Chapter 10

Claimed: My Fiancée

-Han Jihoon-

 

“Ayah, Ibu, aku perkenalkan tunanganku, Han Jihoon.”

 

Di hadapan kami, Raja dan Ratu duduk berdampingan dengan ekspresi kaku yang samar terbaca namun meradiasikan aura menyeramkan di sekitar kami. Aku dapat melihat darimana asalnya gen yang membuat figur Kai menjadi seperti Kai sekarang berdiri di sampingku ini, ia memiliki banyak kesamaan dengan ayahnya, sang raja. Bisa dibilang Kai benar-benar versi teranyar dari sang raja. Sedangkan ratunya, benar-benar deskripsi dari sebuah kecantikan.

 

Sang ratu membuka mulutnya, “duduklah.”

 

Aku mengangguk samar entah dilihat atau tidak. Kai melangkah lebih dekat ke meja dan menarik salah satu kursi di seberang kursi raja dan ratu. Matanya melirikku, mengisyaratkan padaku untuk mengambil tempat yang ia sediakan.

 

“Terima kasih,” gumamku pada Kai.

 

“Kalian bisa meninggalkan kami sekarang,” titah sang ratu kepada seluruh pelayan yang ada di ruangan itu. Dengan segera semuanya, termasuk Chanyeol membungkuk sebelum keluar dari sana.

 

Suasana saat ini benar-benar mencekam untukku. Membuatku berpikir keras tentang kiranya apa hal buruk yang telah aku lakukan di masa lalu sehingga aku harus mengalami hal ini.

 

“Han Jihoon?”

 

Aku menegakkan kepalaku seketika mendengar namaku keluar dari mulut wanita yang mungkin kini seumuran dengan ibuku itu.

 

“Ah, ya? Maksudku, ya, Yang Mulia?”

 

Sial! Sial! Kenapa aku tidak bisa berbicara secara normal!

 

“Jadi, bidang apa yang keluargamu tekuni selama ini?”

 

Aku tertegun mendengar pertanyaan sang ratu. Maksudku, dia baru mengetahui nama asliku dan sudah mencoba mengintrogasiku tentang keluargaku? Terlebih tentang pekerjaan kedua orang tuaku. Jika pengetahuan tentang keluargaku pentig baginya, tidakkah ia memiliki pemikiran bahwa akan jauh lebih sopan untuk setidaknya menanyakan nama orang tuaku terlebih dahulu? Atau berapa jumlah saudaraku? Atau dimana kami tinggal?

 

Aku meneguk salivaku imajinerku sebelum menjawab, “aku tidak tahu apa Anda pernah mendengarnya atau tidak, namun ayahku kini masih memegang Grapse Enterprise dan ibu mengurus salah satu cabang Hwang Group yang didirikan di Amerika,” jawabku dengan senyum kecil. Dan ia tak repot-repot membalas senyumanku. Baiklah, menyebalkan.

 

“Aku pernah mendengar soal Grapse. Mereka memiliki beberapa hotel di berbagai negara, betul? Aku juga yakin The Maple di Venice merupakan salah satunya,” kali ini raja yang berbicara.

 

“Benar,” aku mengangguk kecil meskipun aku tidak terlalu mengetahui tentang apa yang ia bicarakan. Well, aku bukan orang tuaku. Aku tidak tahu banyak tentang hal-hal yang mereka tangani.

 

“Huh?” Kai membuka mulut, mungkin terkejut atas fakta tentangku yang baru saja kuutarakan. Suaranya cukup keras jika bersanding dengan keheningan ruangan ini. Dengan cepat ia meletakkan tangannya di bibir dan berdeham, bertingkah seolah pekikannya tadi tak benar-benar terjadi.

 

Hening sejenak, hingga dehaman rendah sang ratu membuka suasana baru.

 

“Aku pikir berbasa-basi bukanlah hal yang bijak untuk saat ini.”

 

Pernyataan sang ratu yang masih begitu ambigu tentang kemana arahnya membuatku maupun Kai secara samar menatapnya dengan tatapan bingung. Namun tak satupun dari kamu mempertanyakannya dan lebih memilih menunggu penjelasan lanjutan sang ratu.

 

“Kau,” satu silabel yang ratu keluarkan kini tertuju padaku, aku mengetahuinya, tentu saja, ia menatap mataku secara langsung. “Semapan apapun keluargamu, kau tetap tak bisa bermain-main dengan keluarga kerajaan, kau tahu.”

 

Ratu menatapku tajam, sorotan matanya merendahkanku. Oh jangan dulu dari sorotan matanya, dari penekanannya saat pengatakan ‘bermain-main’ pun aku sudah menyadarinya bahwa sang ratu menuduhku mencoba memanfaatkan putranya. Aku heran bagaimana bisa aku masih bisa bernafas setelah menerima tatapan mematikan itu.

 

Namun aku tetaplah aku. Aku masih Jihoon yang tak bisa direndahkan. Aliran darahku rasanya dipercepat berkali lipat, membuat sensasi panas yang mendidihkan karena gesekannya pada pembulu darahku, menjadikan setiap sel tubuhku seakan siap meledak kapanpun.

 

Mereka mungkin bangsawan dari kaum bangsawan. Tapi aku tidak percaya bahwa mereka seenaknya memperlakukan orang lain seperti sampah. Aku tidak keberatan mereka bertingkah kedewaan jika kotoran mereka beraroma layaknya parfum Chanel No.5. Tapi tentu saja tidak mungkin. Aku cukup memperhatikan kelas biologiku untuk memahami bahwa strata sosial manusia takkan mempengaruhi hasil akhir ekskresi mereka. Semuanya sama, well, kecuali mereka bukan manusia.

 

Aku masih dalam mode menahan amarahku. Mataku terpaku pada teko keramik putih di atas meja, masih menimbang-nimbang untuk meraih dan melemparkannya atau tidak.

 

“Ayah!” suara Kai memutus koneksi tatapanku terhadap teko itu. Aku menatap ke arahnya. Kini ia berdiri, tangannya menopang di sisi meja, matanya tertombak ke arah ayahnya yang berada di sampingnya.

 

Sang raja mengikuti gerakan Kai, berdiri dari kursinya. Air wajahnya geram. Detik berikutnya, ruangan ini diisi oleh suara tumbukan antara telapak tangan raja dan pipi kiri Kai. Mataku melebar menyaksikan drama dadakan ini.

 

“Aku tak pernah mengajarimu untuk meninggikan suaramu saat berbicara dengan orang tuamu!” suaranya rendah, namun berat dan begitu membebani. “Apa yang ada di pikiranmu sehingga kau menciumnya di hadapan publik dan mengatakan dia adalah tunanganmu?! Kau tahu masalah apa yang harus aku dan ibumu hadapi atas tindakanmu itu?!”

 

“Maksudmu menghadapi kesepakatanmu dengan orang lain tentang mengatur kehidupanku? Aku tahu kalian menjanjikan diriku kepada salah satu temanmu di luar sana. Bagaimana jika aku tidak menyukai apa yang kalian rencanakan? Bagaimana jika aku tak menyukai wanita yang kalian pilih?”

 

“Oh... jadi maksudmu, kau berusaha mengatakan bahwa kau mencintai gadis ini? Bukankah kau hanya menggunakannya untuk lepas dari rencana perjodohan yang kami buat?”

 

Aku dapat melihat ratu menyeringai kecil ke arahku saat raja mengutarakan kalimat tadi. Aku mendorong kursiku mundur dan berdiri.

 

“Aku tidak bisa mendengerkan omong kosong kalian lagi,” gumamku jelas plus lemparan tatapan tajam ke arah ratu, entahlah, aku hanya merasa menjadi musuhnya. “Kalian benar-benar lansia yang menyebalkan,” lanjutku, berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat.

 

Ketiga pasang mata di sana tertarik oleh pernyataanku. Menatapku dengan tatapan tak percaya. Huh, siapa bilang mereka bisa mempermainkan seorang Han.

 

“La... lansia... menyebalkan?” ratu membuka mulutnya.

 

“Tenang saja, Yang Mulia... Anda tidak salah dengar, aku memang mengucapkannya.” ku tekankan sarkasme pada kata-kataku. “Jika kalian menganggap putra kalian begitu berhargaa, kenapa tidak merantainya dan kurung dia di tempat ini sehingga takkan ada yang bisa menyentuhnya, huh?” aku melipaat tanganku di depan dada, melirik Kai kemudia kembali menatap kedua orang tuanya.

 

“Kau pikir siapa dirimu?! Berbicara pada kami dengan mulut kotor seperti itu?!” ratu berteriak.

 

“Kalian tahu aku bukan siapa-siapa. Dan mungkin dimata kalian aku hanyalah semak belukar yang tumbuh di taman yang indah. Tapi bagaimana pun, kalian tidak berhak menghina kehidupan yang aku jalani. Dan jika kalian merasa berhat atas itu, aku pikir itu artinya aku juga memiliki hak yang sama,” aku menarik nafas pajang dan menghembuskannya, memastikan tak ada rasa bersalah atas kelancanganku. Oh ayolah, aku hanya bersikap realistis, bukan lancang. “Aku tidak menyangka kalian dapat memperlakukan orang lain sebegitu rendahnya, bahkan terhadap putramu sendiri? Orang tua macam apa kalian? Baiklah...” aku kembali mengambil nafas, “jika kalian berkenan, kami pamit.”

 

Tanpa menunggu jawaban atau tanggapan dari raja dan ratu, aku meraih tangan Kai dan menyeretnya keluar ruangan. Aku benar-benar tidak dapat bernafas lewat udara di ruangan itu lagi. Semakin lama berada disana, semakin besar keinginanku untuk menguliti seseorang.

 

Kami mendapati Chanyeol merapatkan diri di pintu saat kami membuka pintu. Tapi aku tak begitu mempedulikan hal itu, aku hanya ingin pergi dari sini.

 

“Chanyeol, berikan kunci mobilmu,” kutodongkan tanganku dengan buru-buru.

 

Chanyeol menatapku bingung namun ia tak berkata apapun dan tangannya morogoh saku celana mencari sesuatu, kunci yang kuminta tentu saja.

 

“Ini, mobilnya tepat di depan pintu masuk,” Chanyeol meletakkan kunci itu di telapak tanganku.

 

“Terima kasih,” singkatku tanpa menatapnya.

 

Aku kembali menyeret Kai. Sesekali meliriknya. Matanya melebar, jelas karena terkejut. Aku bisa mengerti itu. Aku berani bertaruh ia belum pernah melihat seseorang melempar kata-kata kepada orang tuanya.

 

Kami setengah berlari menuju pintu utama. Sepanjang jalan aku masih sempat merutuki tentang betapa besarnya tempat ini, kenapa begitu lama bagi kami untuk menemukan pintu keluarnya?!

 

“Tuan,” Salah satu pelayan Kai mendekati kami saat kami hendak mencapai gagang pintu.

 

“Kami akan keluar, tak perlu menunggu kami untuk pulang,” potong Kai cepat sambil mendorong tubuhku agar aku tetap bergerak.

 

Setelah menapakkan kaki di luar istana, aku menekan tombol pada satu remot yang menggantung bersama kunci mobil yang Chanyeol berikan. Seketika suara beep terdengar dari satu Porsche yang memang diparkikan tepat di hadapan kami.

 

“Aku yang menyetir!” ucapku pada Kai.

 

Langit sudah tak bercahaya, tak ada satu bintang pun bersinar, bertambah parah mengetahui bulan yang baru memulai fasenya membuat malam ini begitu kelam. Sekelam suasana yang baru terjadi di dalam.

 

Aku dan Kai membuka pintu pada waktu yang hampir bersamaan. Wangi parfum mobil bercampur bau khas jok kulitnya menyambutku. Pada saat seperti ini aku terkadang berpikir dua kali untuk bersikap manja dan bergantung pada orang tuaku. Mungkin aku bisa meminta mereka membelikan salah satu Porsche sejenis?

 

Aku memasukkan kuncinya dan mulai menyalakan mobil itu. Tiba-tiba, pintu istana kembali terbuka, menampilkan sosok sang raja dan beberapa buntutnya.

 

“Come on, Girl! Go!” teriak Kai, padaku.

 

Seketika aku menginjak pedal gas, membuat kami terbawa melaju bersama mobil. Beberapa pohon kami lewati hingga akhirnya sampai ke gerbang istana. Entah merupakan keberuntungan atau kebetulan atau kebetulan yang beruntung, gerbang telah atau mungkin sedang dibuka.

 

“Kemana?” Kai membuka mulutnya setelah cukup lama hening. Kami sudah cukup jauh dari wilayan istana.

 

Aku menengok ke arahnya sebentar kemudian fokus kembali pada jalan di hadapanku. “Tempat yang belum kukunjungi selama dua tahun ini. Rumahku.”

 

 

 

-Kim Kai-

 

“Uh.. dan, dimana itu?” tanyaku setelah mendengar jawabannya.

 

Aku menunggunya kembali menjawab, tapi ia sepertinya tak tertarin menjawabnya. Jihoon mungkin terlihat fokus di jalanan, tapi aku tahu benaknya kini sedang bercabang.

 

Aku penasaran apa yang kini ia pikirkan. Konsekuensi atas kelakuannya berteriak di hadapan orang tuaku? Kebaikan Chanyeol yang mau meminjamkan mobilnya? Aku yang benar-benar telah bersikap brengsek? Atau makanan? Well, kami belum menyentuh makanan kami dalam acara ‘makan malam’ itu.

 

“Berhenti menatapku seperti itu!” Jihoon membuka mulut tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.

 

“Woah! Bagaimana bisa kau tahu aku menatapmu?” balasku. Pandangannya tetap kedepan saat kami berbicara.

 

“Itu bakat alami seluruh gadis sejak kami dilahirkan. Dapat merasakan saat orang menatap atau membicarakan kami. Kau sedang memperhatikanku, aku tahu itu,” Jihoon menengok sedikit dan melemparkan kedipan mata ke arahku.

 

“Apa? Aku.. tidak memperhatikanmu,” aku mengalihkan pandanganku ke depan. Sungguh! Apa tindakanku terlalu jelas terbaca?

 

“Aku bercanda,” dengusnya. “Omong-omong, aku minta maaf karena berteriak di hadapan orang tuamu. Aku benar-benar dalam masalah besar, kan? Maksudku.. entahlah, terkadang aku bertndak tanpa berpikir dua kali, atau bahkan kadang tanpa benar-benar berpikir,” Jihoon menghela nafas panjang.

 

“Aku tahu, kau bahkan pernah menjambakku dan hampir mematahkan lenganku,” aku tertawa kecil mengingat hari dimana Jihoon pertama kali datang ke istana hanya untuk melampiaskan amarahnya terhadapku.

 

“Yah, begitulah. Aku mencoba menahan diri, sungguh. Tapi mereka...” Jihhon mendesah pelan, ragu untuk melanjutkan kata-katanya. “Apa mereka selalu memperlakukanmu... seperti itu?” katanya hati-hati.

 

Aku mengagguk untuk menjawabnya. “Tapi sepertinya aku juga tak terlalu mempedulikannya. Aku hanya perlu bertahan satu atau dua kali dalam setahun. Dan kau tak perlu meminta maaf, mereka pantas mendapatkannya,” aku berhenti sebentar kemudian kembali bersuara, atau lebih tepatnya bergumam. “Yah walaupun aku merasa jiwa lelakiku sekarat karena hal ini.”

 

Sungguh, ditampar di hadapan tunanganmu benar-benar bukan sesuatu yang bisa dibanggakan seorang lelaki. Apalagi menyusul fakta bahwa sang gadis lah yang akhirnya berdiri untuk membela keadaan semakin membuatku semakin ingin berendam dalam aspal panas untuk mengembalikan harga diriku, setidaknya itu menurutku.

 

Aku kembali mendengar Jihoon membuang nafas kasar yang panjang. Ini bukan yang kedua atau ketiga kalinya, aku bahkan melupakan hitungan desah lelah kami sepanjang perjalanan.

 

“Aku mulai mengerti mengapa kau menjadi dirimu yang sekarang,” ungkap Jihoon. “Jadi memang, tak semua orang terlahir sebagai bajingan rupanya,” tambahnya.

 

Aku menengok ke arahnya, hanya memberikan kekehan kecil atas komentar barunya tentangku.

 

“Uhh.. bagaimana jika kita bicarakan hal yang lainnya?” sela Jihoon lagi. Dugaan dalam benakku bahwa Jihoo tak ingin menyudahi perbincangan kami membuatku senang.

 

“Seperti apa?”

 

“Umm, seperti...” Jihoon menjeda, tampak berpikir, namun tak terlalu lama sampai kembali melayangkan pertanyaan tentang topik baru. “Oh ya! Aku masih belum mengerti kenapa kau berada di kafe hari itu.”

 

Aku mendesah mendengar pernyataan yang dimaksudkan sebagai pertanyaan itu.

 

“Apa yang salah tentang aku berada di manapun pada kapanpun waktu yang aku inginkan?” balasku datar, sepertinya.

 

“Tidak ada, hanya saja... maksudku, yah, jika saja saat itu kau tidak datang, atau mungkin aku membiarkan teman kerjaku menghampirimu, mungkin keadaannya takkan sekusut ini,” Jihoon kembali menengok sejenak ke arahku dengan tatapan kasual.

 

“Siapapun akan sangat bahagia jika dapa menikahiku. Kenapa kau tidak? Kau benar-benar membingungkan,” aku menaikkan sebelah alisku dengan pandangan ke depan, buka ke arahnya duduk.

 

“Bagaimana bisa orang yang dipaksa dan tak tahu apa yang akan terjadi akan merasa senang? Sebenarnya aku sudah berencana untuk mengatakan kepada orang tuamu bahwa aku tak menginginkan semua ini. Tapi sepertinya, mereka juga tidak menginginkan hal ini. Jadi mungkin... opera sabun kita selesai, kan?” aku mendengar Jihoon, dengan jelas, namun tak dapat mengartikan perasaan apa yang ia bawa bersama suaranya.

 

“Uhh... sebenarnya aku... kupikir ini belum selesai,” balasku.

 

Jihoon membuat mobil yang kami tumpangin melambat dan akhirnya berhenti total di sisi jalan. Ia membuka sabuk pengaman dan memiringkan arah duduknya sehingga dapat lebih mudah melihatku.

 

“Bisa kau jelaskan maksud pernyataanmu tadi?” tanyanya. Aku ikut melepaskan sabuk pengaman yang melilit tubuhku dan mencari posisi duduk yang lebih nyaman.

 

“Baiklah, aku mengetahui kau bekerja di kafe itu dari seorang pelayan dan aku memutuskan untuk mengunjungimu hari itu. Hanya itu,” kataku mencoba sesantai mungkin.

 

“Huh? Kau membuatku bingung sekarang! Apa yang kau bicarakan?” Jihoon menyilangkan lengannya di depan dada.

 

Aku mendesah sebelum menjawab. “Aku hanya ingin menemuimu, mengetahui kabarmu. Empat belas tahun benar-benar membuat banyak perubahan, kan?” alisku terangkat.

 

Aku menatapnya sedang menatapku bingung, benar-benar bingung. Aku kembali mendesah dan memutuskan untuk menjelaskan lebih lanjut sebelum ia gila karena tanda tanya yang mencangkuli otaknya saat ini.

 

“Baiklah, pertama, aku datang ke kafe itu dengan sengaja untuk memberimu kejutan. Aku membayangkan kau akan berteriak dan berlari ke arahku, memelukku saat melihatku, tapi ternyata?” aku berhenti sebentar untuk mengambil nafas. “Kau benar-benar tak mengenaliku, kau melihatku seperti melihat orang asing.”

 

Aku berhenti kembali untuk melihat reaksinya, namun sepertinya Jihoon terlalu terserap dalam penjelasanku.

 

“Karena kau tidak mengenaliku, aku pikir akan menyenangkan jika aku sedikit mengganggumu, karena itulah aku menciummu saat itu. Tapi aku sendiri tak tahu mengapa aku melakukannya di hadapan banyak orang. Aku bersumpah, aku tak merencanakan hal itu sejak awal.”

 

Kini aku tak bisa berhenti berbicara. Aku ingin membuat semuanya terang di mata Jihoon.

 

“Hal terakhir yang kusadari saat itu adalah bahwa aku mengatakan kepada mereka bahwa kau merupakan tunanganku. Aku sempat mempertanyakan ucapanku namun setelah dipikir-pikir, kenapa tidak? Lagipula aku juga butuh bantuawww!!!”

 

Kata-kataku menabrak pekikanku sendiri saat Jihoon tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arahku dan meletakkan jari-jarinya di leherku, dengan kuat. Ya, dia mencekikku.

 

“Apa yang sebenarnya kau bicarakan?! Berhenti berputar-putar!” teriaknya.

 

Aku menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya menjauh dari leherku. Namun setelah aku benar, aku tetap tang melepaskan genggamanku di tangannya.

 

“Sungguh! Ini hampir tiga minggu setelah pertemuan kita di kafe! Oh ayolah, Jihoon! Apa kau benar-benar tidak mengingatku? Sama sekali?” aku menatapnya dengan mata melebar.

 

“Huh?” Jihoon membalas tatapanku dengan tatapan bingung.

 

“Aku benar-benar tidak ingin mengatakan hal ini padamu karena kupikir kau akan menyadarinya, Jihoon,” aku mendesah, lagi. “Bagaimana jika kukatakan Jongin... apa kau akan mengingatnya?” tanyaku dengan nada yang lebih rendah.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
haninur32 #1
Chapter 11: Wahhh makin seruuu. Penasaran kenapa kai teriak teriak. Ayoo semangatt author-nim. Ditunggu update nya
baeknoona #2
Chapter 1: kai memang cocok jadi pangeran, keren!
venusangelic #3
Chapter 5: Update update :-)
edelweisses #4
Chapter 5: Akhirnya di post jugaaaa, aihh thor update asap dong, aku nunggu banget nih ff ini hihi
edelweisses #5
Chapter 4: Sebenernya past mereka gimana sih thor? Kayak nya dulu pernah kenal deket gitu ya?
edelweisses #6
Chapter 1: Hay authornim, haha bener sih cerita nya komik banget tapi aku suka. Lanjut yah thor, penasaran Kenapa Kai milih si Han Jihoon itu,sengaja, niat, atau caper? Sudahlah lanjutkan yah thor, fighting