Chapter 8: week 5 - Mask - Identity (part 1)

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

“Apa? Apa katamu?” Yeonjoo terbelalak menatap Joonmyun yang berdiri di depannya dengan membawa banyak berkas. Joonmyun dengan tenang menatap Yeonjoo. Wajahnya masih bersinar-sinar meski tidak menunjukkan banyak ekspresi. Yeonjoo tidak mempercayai apa yang sudah ia dengar. Apakah Joonmyun sedang berbohong padanya saat ini?

“Ya, aku memang sengaja tidak memberitahumu tentang pertukaran mahasiswa ini,” kata Joonmyun lagi sambil menunduk merapikan berkas-berkas di tangan. “Lalu kau kira seperti apa?” ia mendongak dan menatap Yeonjoo.

Yeonjoo kontan kehilangan kata-kata mendengar kata-kata Joonmyun yang dingin dan ketus. “A-apa?”

Joonmyun tersenyum kecut. “Apa kau pikir aku akan selalu memberitahukan semuanya kepadamu?” ia tertawa kecil yang terdengar aneh di telinga Yeonjoo. “Bahkan tentang hal ini? kau pikir begitu?” ia menyeringai.

“A-apa maksudmu? Kau memang biasa seperti itu, bukan? Maksudku, menceritakan semuanya padaku.” Yeonjoo menatap Joonmyun dengan ragu. Joonmyun, perlahan-lahan, sudah tidak terlihat lagi seperti Joonmyun yang ia kenal. Yeonjoo tidak tahu harus bagaimana menghadapi Joonmyun yang seperti ini. Ia sungguh tidak tahu, dan ia merasa takut. Bagaimanapun juga, ini adalah sisi dari Joonmyun yang tidak pernah ia ketahui.

Sisi lain yang mengerikan.

“Bagaimana mungkin aku akan menceritakan semuanya padamu? Kau bahkan terlalu cemas untuk memikirkan urusanmu sendiri.” Joonmyun berkata dengan lancar tanpa cela. Ia sekali lagi tersenyum kecut. “Lalu menurutmu apa yang bisa kulakukan dengan itu? Tentu saja aku memilih tidak mengatakan apapun padamu.”

Kali ini adalah pertama kali Joonmyun berkata kasar padanya. Yeonjoo menahan napas untuk beberapa detik selama ia mendengar Joonmyun bicara. Joonmyun bahkan tidak lagi bersikap manis padanya. Pemuda itu terbiasa bicara lembut padanya, tidak pernah sekalipun bicara kasar sejak mereka masih berusia 8 tahun. Dan sekarang siapa yang ada di hadapan Yeonjoo saat ini? Joonmyun-nya ataukah Joonmyun yang lain? Perasaan ini begitu asing, ia seakan tidak mengenali Joonmyun lagi.

“Pada akhirnya kau membiarkan aku tahu hal ini dari orang lain, begitu?” Yeonjoo tertawa hambar. Ia berusaha merespon perkataan Joonmyun, meskipun perasaannya sudah terluka oleh kata-kata temannya itu.

Joonmyun mengangkat bahu. “Yah, seharusnya Ibu tidak menceritakan hal ini pada Ibumu. Jadi, kau selamanya tidak akan pernah tahu.” Ia menjawab.

Perlahan mata Yeonjoo memanas. “Apa kau memang berencana untuk tidak memberitahukan hal itu padaku selamanya?”

“Aku yakin aku menginginkan hal itu.” Joonmyun mengangguk mantap.

“Ah, ternyata seperti itu.” Yeonjoo tersenyum pahit. Dalam hati ia membatin mengapa sikap Joonmyun berubah menjadi seperti ini. Apakah karena kejadian kemarin? Karena Yeonjoo yang tidak percaya padanya?

“Benar, tepat seperti itu,” sambung Joonmyun.

“Apakah kau masih marah padaku karena kejadian waktu itu?” Yeonjoo tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia dengan tajam menatap Joonmyun yang masih membawa setumpuk berkas di tangan. Joonmyun, dengan wajah yang bersinar-sinarnya, hanya tersenyum kecil, senyum kecil yang sinis.

“Jika kau adalah aku, apa yang kaurasakan?” Joonmyun bertanya dengan nada menantang. “Teman kecilmu yang paling kau percaya berakhir dengan meragukanmu, menuduhmu melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan. Apakah menurutmu itu tidak menyakitkan? Tidak keterlaluan?” ia tertawa pahit.

“Joonmyun, aku…”

“Dengar, bertemu dengan orang-orang dari kepolisian itu sudah sangat menjengkelkan. Aku sudah berkali-kali mengelak tentang tuduhan mereka. Aku sendiri heran mengapa mereka terus menuduhku, dan itu sangat membuatku frustasi. Dan kemudian, kau malah berpikir hal yang sama dengan mereka. Kau menuduhku. Kau sama saja seperti mereka.”

Yeonjoo menahan napas menanti kata-kata Joonmyun selanjutnya.

“….sama-sama menjengkelkan.”

Apa?

Joonmyun tersenyum sinis. “Lalu kaupikir bagaimana aku harus menghadapimu sekarang? Melihatmu di sini sama seperti melihat para polisi yang telah menuduhku itu.” ia berkata. “Itu bukan perasaan yang menyenangkan. Dan dengan keadaan yang sama seperti ini, hal yang kuinginkan adalah menghindari mereka.”

Yeonjoo merasa sesak dan ingin meledak menangis. Bagaimana mungkin Joonmyun mengatakan semua hal itu padanya?

Benarkah Joonmyun ingin menghindarinya?

“Maka dari itu kau merencanakan kepindahanmu ini segera?” tanya Yeonjoo, tidak percaya dengan kata-kata Joonmyun sebelumnya.

“Aku sudah merencanakannya sejak lama, karena aku memang tertarik dengan program semacam ini.” Joonmyun menjawab. “Aku tahu kau tidak pernah tertarik dengan program semacam ini. Mungkin juga karena alasan itu aku tidak memberitahukan apa-apa padamu.

 “Aku memang tidak ingin kau mengikutiku lagi kali ini.”

“A-apa?” Yeonjoo terpaku beberapa detik. Matanya melebar, suhu tubuhnya mendadak meningkat. Ia memandang Joonmyun di depannya dengan tatapan tidak percaya. Sungguh, pemuda di depannya ini bukanlah Joonmyun-nya yang dulu. Ia tidak perlu lagi menolak untuk percaya jika sekarang ia sendiri sudah melihat langsung dengan mata kepalanya. Ia memang merasa setelah Joonmyun kesal padanya waktu itu, Joonmyun akan memperlakukannya dengan cara berbeda. Dan bahkan mungkin memperlihatkan dirinya yang sebenarnya seperti saat ini.

“Aku sudah bosan menjadi sosok kakak bagimu, Song Yeonjoo.” Joonmyun berujar ringan sambil setengah sibuk memeriksa kembali berkas di tangannya. Yeonjoo merasa jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. ”Ah, aku juga berperan ganda untukmu. Aku menjadi sahabatmu, kakakmu, bahkan seperti yang orang-orang sering katakan padaku, pacarmu.” Pemuda itu mendongak menatap Yeonjoo dan tertawa mengejek. “Benar, aku sudah bosan melewatkan bertahun-tahun seperti itu bersamamu. Aku lelah harus terus menjagamu, meski aku yakin kau sudah di umur di mana kau bisa menjaga dirimu sendiri. Tapi di sini kau malah akan sangat tergantung padaku, seolah kau masih anak berumur lima tahun.” Ia melanjutkan. “Bukankah kau pikir ini bagus untukku untuk pergi dari bayang-bayangmu? Supaya aku bisa hidup dengan tenang, kau mengerti maksudku, bukan?”

Yeonjoo menggigit bibir, mencoba menahan air mata agar tidak tumpah di kedua belah pipinya. “Te-ternyata ka-kau se-seperti i-ini…” katanya terbata. Joonmyun hanya balas tersenyum padanya, senyum yang tentu saja tidak menyenangkan. “Se-seharusnya jika kau keberatan menjagaku selama ini, ka-katakan saja! Aku tidak akan keberatan. Aku, sekarang aku sebaliknya merasa bersalah karena membiarkanmu melewatkan tahun-tahun ini bersamaku. Aku begitu menyedihkan, bukan begitu?” ia tertawa sendiri,”selalu tergantung padamu, bukankah begitu?” ia menatap Joonmyun lekat-lekat, memperhatikan setiap ekspresi yang terukir di wajah temannya itu. Wajah Joonmyun masih tampak bersinar-sinar, namun di mata Yeonjoo, sinar di wajah pemuda itu sudah tidak seterang biasa.

Joonmyun tersenyum kecil. “Mungkin aku sudah bosan menjadi sosok yang selalu berada di sampingmu, Yeonjoo,” ia berjalan mendekat ke arah Yeonjoo yang sudah hampir menangis,”tapi aku tidak akan pernah lupa betapa berharganya kau bagiku. Hanya kau yang kupunya dan hanya kau yang selalu mendengarkan aku.” Ia memeluk Yeonjoo dengan satu lengannya yang bebas. “Jika kau tidak menemukanku di dermaga besok malam, dengan kata lain kali ini adalah kali terakhir kita bertemu, Yeonjoo-ku.” Joonmyun melepaskan pelukannya dan berjalan begitu saja meninggalkan Yeonjoo yang sedih dan bingung.

Dada Yeonjoo begitu sesak. Ia menangis dalam diam.

 

 

Ini sungguh merepotkan, tapi beberapa hari belakangan sakit kepala yang berat melanda Tao. Sakit kepala ini sungguh mengganggunya karena ia melakukan banyak penyelidikan dengan kelompok penyidik amatir, dengan jadwal yang sangat ketat. Mereka menyelidiki tempat kejadian perkara minggu lalu dan mereka menekankan pada bukti-bukti yang mereka temukan di sana. CCTV yang ada di minimarket itu rusak sehingga tidak menghasilkan video adegan penyerangan yang sempurna. Bagian penyerangan itu hanya bisa dilihat selama 10 detik, dan itu pun tidak menjelaskan dari mana si pelaku masuk, karena yang terlihat hanya pintu masuk dan korban yang sedang sibuk di belakang mesin uang. Pertanyaan itu terjawab begitu ditemukan seragam pegawai yang bekas terpakai teronggok begitu saja di lantai gudang penyimpanan. Sepertinya pelaku dengan topengnya menyamar sebagai salah satu pegawai. Di seragam itu terdapat name tag. Begitu ini dikonfirmasi pada manager minimarket, tidak ada pegawai ataupun trainee yang bernama sama seperti yang ada dalam tag.

Ini sungguh bencana.

“Polisi masih melakukan penyelidikan kepada temanmu itu, Tao.” Yooeun memberitahu Tao saat mereka sedang melakukan olah TKP. “Dan menurut informasi yang kudapat, temanmu itu dicurigai karena dia selalu membuntuti seseorang dengan ciri yang sama dengan korban pembunuhan berantai ini.”

“Apa?” Tao sangat terkejut saat itu. Apakah benar yang dikatakan Yooeun ini?

“Begitu dia muncul dari gang itu, polisi langsung membawanya karena mereka sudah menaruh kecurigaan penuh padanya,” sambung Yooeun. “Timingnya sungguh tidak tepat. Temanmu itu tidak terbukti bersalah, tapi polisi melepaskannya dengan keengganan. Mereka masih mencurigainya sebagai tersangka karena itu mereka masih mengikutinya ke mana-mana.”

“Mereka ingin membuktikan bahwa dia adalah tersangka?” Tao terperangah dengan pemikirannya sendiri.

“Tidak pasti seperti itu. Alibi temanmu saat itu begitu kuat, tapi sepertinya fakta yang ada tidak seperti itu. Polisi berpikir ada sesuatu yang temanmu itu sembunyikan.”

Dan apa sebenarnya yang sedang Joonmyun sembunyikan? Tao benar-benar tidak bisa menebak. Apakah benar Joonmyun membuntuti orang dengan ciri-ciri yang seperti itu? Dan kenapa ia membuntuti orang itu? Tao hendak menanyakan semua ini kepada Yeonjoo. Pada akhirnya, saat ini Tao sedang menunggu Yeonjoo di sebuah café di pusat kota.

“Oh, kau datang.” Tao kontan tersenyum melihat Yeonjoo yang menarik kursi di depannya dan membuyarkan lamunannya. Saat itu juga ia mengerutkan kening. Yeonjoo terlihat sangat pucat. Kedua matanya terlihat bengkak. Ia terlihat sangat tidak sehat. “Ada apa denganmu?” tanya Tao cemas.

Yeonjoo terlihat menarik napas dengan berat. “Tidak ada apa-apa.” Ia tersenyum kecil. Tao menatapnya curiga namun Yeonjoo menghindari tatapan Tao itu. Ia langsung menunduk menatap menu. “Kau sudah memesan? Apakah aku datang terlambat?”

“Aku belum memesan apapun, dan kau tidak datang terlambat. Aku baru saja tiba.” Tao menjawab pertanyaan Yeonjoo. Yeonjoo tersenyum samar dan masih memilih-milih menu. Senyum Tao menghilang. Yeonjoo terlihat sedang ada masalah.

“Kau ingin memesan apa?” tanya Yeonjoo.

“Terserah kau saja. Sama denganmu juga tidak apa-apa.”

“Baiklah.” Yeonjoo segera memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Selepas pelayan itu pergi, barulah Yeonjoo berniat menatap Tao. Tapi ia tidak benar-benar menatapnya. Sepertinya mood Yeonjoo sedang tidak baik.

Bila sudah begini, rencana Tao untuk bertanya tentang Joonmyun akan gagal. Pada akhirnya ia diam saja. Ia membiarkan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Pada akhirnya Tao sibuk menghitung jumlah obat penghilang rasa sakit kepala yang harus ia minum sesudah makan siang ini. Yeonjoo tampak memperhatikannya.

“Itu semua obatmu?” tanyanya.

Tao mendongak menatap Yeonjoo. “Ya.”

“Obat sakit kepala?”

Tao hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Ia bisa melihat dengan jelas kedua mata Yeonjoo yang membengkak saat gadis itu menatap lurus padanya. Yeonjoo terlihat terkejut melihat anggukan dari Tao.

“Apakah sakit kepalamu itu begitu parah? Kau tidak juga sembuh dari waktu itu?” tanya gadis itu, nada suaranya sedikit cemas.

Tao melirik plastic obatnya dan tersenyum. “Menurutku tidak begitu parah, tapi dokter berkata hal yang lain.” Ya, dokter mengatakan sakit kepalanya semacam migraine yang parah. Ia bisa merasakan sakit kepala lebih dari tiga jam di malam hari. Yah, itu bukan hal yang menarik untuk diceritakan, terlebih pada Yeonjoo.

Yeonjoo terlihat muram. “Seharusnya kau beristirahat saja di rumah,” sarannya.

“Tidak ada yang perlu dicemaskan.” Tao tertawa kecil dan mengibaskan tangan. “Aku ini orang yang kuat. Sakit kepala seperti itu saja tidak akan memiliki efek berat padaku.” Ia tersenyum. Yeonjoo terlihat tertawa kecil. Senyum Tao melebar melihat gadis itu tertawa. Apakah mood gadis itu sudah membaik? Apakah ia bisa menanyakan tentang Joonmyun? Apakah tidak apa-apa?

“Ah, ngomong-ngomong, kenapa Joonmyun tidak bersamamu? Kupikir aku bisa bertemu dengannya jika aku mengajakmu makan siang bersama,” kata Tao saat pesanan mereka sudah datang. Pelayan pergi dan saat itu, Tao bisa melihat ekspresi Yeonjoo dengan jelas.

Gadis itu membeku.

Sinar mata Yeonjoo meredup dan ia terlihat lebih muram dari sebelumnya. Tao mengerjap. Ada apa? Suasana hati gadis itu semakin tidak membaik karena ia menyebut-nyebut Joonmyun?

“Hei, ada apa? Kenapa Joonmyun tidak bersamamu?” tanya Tao. Ia berniat berhenti bertanya, namun ia sudah tidak bisa mundur. Bukan karena ia tidak mengerti perasaan gadis itu. Sepertinya Joonmyun yang sudah membuat gadis ini menangis. Lagi-lagi Joonmyun membuat Yeonjoo menangis.

“Aku bertengkar dengannya.” Yeonjoo tertawa hambar. “Ya, aku bertengkar dengannya.”

“Kau bertengkar dengannya? kenapa kalian bisa bertengkar?” Tao mengerutkan kening. Ia rasa hubungan Yeonjoo dan Joonmyun begitu akur sampai-sampai mereka tidak pernah dihinggapi pertengkaran. Sepertinya ia salah menduga. Ini sedikit mengejutkan untuknya.

“Aku mengatakan hal bodoh di depannya, seolah aku tidak percaya padanya.” Gadis itu tertawa hambar sekali lagi. “Dia marah padaku, marah besar.” Lanjutnya dengan nada melamun. Ia menunduk menatap makanan yang sudah dipesannya.

“Marah?” Tao tidak bisa membayangkan bagaimana jika Joonmyun marah. Hei, selama ini Tao tidak pernah melihat temannya itu marah. Bagaimana mungkin Joonmyun bisa marah pada Yeonjoo?

“Tentang hal pembunuhan berantai itu, Tao. Kau tahu polisi mencurigainya dan kau tahu aku sering membayangkan hal-hal yang tidak perlu.” Yeonjoo berkata dengan pelan. Ia terdengar menyesal. “Dia bukan pelakunya, tentu saja. Tapi ada sesuatu yang tidak dikatakannya padaku, membuatku berpikir keras dan akhirnya aku terkesan tidak percaya padanya.” Ia menghembuskan napas panjang.

Tao terkesiap. “Benarkah seperti itu?” Ia tidak mengira akan terjadi kesalahpahaman di antara kedua teman kecilnya ini. ternyata banyak hal terjadi diluar dugaannya.

Yeonjoo mengangguk lemah dan pelan. Nada suaranya semakin lama semakin terdengar melamun. “Karena itu, dia tidak mau bicara denganku dan dia tidak mau melihatku lagi. Dia ingin menghindariku. Dia bilang, melihatku sama seperti dia melihat para polisi yang terus mencurigainya itu. Menjengkelkan. Dia sangat kesal padaku.”

Tao melihat kedua mata gadis itu mulai berair. Meski begitu, gadis itu masih melanjutkan kata-katanya. “Di-dia bilang, dia sudah bosan berada di sampingku. Dia bosan menjadi orang yang selalu melindungiku. Dia bosan menjadi sosok sahabat, kakak dan keluarga bagiku. Bahkan..” gadis itu menarik napas dalam-dalam,”bah-bahkan meski kami tidak memiliki hubungan seperti sepasang kekasih, dia juga sudah bosan denganku. Dia bosan berada di sampingku, dia sudah bosan.

“Aku tidak tahu mengapa selama ini dia tidak mengatakan yang sebenarnya.” Gadis itu masih berkata dengan nada melamun. “Aku..kurasa aku akan merasa lebih baik bila dia mengatakannya dari awal. Atau, sejak awal saja dia tidak usah bertemu denganku dan menjadi temanku. Aku pikir itu akan lebih baik daripada berakhir seperti ini. Dia meninggalkanku pada akhirnya.”

“Meninggalkanmu?” Tao mengerjap saat dia tidak dapat menangkap maksud Yeonjoo.

Yeonjoo mengangguk pelan. “Joonmyun tidak memberitahuku bahwa dia mengikuti pertukaran mahasiswa ke Beijing dan berangkat malam ini.” ia membuang napas dengan sangat berat.

“Dia akan pergi ke Beijing?” Tao semakin bingung dengan fakta yang baru ia ketahui ini. Wajah Yeonjoo terlihat semakin kalut.

“Semuanya begitu mendadak, bukan, Tao?” Yeonjoo tersenyum miris. “Bagaimana aku bisa menerima semuanya? Terlebih dia begitu marah padaku dan dia tidak ingin melihatku. Bagaimana denganku bila sudah seperti itu? Aku semakin merasa bersalah. Dia malah meninggalkanku seperti itu. Aku merasa dia sudah tidak menganggapku sebagai temannya.”

Tao merasakan kerisauan gadis di depannya ini. Ia mengeluarkan napas dengan pelan. “Mungkin dia tidak bermaksud seperti itu, Yeonjoo. Dia…”

“Apa artinya bila dia sudah tidak ingin melihatku?” potong Yeonjoo, menutup wajah dengan tangannya. “Mungkin dia sudah tidak menganggapku ada,” lanjutnya sambil tertawa hambar.

“Jangan berkata seperti itu, Yeonjoo,” kata Tao. “Dia hanya mengabaikanmu untuk sementara ini, dia tidak akan lama marah padamu. Joonmyun tidak mungkin seperti itu. Kau pasti lebih mengenalnya daripada aku, bukan? Dia..dia sangat menyayangimu. Dia tidak mungkin mengaibaikanmu selamanya.”

“Tapi..aku takut kehilangan dia, Tao. Aku tidak ingin dia meninggalkanku, tidak sekarang.” Yeonjoo menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Wajahnya terlihat semakin pucat dan air mata sudah mengalir di kedua belah pipinya. Hati Tao serasa diiris-iris sekali lagi. ia merasakan sesak dan hampa yang dirasakan Yeonjoo. Ia merasakan kesedihan gadis itu. Ia pun merasa sangat sengsara.

Tao tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Mereka berdua lagi-lagi terdiam dan terhanyut dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya gadis itu berpamitan pulang.

“Aku pulang dulu. Terima kasih sudah mengajakku makan siang bersama.” Yeonjoo bangkit dari kursinya, tersenyum kecil yang lemah kepada Tao, dan berjalan menuju pintu café.

Tao memandang piring Yeonjoo dengan mendesah. Gadis itu sama sekali tidak menyentuh makanannya.

 

 

Luhan membuka buku tebalnya juga membuka buku catatan kecilnya. Ia membaca tulisan-tulisan besar dan rapat miliknya dengan seksama. Kris dengan muram melihat kerja anak buahnya yang satu ini, sementara Yixing memakan odeng yang dibelinya sebelum ia kembali ke kantor. Belakangan Kris merasa lemas dan tidak ada tenaga untuk mengurus kasus yang sudah berlarut-larut ini. Rasanya ia sudah muak, ia ingin segera bebas dari kasus yang sudah membebaninya selama bertahun-tahun ini, namun ia tidak berdaya. Ia merasa dirinya, untuk saat sekarang, tidak bisa melakukan apa-apa.

Ia membuang napas dengan pelan. Kim Joonmyun yang dicurigainya tentu saja masih ia curigai. Pemuda itu sudah tidak membuntuti gadis yang bernama Park Sooyoon itu, namun pemuda itu lebih gencar pergi ke berbagai pasar loak. Menurut orang-orang yang sudah Kris tanyai, Kim Joonmyun mencari buku dongeng tua, lebih tepatnya dongeng tua Eropa.

“Pemuda itu mencari buku dongeng tua bergambar kastil dengan sampul berwarna merah muda pucat,” kata seorang Ahjussi pemilik toko buka loak yang baru saja ditinggalkan Kim Joonmyun. Pada waktu itu, Kris bergabung dengan Yixing untuk membuntuti pemuda itu.

“Kenapa dia begitu menginginkannya?” tanya Kris.

Ahjussi itu mengangkat bahu. “Entahlah, kurasa buku itu buku yang sangat berharga. Pemuda itu bilang dia memiliki buku itu saat berumur 9 tahun, tapi buku itu hilang. Sekarang dia berusaha keras untuk menemukannya.”

Kris mengerjap. Jadi pemuda itu mencari buku dongeng dari masa lalunya?

“Apakah pemuda itu mengatakan tentang cerita di dalamnya?” tanyanya.

“Tentu saja,” kata Ahjussi itu dengan sedikit bersemangat,”dia bilang, buku itu memiliki beberapa cerita yang berbeda di dalamnya. Cerita yang dia sebutkan kalau tidak salah tentang…” Ahjussi itu berusaha mengingat-ngingat,”ah, tentang pangeran yang terkunci dalam cermin, juga mengenai debu bintang dan kutukan. Semacam itu.”

Kris memutar otak. Untuk apa Kim Joonmyun menghabiskan banyak waktu untuk mencari buku dongeng ini? Ada apa sebenarnya dengan buku itu? Apakah Kim Joonmyun adalah orang yang percaya dengan dongeng? Di umurnya yang sekarang dan di jaman modern seperti sekarang? Kris mendengus. Sepertinya tidak mungkin. Sudah tidak ada orang di jaman sekarang yang percaya pada dongeng.

Kim Joonmyun dan buku dongeng tua itu sungguh membuat penasaran.

Luhan sudah mencari tahu tentang buku itu dan buku itu hanya diproduksi terbatas dan hanya satu kali cetak dan tidak ada pencetakan berikutnya. Buku itu diterbitkan lima belas tahun yang lalu dan saat itu Kim Joonmyun berumur delapan tahun. Jika kemungkinan cetakannya terbatas seperti itu, memang butuh banyak waktu untuk menemukan buku itu. Kim Joonmyun sepertinya sudah berusaha sangat keras. Dan sampai sekarang usahanya tidak membuahkan hasil? Kris tertawa dalam hati.

Laporan yang dibawa oleh Yixing berbeda lagi. Ia menemukan bahwa selain masih sibuk mencari buku dongeng itu, Kim Joonmyun kembali sibuk di kampus seperti mahasiswa normal. Dari pengumuman yang ada di dinding pemberitahuan kampusnya, Kim Joonmyun adalah salah satu dari 6 mahasiswa yang terpilih mengikuti program pertukaran mahasiswa ke salah satu universitas ternama di Beijing.

“Pertukaran mahasiswa? Wow, dia terlihat sedang menghindar dari kita,” kata Luhan saat itu, saat Yixing kembali dari pembuntutannya.

Yixing mengangguk. “Terlihat jelas seperti itu, bukan? Tapi, program ini tidak meloloskan mahasiswa dengan mudah. Butuh setengah tahun untuk semua tahap seleksi.”

“Maksudmu, dia sudah merencanakan ini sejak awal dan memang sudah berencana menghindar dari polisi?” cerocos Luhan dengan wajah tidak percaya.

“Mungkin dia tidak menyangka dia akan sempat tertangkap oleh polisi. Tapi dengan begini dia terlihat berusaha bersembunyi.” Yixing mulai memakan odeng yang dibelinya.

“Apakah semua persyaratan yang dimilikinya sudah lengkap?” tanya Luhan.

“Oh, tentu saja.” Yixing mengangguk dengan sangat bersemangat. “Dia hanya perlu berangkat ke Beijing. Kudengar semua mahasiswa pertukaran itu akan berangkat malam ini. Mereka akan berkumpul di dermaga sekitar pukul 9.21 malam.”

Kris yang mendengarkan semua pembicaraan dua anak buahnya hanya diam dan berpikir. Tepatnya ia berusaha berpikir, apa yang harus dilakukannya dengan semua informasi itu. Kim Joonmyun yang mencari buku dongeng tua, Kim Joonmyun yang membuntuti seorang gadis, Kim Joonmyun yang mengikuti pertukaran mahasiswa ke Beijing, Kim Joonmyun yang… Kris tersentak. Semua pola yang ditinggalkan Kim Joonmyun ini semakin hari semakin aneh. Pihak kepolisian memang tidak pernah menduga tentang program pertukaran mahasiswa itu, tapi pencarian buku dongeng tua itu tidak kalah aneh.

“Luhan, kau sudah mencoba mencari tahu tentang buku dongeng tua itu melalui internet, bukan?” tanya Kris tiba-tiba.

“Hah?” Luhan mengangkat wajah dari buku tebalnya dan mengerjap kebingungan. “Sudah, Chief, tentu saja.”

Kris mengerutkan dahi. “Bagaimana tentang cerita dalam buku itu? Apakah kau mendapatkan ringkasan ceritanya?”

“Ah,” Luhan terlihat berusaha mengingat-ingat. “Buku itu bukan buku dongeng dengan satu cerita saja. Ada dua belas cerita yang berbeda di dalamnya. Dan anehnya semua cerita itu mengarah pada kutukan dan semacam itu.”

“Kutukan?” Kris mengernyit bingung. “Apa maksudmu?”

Luhan masih tampak berpikir keras dalam mengingat-ingat tentang buku itu. “Bukan kutukan tepatnya, bagaimana mengatakannya? Ah, terdapat dua belas benda yang dapat mengunci seseorang.”

“Mengunci?” Yixing menginterupsi. “Terdengar seperti kutukan bagiku.”

“Yah, mungkin seperti itu.” Luhan mengangkat bahu.

“Lalu bagaimana?” tanya Kris.

“Buku itu cukup populer pada tahun penerbitannya. Cerita yang memiliki ringkasan dan dijelaskan dalam beberapa blog adalah cerita dengan judul debu bintang. Dalam cerita itu, ada dua orang pangeran yang bersaing untuk mendapatkan tahta raja. Tapi, salah satu dari mereka berbuat curang karena takut tersaingi oleh pangeran lainnya. Pangeran yang jahat itu pergi ke utara bertemu dengan seorang penyihir dan akhirnya dia mendapatkan debu bintang itu. Pangeran jahat itu kembali ke istana dan bertemu pangeran yang satunya lagi. Debu bintang itu akan mengunci orang di objek yang ada di dekatnya. Jadi pangeran jahat itu mengurung pangeran yang satunya lagi di dalam cermin, karena saat itu pangeran itu sedang berdiri di dekat cermin.” Luhan menjelaskan dengan panjang lebar.

“Astaga, cerita ini sungguh membuat sakit kepala.” Yixing berkomentar. “Lalu bagaimana cara pangeran itu keluar dari cermin?”

Luhan memiringkan kepala. “Bagian itu tidak diceritakan secara rinci. Tapi diceritakan jika cermin itu dibuang ke hutan dan ditutupi oleh selubung sehingga tidak ada orang yang menemukannya. Dengan kata lain pangeran itu tidak bisa keluar.”

“Tidak bisa keluar atau belum menemukan jalan keluar?” Kris berandai-andai.

“Kurasa belum menemukan jalan keluar. Aku mendapat pikiran bahwa cerita yang itu berakhir dengan baik. Maksudku, hampir semua cerita dongeng berakhir dengan bahagia, bukan?” Luhan tertawa kecil.

“Yah, kurasa kau benar,” gumam Yixing. “Seperti yang orang-orang sering katakan, akhir cerita bahagia hanya terdapat dalam dongeng.”

Kris termenung mendengar kata-kata Yixing. Akhir cerita bahagia hanya terdapat dalam dongeng. Astaga, apakah benar seperti itu? Apakah dapat disimpulkan bahwa di kehidupan nyata tidak ada akhir yang bahagia? Apakah ia juga tidak dapat menemukan pelaku dari semua pembunuhan berantai ini? Baginya dapat menangkap pelaku adalah akhir yang bahagia untuknya. Ia tidak pernah meminta macam-macam untuk hal ini. Baginya ia hanya perlu berhasil menangkap pelakunya, dan ia hanya perlu melihat adiknya bangun untuk melihatnya.

“Astaga, aku teringat ada satu cerita lagi yang dibicarakan di blog-blog itu.” Luhan tersentak, membuat Kris terbangun dari lamunan. Luhan dengan gerakan cepat tak terkendali membuka halaman demi halaman buku catatan miliknya. Yixing mendekatinya dan berusaha membantu Luhan dengan semua halaman-halaman yang ada. Kris mengernyit melihat Luhan.

“Apa yang sedang kaucari?”

Luhan mendongak menatap Kris dengan tatapan nanar. “Ada satu cerita dalam buku itu, tentang dermaga dan laut.”

“Mengapa..” Yixing tampak bingung,”mengapa situasinya cocok sekali dengan apa yang akan dilakukan Kim Joonmyun malam ini? Dia akan datang ke dermaga, bukan?”

“Apakah…” Luhan mulai berandai-andai,”apakah cerita ini akan berhubungan dengan Kim Joonmyun? Cerita ini masih berhubungan dengan cermin.” Sambung Luhan dengan bingung.

“Masih mengunci orang dalam cermin?” tanya Kris. “Apakah menurutmu hal semacam itu benar-benar terjadi?” mereka berpandangan, tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Kris.

Luhan terlihat semakin bingung. “Entahlah, ceritanya sedikit berbeda. Ini berkaitan dengan cermin, belati perak dan darah. Kombinasi yang aneh, sungguh.”

Yixing buka suara. “Jika kau hendak mengaitkannya dengan cermin, di rumah tua Kim Joonmyun yang dulu itu, yang sudah terbakar dan kini menjadi perpustakaan, ada tiga cermin besar yang menyatu dengan sebuah meja rias. Aku mendapatkan informasi ini dari seorang Ahjumma yang tinggal di dekat sana sejak dulu, sebelum keluarga Kim Joonmyun  pindah ke sana. Ahjumma itu melihat cermin-cermin itu hari di mana keluarga Kim Joonmyun pindah ke sana. Ini memang bukan informasi yang menarik bagi kita, tapi menurut Ahjumma itu ini informasi penting karena sebelumnya Ahjumma itu tidak pernah melihat cermin sebesar itu pada meja rias. Meja rias itu tetap di sana sampai keluarga Kim Joonmyun pindah rumah. Mereka pindah rumah setelah ada salah satu anggota keluarga mereka yang menghilang. Anggota keluarga itu adalah saudara sepupu Kim Joonmyun.”

Kris berpikir cepat. “Apakah itu mungkin bila Kim Joonmyun yang mengunci sepupunya itu dalam cermin? Seperti cerita debu bintang itu?” Hei, apakah mungkin seperti itu? Dongeng tidak mungkin bisa menjadi nyata, bukan? Lalu jika benar begitu, apakah Kim Joonmyun sudah menemukan debu bintang itu? Debu bintang, apakah ini benar-benar debu bintang? Bintang dari luar angkasa? Jika Kris bisa menuduh dan menuding Kim Joonmyun atas segalanya, tentu semua kemungkinan benar-benar bisa terjadi, bahkan yang diluar akal sehat dan pikiran manusia.

“Chief, kukira Chief tidak percaya dengan dongeng seperti ini,” Yixing terlihat terkejut.

“Sudah kukatakan padamu aku mencurigai pemuda itu. Berbagai kemungkinan bisa terjadi.” Kris berkilah.

“Apakah benar seperti itu, Chief? Lalu jika benar begitu, apakah Kim Joonmyun sudah menemukan debu bintang itu?” kini Luhan yang berbicara.

“Apakah kau dan Chief benar-benar serius mempercayai dongeng dan kemungkinan semacam ini, Luhan?” Yixing terlihat kebingungan. Luhan tidak menjawab pertanyaan Yixing. Ia terlihat berpikir keras.

“Jika Kim Joonmyun adalah orang yang mengunci sepupunya itu dalam cermin, jika ini dikaitkan dengan cerita tentang dermaga dan laut, apa yang akan dilakukan Kim Joonmyun selanjutnya?” Luhan bergumam.

“Mungkin dia akan mengunci orang yang sama? Atau orang lain? Tapi jika dia mengunci orang yang sama, dengan kata lain sepupunya itu sudah keluar dari cermin di dalam rumah tua mereka.” Kris berpikir keras. Berpikir, berpikir! Kris memarahi dirinya sendiri. Berpikirlah dengan cara Kim Joonmyun, apa yang kira-kira akan dilakukannya setelah ini? Apa yang sudah dilakukannya selama ini?

“Yixing,” Kris memanggil,” di mana cermin besar itu diletakkan di rumah itu?”

“Di lantai dua, di kamar yang paling besar. Menurut informasi yang kudapat, Park Sooyoon yang menempati kamar itu, di sebelahnya adalah kamar kakak laki-lakinya, Park Chanyeol dan ayah mereka menempati kamar di lantai satu.” Yixing menjawab.

“Jadi kemungkinan yang mengetahui tentang sepupu dalam cermin itu adalah Park Sooyoon,” gumam Kris,”mungkin itu adalah alasan mengapa Kim Joonmyun membuntuti gadis itu.”

“Apakah ini masih berkaitan dengan pembunuhan berantai itu, Chief?” tanya Luhan. “Akan berbeda ceritanya bila kini kita mengurus kasus yang lain dan tidak berhubungan dengan pembunuhan berantai itu.”

“Tidak, tidak. Aku rasa semua ini masih berkaitan.” Kris memijat-mijat pelipisnya. Ia mendongak menatap anak buahnya setelah ia melirik jam dinding. Pukul tiga sore. “Sudah hampir waktunya.” Luhan dan Yixing mengangguk.

“Jika pola yang sama terulang..” Yixing berkata.

“..korban akan berada di sekitar stadion baseball. Sore ini sedang ada pertandingan tingkat universitas.” Sambung Luhan.

Kris mengangguk. Mereka bangkit dan bersiap-siap keluar dari ruangan saat Kris berkata,”ah, satu lagi.” Yixing dan Luhan terdiam dan berbalik menatap Kris.

“Kalian berdua, ikuti Kim Joonmyun dan pastikan kalian menemukannya di dermaga malam ini. Aku yang akan pergi ke stadion baseball.”

 


 

Note:

I'm back! I expect that this story will be ended in July/August. From now on I will vigorously write this story! School stuff really took my time that I almost had no time to write stories, but thanks God now I'm able to write again. I'll be back with an update next week.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~