Chapter 2: week 2 - Unified Voices

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

 

Kris berkacak pinggang melihat korban yang tergeletak tak berdaya. Otot-otot rahangnya mengeras. Satu korban lagi. Ini sudah kali kedua dalam minggu ini. Ia menjadi berang karena kali ini pun pelakunya lolos. Ia terlambat lagi. Ia ingin menghantamkan tangannya yang mengepal ke dinding toko obat ini. Ia mengurungkan niatnya dikarenakan ia tidak ingin merusak TKP yang belum diselidiki ini. Tim investigasi sudah tiba beberapa saat yang lalu dan seketika ruangan menjadi sesak. Luhan dan Yixing sudah menyingkir dari ruangan di mana korban ditemukan sementara Kris masih mematung di ambang pintu, mengganggu beberapa petugas investigasi yang mulai bekerja dan keluar masuk ruangan.

Pada akhirnya Kris menyingkir dan mendekati Luhan dan Yixing yang tampak seperti menunggunya. Di belakang Yixing, berdiri seorang lelaki tua gemuk berkacamata. Wajahnya yang berkerut menjelaskan raut ketakutan. Sebelum Kris sempat membuka mulut untuk bertanya, Yixing sudah buka suara.

“Chief,” Yixing memanggil,”Ahjussi ini adalah pemilik toko obat ini.”

Laki-laki tua itu membungkuk singkat kepada Kris. Kris mengikuti Ahjussi itu dan membungkuk padanya. Ia memandang Ahjussi yang masih nampak ketakutan itu. “Apakah Lee Hyunil ssi salah seorang karyawan anda?” ia langsung bertanya.

Ahjussi tua itu mengangguk kecil. “Ya, Lee Hyunil adalah karyawanku. Aku hanya punya empat karyawan yang bertugas setiap hari.”

“Bagaimana dengan shift kerja mereka?” tanya Luhan.

“Dua karyawan adalah laki-laki, dan mereka yang bertugas di malam hari sampai pukul 11. Pergantian shift pagi pukul 8 dan sore pukul 4. Tapi kemarin karyawan yang lain, Byungwook, hanya bekerja sampai pukul 5 sore karena dia harus ke rumah sakit menemani kakak iparnya yang baru melahirkan,” jelas Ahjussi itu.

“Jadi Hyunil ssi berjaga sendirian dari kemarin sore?” Yixing mengerutkan kening.

“Kira-kira seperti itu.” Ahjussi itu terlihat gundah. Ia masih tampak ketakutan begitu mengerling ke ruangan di mana mayat Lee Hyunil ditemukan. “Aku tidak datang ke toko ini setiap hari jadi aku tidak dapat mengetahui yang pasti. Yang jelas, Byungwook sudah meminta izin padaku untuk tidak mengambil shift malam kemarin.”

“Ahjussi tidak datang ke toko ini setiap hari?” tanya Luhan lagi.

“Tidak, rumahku sangat jauh dari sini. Lagipula aku sudah sangat percaya pada karyawan-karyawanku. Selama ini tidak masalah yang berarti. Mereka bekerja dengan baik dan pendistribusian obat ke toko obat kami juga lancar tanpa masalah.” Ahjussi itu menjelaskan. Ia tertegun lagi melihat orang-orang dari tim forensic yang masih lalu lalang ke dalam ruangan. “Siapa yang melakukan ini pada Hyunil?” ia berbisik. Matanya berkaca-kaca.

Kris membuang napas perlahan. “Apakah selama ini Lee Hyunil ssi memiliki musuh?” ia tidak mengindahkan pertanyaan Ahjussi itu. Ahjussi itu memandangi Kris dengan sedih.

“Hyunil anak yang baik. Aku mengenal dia sudah sejak lama sebelum aku membangun usaha toko obat ini sepuluh tahun yang lalu. Dia punya banyak teman, tapi aku yakin dia tidak punya musuh,” kata Ahjussi itu.

Kris terdiam. Ia melirik ruangan tempat mayat ditemukan dengan resah. “Pemeriksaan masih dilakukan, kami masih belum mengetahui siapa yang melakukan ini pada Lee Hyunil ssi.”

Mata Ahjussi itu membesar. “Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuhan berantai itu?” Ahjussi bergidik ngeri. Wajah Kris kembali mengeras. Luhan dan Yixing pun membeku seiring dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Ahjussi itu. “Yang marak diberitakan di televisi? Benarkah ini berhubungan dengan pembunuhan itu?” Ahjussi itu mulai histeris dan semakin ketakutan. Ia mengguncang lengan kemeja Kris. Wajah tuanya mulai dihiasi dengan gulir-gulir air mata. Yixing menahan dan berusaha menenangkan Ahjussi itu.

“Tenang, Ahjussi.” Yixing menepuk pelan lengan Ahjussi itu.

Ahjussi itu masih menangis. “Aku tidak bisa percaya ini.” Ia membekap mulutnya dengan sebelah tangan, berusaha menahan kepiluan yang menghampiri dirinya. Yixing menenangkan Ahjussi itu dan membawanya keluar dari toko agar suasana hati Ahjussi itu sedikit lebih baik. Pemandangan itu hanya membuat Kris semakin gusar. Ia mulai tidak bisa berpikir dengan jernih meski jam masih menunjukkan pukul 6 pagi.

Sepagi ini perasaannya tidak bisa menjadi lebih baik. Terlebih begitu keluarga korban datang dan mulai menangis histeris melihat tubuh korban dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Kris hanya membuang napas. Tempat kejadian perkara sudah diperiksa secara mendetail, gambar sudah diambil dari setiap sudut. Di dinding ada bekas sekaan darah dan sejumput rambut. Sample darah dan rambut itu sudah diambil oleh tim forensik untuk diperiksa. Ruangan tempat kejadian perkara sendiri adalah ruangan penyimpanan obat. Beberapa kotak berisi obat batuk botolan jatuh dan isinya tumpah di lantai dan nampak seperti darah kental. Tablet dan kapsul-kapsul dalam botol kaca pun pecah dan bergabung dengan obat batuk cair itu, menggenangi lantai porselen putih. Kris menatap miris ke arah lantai. Ia juga menatap miris pada pola di mana Lee Hyunil terbaring kaku.

Sebuah topeng kayu tergeletak di sudut ruangan.

Benda yang satu itu tidak pernah tidak ada di lokasi kejadian. Kris melihatnya dari anak buahnya yang mengamankan topeng itu. Raut wajah topeng itu seperti tersenyum. Senyum mengejek. Cih, Kris ingin sekali memotong-motong pelakunya. Ia mendengus keras kemudian ia memberitahu salah seorang anggota divisinya untuk mengecek jenis kayu dari topeng itu dan juga mengecek pabrik pembuatan topeng di sekitar lokasi.

Sekali lagi Kris merasa tertekan dengan semua kejadian ini.

“Luhan, hubungi karyawan yang lain termasuk Byungwook. Kumpulkan juga keluarga korban.” Kris memberitahu Luhan yang sedang sibuk mencoret-coret buku catatan kecil yang selalu dibawanya di saku jas. Luhan mendongak dan mengangguk.

“Chief sendiri akan pergi ke mana?” tanyanya begitu melihat Kris yang menoleh ke luar jendela.

“Kurasa aku akan berkeliling sekitar tempat ini.”

Begitu ia menapakkan kaki keluar toko, segerombolan orang tampak mengelilingi toko obat kecil ini. Mereka terlihat ingin tahu dengan yang sudah terjadi. Kris menatap wajah-wajah gelisah dan ingin tahu itu. Ia melihat ada satu wajah yang terlihat sangat terpukul dan terkejut. Seorang gadis berambut panjang berwajah pucat memandang ke arah toko dan setiap polisi yang lewat dengan tatapan nanar. Wajahnya tampak gelisah. Sejurus kemudian, gadis itu sudah berbalik dan meninggalkan kerumunan. Alis Kris terangkat. Dengan segera, ia mengikuti kemana gadis itu pergi.

Gadis itu tampak berjalan dengan tergesa ke arah yang berlawanan. Gadis itu merapatkan mantel tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Kris dengan kedua kakinya yang panjang berhasil menjejerkan langkahnya dengan gadis itu. Dalam waktu singkat, ia menarik tangan gadis itu. Gadis itu membalikkan tubuh dan terkejut menatap Kris.

 

 

Yeonjoo melangkahkan kakinya memasuki subway. Hari masih begitu pagi. Matahari masih belum begitu nampak di ufuk timur dan jalanan pun masih cukup sepi. Orang-orang yang berada di dalam subway juga tidak begitu banyak. Entah dikarenakan hari terlalu pagi ataukah jadwal orang-orang tidak begitu padat hari ini, tidak banyak orang yang bisa Yeonjoo temui dalam perjalanannya dari rumah menuju stasiun subway. Ternyata di subway sama saja, pikirnya begitu ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru gerbong. Ia melirik jam tangan di tangan kanannya. Sekarang pukul lima lewat dua puluh lima menit dan subway akan mulai berangkat tepat lima menit lagi. Ia mengerling kursi-kursi yang ada dan akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi yang dekat dengan pintu yang cukup jauh dari pintu di mana ia masuk. Ia memposisikan diri dengan baik di kursi panjang yang sepertinya akan untuk dirinya sendiri sepanjang perjalanan.

Pagi ini ia harus ke toko pakaian tempat ia bekerja sebelum mengikuti kelas pukul sepuluh. Mungkin terlalu pagi, namun ia bisa terlambat jika ia berangkat di jam-jam lebih dari ini. Dan pagi ini ia sedang ingin berangkat dengan menggunakan subway. Ia ingin mengajak Joonmyun serta namun pemuda itu tidak begitu menyukai bangun pagi. Lagipula pemuda itu tidak pernah meninggalkan sepedanya dan juga dalam semester ini tidak ada kelas super pagi untuk mereka. Sudahlah, gumam Yeonjoo dalam hati, siang nanti aku akan bertemu dengan anak itu di kampus.

Beberapa detik sebelum pintu tertutup, ada seseorang yang melesat masuk dan sekilas membuat Yeonjoo terkejut. Pemuda tinggi tegap itu mengerling dan melihat sekitarnya. Sepertinya ia juga kebingungan mengapa gerbong ini terlihat sepi. Pemuda itu juga memandang Yeonjoo. Yeonjoo balas menatap pemuda itu karena sepertinya wajah pemuda itu tidak asing. Matanya membesar seketika. Dia kan…

“Song Yeonjoo?” pemuda itu mendekat dan duduk di sebelah Yeonjoo. Ia menunjuk Yeonjoo dengan ekspressi terkejut yang terukir jelas di wajahnya. Ia tampak mengerjap-ngerjapkan mata, sama seperti Yeonjoo.

“Kau…” Yeonjoo menggelengkan kepala pelan. Otaknya berpikir keras. Ia tidak mungkin salah. Ia mengenali pemuda di depannya ini. Ya, ia mengenalnya. “…Tao? Huang Zitao?”

Huang Zitao lantas tertawa. “Kau masih mengenaliku?” ia bertanya.

“Tentu saja! Wajahmu tidak berubah dari waktu kecil dulu, kau tahu.” Yeonjoo tersenyum senang. Pemuda itu tertawa lagi dan menariknya dalam pelukan yang erat. “Kemana saja kau selama ini, Tao? Kita tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun,” kata Yeonjoo di sebelah kepala Tao. Ia bisa merasakan Tao yang tertawa di sampingnya.

“Bagaimana kabarmu?” pemuda itu melepas pelukan tanpa menjawab pertanyaan Yeonjoo. Wajahnya masih diselimuti tawa. “Wajahmu sungguh tidak berubah.” Ia mengacak-acak rambut Yeonjoo.

“Seperti yang kaulihat aku sehat-sehat saja.” Yeonjoo meringis menatap Tao sambil merapikan rambut. “Kurasa kau juga sehat-sehat saja, dan kurasa kau bertambah tinggi, sangat tinggi.” Ia mengukur jarak tinggi kepalanya dengan pemuda di depannya dengan tangan.

“Tentu saja aku bertambah sangat tinggi.” Tao tersenyum bangga. “Dan kau…tetap berambut panjang dan bertubuh kurus seperti dulu.”

Yeonjoo tertawa. Sungguh ia sangat senang dengan pertemuan tak terduga ini. Sudah empat belas tahun mereka tidak bertemu. Ia sungguh merindukan sahabat masa kecilnya ini. Tapi mereka kehilangan kontak karena tiba-tiba Tao pindah rumah saat mereka masih di sekolah dasar. Dalam tahun-tahun itu sungguh mereka tidak berhubungan sama sekali. Yeonjoo juga pernah bertanya pada guru-guru mereka dan juga teman-teman yang lain namun tidak ada yang tahu kemana Tao pergi. Dan kini Yeonjoo sungguh bersyukur bisa bertemu dengan Tao kembali, meski itu memerlukan waktu empat belas tahun.

Wajah temannya ini masih sama seperti dulu. Tidak berubah, hanya wajahnya yang sekarang menujukkan kedewasaannya. Mereka sama-sama berumur 22 tahun ini, bagaimanapun. Kedua matanya terlihat sangat tajam bila ia sama sekali tidak tersenyum. Namun saat tersenyum, ia akan terlihat sangat lucu. Matanya pun bersinar menyenangkan. Suatu saat ia bisa saja terlihat kuat dan tangguh, namun di sisi lain ia terlihat sangat lembut dan lemah. Tao kecil sungguh tampak seperti itu. dan sekarang yang Yeonjoo bisa katakan pemuda itu masih seperti itu. Tindikan di telinga pemuda itu dan juga wajah dewasanya yang mengeras, entah kenapa Yeonjoo tidak bisa tidak berpikir bahwa Tao sering tersenyum. Sebenarnya tidak ada korelasinya, namun siapapun pasti melihat Tao sebagai orang yang punya banyak beban pikiran.

“Apakah Joonmyun masih tinggal di sini? Kau sering bertemu dengannya?” tanya Tao setelah kereta sudah melaju selama lebih dari dua puluh menit. Ia dan Yeonjoo berbincang mengenai banyak hal mengingat mereka yang sudah lama sekali tidak bertemu.

Yeonjoo mengangguk. “Hingga saat sekarang aku masih sekelas dengannya, kau tahu. Dia satu jurusan denganku.” Ia memberitahu Tao sambil tertawa berderai. “Aku yakin jika dulu kau tidak pindah, kita akan tetap bersama-sama bertiga sampai bangku kuliah,” sambungnya sambil menyikut Tao dengan main-main.

“Jadi, kau terus bersama dengannya?” Tao tertawa.

“Dia satu-satunya sahabatku,” jawab Yeonjoo,”mungkin aku akan lebih senang jika aku punya lebih banyak sahabat.” Ia meringis.

Tao sepertinya mengerti arah pembicaraan Yeonjoo. Ia menahan tawa. “Yah, baiklah, aku minta maaf karena sudah menghilang.” Ia mengatupkan kedua tangannya. Yeonjoo tertawa. “Bukankah dulu kita bermain bukan hanya bertiga? Maksudku, kau ingat, bukan, sepupu Joonmyun yang itu? Yang tanggal lahirnya berbeda empat hari dariku. Kukira dia masih tinggal di sini.” Tao menatap Yeonjoo dengan tatapan ingin tahu.

Yeonjoo tidak menyangka Tao menanyakan hal itu. Yah, itu sudah lama sekali. Yeonjoo yang ingatannya tidak begitu baik pada akhirnya mengingat-ngingat kejadian dalam masa kecilnya. Wajah sepupu Joonmyun itu sangat mudah diingat dan mudah dibayangkan bagaimana sosoknya begitu dewasa, karena untuk saat sekarang dan sejak empat belas tahun yang lalu, mereka sudah tidak bertemu lagi.

Raut wajah Yeonjoo berubah menjadi sedikit serius begitu kilasan kejadian itu terlintas dalam kepalanya. “Kurasa kau belum tahu ini, tapi sepupu Joonmyun itu menghilang..”

Tao terkejut. “Dia menghilang? Bagaimana bisa?”

“Aku juga tidak begitu mengerti,” Yeonjoo menggali ingatannya,”kami bermain di sekitar rumah saat itu, dan saat itu kami sangat haus. Kami masuk ke dalam rumah. Aku menunggu di dapur sementara Joonmyun mengambilkan buku dongeng yang ia temukan bersama sepupunya. Joonmyun turun ke dapur, dan saat kami tidak melihat sepupunya, kami mencari ke sekitar rumah. Kami tidak juga menemukan dia. Akhirnya kami melaporkan pada orangtuanya. Polisi terus mencari tapi dia tidak juga ditemukan.

“Yang bisa kuingat, saat itu keluarga Joonmyun sedih sekali. Sampai akhirnya keluarga mereka pindah ke Busan, namun Joonmyun dan orangtuanya tetap menetap di kota ini.” Yeonjoo membuang napas pelan.

Tao tertegun. “Lalu bagaimana dengan Joonmyun?”

“Joonmyun terlihat sangat terpukul, dan dia tidak pernah membicarakan sepupunya itu lagi. Aku juga tidak berani mengangkat-angkat cerita itu di depannya. Aku tidak ingin dia menjadi sedih.” Yeonjoo tersenyum getir. Ia hapal benar Joonmyun yang selalu berwajah ceria dan bersinar itu mudah sekali menjadi murung. Jika ia murung, ia akan berhenti bicara pada Yeonjoo. Ia akan terlihat tenggelam dalam lamunan untuk waktu yang lama, seakan ia tidak bisa tersadar. Siapa yang suka melihat Joonmyun yang seperti itu? Terkadang Yeonjoo tidak ingin bercerita masalahnya sendiri kepada Joonmyun karena takut pemuda itu banyak pikiran. Pemuda itu memang tipe orang yang gampang stress.

“Ternyata banyak hal yang terjadi selama aku tidak ada,” kata Tao pelan. Ia menunduk menatap sepatunya dengan resah.

“Begitulah.” Yeonjoo mengangguk lesu. Lalu kemudian senyumnya mengembang lagi. “kau ingin bertemu dengan Joonmyun? Bagaimana dengan makan bersama akhir pekan ini? Kita bisa sekalian reuni,” sarannya. Ia sendiri begitu senang dengan ide itu.

“Ide yang bagus sekali.” Tao mengangguk bersemangat. “Kau bisa berikan aku nomor ponselmu. Aku akan menghubungimu begitu jadwalku senggang.”

“Oh, jadi kau sangat sibuk sekarang?” tanya Yeonjoo dengan nada bergurau.

Tao meringis. “Tentu saja.”

Mereka bertukar nomor ponsel dan segera Yeonjoo harus turun di stasiun berikutnya. Ia cukup sedih karena ia masih belum banyak mengobrol dengan Tao. Mengingat mereka akan bertemu lagi akhir pekan ini, ia akhirnya dapat menekan keinginannya itu. Yeonjoo keluar dari subway dan melambai-lambai pada Tao yang masih ada di dalam. Begitu subway melaju, barulah Yeonjoo membalikkan tubuh dan bergegas menuju pintu keluar. Namun sesuatu menghentikannya. Sebuah berita dari televisi besar yang ada di dekat café kopi kecil.

….ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa seorang pegawai toko obat bernama Lee Hyunil berusia 30 tahun. Korban ditemukan sudah terbujur kaku dengan beberapa luka di dada dan belakang kepala sekitar pukul 5 pagi. Saat berita ini diturunkan, tim forensic baru tiba di lokasi kejadian dan segera membawa tubuh korban ke rumah sakit untuk selanjutnya melakukan autopsy. Belum diketahui apa motif dari kejadian ini, namun pelaku tidak melakukan perampokan karena tidak ada satu pun barang yang hilang. Dugaan dari berbagai pihak adalah bahwa pelaku adalah pelaku yang sama dengan pelaku pembunuhan berantai tiga tahun terakhir….

Yeonjoo terkesiap. Ia melihat dengan seksama area toko obat yang dimaksud dalam berita dan mengenali toko obat itu sebagai toko obat yang sering ia datangi karena toko itu tidak begitu jauh dari toko pakaian tempat ia bekerja. Terlebih lagi, ia juga mengenal Lee Hyunil yang menjadi korban itu. Tubuh Yeonjoo bergetar. Ia mengerjapkan mata seakan tidak juga bisa percaya dengan berita yang ada di depannya. Kemarin sore ia masih berinteraksi dengan Lee Hyunil yang baik hati dan ramah itu. Dan sekarang orang itu sudah tidak ada. Yeonjoo bergidik ngeri dikarenakan fakta itu dan ia masih belum percaya. Ia menggeleng dengan frustasi dan memutuskan untuk segera ke tempat kejadian untuk melihat semuanya dengan matanya sendiri.

Ternyata sesuai dengan yang ia lihat dalam berita, banyak mobil polisi dan ambulans terparkir di jalan di depan toko obat kecil itu. Ia juga melihat orang-orang yang berkerumun di depannya namun dihalang oleh beberapa orang polisi berjas hitam. Yeonjoo dengan susah payah menyeruak masuk ke barisan depan kerumunan itu. Ia mendengar suara-suara tangis dari orang-orang yang sepertinya adalah keluarga korban. Tangisan itu mengarah ke mobil ambulans dan akhirnya mobil itu mulai melaju meninggalkan lokasi. Meski begitu, orang-orang yang berkerumun di depan lokasi belum berkurang. Yeonjoo menelan ludah ketakutan. Ia menatap nanar setiap petugas polisi yang lalu lalang. Ketakutan begitu menyergapnya. Ia tidak tahan melihat semua ini dan akhirnya ia memutuskan untuk segera pergi ke tempat kerjanya. Ia berbalik dan menjauh dari kerumunan.

Tanpa ia duga, ada seseorang yang menarik tangannya. ia begitu terkejut dan ketakutan begitu menghadapi seorang pemuda yang sangat tinggi berambut pirang sudah berdiri di depannya dan menatapnya dengan dingin. Yeonjoo kebingungan. Ia sama sekali tidak mengenal pemuda dingin ini. Namun kesan pertama mengenai pemuda ini sudah terlanjur buruk karena pemuda itu mencengkeram pergelangan tangan Yeonjoo kuat tanpa Yeonjoo tahu alasannya.

“Apa yang sedang—“

“Apakah kau mengenal korban pembunuhan itu?” pemuda itu memotong perkataan Yeonjoo dengan cepat. Ia menatap Yeonjoo tajam dengan kedua bola matanya yang dingin menusuk.

“A-apa?” Yeonjoo terperangah mendapati pertanyaan itu ditujukan pada dirinya.

“Lee Hyunil ssi, apakah kau mengenalnya?” pemuda itu menanyai Yeonjoo dengan nada dingin.

“A-aku…” Yeonjoo mendadak merasa lidahnya kelu dan ia tidak bisa menjawab pertanyaan dari pemuda itu. Ada apa sebenarnya ini? Mengapa ia tidak bisa berbicara? Mengapa lidahnya tidak mau mengikuti apa perintah otaknya?

Pemuda itu mendengus dan mengeratkan cengkramannya di pergelangan tangan Yeonjoo. “Ikut aku.” Ia menarik Yeonjoo dengan segera ke arah yang berlawanan, kembali menuju tempat kejadian.

 

 

Membawa gadis itu ke kantor polisi ternyata pilihan yang buruk. Gadis itu begitu ketakutan. Ia menolak untuk interogasi singkat yang biasa dilakukan oleh Luhan dan hanya berkata bahwa ia harus pergi bekerja dan kuliah. Gadis itu juga melemparkan tatapan tidak senang pada Kris. Kris tetap menahan gadis itu untuk tidak pergi karena gerak-geriknya yang seperti mengenal korban. Ia tidak bisa melewatkan setiap detail yang bisa didapat dari orang-orang yang mengenal korban. Bisa jadi dengan semua detail kecil yang ada dan digabungkan, ia bisa mendapatkan bukti utuh dan menangkap pelakunya.

Gadis yang begitu menyulitkan itu kali ini bersikeras menelpon seseorang. Ia dengan tangan yang gemetar berbicara di ponsel dan dalam setengah jam, seorang pemuda berambut kecoklatan menyeruak masuk dengan tergesa ke dalam kantor polisi.

“Yeonjoo!” pemuda cemas itu menghampiri gadis itu. Gadis bernama Yeonjoo itu lantas didekap dengan erat oleh pemuda itu. Mereka berbincang sejenak, sambil sesekali gadis itu mengerling ke arah anggota-anggota divisi Kris, termasuk ke arah Kris, Yixing dan Luhan. Yixing ikut bergabung dengan gadis dan pemuda itu dan berusaha menjelaskan semua yang sedang terjadi dan mengapa gadis itu bisa berada di sini. Mendengar celotehan gadis itu, sepertinya gadis itu terlalu takut dan berpikiran buruk bahwa polisi mencurigainya sebagai tersangka. Siapa yang tahu, bukan? Kris membatin.

Akhirnya setelah bujukan dari pemuda yang entah saudara atau pacar atau temannya, gadis bernama Yeonjoo itu akhirnya mengikuti Luhan ke sebuah ruang kecil untuk ditanyai beberapa pertanyaan. Tadinya Kris tidak ingin mengikuti mereka, namun karena ia begitu penasaran dengan penuturan gadis itu, akhirnya ia ikut bergabung.

“Agassi, sudah berapa lama kau mengenal Lee Hyunil ssi?”

“Sekitar dua tahun belakangan karena tempat kerjaku tidak jauh dari toko obat.  Aku hanya sekedar mengenalnya.”

“Hanya sekedar mengenalnya? Bisa kau jelaskan?”

“Hyunil ssi berjaga hampir setiap kali aku membeli obat di sana. Aku hanya sekedar mengenalnya karena dia yang selalu mengambilkan obat-obat yang kubeli.”

“Lalu apakah Agassi selalu pergi ke sana?”

“Tidak setiap hari, bahkan bisa dibilang jarang sekali.”

“Apakah kau sering berbicara dengannya?”

“Aku hanya berbincang dengan Hyunil ssi sekadarnya. Aku tidak bisa bilang aku mengenalnya dengan baik.”

“Kapan interaksi terakhirmu dengan korban?”

“Kemarin sore.”

“Apakah kau masih ingat pukul berapa?”

“Sekitar pukul 4.”

“Bagaiman keadaan Hyunil ssi saat itu?”

“Hyunil ssi terlihat sehat. Saat itu dia akan berganti shift dengan rekannya. Dia berkata seperti itu padaku.”

Kris mencibir. Gadis ini cukup cooperative, padahal tadinya dia sangat ketakutan. Aneh sekali. “Lalu kenapa kau terlihat begitu ketakutan dalam kerumunan orang-orang?” ia bertanya.

Gadis itu melebarkan kedua mata. “Tentu saja aku ketakutan. Aku baru kali ini melihat kejadian seperti itu di sekitarku,” kilah gadis itu.

“Oh, ya?” Kris memutar mata kesal. Ia tidak bisa tidak berpikir bahwa semua orang berpotensi menjadi tersangka. Ia terlalu frustasi dan akhirnya hanya itu yang bisa ia pikirkan. Ia memang keterlaluan.

“Sepertinya sejak awal kau mencurigaiku,” desis gadis itu. Ia memincingkan mata menatap Kris.

“Tentu saja.” Kris menjawab pendek. Ia tak mau kalah juga menatap gadis itu dengan dingin.

Luhan memotong pembicaraan mereka selagi ia mencoret-coret buku catatan. “Sekitar jam itu, semua saksi mengatakan bahwa mereka masih melihat korban dalam keadaan sehat.” Ia menepuk-nepuk dagunya dengan ujung pena sambil berputar-putar di kursinya. Ia mendongak menatap Kris. “Rekan korban yang bernama Byungwook meninggalkan lokasi pada pukul 5 lewat 10.” Ia mencoret-coret lagi buku catatannya. “Dari beberapa saksi, terutama dari orang-orang di tempat laundry yang berada di kiri toko obat, setelah pukul 5 lewat 20, tidak ada lagi orang yang datang. Beberapa saat kemudian, toko obat ditutup dengan mendadak. Semua gorden tertutup dan pintu terkunci.”

“Apa?” Kris menaikkan alis.

Luhan meneruskan,”Lampu dari toko obat tidak menyala semalaman.” Ia mencoret-coret bukunya lagi. “Tim forensic mengatakan tubuh korban sudah sangat kaku dan diperkirakan korban sudah meninggal sejak pukul setengah enam sore.”

Gadis bernama Yeonjoo itu terlihat sangat terguncang. Ia membekap mulutnya dengan sebelah tangan. “Hyunil ssi sudah….tewas selama itu?”

Kris mengabaikan ekspresi yang dipancarkan oleh gadis itu dan ia tetap menghadap Luhan. “Simpan keterangan lainnya untuk nanti.” Ia harus menahan Luhan untuk tidak membeberkan semua fakta karena di hadapan mereka ada seorang saksi. Ia sendiri tidak ingin orang-orang diluar divisi mengetahui dengan luas mengenai bukti-bukti yang mereka kumpulkan. Ia ingin kerja mereka simple tidak terlihat tapi di akhir akan menjadi jelas dan pasti. Kris mengerling gadis itu. “Agassi, kau sudah boleh pergi.”

“Bo-bolehkan aku tahu siapa yang melakukan ini pada Hyunil ssi?” tanya gadis itu terbata saat ia sudah berdiri dari kursinya.

Kris memandangnya dengan malas. “Kami masih belum tahu.”

“Apakah ini berkaitan dengan pembunuhan berantai itu?...”

Kris mungkin tidak menduga pertanyaan ini akan terlontar dari mulut gadis itu, namun pembunuhan berantai itu bukanlah lagi hal tabu di masyarakat. Gadis ini sudah pasti tahu tentang pembunuhan-pembunuhan itu, batin Kris tanpa bisa dicegah. Kris mendengus dengan keras sambil melipat kedua tangan di depan dada. Luhan menunduk menatap catatannya, mencentang beberapa motif yang ada pada korban, seperti golongan darah, tangan kidal, tinggi, dan tanggal lahir dan topeng yang tertinggal dilokasi kejadian, luka tusukan di dada dan memar di belakang kepala. Sudah jelas korban kali ini adalah salah satu korban pembunuhan berantai itu. Namun entah Kris memutuskan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Kami masih belum tahu pasti,” jawabnya menggantung.

Gadis kaku yang selalu ketakutan itu menatap nanar kepada Luhan dan Kris. Begitu matanya mendarat pada Kris yang sedang memandanginya, ia melemparkan tatapan ketakutan yang berlebihan sebelum akhirnya ia membuka pintu dan menghilang.

Oh, gadis itu sungguh aneh.

 

 

Tao mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja dengan sedikit tidak sabar. Ia memandang sekeliling namun belum mendapati orang yang dicarinya muncul. Sebagai gantinya, ia memandang orang-orang yang mulai berdatangan ke café kecil ini. Café ini pilihan Yeonjoo, dan jam pertemuan ini, pukul 7, adalah pilihan Tao. Mereka sudah sepakat untuk bertemu lagi dan hari sabtu ini adalah saat yang tepat. Tao sudah tidak sabar menunggu untuk bisa bertemu lagi dengan teman kecilnya itu. Kali ini ia akan bertemu dengan Joonmyun juga, sudah tentu ia akan sangat senang. Setidaknya aura masa kecil yang menyenangkan akan terurai di antara mereka malam ini.

Meja yang dipilih Tao dekat dengan pintu masuk sehingga ia bisa mengawasi setiap orang yang datang. Begitu ia melihat sepeda yang baru terparkir, ia sudah tahu tanpa melihat siapa orang yang akan memasuki pintu masuk café. Ia mendengaar suara Yeonjoo yang ceria, begitu juga suara lain yang ringan dan renyah. Itu sudah pasti suara Joonmyun, tebak Tao.  Ia mengerling ke luar jendela. Ia melihat Yeonjoo sedang berbicara kepada seorang pemuda yang bertubuh cukup tinggi dengan wajah yang bersinar-sinar. Dua orang itu saling pandang dan tertawa. Tao memiringkan wajah melihat dua orang itu dan menebak-nebak sepertinya hubungan mereka semakin akrab dalam empat belas tahun terakhir. Ia tersenyum kecil. Yeonjoo dan Joonmyun sungguh tak terpisahkan.

“Tao!” Joonmyun memeluk Tao sambil menepuk-nepuk keras punggung pemuda itu. Tao juga melakukan hal yang sama sambil tertawa-tawa. Mereka melepaskan pelukan dan akhirnya Tao bisa melihat wajah Joonmyun dengan jelas. Sewaktu kecil, wajah Joonmyun begitu kurus, berbeda dengan sepupunya yang terlihat cukup gemuk. Joonmyun selalu terlihat ceria. Joonmyun memang suka sekali tertawa sehingga matanya kadang tak terlihat namun itulah point penting darinya. Tubuh Joonmyun tidak begitu tinggi, dan bisa dikatakan tingginya berbeda sedikit dibandingkan dengan Tao. Namun kombinasi yang sudah ada pada dirinya membuatnya disukai banyak orang. Joonmyun terlihat sangat tampan di usianya yang sekarang.

“Kurasa kau tidak banyak berubah, seperti yang Yeonjoo deskripsikan padaku.” Tao meringis menatap Joonmyun. Joonmyun melirik Yeonjoo yang dengan segera menarik kursi dan duduk.

“Sepertinya kau bercerita banyak tentang aku, Yeonjoo,” kata Joonmyun dengan nada kesal yang dibuat-buat. Ia tertawa.

Yeonjoo hanya tertawa malu. “Tidak juga.”

“Ngomong-ngomong, aku terkejut sekali begitu Yeonjoo memberitahuku kalau dia sudah bertemu denganmu.” Joonmyun memulai pembicaraan saat ia menarik kursi dan duduk di sebelah Yeonjoo. “Sudah lama sekali, benar tidak, Tao? Sudah empat belas tahun. Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa kita baru dipertemukan lagi setelah sekian lama.”

“Mungkin sudah jalannya seperti ini,” balas Tao sambil tertawa ringan.

“Jadi, kalian benar bertemu di dalam subway?” kini Joonmyun bertanya.

“Tentu, Joonmyun, aku bertemu dengannya hari rabu.” Yeonjoo menjawab saat seorang pelayan mengantarkan buku menu.

“Hari rabu? Oh, sungguh hari itu hari yang sangat mengejutkan untukku,” tukas Joonmyun sambil tertawa renyah yang kaku. Tubuh Yeonjoo menjadi sedikit kaku namun ia tetap menunduk menatap buku menu.

Tao menjadi penasaran. Apa maksud dua orang temannya ini? “Apa yang terjadi pada hari rabu?” ia sendiri mengingat-ingat apa yang dilakukannya pada hari itu. ia bertemu dengan Yeonjoo di subway, ia masuk ke kelas bersama Minseok, pergi ke perpustakaan, bertemu dengan dosennya….

Joonmyun  membuang napas, sepertinya ia sedang mengingat kejadian demi kejadian yang terjadi tiga hari yang lalu. “Kelasku di mulai pukul 10.30 pagi. Aku bangun tepat tiga menit sebelum jam itu, itupun dikarenakan aku mendengar dering dari ponselku. Yeonjoo menelepon dan berkata padaku yang setengah sadar bahwa dia sedang berada di kantor polisi. Sungguh aku panik sekali.”

“Apa?” Tao terkejut. “Ada apa? Apa yang terjadi?” ia memandang Yeonjoo dan Joonmyun di depannya bergantian. Yeonjoo di depannya terlihat cukup terguncang. Tao sedikit keheranan dengan gadis yang terlihat tertekan itu. Sewaktu kecil Yeonjoo jarang sekali mengerutkan dahi karena ia selalu tertawa. Ia tidak pernah sekalipun terlihat sedih.

 Yeonjoo dengan kaku menyodorkan buku menu kepada Joonmyun, kemudian ia menatap Tao. “Ada pembunuhan di toko obat dekat dengan tempat kerjaku. Aku mendengar berita itu di televisi sebelum keluar dari stasiun. Aku sangat ketakutan, kau tahu? Aku mengenal korban pembunuhan itu,” jelasnya. Sesaat kedua bola matanya bersinar sedih.

“Dan karena Yeonjoo terlihat seperti mengenal korban, Yeonjoo dibawa ke kantor polisi oleh salah seorang polisi yang bertubuh tinggi sekali,” sambung Joonmyun sambil menurunkan buku menu dari pandangannya. Ia menggerak-gerakkan tangannya, menggambarkan bagaimana tinggi polisi yang ia maksud itu.

Tao mengangguk mengerti. “Ternyata kejadiannya seperti itu.” ia bergumam. “Jadi, apa yang dilakukan polisi-polisi itu padamu?” ia menoleh kepada Yeonjoo yang kini tertunduk lesu.

“Hanya bertanya beberapa pertanyaan mengenai korban,” sahut Yeonjoo sambil tersenyum tipis. “Polisi-polisi itu cukup menyebalkan dan menakutkan. Jadi aku menelpon Joonmyun. Sungguh, polisi-polisi itu menyeramkan.” Joonmyun yang mendengar perkataan Yeonjoo mengikik geli.

“Aku memang mendengar tentang pembunuhan baru-baru ini, tapi aku tidak tahu jika lokasinya dekat dengan tempat kerjamu.” Tao mengingat berita yang ia dengar di kampusnya. Kota ini perlahan-lahan menjadi kota pembunuhan. Sudah banyak pembunuhan yang terjadi terutama tiga tahun belakangan dan pembunuhan ini bukanlah pembunuhan biasa, melainkan berantai. Siapa yang tidak tahu tentang hal ini? Semua orang mengetahuinya. Di kampus dan di mana pun, ia kerap kali mendengar orang-orang bercerita tentang pembunuhan ini. Malah di kampusnya ada sebuah forum mahasiswa yang khusus membahas kasus-kasus pembunuhan ini di setiap pertemuan, dan segerombol anak semester bawah yang berlagak menjadi detektif untuk menyelidikinya. Ia sendiri cukup ketakutan dengan semua pembunuhan itu. Ia sudah tahu tentang kriteria korban pembunuhan itu. Selama ini memang menunjukkan hal yang sama persis, namun ia selalu berpikir bahwa ia bisa menjadi korbannya karena ia bergolongan darah A.

Ia merinding mengingat fakta itu. Ya, ia bisa dibunuh kapan saja.

Joonmyun mendorong buku menu ke hadapan Tao begitu sadar Tao dan Yeonjoo diam untuk beberapa saat. “Sudahlah, lebih baik kita bicarakan masa kecil kita saja.” Ia mengalihkan pembicaraan dan membuat dua lainnya tertawa senang. Entah berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk membicarakan semua, saat Tao melirik pergelangan tangan kanannya, jam tangannya sudah menunjukkan lebih dari pukul 9. Mereka memutuskan untuk berpisah untuk sementara dan mereka juga sudah merencanakan ‘reuni-reuni’ selanjutnya. Sepertinya mereka akan bertemu setiap akhir pekan, seperti ini.

Tao memandangi Yeonjoo yang sedang duduk di boncengan sepeda Joonmyun. Gadis itu terlihat lucu saat Joonmyun pura-pura melajukan sepeda sebelum ia sempat berpegangan. Ia terlihat kesal namun ia hanya tertawa. Kemudian Tao melihat gadis itu melingkarkan kedua tangan di pinggang Joonmyun. Yeonjoo tidak lupa menoleh dan melambai pada Tao, begitu juga dengan Joonmyun, sebelum akhirnya sepeda mulai melaju dan meninggalkan Tao yang berdiri mematung di depan café. Sejak awal Tao merasa terusik dengan kedekatan Yeonjoo dan Joonmyun. Siapapun yang melihat pasti mengira mereka memiliki hubungan semacam itu, namun kenyataannya tidak. Tao merasa aneh kepada dirinya sendiri karena ia masih merasa aneh melihat Yeonjoo dekat dengan orang lain setelah hampir empat belas tahun tahun. Ternyata masih sama sepeti dulu, bahwa ia masih menyimpan rasa pada sahabat kecilnya itu. Ia menebak-nebak apakah gadis itu masih menyimpan benda pemberiannya.

Senyum tidak bisa lepas dari wajah Tao. Ia sungguh bersyukur ia dapat bertemu lagi dengan gadis itu. Bisa dikatakan hal ini adalah hal yang sudah ia tunggu-tunggu dalam empat belas tahun.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~