Chapter 2

Claimed: My Fiancée

-Kim Kai-

“Pangeran Kai, kami berpikir Anda diculik oleh The Dragon.” “Tolong ceritakan yang sebenarnya.” “Siapa gadis yang bersama Anda itu?” “Apa gadis itu kekasih Anda yang baru?”

Seorang wanita menyodorkan ponselnya ke arahku, ke wajahku, menuntut komentarku atas kejadian pagi ini. Sama sperti reporter-reporter lainnya yang menerobos masuk kafe ini.

Sejujurnya aku memiliki keinginan untuk menendang betis mereka satu per satu. Tapi daripada mengabulkan keinginan murni nuraniku itu, aku malah bertingkah sebaliknya---well, aku masih punya image untuk dilindungi. Aku hanya melempar senyum. Senyumku yang berharga miliaran dolar---uhh coret itu---maksudku senyumku yang tak ternilai harganya itu.

Senyum yang dapat melelehkan hati ribuan gadis dalah sekejap, senyum yang juga dapat menghancurkan mereka di waktu yang sama.

Aku sedang tidak bergurau, atau terlalu menyanjung diriku sendiri. Ini tentang seorang ‘aku’ yang sedang mereka bicarakan. Dari bagian terujung kuku kakiku sampai bagian paling luar rambut pirangku, aku memancarkan aura seksi dan percaya diri. Aku tumbuh menjadi sehebat itu. Sial, harusnya aku menjadi model, bukan seorang pangeran.

Aku berdeham sekali sebelum akhirnya membuka suara, “Selamat pagi semuanya, aku dapat melihat bahwa kalian semua cukup senang melihatku disini dalam kondisi yang baik dan aman.”

Aku dapat mendengar Han Jihoon masih sibuk membisikkan umpatan selama ia di sampingku. Aku mengambil keuntungan dari posisi tanganku yang kini berada di pinggangnya untuk mencubitnya---untuk memberi sinyal agar ia menghentikan umpatannya. Ia terlonjak, melemparkan tatapan tajamnya ke arahku---lagi.

Aku mengabaikannya untuk sementara dan memfokuskan diri terhadap orang-orang lapar informasi di hadapanku, “aku hanya ingin memberitahukan kalian semua bahwa sepertinya ada kesalahpahaman disini. Aku tidak pernah diculik oleh The Dragon.”

Semua orang serempak membuka mulut kembali tepat satu per sekian ratus detik setelah aku berbicara.

“Kemana Anda selama ini?” “Kalau begitu, siapa yang menculik Anda?” “Apa ini semua ada hubungannya dengan gadis ini?” “Apa gadis ini penyebabnya?”

Aku mengangkat tangan kananku, tidak terlalu tinggi namun cukup untuk membuat seluruh makhluk dengan paru-paru di ruangan itu bungkam---tentu saja, salah satu bagian terbaik dari menjadi seorang pangeran.

Setelah para reporter itu tenang, aku kembali bersuara, “Aku diculik, dijebak, ditawan dan terserah bagaimana kalian mendeskripsikannya, bukan oleh The Dragon tapi,” aku menahan diriku agar tidak menyeringai sembari melirik gadis di sampingku, “olehnya.”

Begitu mendengar ‘pengakuanku’, gadis itu---Han Jihoon---langsung mengangkat kepalanya karena kaget. Aku bisa melihat wajahnya memucat seakan-akan darah dari dalam tubuhnya tersedot keluar. Ia kemudian menatapku dengan mulut ternganga.

 

-Han Jihoon-

Aku mengangkat kepalaku untuk kemudian menyadari bahwa semua mata tertuju padaku.

Apa yang dia katakan tadi? Apa. Yang. Orang. Sinting. Itu. Katakan. Tadi?!

Aku berusaha keluar dari tatapan menuduh orang-orang di depanku dengan menangkap mata orang-yang-katanya-pangeran itu.

Tubuhku seketika mati rasa. Telapak tanganku berkeringat. Rasanya seperti ada yang tiba-tiba menyiramku dengan seember air es. Baiklah, jadi pria ini benar-benar Pangeran Kai? Tapi kenapa ia mengatakan hal itu? Kenapa ia mengatakan aku penculiknya? Apa karena aku menertawakannya saat ia mengatakan padaku bahwa dia seorang pangeran?

Apa dia mencoba membalas dendam karena aku tidak mempercayainya? Karena aku memanggilnya brengsek?

Ya Tuhan.

Ya Tuhan. Apa yang telah aku lakukan?!

Aku, Han Jihoon, seorang pelayan kafe yang berusaha mendapatkan respon positif dari pelanggan untuk menambah digit gajiku, telah memanggil orang ini, Pangeran Seoul, dengan sebutan brengsek. Aku ulangi hal ini, AKU.MEMANGGIL.SEORANG.PANGERAN.DENGAN.SEBUTAN.BRENGSEK.

Siapapun bunuh aku sekarang juga! Aku lebih memilih mati daripada harus dipenjara atas tuduhan menculik pangeran mahkota---yang pada kenyataannya tidak pernah aku lakukan. Untuk apa menculiknya, jika aku punya kesempatan pun, aku lebih senang membunuhnya sekalian.

Pangeran Kai membalas tatapanku dengan wajah ringan dan senyuman. “Dialah penculikku,” matanya masih tak meninggalkanku namun tangannya yang tak memelukku bergerak menempatkan diri ke dadanya sendiri kemudian melanjutkan, “dia yang menculik hatiku.”---------*anjaayyyy jongeeenn~~ jadi pangeran juga gombalan rakjel lu ngga bisa ditinggal emaaang xD*

Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu cepat sehingga hal terakhir yang aku sadari adalah sesuatu menghalangi pandanganku berbarengan dengan sesuatu yang lain menangkap bibirku. Dia menciumku. Pangeran Kai menciumku...

Flash. Flash. Flash.

DI DEPAN PUBLIK!!!

 

-Kim Kai-

Han Jihoon mendorongku menjauh. Dia terlihat masih kaget saat mengusap bibirnya dengan punggung tangannya. Beberapa kali ia membasahi bibirnya, kemudian mengusapnya lagi dengan muka memerah. Baiklah ini pertama kalinya. Belum pernah sebelumnya seorangpun mendorongku seperti itu. Belum ada.

Aku merendahkan pandanganku ke arahnya. Dia masih terlihat bingung, dan ekspresinya itu benar-benar menghiburku. Aku mencoba menahan diri untuk tidak terbahak-bahak---ya, ini masih tentang image yang harus ku lindungi.

Aku masih menatapnya, namun mata gadis itu kini jatuh ke lantai. Ya ampun. Apa sekarang lantai itu lebih menarik daripada seorang ‘aku’?

Aku mendengar teriakan kaget, penasaran dan teriakan-teriakan lainnya---termasuk beberapa umpatan di dalamnya.

“Pangeran Kai, tolong ceritakan kepada kami tentang kekasih Anda.” “Sepertinya dia sangat pemalu.” “Uhh gadis murahan!”

Pekikan terakhir membuat Jihoon mengangkat kepala, menargetkan tatapan ke arah si pemilik suara, seorang gadis remaja. “Apa maksudmu?!” Jihoon balik memekik, “aku bukan kekasihnya!” kepalanya kemudian memutar ke arahku, “kau! Sebaiknya kau katakan kepada mereka bahwa aku bukan kekasihmu, kau br-“ dengan cepat aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata yang akan mempersulit hidupku---mungkin hidupnya juga.

Aku mulai bertanya-tanya kenapa aku melakukannya? Kenapa aku menciumnya? Di depan publik! Aku bahkan tidak begitu menyukainya. Aku menyesal melakukannya tanpa pikir panjang. Bukan hanya aku, tapi Han Jihoon pun akan mendapat masalah serius jika dia melihatnya.

Aku menghela napas panjang, “dia bukan kekasihku,” tidak ada pilihan lain, “dia tunanganku.”

 

-Han Jihoon-

What the hell?!

Semua orang di kafe bungkam. Tak ada yang bersuara. Namun keadaan itu tak bertahan lama. Pertanyaan-pertanyaan kembali dilemparkan dengan sangat tidak teratur. Kali ini mereka mempertanyakan tentang ‘pertunangan’ kami.

Di tengah kekacauan itu, aku mengambil kesempatan untuk kabur. Aku menggigit tangan Pangeran Kai yang masih membekap mulutku. Ia terlonjak, menarik tangannya. Aku bisa mendengar ia mengumpat tanpa sadar dalam gumamannya.

Baiklah, hidupku benar-benar sempurna. Pertama aku menyematkan kata brengsek kepada seorang pangeran, berteriak tepat di depan wajahnya kemudia menggigit tangannya. Aku tidak sabar, hal mengejutkan apalagi yang akan terjadi selanjutnya.

Dengan lepasnya tangan Pangeran Kai, aku langsung bergerak menerobos kerumunan, berlari ke arah dapur dan keluar dari pintu balakang kafe menuju sebuah toko buku. Aku tidak memiliki keberanian untuk menengok ke belakang, namun aku tahu akan ada yang mengikutiku.

Aku masuk ke toko buku itu dan langsung memposisikan diriku berjongkok di belakang meja kasir. Nyonya Cha, pemilik toko buku itu, menutup buku yang dibacanya, penasaran dengan sosok di balik meja kasirnya.

Setelah beberapa kali mencoba menengok, akhirnya ia menyadari bahwa itu aku. Senyumnya terbentuk, perlahan dia berjalan mendekat, “Jihoon,” matanya menyipit melihatku terengah-engah.

“Sssttt,” aku meletakkan jari telunjukku di bibir.

Detik setelahnya, aku mendengar beberapa teriakan dari luar toko. Pandangan Nyonya Cha kini menembus dinding kaca tokonya. Aku tidak berani mengeceknya, tapi aku yakin mereka adalah beberapa reporter dari kafe.

Setelah kerumunan itu berlalu melewati toko ini, Nyonya Cha kembali mendekatiku. Ia ikut berjongkok setelah berhenti tepat di hadapanku.

“Jihoon, apa yang terjadi?” bisiknya.

Aku ingin menceritakannya, hanya saja semuanya terlalu rumit. Rasanya sulit untuk mengatur kejadian di kafe tadi secara runtut. Akhirnya aku hanya menghembuskan napas panjang dan menjawab singkat, “aku benar-benar terperangkap pada situasi yang buruk sekarang.”

“Seburuk apa?”

“Sangat buruk.”

“Sangat buruk yang benar-benar buruk?”

Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan Nyonya Cha, “ya, begitulah.”

Nyonya Cha ikut tertawa bersamaku. Tiba-tiba suara pintu mengintrupsi kami. Seorang pemuda masih dengan rambut basahnya muncul dari sana. Hakyeon, sepertinya ia baru selesai mandi. Napasku yang belum sepenuhnya normal karena berlari kembali memburu. Aku mencoba mengalihkan pandanganku.

“Ada apa?” suara Nyonya Cha membuka kembali percakapan kami. Ia berdiri dari posisi awalnya, aku mengikuti gerakannya.

“Tidak ada apa-apa,” jawabnya membuat Nyonya Cha mengangguk dan berjalan ke rak buku di ujung ruangan. Memastikan tak ada respon lagi dari ibunya, ia kemudian melihat ke arahku, “ah, Jihoon. Ayah dan Ibu akan keluar kota mulai tanggal 12 selama seminggu. Kau tidak keberatan kan menjaga toko? Setelah shift kerja di kafe berakhir tentu saja. Ada beberapa hal yang harus kulakukan.”

Hal apa? Maksudmu berkencan? Jawabku---hanya dalam hati. “Memangnya harus kau tanyakan itu? Kau sudah tahu pasti jawabanku kan?” akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutku.

“Yayaya, aku tahu kau pasti tidak akan menolak,” ia tertawa kecil, “hanya melakukan sedikit formalitas,” lanjutnya

Sigh.

Cinta sepihak memang kadang menyesakkan.

 

-Kim Kai-

Setelah Jihoon melarikan diri, beberapa reporter keluar mengejarnya melewati pintu utama---karena memang dapur hanya bisa diakses oleh karyawan. Aku sedikit merasa lega akan hal itu, setidaknya gadis itu memiliki waktu untuk bersembunyi. Beberapa sisa reporter lainnya tetap mencoba memeras komentar dariku. Takkan pernah ada kata ‘cukup’ untuk mereka.

Lagi-lagi seorang reporter, laki-laki berumur hampir 40-an mungkin, beraksi berlebihan. Ia menyodorkan recorder-nya terlalu dekat, ini benar-benar mengganggu. Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mataku.

Ya Tuhan. Aku benci ini. Aku benci menjadi seorang pangeran. Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai pemuda biasa dari pasangan pemilik toko buku atau pekerjaan normal lainnya ketimbang menjadi seorang putra dari orang yang memiliki kendali atas negara ini?

Aku mengambil IPhone-ku dari kantong belakang jeans dan segera menghubungi Hyuk, supir pribadiku. Sebelum Hyuk sempat menjawabku, aku mengangkat tangan kananku lagi---kali ini agak lebih tinggi---dan menggerakkan ujung jariku di udara. Dalan sekejap beberapa pengawal---dengan samarannya sebagai pelanggan---mendekatiku, mengelilingiku dan membuat jarak antara aku dan mereka---reporter-reporter itu.

Pengawalku bergerak membelah kerumunan di kafe, berusaha keluar. Hyuk mengangkat panggilanku, “di depan kafe. Sekarang.” Titahku singkat.

 

-Han Jihoon-

Nyonya Cha mengatakan bahwa ia harus pergi, keperluan mendadak. Dan disini aku, bersama Hakyeon, menyusun buku-buku yang baru datang. Ia mengeluarkan buku-buku itu dari kardus paketnya dan aku yang menempelkan label harganya. Beberapa kali aku meneliti buku yang ku pegang, memastikan tidak ada cacat disana.

Hakyeon mengangkat setumpuk buku novel namun meletakkannya di lantai bawah meja. Aku tertawa melihatnya. Ia selalu melakukan hal itu terhadap buku-buku dengan konten dewasa jika aku membantunya. Alasannya adalah ia tidak ingin pikiranku ‘ternodai’ oleh buku-buku itu. Padahal satu hal yang belum ia ketahui, aku sudah beberapa kali membuka novel semacam itu.

Aku mulai menggapai tumpukan teratas novel tadi, namun tubuh Hakyeon menghalangiku. Aku menengadah dan menyeringai ke arahnya kemudian mulai menggelitik pinggangnya.

“Hey berhenti! Jihoon! Berhenti!” tawanya mengisi ruangan.

“Tidak! Tidak akan sebelum kau memperbolehkan aku melihatnya,” balasku, “lagipula aku sudah membaca itu sebelumnya, belum selesai sih,” aku berhenti menggelitiknya dan kembali duduk di tempatku.

“Apa? Kau membacanya?” matanya melebar. “Aku pikir aku sudah bilang padamu bahwa buku itu sangat buruk dan terlalu eksplisit untukmu.”

“Aku sudah dewasa.”

“Kau baru 21 tahun.”

“Itu artinya dewasa.”

“Tidak, kau masih dalam masa pertumbuhan.”

“Duh, terserah,” aku memutar bola mataku. Hakyeon selalu seperti ini. Protektif. Terlalu protektif. Yah, bukan karena apa-apa. Melainkan karena ia begitu menganggapku sebagai adik kecilnya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting