Chapter 1: week 1 - Viewpoint

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

http://www.youtube.com/watch?v=RyKL3kIJYD0

 

Kepala Huang Zitao sudah hampir mendarat dan terbentur di permukaan kaca jendela bus ini jika saja ia tidak cepat-cepat menyangga dagunya dengan tangan kanan. Ia mengerjap beberapa saat, keheranan dengan sekelilingnya yang tidak tampak sama. Ia begitu terhanyut dalam mimpinya sehingga ia nyaris tidak bisa menerima keadaan baru yang sesungguhnya sama sejak berjam-jam yang lalu. Ia mendecakkan lidah, menyesali bahwa ia telah terjaga. Ia sudah akan kembali ke alam mimpi saat seseorang yang duduk di sebelahnya menepuk lengannya kuat.

“Yah, yah, Tao! Menurutmu apa yang harus kita lakukan setelah kita tiba di Seoul?” tanya orang itu dengan antusias. Suaranya begitu memekakkan telinga. Tao tidak dengan mudah menerima kenyataan itu. Dirinya seakan belum mengumpulkan seluruh nyawa dan ia harus menerima sebuah tepukan keras di lengan dan pertanyaan yang disampaikan dengan suara nyaring yang mengiritasi pendengarannya sesaat. Dengan enggan ia memutar kepalanya dan menghadapi teman seperjalanannya yang tersenyum cerah.

“Tentu saja pulang ke rumah, Hyung. Apakah kau tidak lelah dengan study tour tiga hari belakangan?” Tao menjawab. Pemuda yang lebih tua itu nampak tidak senang. Bukan jawaban itu yang ia harapkan.

“Apakah kau tidak berencana tidak langsung pulang ke rumah?” tanya pemuda itu dengan wajah berkerut.

Tao mengerutkan kening. “Apa maksudmu, Hyung?”

Kim Minseok tersenyum menyeringai. “Aku sangat ingin ke berbagai tempat, kau tahu. Aku juga ingin pergi ke Noraebang.” Ia tertawa. Tao sudah mengerti maksud temannya ini. Temannya ini sedang berusaha membujuknya untuk pergi ke Noraebang setelah bus ini sampai di Seoul. Tao membuang napas.

“Lain kali saja, Hyung.” Tao mengibaskan tangan. “Masih banyak yang perlu dikerjakan. Sudahkah Hyung mengerjakan laporan-laporan itu?” ia bertanya. Ia langsung teringat tugas laporan itu karena mengerjakan laporan adalah hal pertama yang ia lakukan begitu ia sampai di rumah. Ia merencanakan banyak hal. Banyak hal yang berkaitan dengan akademik yang perlu ia kerjakan. Ia mungkin tipikal orang yang selalu berkutat dengan masalah akademik. Ia sudah terbiasa mencatat dan mendaftar apa yang harus ia kerjakan, prioritasnya, dan apa yang harus ia kerjakan belakangan.

Minseok membeku di kursinya. “E-eh, sepertinya aku melupakan hal yang satu itu.” ia menggaruk-garuk kepala dengan canggung.

“Kalau begitu setelah sampai, kita pulang ke rumah masing-masing saja,” saran Tao. Ia melihat Minseok memasang wajah tidak senang untuk kedua kalinya. Tao tidak heran karena Minseok sering memasang wajah itu bila gagasannya ditolak.

“Tapi tidakkah kau pikir hari ini kita masih dalam hitungan study tour? Maksudku, kuliah memang dimulai besok tapi hari ini kita masih bisa melakukan hal yang tidak berhubungan dengan akademik.” Minseok mengikik sementara Tao menaikkan sebelah alis. “Kita lupakan saja laporan itu untuk beberapa jam. Lagipula aku baru mendapat ilham mengerjakan laporan jika hari sudah begitu malam.” Ia tertawa-tawa.

“Aku mendapat ilham untuk mengerjakan laporan jika hari sudah sore,” balas Tao tidak mau kalah. Tawa Minseok perlahan berhenti. Minseok berdeham.

“Berhentilah menjadi anak rajin!” serunya. “Jika kau terlalu rajin seperti ini, kau tidak bisa menikmati masa mudamu,” lanjutnya dengan aneh, seolah ia sedang mengajari Tao.

“Tidak ada hubungannya, Hyung,” sahut Tao dengan muram.

“Tentu saja ada. Kau akan tertekan dan menjadi cepat tua bila berkutat dengan pelajaran terus menerus. Begitu sadar, masa mudamu sudah terlewat. Kau tahu, Tao, kita harus menikmati masa muda dengan pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, seperti ke Noraebang, restoran daging...” Minseok tertawa keras.

Tao memutar mata. “Jangan katakan kau sudah lapar, Hyung. Kita baru saja makan siang dua jam yang lalu.” Matanya menyipit mengawasi gerak-gerik Minseok.

“Tentu saja aku sudah lapar.” Minseok menyahut cepat. “Duduk diam begini dalam bus tanpa makanan sungguh tidak mengasyikkan. Aku ingin segera tiba di Seoul,” keluhnya. “Berapa lama lagi kita akan sampai?” ia bertanya.

“Kurang lebih tiga jam lagi.” Tao mengecek jam tangannya.

“Kita akan tiba pukul 5? Mengapa lama sekali?” protes Minseok.

“Mana aku tahu itu.” Tao mendengus.

“Lebih baik aku tidur saja. Setelah sampai, kita harus pergi ke restoran dan makan daging.” Minseok menggeliat di kursinya, mencari posisi yang nyaman sebelum akhirnya ia melipat tangan di depan dada dan menutup mata.

Tao membuang napas. Sesaat kemudian ia kembali menatap keluar jendela. Waktu benar-benar berlalu begitu cepat, bukankah begitu? Sepertinya baru kemarin ia, Minseok dan teman-teman lain satu jurusan mempersiapkan keberangkatan mereka ke Daejeon untuk Study Tour. Lihatlah kini di mana mereka berada. Di dalam bus menuju Seoul. Waktu yang begitu cepat berlalu membuat semuanya bagai mimpi. Terkadang Tao tidak bisa mempercayai hal itu, begitu banyak hal yang sudah terlewat begitu saja tanpa ia sadari. Benar-benar seperti mimpi, bukan?

Setidaknya ia tidak hidup di dalam mimpi. Ia masih bisa membedakan mimpi dan kenyataan. Ia tidak sedang terperangkap dalam mimpi yang membuatnya tidak akan terjaga seumur hidupnya. Ia punya mimpi, ia punya tujuan. Hal itulah yang membuatnya masih bertahan. Memikirkan tentang laporan-laporan yang sudah menunggu juga tentang ajakan ke Noraebang dan restoran, Tao menutup kedua matanya. Minseok benar, sepertinya ia tidak perlu begitu serius mementingkan laporan-laporan. Sebenarnya ia tidak suka menunda pekerjaan, namun ia bisa mengerjakan laporan itu malam nanti, setelah mereka selesai makan dan pulang dari Noraebang. Sepertinya itu ide yang bagus. Tao menekankan hal itu kepada dirinya sendiri sebelum akhirnya ia kembali terlelap.

 

 

 

“….seharusnya kau ada di perpustakaan tadi. Kejadian itu lucu sekali. Aku yakin kedua anak itu pasti malu karena sudah membuat kegaduhan.”

“Apa yang mereka lakukan?”

“Mereka mendengarkan musik dari ponsel dan tanpa sengaja salah satu dari mereka mencabut kabel earphone tanpa mematikan music player. Dan jadilah perpustakaan gaduh dalam beberapa puluh detik. Dan kau tahu, bukan, orang-orang yang membuat kegaduhan sedikit saja di perpustakaan akan mendapat lirikan maut dari pengunjung lain? Wajah dua anak itu sangat lucu karena malu.”

“Kau mengawasi mereka? Apa yang mereka lakukan setelah itu?”

“Tentu saja aku mengawasi mereka. Aku mengawasi semua orang sepanjang waktu. Kedua anak itu berusaha mematikan music player dengan panik. Untungnya musiknya bisa cepat dimatikan.”

“Kau tidak memarahi mereka, bukan, Joonmyun?” tanya Song Yeonjoo sambil menepuk punggung orang di depannya. Ia tertawa pelan.

“Tidak, tentu saja tidak. Mereka berdua anak yang baik. Mereka sering sekali datang ke perpustakaan, walaupun hanya membaca komik. Mereka tidak sering membuat kegaduhan dan mereka selalu mengembalikan pinjaman mereka tepat waktu.” Kim Joonmyun tertawa sekali lagi. Begitu melewati sebuah tanjakan kecil yang membuat mereka sedikit terguncang dari posisi duduk mereka, ia menurunkan tangan kirinya dari setir sepeda dan mengeratkan kedua tangan Yeonjoo yang melingkar dipinggangnya.

Yeonjoo melingkarkan tangannya dengan lebih kuat. “Apakah aku mengenal mereka?” tanyanya.

“Kurasa kau belum pernah melihat mereka. Lain kali kau harus datang ke perpustakaan,” balas Joonmyun sambil sedikit menoleh ke belakang. Yeonjoo mengangguk singkat dan tertawa kecil. Tak berapa lama kemudian, Joonmyun menghentikan sepedanya. Yeonjoo segera turun dari boncengan dan Joonmyun segera memarkirkan sepeda. Yeonjoo mendongak menatap bangunan di depannya. Mereka berada di depan sebuah restoran pasta yang penuh pengunjung. Bila dilihat dari luar, tampaknya tidak akan ada satu pun meja yang kosong. Yeonjoo tidak yakin mereka bisa makan malam di restoran ini. Ia mengerutkan kening. Ia sungguh tidak menduga restoran yang baru buka sekitar seminggu ini sudah penuh pengunjung. Restoran ini sungguh laris, pikirnya.

“Ada apa?” tanya Joonmyun yang kini sudah berdiri di sebelah Yeonjoo. Yeonjoo menoleh dan mendapati Joonmyun menatapnya keheranan.

“Itu,” Yeonjoo menunjuk-nunjuk ke pintu restoran,”sepertinya di dalam penuh sekali. Kurasa kita tidak bisa makan di sini,” keluhnya.

Joonmyun tersenyum kecil, membuat wajahnya semakin bersinar-sinar. “Kau tidak akan tahu sebelum kau masuk ke dalam, bukan?” katanya.

 Yeonjoo menyipitkan mata menatap Joonmyun yang sedang tersenyum manis itu. Senyum pemuda itu selalu membuat perasaan Yeonjoo lebih baik. Namun ia masih tidak yakin akan mendapat meja di dalam. “Jika dugaanku benar, kita akan makan di mana?” Ia bertanya.

“Aku tahu banyak restoran yang menyajikan makanan enak. Tapi kurasa kita akan makan di sini,” sahut Joonmyun sambil ikut-ikutan menunjuk pintu kaca restoran pasta di depan mereka. “Ayolah, kita masuk dulu saja.” Ia menarik tangan kanan Yeonjoo.

Meskipun terlihat penuh sekali, ternyata masih ada satu-dua meja yang kosong. Joonmyun dengan segera menarik Yeonjoo ke meja kosong terdekat. Kemudian seorang pelayan tiba di meja mereka dan mereka segera menyebutkan pesanan. Pelayan itu pergi beberapa saat kemudian. Joonmyun tersenyum senang. Wajahnya bersinar meski kedua matanya menjadi terkesan kecil.

“Dugaanku benar, bukan? Masih ada meja yang kosong.” Ia tertawa-tawa.

Yeonjoo mengulum senyum sambil melipat mantel dan menyampirkannya di kursi. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya serasa duduk kembali di kursi.

“Hanya menebak.” Joonmyun tersenyum penuh arti.

“Kau seperti cenayang saja,” kata Yeonjoo sambil tertawa. Seketika ia berhenti tertawa saat ia teringat sesuatu. “Mengapa tadi kau datang terlambat ke toko? Tidak biasanya kau tiba lebih dari pukul 5.10.” Ia melirik jam tangan di tangan kanannya. Pukul 5.45 sore. Joonmyun datang menjemputnya pukul 5.35. Ia mendongak dan melihat Joonmyun yang tersenyum kecil.

“Kau begitu memperhatikan hal dengan detail,” desisnya dengan nada tidak senang yang pura-pura.  Yeonjoo hanya tertawa. “Apakah aku tidak boleh datang menjemputmu di toko lebih dari jam 5.10?” tanyanya. Ia mengerjap beberapa kali. Matanya menyipit menatap Yeonjoo namun sinar di wajahnya tidak juga hilang. Ia mengulum senyum sesaat kemudian.

“Hei, aku tidak bilang seperti itu,” kata Yeonjoo, ia mengibas-ngibaskan tangan. “Aku hanya heran saja. Apakah perpustakaan tutup lebih lama dari biasanya?” ia menopang dagunya dengan kedua telapak tangan dan menekankan sikunya di meja. Ia menatap Joonmyun lurus-lurus. Joonmyun yang ditatap hanya mengulum senyum.

“Hei, aku tidak bilang seperti itu.” Ia mengambil kata-kata Yeonjoo sebelumnya. “Ada yang harus aku lakukan dalam setengah jam tadi sebelum aku bertemu denganmu,” katanya. Ia nampak seperti tidak ingin menjelaskan lebih bila lawan bicaranya tidak lanjut bertanya. Yeonjoo sudah hapal kebiasaan Joonmyun yang satu itu.

“Apa itu? Apa yang kaulakukan?” tanya Yeonjoo ingin tahu.

Joonmyun tertawa. Perlahan ia mengulurkan tangan dan mencubit hidung Yeonjoo. “Itu… ra-ha-si-a.” Ia tertawa renyah.

Yeonjoo mengernyit kesakitan sementara Joonmyun masih tertawa-tawa. Tak berapa lama kemudian, pesanan mereka datang. Disela-sela makan, Joonmyun bercerita tentang hal-hal menarik lain yang terjadi di perpustakaan. Yeonjoo pun bercerita tentang kejadian yang dialaminya hari ini di toko pakaian tempat ia bekerja. Sudah biasa bagi mereka bertukar cerita di jam makan malam seperti ini. Itu adalah hal yang biasa mereka lakukan.  Ia dan Joonmyun sama-sama masih di bangku kuliah. Selain mengambil jurusan yang sama, salah satu kesamaan mereka lainnya adalah mereka bekerja paruh waktu di sela-sela kuliah mereka. Yeonjoo bekerja di sebuah toko pakaian cukup jauh dari kampus mereka dan Joonmyun bekerja di sebuah perpustakaan kecil yang berada di sebuah daerah perumahan. Mungkin penghasilan mereka tidak seberapa, namun mereka menemukan semacam kebahagiaan dengan pekerjaan paruh waktu mereka masing-masing.

Jika kita mencintai apa yang kita kerjakan, entah itu pekerjaan atau dalam bidang akademik, kita akan melakukannya tampak seperti sedang bermain. Kita akan sangat menikmatinya. Yeonjoo sangat mencintai pekerjaannya. Ia mencintai hidupnya. Ia bahagia karena ia memiliki keluarganya dan juga Joonmyun dalam kehidupannya. Ia merasa hidupnya sangat berwarna dan bahagia walaupun menurut orang lain hidupnya tampak biasa-biasa saja. Yah, ia memang tidak pernah mendapat kejadian besar dalam hidupnya. Ia hidup biasa-biasa saja, dan ia datang dari keluarga yang biasa-biasa saja. Ia tidak pernah berharap hidupnya akan seperti tokoh di dalam cerita-cerita fiksi, yang penuh tantangan dan petualangan. Ia pernah memikirkan hal itu saat ia masih di sekolah dasar dulu, dan ia memberitahu Joonmyun. Joonmyun sama sekali tidak menyukai cerita fiksi, apalagi dongeng. Namun, ia berpendapat sepertinya hidup seperti tokoh-tokoh dalam cerita fiksi itu akan sangat melelahkan dan juga merepotkan. Yeonjoo pun berpikiran sama. Alangkah bahagianya kehidupan sederhana yang dijalani Yeonjoo. Ia sangat bersyukur kepada Tuhan atas segala yang diberikan padanya.

Yeonjoo memutar kepalanya begitu melihat beberapa mobil bersirene bergerak di jalan. Ia memperhatikan dengan seksama mengapa mobil-mobil itu harus menyeruak di jalan bergabung dengan kendaraan lainnya di jam-jam seperti ini.

“Apa yang terjadi? Mengapa mobil-mobil itu terlihat buru-buru sekali?” Yeonjoo menunjuk-nunjuk pintu kaca, lurus ke arah mobil-mobil bersirene yang sedang berhenti dikarenakan lampu lalu lintas berubah merah.

Joonmyun menatap ke arah yang ditunjukkan Yeonjoo, tersenyum samar dan berkata

”Entahlah. Aku tidak tahu.”

 

 

 

“Polanya masih sama, kau tahu? Kau perhatikan itu, bukan?” Luhan nyaris mengetuk-ngetuk setirnya dengan keras. Ia menggertakkan gigi kesal. Lampu lalu lintas yang tidak juga berubah warna menjadi hijau membuat ia semakin geram.

“Pola yang sama, waktu yang sama,” gumam Zhang Yixing yang duduk di sebelahnya. Ia dengan muram membolak-balik beberapa kertas laporan di tangannya. Ia mendengus. “Kukira maniak itu akan berhenti melakukan ini.”

“Dia tidak pernah berhenti sejak tiga tahun yang lalu, tidakkah kau sadar akan hal itu?” Luhan masih menggertakkan gigi dengan geram.

“Yah, bila dilihat polanya memang masih sama, seharusnya kita lebih waspada beberapa hari belakangan,” kata Yixing. Ia meletakkan kertas-kertas laporannya di dashboard. “Dalam minggu ini berarti akan ada tiga dan ini sudah kedua kalinya.”

“Dan pola biasa adalah 3-2-3-2-2. Dia tidak muncul dalam dua bulan belakangan dan dia muncul lagi dengan pola awal. Sungguh hebat.”

“Dalam tiga tahun dia benar-benar memperlihatkan eksistensinya meski dia muncul dengan jarak yang tidak bisa kita tebak. Kita hanya biasa menebak-nebak kapan dia akan menyerang, bukankah begitu?”

“Semuanya hanya perkiraan. Kita hanya bisa menebak kapan dia akan menyerang. Pola dan waktu memang masih sama, Yixing, tapi kau tahu dia selalu berada di tempat yang berbeda.” Luhan mendecakkan lidah.

Yixing mengangguk. “Karena itulah kita jadi terkesan terlambat?” ia tertawa pahit. “Kita sama sekali tidak bisa melacak tempat-tempat yang akan dia datangi. Tempat-tempat itu sama sekali tidak memiliki hubungan satu sama lain. Benar-benar acak.”

Luhan membuang napas panjang seraya mengangkat bahu. Lampu lalu lintas sudah berubah warna dan ia mulai melajukan mobil dengan tidak sabar. Sejak tadi Kris mendengarkan semua bercakapan Luhan dan Yixing dari kursi belakang tanpa berkata sepatah pun. Ia melipat kedua tangan di depan dada sambil sesekali melirik kotak kardus besar yang berada di sebelahnya. Ia membuang wajah dan menatap keluar jendela. Hari sudah semakin gelap dan lampu jalan yang temaram sudah menerangi jalan-jalan. Pikiran Kris melayang ke mana-mana tanpa bisa ia cegah. Ia menutup matanya dan mendengus keras.

Ia merasa lelah, tidak, bukan tubuhnya yang lelah. Mungkin pikirannya. Ia membiarkan pikirannya terbebani dan itu berakibat pada tubuhnya. Semua pikiran-pikiran itu membuat fisiknya lelah. Semua pikiran-pikiran itu mengirimkan sugesti ke dalam dirinya dan membuat dirinya lelah. Ia tidak begitu lelah, ia tidak lelah. Itulah yang berusaha ia tanamkan dalam pikirannya. Namun, sekali lagi ia mendapati tubuhnya lelah, seolah ia ingin pergi ke suatu tempat di mana ia bisa tidur panjang, hibernasi layaknya beruang. Tidak ada yang bisa ia lakukan, setidaknya untuk saat ini.

Semua hal yang ada seolah membuatnya terperangkap dalam lubang di mana ia tidak bisa keluar dan tidak akan pernah bisa keluar.

Beberapa saat kemudian mereka tiba di kantor. Kris meminta Yixing membawa kotak kardus yang berada di kursi belakang. Yixing mengangguk. Mereka segera masuk ke elevator. Sesaat sebelum pintu elevator tertutup, dua orang bertubuh tinggi tegap ikut masuk ke dalam elevator. Suasana menjadi tegang saat itu juga. Seolah mereka kekurangan udara dalam elevator ini, Kris kesulitan bernapas. Dua atasannya menatapnya dengan tajam.

“Kasus lagi, Kris?” tanya salah seorang dari mereka dengan nada ramah yang dibuat-buat. Kris membeku, begitu juga dengan Luhan dan Yixing yang berdiri di belakangnya. Mereka tidak buka suara sedikit pun.

Begitu tidak mendengar sepatah kata pun dari Kris, atasannya yang seorang lagi berkata,”Apa saja yang sudah dilakukan divisimu? Mengapa kasus-kasus terus bermunculan? Tidakkah kalian segera melakukan berbagai hal untuk membekuk pelakunya?” tanya atasannya dengan tidak menyenangkan. Ia dengan ekspresif menggerak-gerakkan tangannya dan nyaris memberi tepukan halus di kepala Kris. Kris masih terdiam tanpa memasang satu ekspesi pun di wajahnya. Ia tidak akan pernah berkata-kata bila atasan-atasannya memarahinya. Ia sudah sering seperti itu, diam tanpa berkata-kata.

“Seperti yang sering dibahas oleh divisi lain, divisimu butuh perombakan, Kris. Divisimu membutuhkan orang-orang yang lebih cakap dan tangkas,” kata atasan yang satu lagi sambil melirik Luhan dan Yixing. Luhan dan Yixing hanya diam meski mereka merasa tersindir.

“Sudah tiga tahun kasus ini terus berlanjut dan tidak ada penyelesaian. Kau pikir masyarakat bisa tenang? Kalau sudah begini, kepercayaan masyarakat kepada kita juga akan berkurang. Kita akan dianggap tidak becus dalam melindungi mereka,” desis atasannya.

“Lekas temukan pelakunya agar semua kasus ini berhenti.”

“Jika kinerja divisimu terus seperti ini, perombakan akan dilakukan segera. Dan mungkin juga kau akan dipindahkan ke divisi lain di luar Seoul. Kau paham maksudku, bukan?”

Terdengar denting halus dan dua atasan berbadan tinggi tegap itu melangkah keluar elevator. Meski suasana tidak setegang tadi, Kris merasa bisa sedikit bernapas dengan lega. Ia mendengar Luhan dan Yixing bergumam-gumam aneh menirukan kata-kata atasan mereka. Mereka nampak kesal. Kris tidak berkata apa pun sampai akhirnya mereka sampai di lantai lima. Mereka segera masuk ke ruangan bercat putih yang dekat dengan ruang kerja Kris. Yixing segera menaruh kotak kardus yang dibawanya di meja.

“Sudah ada kabar dari tim forensic?” Kris menanyai Luhan. Ia melepas mantel hitam panjangnya dan menurunkan ransel dari bahunya yang lelah.

Luhan langsung meraih ponsel dari kantung mantelnya. Jari-jarinya mulai bergerak di layar ponsel. Sebentar kemudian, ia membacakan pesan yang didapatnya semenit yang lalu. “Korban ditusuk dengan benda tajam hingga menembus ke jantungnya. Tusukan juga ditemukan di perutnya. Ditemukan juga luka memar di kepala bagian belakang korban. Diduga saat diserang, korban melakukan perlawanan dan kepalanya dibenturkan ke dinding. Korban ditemukan kira-kira lima belas menit setelah penyerangan. Korban kehabisan darah di TKP.”

Kris membuang napas. “Golongan darah korban?” tanyanya tanpa menoleh pada Luhan.

“A reshus positif,” sahut Yixing.

Seperti dugaan awal, pikir Kris.

“Identitas korban?”

“Han Seungsoo, 27 tahun. Lahir pada tanggal 12 Februari. Karyawan bank XXXX Seoul. Golongan darah A. Tinggi 179 cm.” Yixing menyahut lagi. “Korban diperkirakan meninggalkan bank pukul 5 dan korban langsung berjalan pulang melewati daerah pertokoan dan restoran. Korban dengan tiba-tiba ditarik ke sebuah gang kecil sempit antara restoran Italia dan sebuah toko pakaian. Korban ditemukan tewas 45 menit setelah meninggalkan bank. Perjalanan menuju rumahnya seharusnya hanya ditempuh sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Daerah TKP masih cukup dekat dengan rumah korban.”

“Gang sempit,” gumam Luhan,”sungguh berbeda dengan kasus tiga hari yang lalu,” katanya sambil meletakkan ponselnya di meja.

“Ya, tiga hari yang lalu korban ditemukan di dekat taman.” Yixing membenarkan. “Korban adalah wanita dan bernama Yoon Shinae, seorang koki dan dia lahir tanggal 6 Agustus.”

“Golongan darah A, tinggi 163 cm,” sambung Luhan dengan nada melamun.

“Benda-benda di TKP, kau sudah mengumpulkannya, bukan, Yixing?” Kris membelokkan pembicaraan. Ia melihat Yixing mengangguk pelan. “Apakah ada benda… ‘itu’?” Kris mendengar suaranya menjadi serak tanpa alasan. Entah mengapa terasa berat untuk menyebutkan nama benda itu. Ya, ia merasa susah sekali untuk menyebutkannya. Ia tidak mengerti mengapa ia seperti ini.

Yixing paham apa yang dimaksud oleh Kris. Ia dengan segera membongkar isi kotak kardus yang dibawanya. Sesaat kemudian, ia menemukan benda berwarna coklat dalam bungkus plastic bening. Yixing segera memberikannya pada Kris. “Ini, Chief.”

Lagi, seperti saat-saat sebelumnya, seperti hari-hari sebelumnya, seperti minggu-minggu sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, Kris melihat benda itu lagi. Benda dengan tipikal yang sama, terbuat dari kayu.

Sebuah topeng.

Topeng kayu dengan wajah yang berbeda-beda selalu ia temukan di lokasi kejadian. Ia tidak mengerti apa hubungan topeng kayu itu dengan semua kasus ini, namun sudah jelas topeng itu digunakan pelaku untuk menyamarkan wajah. Pelaku adalah orang yang meninggalkan topeng itu dengan sengaja di lokasi kejadian. Tidak ada satu saksi pun yang memberikan kejelasan tentang pelaku. Nyaris tidak ada yang melihat pelaku, bilapun ada dan mereka sempat melihatnya, mereka akan mendeskripsikannya persis dengan topeng-topeng di lokasi kejadian. Mereka melihat wajah yang sama dengan topeng itu.

Banyak keganjilan dalam kasus-kasus ini. Pelaku sudah bergerak selama tiga tahun terakhir. Ia membunuh orang-orang dalam lima minggu berturut-turut namun tidak setiap bulan. Ia akan muncul setelah dua-empat bulan, ia selalu muncul secara acak. Dalam minggu pertama penyerangan, ia akan membunuh tiga orang. Minggu kedua, ia akan membunuh 2 orang. Minggu seterusnya 3, 2 dan 2. Pelaku memang membunuh banyak orang, namun tidak bisa ditarik garis besar mengapa ia membunuh mereka. Korban-korban dipastikan tidak saling mengenal dan tidak ada satu hal pun yang menghubungkan mereka. Mereka datang dari profesi yang berbeda-beda dan jika dilihat mustahil korban-korban saling berhubungan. Alasan, apa alasan pelaku untuk membunuh? Mengapa ia meninggalkan topeng si setiap lokasi? Mengapa ia meninggalkan pola yang sama?

Pelaku selalu membunuh dengan menusuk pelaku dengan semacam pisau atau belati yang tidak bisa ditemukan di lokasi kejadian. Ia selalu membunuh orang-orang dengan golongan darah A, yang lahir tanggal 6 dan 12. Jika korban-korban adalah laki-laki, tingginya tidak pernah kurang dari 179 cm. Jika korban-korban adalah perempuan, tingginya selalu 163 cm. Korban-korban selalu diserang pada jam yang sama, yaitu sekitar pukul 5-6 sore dan diperkirakan kejadian penyerangan hanya berlangsung selama tiga puluh menit.

Dan ada satu pola lagi.

“Seperti biasa, Chief,” Luhan berkata,” korban bertangan kidal.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~