Chapter 7

Claimed: My Fiancée

-Kim Kai-

 

“Mencari benda ini?” aku reflek memutar kepalaku ke arah sumber suara meski aku sendiri belum mengetahui kepada siapa suara itu ditunjukkan.

 

Seorang gadis dengan rambut merah membara, yang mungkin berumur sekitar dua puluh tahunan, sedang memegang sebuah ponsel, dan jelas itu milikku. Ia mengayun-ayunkan ponsel itu bersama tangannya di udara untuk menunjukkan lebih jelas wujud dari benda itu. Dengan langkah cepat aku mendekatinya.

 

“Benar, bisa kau kembalikan itu?” tanyaku padanya dengan sopan dan senyuman.

 

Gadis itu mengerucutkan bibirnya sebelum menjawab pertanyaanku, membuatku mulai diselimuti kecurigaan. Ia pasti menginginkan sesuatu.

 

“Tentu saja,” katanya, ”hanya jika kau menciumku...”

 

Cih! Sudah kuduga.

 

Aku memutar bola mataku menanggapi permintaan konyolnya namun aku tetap diam. Tidak butuh waktu lama, aku memutuskan untuk membungkukkan badanku, mensejajarkan wajahku dengan wajahnya dan memberinya kecupan ringan di pipi.

 

“Sekarang bisa kau kembalikan ponselku?” aku mencoba menahan nada gusar yang kini terbendung di kerongkonganku. Sesuatu dalam diriku memaksaku untuk mengeluarkannya bersama dengan kata-kata umpatan tepat di hadapan gadis itu. Tapi sial! Aku seorang Pangeran!

 

Orang-orang mulai menyadari keberadaanku, dan mulai mengelilingi kami. Aku harus segera pergi dari sini. Aku harus menemukan Jihoon dan memastikan semuanya baik-baik saja. Well, sebenarnya aku yakin dia baik-baik saja, namun fakta bahwa Chanyeol bersamanya agak menggangguku.

 

Air wajahku datar meski di dalam sini rasanya gusar. Dapat kulihat gadis itu menyeringai ke arahku.

 

“Aku tidak bilang aku ingin pipi, aku mau disini,” ucapnya dengan gerakan jari telunjuk di bibirnya sebagai penjelas.

 

“Cih sial! Dasar murahan,” desisku setengah sadar.

 

Gadis itu melempar tatapan kaget ke arahku. Oh tidak. Aku tak seharusnya mengucapkan kata-kata itu! Orang-orang belum benar-benar mengetahui sifat-sifat burukku. Mereka belum mengetahui bahwa sebenarnya aku bukan pangeran yang selama ini mereka pikirkan.

 

Karena suatu hari nanti, mau tidak mau, aku harus meneruskan kepemimpinan ayah di negeri ini, aku tidak menginginkan topengku terbuka. Menurutmu apakah mereka akan merasa tenang memiliki seorang ‘Raja’ yang hobi mengumpat setiap saat?

 

Terserah jika kau pikir aku bermuka dua. Aku tak bisa lepas dari tanggung jawabku. Di sisi lain aku benar-benar tak bisa merubah diriku menjadi seseorang yang sangat-bukan-aku.Well, aku benar-benar tidak memiliki banyak pilihan, kan?

 

“Apa... aku tak salah dengar?” suara gadis itu kembali membawaku ke situasi nyata kami.

 

“Apa?” aku memasang poker face, berpura-pura tak mengerti apa yang ia bicarakan. Dan yah, kau tahu benar aku sangat ahli untuk urusan berpura-pura. “Dengar,” bisikku, “kau tahu aku tidak akan melakukan itu di tempat umum. Jadi, sebaiknya kau berikan ponselku dan aku akan menghubungimu malam nanti,” ucapku dengan suara rendah, memastikan hanya gadis itu yang dapat mendengarnya.

 

Yah meskipun sebenarnya itu juga ‘berpura-pura’. Mana mungkin aku menghubungi gadis sepertinya. Tidak akan pernah. Selamanya. Bahkan jika ia gadis terakhir yang kakinya masih menempel dengan tanah di bumi ini. Bukan karena ia kurang cantik atau sejenisnya, aku akui dia cantik, cukup mendekati tipe-tipe yang aku sukai. Hanya saja dari caranya bersikap barusan membuatku muak.

 

“Tidak, tidak. Hanya satu ciuman, di bibir,” timpanya menolak tawaranku sebelumnya. Seringaiannya semakin melebar. Benar-benar gadis murahan.

 

***

 

 

 

-Han Jihoon-

 

“Tidak.”

 

“Ayolah!”

 

“Tidak mau!”

 

“Ya Tuhan, kumohon.”

 

“AKU BILANG TIDAK MAU!” teriakku kepada Chanyeol, “aku tidak akan bergi sebelum melihat Kai! Lagipula kau sendiri yang bilang baterai ponselmu habis, bagaimana bisa kau menghubungi jemputanmu!”

 

“Kai jelas mengatakan untuk kita melarikan diri terlebih dahulu. Dan...” Chanyeol berhenti sebentar untuk merogoh saku jeansnya dan mengambil sesuatu dari sana. Kunci. Ia lalu mengayunkan beda itu di hadapan wajahku, “aku membawa motor sendiri kemari.”

 

 

Setelah itu Chanyeol kembali menarik tanganku keluar. Aku tak sempat menyanggah karena memang Kai mengatakannya, Kai menyuruh kami untuk melarikan diri.

 

“Tapi Kai bilang akan menyusul,” ucapku lirih namun cukup untuk Chanyeol dengar. Hal yang baru aku sadari adalah, aku baru mengatakan hal itu saat kami sudah berada di luar minimarket tadi. “Aku pikir kita harus mencarinya,” tambahku.

 

Chanyeol menghembuskan nafas panjang, mungkin lelah atas kekeras-kepalaanku. Atau mungkin karena alasan lainnya. Akhirnya iya mengangguk, “aku pengawal yang buruk, kan?” desisnya.

 

Aku menatapnya kaget, “Apa? Bukanya kau ini pangeran?” tanyaku dengan nada tak percaya.

 

“Memang, hanya saja... ini cukup rumit.”

 

“Tapi jika kau juga merupakan pengawal Kai, siapa yang melindungimu? Apa kau juga punya pengawal yang juga seorang pangeran?” sungguh, aku bingung dengan hubungan pangeran-pengawal mereka.

 

Chanyeol hanya terkikik meladeni pertanyaan-pertanyaanku, “ayo, sebaiknya segera kita temukan anak itu. Aku punya rencana.”

 

“Rencana?” aku mengangkat sebelah alisku, memberi sinyal untuknya menjelaskan apa yang ada di pikirannya lebih lanjut. Namun dilihat dari ekspresi Chanyeol sekarang, aku pikir ini merupakan salah satu rencana dengan skala gila.

 

 

 

-Kim Kai-

 

Aku mendesah keras. Apa aku harus benar-benar menciumnya hanya untuk mendapatkan kembali ponselku? Atau mungkin lebih baik aku menendang kakinya, membuatanya hilang keseimbangan dan merebut ponselku darinya? Mataku menerawang situasi sekelilingku. Orang-orang mengarahkan kamera dan ponselnya ke arah kami. Ini sebuah sinyal, bahwa aku tidak bisa menciumnya ataupun menendang kakinya. Aku juga tidak menginginkannya.

 

Ayah akan menggantungku jika aku melakukan salah satu dari pilihan itu.

 

Saat pertama dan satu-satunya aku mencium seseorang tepat di depan publik, ayah langsung bereaksi dan ingin membicarakannya denganku, empat mata. Tapi jika menebak-nebak nadanya saat berbicara di telepon, aku yakin pembicaraan kami nanti bukanlah suatu pembicaraan yang menyenangkan.

 

Aku bisa saja benar-benar mati di tangannya.

 

Aku beruntung ia tak mengetahui segala tingkah laku yang pernah kuperbuat disini. Tidak terbanyang olehku jika ia menemukan aku yang sebenarnya.

 

“Jadi, kau akan menciumku atau tidak?” gadis itu mengambil langkah mendekatiku dan menaruh kedua telapak tangannya tepat di dadaku. Sial! Ia tahu benar siapa aku dan tanpa ada rasa malu menyentuhku seperti ini?

 

Sebelum aku sempat bereaksi atas kelancangannya, dua boneka---maskot---ayam dari entah-restoran-apa berlari ke arah kami, salah satu dari mereka menubruk, mendorong gadis rambut merah itu menjauh. Maskot ayam yang menyerang gadis itu mengepak-ngepakkan sayapnya, mengganggu si gadis, membuatnya kurang fokus atas ponsel yang ia genggam. Aku memanfaatkannya untuk merebut kembali ponselku, dan berhasil.

 

“Kai!” sebuah suara terdengar dari si maskot ayam itu. Ya Tuhan, apa itu Jihoon? Ia mengepakkan sayapnya, memerintahku untuk mengikutinya sedangkan si ayam yang satu lagi, yang sepertinya adalah Chanyeol, bergerak di depan kami mencoba membelah kerumunan orang yang sedang menonton.

 

Aku tersadar penuh dan langsung mengikuti mereka. Di belakang sana, si gadis merah berteriak, mungkin padaku, namun aku sendiri tak terlalu mendengar apa yang ia teriakkan.

 

Untuk ukuran seorang gadis yang memakai kostum badut ayam, Jihoon berlari cukup cepat. Kami melewati 7-11 dan terus berlari menuju area parkir. Di tengah-tengah jajaran motor yang terparkir rapih Jihoon berhenti dan membuka kepala ayamnya.

 

Gadis itu benar-benar berkeringat, namun tak melunturkan kecantikannya. Aku tidak mengerti bagaimana mungkin ia bisa memiliki efek seperti itu. Mulutnya terbuka kecil, membantu hidungnya memasok oksigen ke dalam paru-parunya. Aku terkekeh melihatnya.

 

“Apah, yahng.. kauh tertawahkan?” tanyanya dengan terengah-engah, “cehpat.. relslehtingnya!” tanpa menunggu jawabanku ia menambahkan, ia memutar tubuhnya membelakangiku dam menggerakan tangan menunjuk bagian belakang.

 

Aku dengan cepat melepas resleting kostum yang Jihoon kenakan. Setelah terlepas dari kostum itu, Jihoon merogohkan tangannya ke saku jeans dan mengambil satu set kunci. Ia melompat naik ke salah satu motor terdekat. Aku cukup ternganga---tidak---tapi sangat ternganga melihatnya.

 

Harley Davidson?! !

 

Jihoon memutar bola matanya dan menepuk tempat di belakangnya. “Ayolah, kita tidak punya banyak waktu!”

 

“Kau mengendarai ini? Aku tidak tahu kalau kau bisa... maksudku.. uhh..” entahlah, aku tak tahu apa yang harus aku katakan.

 

“Well, aku pernah mengendarai sepeda motor saat aku masih di bawah umur. Yah meskipun ini pertama kalinya aku mengendarai tipe yang seperti ini,” Jihoon berkata seakan menjawab pikiran yang tak aku utarakan.

 

“Asal kau tahu, aku belum pernah mengendarai sepeda motor,” ucapku.

 

“Tenanglah,  Tuhan berjanji padaku untuk memberiku hidup sampai enam puluh tahun kedepan lagi,” canda Jihoon, “kau akan selamat.”

 

“Baiklah,” aku akhirnya melopat naik ke jok belakang. “Tapi kau harus berhat---YAH!!!“ kata-kataku terpotong oleh teriakanku sendiri saat tiba-tiba Jihoon menarik gas, membuat roda Harley berputar.

 

Baiklah, aku rasa harga diriku sebagai lelaki sudah terlalu sulit untuk diselamatkan. Mengendarai Harley Davidson berdua dengan tunanganmu namun kau berada di jok belakang dan berteriak saat gas pertama ditarik? Wow, aku benar-benar lelaki sejati! Ironis memang.

 

Tapi rasa intimidasi terhadap harga diriku itu hilang mengingat Jihoon sangat dekat denganku kini. Aku baru menyadari bahwa lenganku berada di pinggangnya sekarang. Aku mempererat pelukanku. Ku tenggelamkan wajahku di lehernya. Wangi parfum yang ia kenakan otomatis menyentuh indra pembauku, mengalir terus ke dalam paru-paruku, membuat beban yang aku rasakan menjadi lebih ringan.

 

Jihoon menggumamkan sesuatu, tapi aku tak dapat menangkapnya. Aku terlalu tenggelam dalam kehangatan yang ia pancarkan. Untuk alasan yang tak aku ketahui aku menemukan ketenangan saat itu. Rasanya kini aku mengerti apa itu yang mereka katakan ‘Home Sweet Home’. Rumah bukan lagi sekedar suatu tempat. Bagiku, kini rumah juga merupakan seseorang.

 

***

 

 

 

“Kai! Kita sudah sampai! Katakan pada mereka untuk membuka gerbangnya!”

 

Tanganku masih tak melepaskan tubuhnya. Wajahku masih terbenam di rambutnya. Aku belum menginginkan momen ini berakhir.

 

“Ya Tuhan, Kai! Bisakah kau melepau? Jangan membuatku memilih untuk mendorongmu!” Jihoon menggoyang-goyangkan tubuhnya berusaha lepas dari pelukanku. Tapi tidak, aku malah mempererat pelukanku. “Uhh, Kai,” panggilnya tepat saat ia berhenti bergerak, “ada seorang perawat yang mendekati kita,” lanjutnya.

 

Aku mengangkat kepalaku seketika. Perawat? Perawat apa? Untuk apa ada perawat disini? Aku melongok dari balik bahu Jihoon untuk mengetahui siapa yang sebenarnya ia bicarakan. Mataku menangkap gadis dengan rambut orange ikal. Jantungku seakan berhenti melihatnya.

 

Tidak.

 

Jangan sekarang!

 

Jangan di hadapan Jihoon!

 

Gadis itu terus melangkah mendekat. Pinggulnya bergoyang ke kanan da ke kiri seakan ia model yang kini berjalan di atas catwalk. Bibirnya berwarna merah darah. Ia mengangkat sebelah alisnya saat kami bertatapan.

 

“Kai...” panggilnya manja, membuatku bergidik. “Aku pikir kita sudah sepakat untuk menghabiskan waktu bersama malam ini? Aku bahkan memakai cosplay favoritmu” bibir merahnya mengerucut, matanya kini mengirim tatapan tajam ke arah Jihoon.

 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jihoon meraih tanganku yang masih melingkar di pinggangnya, dan dengan penuh paksaan melepaskannya. Setelah tak ada lagi yang mengikatnya, Jihoon melompat turun dari motor dan berjalan menuju gerbang tanpa mengatakan apapun. Ia bahkan tan tertarik untuk menengok ke belakang.

 

“Jihoon! Tunggu!”

 

Aku ikut melompat turun hendak mengejarnya. Namun sebelum aku sempat mengambil langkah ke arahnya, Hyomin menghentikanku dengan meraih lengan kananku.

 

“Kai.. aku merindukanmu. Aku membutuhkanmu, sekarang,” tangannya mulai liar bergerak di tubuhku.

 

“Menjauhlah!” teriakku. Aku tak pernah meninggikan suaraku terhadap ‘teman sepermainanku’ sebelumnya. Dan mungkin itulah mengapa ia terlonjak kaget saat aku benar-benar berteriak tadi.

 

Aku membalik badanku, menghadap gerbang utama untuk melihat apakah Jihoon masih disana. Tapi tidak ada, Jihoon tidak ada dimanapun mataku memandang. Aku kembali berbalik menghadap Hyomin. Aku mengambil nafas panjang dan menghembuskannya, berharap residu nafasku membawa serta keluar beban-beban dan rasa bersalah di dadaku.

 

“Pergilah, Hyomin, aku benar-benar tak menginginkan apapun lagi darimu.”

 

Mata Hyomin melebar menatapku. “Hyomin?” ucapnya dengan nada tak percaya, “Kai! Namaku Jaera!!!”

 

Uhh... well... siapapun dia, aku tak peduli.

 

 

 

 

 

 

 

:super late update, sorry T.T

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting