Chapter 5

Claimed: My Fiancée

Orang bertubuh kekar yang mengunci tanganku kini menempatkan genggaman besarnya di rambutku saat aku meronta lebih liar. Mungkin ia berpikir dengan begitu aku akan meminimalisir pergerakanku.

 

“YAAHH! Sakit, brengsek!” aku menggenggam pergelangan tangannya yang menjambak rambutku dan menancapkan erat kuku tanganku yang tak terlalu panjang itu di kulitnya.

 

“Ahh...” gumamnya saat cakarku terasa menyakiti kulitnya, “hey! Apa kau yakin kita tidak salah orang?” tanyanya kepada yang lain, tanpa melepau.

 

“Seratus persen yakin. Kau ingat, kan? Kita sudah diperingatkan bahwa target kita merupakan anak dengan perilaku brutal,” jawab seseorang yang masih berdiri di ambang pintu. Penampilannya benar-benar seperti orang-orang dari Dinasti Qing dengan rambut panjangnya yang dikuncir.

 

“AKU BUKAN ANAK-ANAK, KAU BANGSAT!!”

 

“Uhh, dan hobi mengumpat,” tambah seorang lagi di belakangnya menambah deskripsi tentang target yang mereka tugaskan, menambah deskripsi tentang aku.

 

Mataku menelusuri seisi ruangan mencari apapun, ya mencari benda apapun yang dapat membantuku dalam situasi ini. Gunting, ada gunting di meja samping ranjangku. Kemudian mataku kembali menganalisis keadaan di sekitar. Aku tidak tahu pasti, namun aku yakin ada lebih dari dua orang yang berjaga di luar pintu kamarku, belum lagi yang mungkin berjaga di bawah.

 

Jika aku berteriak minta tolong, akan efektifkah? Bagaimana jika tak ada yang mendengarku? Bagaimana jika mereka langsung memutuskan untuk membunuhku? Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti gadis-gadis dalam novel yang dibius dengan kloroform dan terbangun entah dimana.

 

Baiklah, aku punya rencana. Untuk kali ini, aku mungkin bisa meniru akting Angelina Jollie dalam film Salt yang pernah kutonton.

 

Dengar sekali gerakan aku melempar tubuhku ke ranjang dengan tangan menggapai-gapai gunting di atas meja, tak peduli kulit kepalaku yang terasah perih karena gerakan tarik-menarik yang terjadi antara aku dan orang itu. Untunglah gerakanku tadi membuat genggaman tangan orang itu di rambutku berpindah agak ke ujung sehingga aku lebih mudah melanjutkan rencanaku.

 

Selanjutnya kugerakkan tanganku yang telah memegang gunting ke atas kepalaku. Dengan gerakan cepat dan tanpa perhitungan ku potong rambut hitam panjangku yang masih digenggamnya hingga aku benar-benar terlepas. Persetan dengan ini semua! Aku bahkan melupakan betapa cintanya aku terhadap rambut panjangku ini.

 

Aku kemudian merangkak cepat ke sisi lain tempat tidurku. Orang-orang itu bergerak hendak menghentikanku namun terlambat untuk menangkapku karena saat itu juga aku melompat keluar dari jendela kamarku.

 

Aku mendarat dengan tidak elitnya di atas pembuangan sampah, beruntung itu bukan tempat sampah-sampah basah. Aku jatuh dengan posisi terlentang, punggungku sakit, bagian belakang kepalaku membentur sesuatu. Sudut mataku menangkap dua kepala melongok dari jendela kamarku. Bagus, mungkin sekarang mereka menertawakanku.

 

Persetan dengan mereka. Ini saatnya kabur. Aku mencoba berdiri, agak terhuyung karena rasa sakit di kepalaku. Aku memaksakan kakiku untuk berlari menuju tempat yang lebih ramai, namun rasanya tulang-tulangku berpindah posisi tak lagi pada tempat seharusnya.

 

Sebelum aku keluar dari gang menuju jalan raya, sebuah limousine memblok mulut gang. Pintunya dibuka dengan segera tepat setelah saat limo itu berhenti.

 

“Cepat masuk!” sebuah perintah terdengar.

 

Aku kenal suara itu. Tanpa pikir panjang aku berlari ke pintu limo, masuk dan menutup pintunya dengan kekuatan penuh, seakan dengan begitu tak akan ada yang bisa membukanya lagi.

 

“CEPAT JALAN!” aku berteriak, tak peduli dengan statusku yang saat itu hanya menumpang.

 

Teriakanku tak lantas membuat roda limo itu berputar. Jangankan rodanya, dari tempatku duduk pun aku tak merasakan getaran mesinnya jika dihidupkan. Aku memutar kepalaku menatap wajah yang belakangan ini terlalu sering kulihat.

 

“Kai,” panggilku seadanya, “kita harus segera pergi dari sini!” ucapku tergesa.

 

“Yang benar Pangeran Kai,” koreksinya dengan senyum penuh menghias wajah bangsawannya, “tenanglah, anak buahku tidak akan mengejarmu sampai kemari.”

 

“A.. apa?”

 

Jawaban Pangeran Kai rasanya tidak dapat kucerna dengan baik. Semakin aku berusaha menerjemahkannya, semakin berdenyut kepala bagian belakangku. Aku menyerah. Aku merubuhkan tubuhku tepat di samping Pangeran Kai sambil menutup mataku.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Jihoon terjatuh---atau menjatuhkan diri---di sampingku, matanya tertutup. Tangan kirinya masih menyentuh bagian tengkorak belakangnya. Tidak ada umpatan seperti biasanya. Pemandangan itu membuat seringaianku menghilang, seluruh tubuhku diselimuti rasa khawatir saat itu juga.

 

Tepat saat itu, Hyuk melirik kami melalui kaca spion depan, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak biasa. Sial! Apa yang dipikirkannya?

 

“Ini... tak seperti kelihatannya! Aku bersumpah!” kataku cepat sambil menatap matanya di spion, ia langsung mengalihkan pandangannya.

 

Aku perlahan memindahkannya ke posisi yang lebih nyaman. Tidak ada respon penolakan, namun dadanya masih bergerak naik-turun secara teratur. Mungkinkah dia tertidur? Dan uh, tunggu dulu, jangan berpikir aku masih sempat berpikiran mesum saat itu. Aku melirik dadanya karena, ayolah, hanya pada area itu aku dapat mengetahui dengan mudah apakah ia masih bernapa atau tidak.

 

Aku kembali memindahkan tubuhnya dengan sangat hati-hati, meletakkan kepalanya di pangkuanku. Kutatap wajah terlelap di pangkuanku. Sela jari-jari tangan kananku bergerak perlahan menyusuri rambut hitamnya. Aku tersenyum kecil, siapa kira wajah lugu seperti ini dapat berubah mengerikan saat pemiliknya dalam keadaan sadar.

 

Tanganku berlanjut menjelajahi pipinya, kemudian di bibirnya. Aku membungkuk, merendahkan kepalaku sampai bibirku bertemu ujung kanan mulutnya. Hanya sebentar. Jihoon bergerak sedikit, menggumamkan kata yang tak terlalu terdengar. Aku kembali tertawa kecil.

 

Aku masih memandangnya. Sedikit rasa lega datang menutupi sebagian kekalutanku setelah mengetahui Jihoon tak terluka berarti pada fisiknya, hanya beberapa goresan di tangannya, mungkin juga kakinya.

 

“Ehhmm..”

 

Dehaman Hyuk berhasil membawaku kembali ke kesadaran penuhku. Aku mengangkat kepala secara penuh dengan tenang.

 

“Yang Mulia, mereka ingin berbicara dengan Anda. Sepertinya mereka belum mengetahui bahwa tunangan Anda telah bersama Anda sekarang.

 

“Bawa mereka kemari,” titahku dengan nada tenang, namun faktanya, darahku seakan mendidih saat itu.

 

Hyuk segera mengangkat ponselnya, memanggil seseorang. Aku tahu siapa, namun aku tidak benar-benar peduli dan tidak tertarik untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan.

 

Beberapa menit kemudian, seseorang mengetuk kaca jendela dari luar. Chanyeol. Dia yang bertanggung jawab penuh atas ‘misi’ ini.

 

Aku dapat melihat perasaan lega terlintas di matanya setelah melihat Jihoon tertidur di pangkuanku, namun rasa lega itu dengan cepat berganti rasa khawatir. Mungkin ia sudah menebak apa yang akan terjadi setelah ini.

 

“Kai... aku dapat menjelaskan se---“ ia mencoba menjelaskan, nadanya terdengar tenang. Yah, Park Chanyeol memang sudah terbiasa menghadapi seorang ‘aku’. Kata-katanya terpotong oleh suaraku sebelum menemukan tanda titik.

 

“Kau seharusnya hanya sedikit menakutinya dan membawanya ke istana,” kataku jelas, dengan sedikit penakanan pada kata ‘sedikit’.

 

Suara kendaraan samar terdengar menunggu Chanyeol mengutarakan sesuatu, namun kata-katanya tak kunjung terdegar. Aku menghela napas panjang, “aku datang kemari hanya untuk sekedar melihat-lihat, kau tahu? Dan tebak apa yang aku temukan? Tunanganku mendarat di tempat sampah.”

 

Tanganku kembali menyusuri rambut hitam Jihoon, “dan ada apa dengan rambutnya? Alasan utama aku mengirim kalian adalah untuk menjemputnya, membawanya ke istana sehingga para pelayan dapat mendandaninya sebelum bertemu dengan ayah dan ibuku.”

 

“Baiklah... kau lihat sendiri, kan? Ini semua memang salahku. Aku menyuruh Kangmin dan Myung menjemputnya di atas sedangkan aku tetap di kafe, uhh... well, kau tahu, menikmati secangkir kopi. Jadi, maafkan aku.”

 

Aku memijat pelipisku mendengar jawabannya. Dengan sifatnya itu, terkadang aku berpikir kenapa ia masih bekerja untukku? Kenapa? Uh di samping fakta bahwa aku memang tidak bisa memecatnya.

 

Ia merupakan putra dari Park Namgyeol, kepala pemerintahan di negara bagian Ilsan. Yah sebut saja ia juga seorang pangeran, aku tidak keberatan. Ayahnya mengetahui tentang kelakuan burukku dan mengajukan anaknya untuk ‘menemaniku’. Terdengar konyol, bukan?

 

Sejujurnya aku tidak terlalu menyukainya. Namun mungkin karena sifatnya yang memang tidak berbeda jauh dariku---playboy, keras kepala, arogan---membuatku tak bisa membencinya juga. Lucu memang mengetahui kesamaan karakter terkadang dapat membuat beberapa orang saling pengertian. Yah, Chanyeol cukup pengertian terhadapku selama ini, tak terlalu terikat dengan statusku. Ia bahkan memanggilku tanpa embel-embel gelar bangsawanku, aku juga tidak keberatan dengan itu. Orang lain mungkin melihat kami begitu akrab, namun aku berpikir, ‘akrab’ bukan kata yang cocok untuk mendeskripsikan kami, setidaknya belum cocok.

 

“Terserah,” gumamku, “pergilah,” lanjutku kepada Chanyeol dengan volume suara yang lebih mungkin terdengar

 

Aku kembali melirik wajah di pangkuanku. Lagi-lagi pikiran lucu melintas di kepalaku. Aku tertawa kecil mengingat bagaimana ‘pertunangan’ kami---aku dan Jihoon---berawal karena sebuah kesalahan. Aku menggeleng pelan kemudian memandang ke depan.

 

“Kita pulang, Hyuk!”

 

 

 

-Han Jihoon-

 

Rasanya nyaman. Aku tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti tubuhku, melindungiku dari segala rasa dingin. Biasanya selimutku tidak terlalu membantu, terkadang aku masih dapat menggigil di tengah malam.

 

Aku bergerak sedikit menrenggangkan tubuhku. Agak berat, seperti sesuatu menimpa pundakku. Mungkin karena aku terlalu hanyut dalam kenyamanan tidurku saat ini, sehingga rasanya berat untuk membuka mata lagi.

 

Perlahan aku membuka mataku. Baiklah, aku terlalu nyaman sepertinya. Sampai-sampai aku melihat jendela kamarku jaraknya merenggang lebih jauh dari biasanya. Dinding kamarku yang aku yakin hanya berjarak sekitar 2 meter dari ranjangku pun terlihat lebih jauh. Singkatnya aku merasa ruang kamarku melebar.

 

Aku pasti bermimpi. Tapi aku memilih untuk tidak memikirkannya dengan kembali mencoba menutup mataku. Rencanaku gagal seketika aku merasakan sesuatu yang kupikir sejak tadi menindih bahuku bergerak, bersamaan dengan itu sebuah bisikan, tepat di samping telingaku terdengar, “Hunhun, kau sudah bangun?”

 

Angin hangat yang menyapu cuping telingaku dari belakang membuat aku bergidik ngeri. Rasa nyaman yang pada awalnya enggan aku tinggalkan lenyap tanpa jejak. Aku menggerakkan tubuhku cepat berusaha keluar dari ranjang super empuk itu. Nyaris saja teriakanku berhasil mengisi ruangan, nyaris, karena sebelum itu, sebuah telapak tangan menutup mulutku. Bayangan orang-orang dengan jas hitam tadi siang dan peristiwa tempat sampah itu langsung berputar-putar di kepalaku.

 

Orang yang membekap mulutku bergerak merangkak menindihku. Wajahnya kini sangat dekat, rambutnya yang tak beraturan beberapa kali menggelitik kulit wajahku. Aku menatap matanya yang rupanya sudah sengaja ia sejajarkan dengan posisi mataku.

 

“Mwemwinkwirwah...awhikwu, Khoi!”

 

Aku dapat melihatnya tertawa, mungkin karena ucapanku barusan. Entahlah, aku tidak sadar bagaimana kedengarannya permintaanku tadi saat kusuarakan. Ia masih belum bergerak untuk melepau, berat badannya membuatku hampir sulit bernapas.

 

“Tidak akan sampai kau berjanji untuk tidak berteriak,” bisiknya setelah selesai menertawakanku. Uhh sungguh! Aku benci saat orang ini berbisik!

 

Akhirnya aku menyerah, menganggukkan kepala. Ia perlahan melepaskan tangannya dari mulutku, namun tetap tak tertarik untuk mengubah posisi awalnya, tetap menindihku.

 

“Kau... ap-apa kau memperkosaku saat aku tidak sadarkan diri?!” tanyaku cepat tanpa pemikiran kedua---sungguh, hanya itu yang ada di pikiranku, “karena meskipun aku memukulmu dengan remote dan menjambak rambut berhargamu itu, tindakanmu ini benar-benar tidak adil untukku!” lanjutku berusaha tenang meski jantungku berdebar sangat kencang.

 

Bukannya jawaban yang keluar dari bibir Pangeran Kai, ia malah mengisi ruangan ini dengan tawanya.

 

“Tindakanku tidak adil?” ucapnya di sela-sela tawa, sebutir air meluncur di pipi kanannya menunjukkan begitu terhiburnya ia dengan keadaan saat ini. Oh ayolah! Setidaknya menyingkirlah dulu dari tubuhku jika kau memang ingin tertawa.

 

“Berhenti tertawa! Kau memperkosaku atau ti---“ aku menghentikan kata-kataku sendiri. Tiba-tiba saja aku merasa darah dari seluruh tubuhku mengalir mengisi wajahku. Kenapa aku menanyakan hal itu? Dengan entengnya?! Ya Tuhan, kesadaranku nampaknya belum pulih sempurna. Aku hanya berharap wajahku tidak terlihat memerah sekarang.

 

Aku menatap ke arahnya. Tatapannya benar-benar terfokus ke arahku, bibirnya yang semula membentuk seringaian berubah saat ia mencoba bersuara, “kau benar-benar terlalu banyak mengkonsumsi cerita fiksi, huh?”

 

“Uhh diamlah! Dan menyingkir dariku!” Wow, aku mendapat teriakanku kembali.

 

“Aish, baiklah.”

 

Akhirnya ia melepau. Baru saat ia menggulingkan tubuhnya ke sisi lain ranjang, aku menyadari bahwa saat itu ia hanya memakai celana pendek. Uhh baiklah, pipiku kembali terbakar. Mataku terus mengikuti punggungnya yang bergerak semakin menjauh. Ia berdiri dan mulai berjalan menuju salah satu sisi ruangan itu.

 

Seketika ruangan menjadi lebih terang. Uh tunggu dulu, jadi sejak tadi ruangan ini gelap? Kenapa aku tidak menyadarinya?

 

“Aku tidak melakukannya,” gumamnya saat membelakangiku.

 

“Huh? Apa katamu? Bicaralah lebih keras!”

 

“Aku tidak melakukannya,” ulangnya.

 

“Apa?” Apa maksudnya? Tidak melakukan ap---

 

“Aku bilang aku tidak memperkosamu,” Pangeran Kai membalikkan tubuhnya menghadapku, dengan seringai khasnya dan tangan disilangkan di depan dada polosnya... yang---ah lupakan. “Kita hanya tidur sebentar, bersama, tidak lebih.”

 

“Ugghhhh...” aku melempar bantal di sekelilingku ke arahnya---entahlah, aku hanya merasa ingin membantainya lagi. Tawanya kembali mengisi ruangan ini karena perlakuanku.

 

Aku berhenti sejenak. Perasaanku lega saat menyadari bahwa aku masih memakai pakaian yang kukenakan tadi pagi. Tiba-tiba sesuatu masuk ke dalam pikiranku. Kelopak mataku terbuka lebar.

 

“Kai! Jam berapa sekarang?!”

 

“8 malam.”

 

“Ba-bagaimana---“

 

“Jangan cemas,” Kai sepertinya tahu apa yang mengganggu pikiranku saat ini, “Pertemuannya diundur besok. Orang tuaku mendapat panggilan mendadak,” lanjutnya. Dan tebakanku benar tentang Kai yang dapat membaca pikiranku. Aku menghela napas lega.

 

Eh, apa tadi? Kai? Aku menggunakan namanya tanpa gelar. Ah terserah, toh ini hanya dalam pikiranku.

 

“Sebagai gantinya, bagaimana jika kita pergi ke taman hiburan?” ia memberiku senyum dari tempatnya berdiri.

 

“Oke, tapi jika kau bersedia menjelaskan apa yang terjadi siang ini dan bagaimana bisa aku berakhir di tempatmu sekarang.”

 

“Deal. Pertama-tama, biarkan aku berpakaian terlebih dahulu,” Kai mengedipkan satu matanya ke arahku. “Atau mungkin, kau lebih suka melihatku seperti ini?” lanjutnya.

 

Oh God,” aku memutar bola mataku sebagai respon untuknya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting