf hangul itu berubah menjadi alfabet. T-W-I.... aku mulai mengetik. Oh ya, aku membuat akun palsu. Aku muncul sebagai gadis bernama Joo Eunmi disana, terdengar cukup umum, kan?

 

Beberapa klik di sana dan sini, dan; 78 person related Han Ji Hoon.

 

Uhh, apa ini?! Bagaimana bisa aku menemukannya. Kelihatannya 78 akun memang tidak terlalu banyak jika kau memang berniat mencarinya. Tapi itu sangat ‘bukan-aku’. Bagiku harus menelisik angka sebanyak itu merupakan pekerjaan berat. Aku melempar asal ponselku yang akhirnya mendarat di atas karpet putih.

 

Aku kembali merebahkan tubuhku, menatap langit-langit kamar. Pikiranku terbang jauh menembus langit-langit kamarku itu. Aku masih tidak mempercayai hal ini. Empat belas tahun berlalu dan kini takdir dengan lucunya menyeretku untuk menemuinya lagi.

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Ada dua ruangan yang disewakan di atas kafe dan aku menyewa salah satunya. Hanya ada kamar tidur dan kamar mandi, hanya itu. Aku sudah tinggal disini selama hampir dua tahun bersama Daehee---uh sebenarnya Daehee tinggal di ruang depan ruanganku.

 

Tidak ada dapur disini karena, well, mereka memperbolehkan kami menggunakan dapur kafe kapanpun sebagai dapur pribadi kami.

 

Sejujurnya aku bukan gadis sebatang kara dengan orang tua yang entah dimana seperti kebanyakan karakter protagonis di novel-novel penuh drama yang sering kubaca. Aku benar-benar tidak sedikitpun memiliki kesamaan dengan karakter yang mereka tulis. Aku bukan gadis pemalu, penyendiri ataupun gadis yang menjadi target bully gadis-gadis mapan.

 

Satu-satunya hal dalam hidupku yang terlalu mendrama seperti dalam novel adalah bahwa aku bertemu dengan seorang pangeran yang kemudian seenak jidat mengakuiku sebagai tunangannya. Bedanya adalah, pangeran yang aku temui bukan tipikal pangeran idaman seperti pangeran-pangeran dalam cerita garapan Disney.

 

Well, kembali ke kehidupanku. Faktanya adalah, bahwa sampai sekarang orang tuaku masih berusaha membujukku untuk pulang ke rumah kami di Busan. Mereka juga masih mengisi rekening bank-ku setiap bulannya meskipun jarang aku pakai---yah, gajiku sendiri cukup untuk mencegahku kelaparan.

 

Ayah dan ibuku merupakan pewaris bisnis keluarga. Bisnis keluarga ibuku berpusat di Korea dan ayahku mengatur bisnis keluarga yang didirikan di Amerika---meskipun begitu ia tetap tinggal bersama ibu di Korea. Sederhananya keluargaku merupakan keluarga mapan di Korea.

 

Selama hidupku sampai aku berumur 18 tahun, aku terbiasa mendapatkan apapun yang aku inginkan hanya dengan mengatakannya. Aku memiliki semuanya. Namun ketika aku bertambah dewasa, aku menyadari bahwa ini bukan kehidupan yang sesungguhnya.

 

Orang-orang mengatakan padaku kenapa aku bersusah payah bekerja saat orang tuaku memberiku kebabasan untuk menggunakan kartu kredit? Kenapa harus bersusah payah saat keluargamu mempunyai harta berlimpah dan kau dapat menggunakannya semaumu? Tapi bukan itu yang aku mau. Apa artinya hidup saat kau bahkan tak perlu mengangkat sendok untuk makan?

 

Aku tidak menginginkan itu. Aku tidak ingin tumbuh seperti kakakku, Sehun. Sehun terlahir tiga tahun lebih dulu daripada aku, ia baru menginjak 24 tahun beberapa bulan lalu. Di umur 17, ia memilih berhenti sekolah sebelum kelulusan dan menghabiskan hari-harinya bermalas-malasan di rumah. Memiliki hobi berbelanja barang mewah dan mengoleksi beribu video game. Well, meskipun begitu dia bukan tipe laki-laki brengsek. Ia tidak memiliki kebiasaan ‘bermain-main’ dengan wanita dan tak terlalu bersahabat dengan alkohol.

 

Yah, hal itu membuat ayah atau ibuku tidak terlalu keberata dengan gaya hidupnya.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Setelah berhasil melepaskan gaun merah marun yang dikenakannya, bibirku berpindah turun ke dagunya kemudian ke lehernya dan berakhir di dadanya. Tanganku menjelajah ke seluruh tubuhnya, memastikan tak ada satu inci pun terlewati. Aku dapat melihatnya tersenyum karena permainanku.

 

Kedua telapak tangannya jatuh di bahuku, mendorongku dan membuatku terduduk di matras. Ia ikut duduk di hadapanku. Kini tangannya turun ke pinggangku, bergerak mengikuti jalur sabuk yang aku kenakan dan melepaskan ikatannya dengan satu tangan dengan tangan lainnya terus berpetualang di sekitar perutku.

 

Aku kembali mendorongnya, memposisikannya kembali di atas matras---tepat di bawahku. Dengan cepat aku menenggelamkan kepalaku di sisi kanan lehernya, menghujaninya dengan ciuman basah. Lidahku ikut bermain mengecap tiap jengkal kulit yang dilewatinya.

 

“Uhh...” erangannya mulai mengisi ruangan kamarku. Kuku tangannya menancap erat di bahuku.

*

*

*

“Pulanglah,” ujarku singkat, menarik selimut yang menutupi tubuhnya.

 

“Apa? Ke-kenapa?” responnya kaget, bingung.

 

“Karena aku sudah tidak menginginkanmu lagi,” jawabku masih tanpa melihatnya, “cepat pakai pakaianmu dan pergi sebelum aku memanggil penjaga untuk memaksamu keluar.”

 

Aku bergerak dan duduk di ujung ranjang. Dan akhirnya kesempatkan diriku untuk melihatnya masih terbaring di sisi lain ranjang. Aku bisa melihat pantulan bayangan diriku di pintu lemari kaca di sebrang ruangan. Rambut pirangku berantakan, bahkan bibirku terlihat lebih berisi dari biasanya. Aku menghela napas. Aku lelah. Aku ingin sendiri sekarang.

 

“Tapi... Kai...” rengeknya dengan suara manis.

 

Huh, aku tak akan terpengaruh. Aku sudah pernah mendengar semua jenis suara seperti itu. Sungguh, sampai sekarang aku tak habis pikir kalau ternyata Hyerin, gadis yang dipuja seantero Korea ini, memiliki sisi murahan. Ia selalu terlihat lugu dan anggun di televisi. Well, kesalahan besar memang saat kau mulai menilai seseorang dari parasnya---seperti saat orang-orang menilaiku dari senyuman manis yang keperlihatkan.

 

Aku tak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba datang kemari. Saat aku mulai memejamkan mataku mencoba untuk tidur, ia tiba-tiba menjatuhkan diri menindih tubuhku. Uhh well, ini bukan pertama kalinya untuk kami, jadi mungkin para pelayan manganggap akulah yang telah menyuruhnya datang sehingga ia dengan bebasnya masuk ke kamarku.

 

Hyerin masih tak bergerak dari ranjangku, dan hal itu mulai menggangguku, “pergilah,” perintahku lagi, “atau dunia akan tahu siapa sebenarnya gadis pujaan mereka ini,” ancamanku mungkin berkabut, namun aku yakin gadis itu mengerti apa yang aku maksudkan.

 

Aku berdiri dan berjalan menuju kamar mandi tanpa meliriknya sedikitpun. Melangkah masuk kemudian mengunci pintunya---yang sebenarnya tak perlu aku kunci. Oh ayolah, gadis itu tidak akan tiba-tiba menyerang masuk dan memperkosaku, kan? Kalaupun ia akan benar-benar melakukannya, tidak akan ada yang menyebutnya pemerkosaan, karena aku akan dengan senang senang hati mengikuti jalan mainnya. *dapuq -____-"*

 

Aku terduduk di bathtube tanpa menunggu air memenuhinya terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian aku dapat mendengar secara samar suara pintu terbuka dan tertutup kembali. Aku menghembuskan napas panjang---akhirnya dia pergi.

 

Pikiranku benar-benar runyam sekarang. Aku kehilangan fokusku beberapa kali---bahkan saat aku melakukan hal itu dengan Hyerin. Hal ini belum pernah terjadi. Aku belum pernah sebelumnya memikirkan hal lain---orang lain---saat melakukannya.

 

Uhh sial!

**

 

“Yang Mulia, sarapan sudah siap. Juru masak sudah membuatkan makanan kesukaan Anda. Apa Anda menginginkannya sekarang?” salah satu dari dua pelayan yang berdiri di ambang pintu kamarku bertanya.

 

“Apa ayah dan ibu masih disini?” tanyaku datar, tanpa ekspresi seolah-olah aku tidak peduli. Seolah-olah itu hanyalah pertanyaan formalitas, namun sesungguhnya di dalam sini uhhh---lupakan.

 

“Tidak, Yang Mulia. Yang Mulia Raja dan Ratu bergegas pergi ke Rusia setelah pertemuan berakhir,” pelayan itu menjawab dengan sangat hati-hati.

 

Kepalanya tertunduk, pandanganya terkunci di lantai kamar. Jelas sekali ia sedang menyembunyikan ekspresi kasihan yang kini tergambar di wajahnya.

 

Benar-benar ironis, bukan? Seorang pelayan, yang mencukupi kehidupan sehari-harinya dengan bekerja melayaniku, malah menyimpan rasa kasihan untukku---tuannya---yang selalu bertingkah semauku.

 

Begitulah mereka---ayah dan ibuku. Pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Well, tidak heran karena mereka juga tidak pernah mengucapkan ‘halo’ saat pulang. Mereka hanya akan berada di sini---di tempat yang mereka sebut rumah ini---saat pertemuan berlangsung.

 

Terkadang aku berpikir bahwa pesawat adalah rumah mereka yang sesungguhnya. Aku yakin mereka lebih banyak menghabiskan waktu menginjak karpet lantai pesawat daripada menginjak tanah. Dan tempat ini, bukan apa-apa selain hotel gratis.

 

Selama 360 hari dalam setahun, aku menghabiskan waktuku sendirian di tempat ini---di rumahku ini. Berapa kali kira-kira aku bisa bertatap muka dengan mereka? Kecuali kau benar-benar bodoh, aku yakin kau bisa menghitungnya sendiri. Dan ahh, itu hanya waktu tatap muka, tanpa ada perbincangan ataupun basa-basi sedikitpun. Kami hanya berbicara saat memang ada yang perlu dibicarakan. Saat ada hal penting yang perlu dibicarakan---hal yang mereka anggap penting.

 

Ah terserah. Aku tidak peduli. Aku sepenuhnya baik-baik saja.

 

Tapi aku tetap manusia. Dan jauh, sangat jauh di dalam sana, rasanya tetap menyakitkan. Selalu menyakitkan.

 

Aku memandang kosong dinding putih kamarku, “aku ingin sarapan disini,” ucapku akhirnya.

 

Lagipula ruang makan terlalu besar untuk diisi oleh satu orang. Tambahku dalam hati.

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Do Kyungsoo, pemilik kafe tempatku bekerja, memberikanku libur cuti selama 3 hari. Kelihatannya bisnis kafe sedang memburuk saat ini.

 

“Aku tidak akan keberatan jika para paparazzi dan reporter itu juga memesan makanan saat semuanya berkumpul di dalam kafe menunggumu. Tapi nyatanya mereka tidak memesan apapun dan hanya duduk menunggumu. Mereka menjajah tempat duduk untuk para pelangganku. Jadi mungkin lebih baik kau tetap di kamarmu dulu untuk beberapa hari ini,” jelasnya melewati telepon.

 

Pada dasarnya, Kyungsoo secara tersirat mengatakan bahwa akulah alasan di balik menurunnya pemasukan kafe dan menyuruhku untuk mengunci diri di kamarku---di lantai 2 kafenya---sampai reporter-reporter itu lelah dan pergi dari sini.

 

Baiklah, aku tidak keberatan.

**

 

Aku membalik halaman buku yang sedang aku baca. Disini aku sekarang, di toko buku Nyonya Cha, duduk bersama pemiliknya. Hakyeon? Ia sedang berkencan dengan kekasihnya.

 

Aku hanya merasa bosan terperangkap dalam kamarku sampai aku nekat mencari celah untuk keluar dari kafe.

 

“Apa yang akan terjadi jika para reporter menemukanmu disini?” Nyonya Cha bertanya sambil membolak-balikkan majalah di tangannya.

 

“Uhh... mungkin mereka akan mulai mewawancaraimu, menanyakan hal-hal spesial tentang aku, atau menanyakan apakah perlu Pangeran Kai melakukan operasi mata.”

 

“Sudahlah. Berhenti merendahkan dirimu sendiri, sayang,” kata Nyonya Cha lembut.

 

“Aku sedang tidak merendah disini,” protesku, namun sebelum aku bicara lebih lanjut, Nyonya Cha memotongku.

 

“Ya Tuhan, Jihoon!” pekiknya. “Ada sekitar 8 halaman penuh tentang Pangeran Kai dan kau disini! Dan kau tidak menceritakan padaku tentang ciuman kalian?!” Nyonya Cha mengangkat majalah itu dan menunjukkan foto kami---aku dan Pangeran Kai---berciuman, atau lebih tepatnya foto saat Pangeran Kai secara paksa menciumku.

 

Sontak aku merampas majalah dari tangan Nyonya Cha dan mulai memperhatikannya. Mataku terbelalak. Disana, Tahoma dengan font size 48---atau mungkin Arial dengan font size lain, aku tidak benar-benar tahu---huruf kapital penuh, tercetak:

 

‘PANGERAN KAI TELAH MENEMUKAN CINDERELLA-NYA! YANG MULIA PANGERAN TELAH BERTUNANGAN DENGAN GADIS PUJAANNYA, JAEJOON!’

 

What the---uuuhhhh!!! Namaku Jihoon! Bukan Jaejoon!

 

Mataku meraba seluruh artikel tanpa benar-benar membacanya. Ya ampun, aku benar-benar tidak percaya semua orang menganggap kami telah bertunangan.

 

‘Ini merupakan cerita cinta pada pandangan pertama. Sekitar satu bulan yang lalu Pangeran Kai berkeliling kota dan memutuskan untuk singgah di salah satu kafe di seoul yang tidak lain adalah tempat dimana Nona Jaejoon bekerja. Dan takdir mulai mengatur segalanya dengan membuat Nona Jaejoon mengantarkan Creme Frappuccino pesanan Sang Pangeran.....”

 

WHAT THE !!! Jurnalis mana yang menulis karangan level anak sekolah dasar seperti ini?!!

 

Tanganku mulai bergerak atas perintah nafsuku untuk menghancurkan foto saat kami berciuman---uh maksudku foto saat Pangeran Kai memperkosa bibirku!

 

Saat aku mulai meremas kertas majalah itu, Nyonya Cha merebutnya kembali dan mendekap kertas itu seolah-olah sedang melindunginya.

 

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya, “kita perlu membingkai gambar ini.”

 

“UUHHHH NYONYA CHAAA...”

 

 

 

-Kim Kai-

 

 

Aku berada di ruang permainan memainkan GTA V dengan layar televisi yang memiliki lebar hampir menyamai layar bioskop. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu.

 

“Come in!” sahutku agak kencang agar suara permainan ini tak mengalahkan suaraku. Setelahnya aku mendengar pintu dibuka, “kau tahu aku tidak suka seseorang mengganggu waktu santaiku,” kataku tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi. “Oh, damn!” aku terlonjak, mengumpat saat seseorang mencuri Ferrari putihku---di dalam permainan itu.

 

“Uh, mohon maaf, Yang Mulia, ini penting,” jawabnya, aku masih fokus pada permainan---mengejar pencuri mobilku. “Tunangan Anda... datang untuk menemui Anda, Tuan.”

 

Seketika kepalaku berputar ke arahnya. Kontroler di tanganku tanpa sadar aku jatuhkan. “Huh?”

 

 

**********to be continued**********

 

 

 

 

***A little , but I promise there wont be any of it anymore---or maybe there is. uhhh

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting