Chapter 9 : week 5 - Mask - Identity (part 2)

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

“Oh, Tao! Sedang apa kau di sini?” Joonmyun menyapa Tao dengan riang. Tao merasa sedikit tidak enak dengan datang ke flat Joonmyun ini. Pintu flat Joonmyun terbuka cukup lebar dan Tao bisa melihat ke dalam dan mengetahui bahwa Joonmyun sedang berkemas. Jadi benar yang Yeonjoo katakan. Joonmyun akan berangkat ke Beijing malam ini.

“Aku hanya…aku hanya ingin mengunjungimu.” Tao mengusap bagian belakang kepala dengan bingung. “Yeonjoo berkata padaku, kau akan pergi ke Beijing. Apakah itu benar?” ia bertanya dengan ragu.

Ekspresi Joonmyun sedikit berubah namun ia tetap tersenyum cerah. Tao tidak melihat perbedaan dalam diri Joonmyun, ia tidak merasa temannya ini memiliki sesuatu untuk disembunyikan. Namun, Tao memang tidak bisa mengelak bahwa Joonmyun memang tidak mengumbar tentang pertukaran mahasiswa itu, hal itu yang mengesankan bahwa Joonmyun menyembunyikan sesuatu. Tapi, setiap orang memang berbeda-beda. Joonmyun memang bukan tipe orang yang suka mengumbar dan membangga-banggakan tentang dirinya dan hal yang dimilikinya. Ia lebih suka diam dan akan merespon bila orang lain bertanya. Ia akan memilih diam sampai orang lain menyadarinya. Joonmyun memang tipe seperti itu sejak kecil. Tao sudah sangat mengenal Joonmyun. Namun, ia rasa Joonmyun yang marah kepada Yeonjoo bukanlah hal yang familiar untuknya. Itu sangat aneh, karena Joonmyun tidak pernah terlihat marah pada siapapun.

“Yeonjoo menceritakannya padamu?” Joonmyun balik bertanya, tidak menjawab pertanyaan Tao.

“Aku bertanya padanya.” Tao menjawab. “Dia terlihat sedih dan gusar.” Ia menambahkan. Joonmyun tersenyum kecil dengan ekspresi menyesal. Tao memperhatikan ekspresi Joonmyun. Benarkah temannya itu memperlakukan Yeonjoo seperti itu? Berkata bahwa ia sudah bosan menjadi sahabatnya dan sebagainya? Tao tidak bisa memastikan bahwa Joonmyun benar melakukannya. Tepatnya Tao tidak bisa menemukan kebenaran dari ekspresi yang Joonmyun perlihatkan. Karena ia terus bergulat dengan teman-temannya di penyidik amatir, ia menjadi sosok yang mencurigai apapun dan memikirkan berbagai kemungkinan. Dan ia juga berpikir bahwa setiap orang tidak seperti yang kelihatannya. Tapi ia tidak bisa melakukan hal itu pada temannya sendiri, terlebih Joonmyun yang adalah teman kecilnya.

“Aku mengatakan hal buruk padanya, Tao. Jelas saja dia seperti itu.” Joonmyun tertawa kecil hambar yang aneh dan sumbang.

“Kenapa kau melakukannya?” tanya Tao langsung. Ketika melihat Joonmyun mendelik menatapnya, Tao menambahkan,”aku tidak bermaksud ikut campur urusan kalian, tapi aku mengerti mengapa semua ini menjadi seperti ini. Jadi aku hanya ingin tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Kalian berdua adalah temanku, kurasa aku harus ikut campur.”

Joonmyun tertawa kecil, kali ini sedikit lebih merdu. “Kau tidak perlu repot-repot mengurusi kami, Tao. Aku hanya mengatakan apa yang seharusnya Yeonjoo dengar.”

“A-apa maksudmu?” Tao mengerjap tidak percaya.

“Aku hanya mengatakan kebenaran.”

“A-apa?”

“Lagipula semuanya sudah terlanjur seperti ini. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Mengatakannya akan menjadi hal terbaik yang bisa aku lakukan.” Joonmyun mengangkat bahu.

“Jadi, k-kau benar-benar…kau benar-benar mengatakan semua itu pada Yeonjoo karena itu semua adalah hal yang sebenarnya?” Tao terperangah mendengar semuanya dari Joonmyun. Benarkah begitu? Joonmyun benar-benar ingin menghindari Yeonjoo?

Joonmyun membuang napas dengan berat. “Yah, seperti itu.”

“Kim Joonmyun, kau…”

Joonmyun menatap Tao dengan datar. “Mungkin kau akan mengatakan bahwa aku keterlaluan. Aku sudah mengenal Yeonjoo dengan baik dan aku sangat mengerti pola pikirnya. Aku tahu bahwa dia mudah terpengaruh dan berpikir macam-macam, terutama tentang masalah ini. Imaginasinya sangat tinggi dan dia bisa mendapatkan berbagai macam pemikiran dan kemungkinan. Aku tidak menyalahkannya bila dia sampai berpikir seperti itu.

“Tapi bagiku, dalam semua tekanan itu, itu keterlaluan.”

Tao membeku mendengar nada dingin dalam suara Joonmyun. Joonmyun memasang ekspresi datar pada wajahnya yang bersinar-sinar. Ia menatap Tao dengan tatapan yang susah dijelaskan, ia tampak kesal dan terganggu, mungkin karena Tao tampak begitu ingin mencampuri urusannya. Mata Tao melebar. Joonmyun, temannya, mengapa dia menjadi seperti ini?

“Aku tidak bisa berada di dekat Yeonjoo lagi. Kehadirannya sangat menggangguku.” Tao geram begitu mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Joonmyun.

“Tidakkah kau sadar kau sudah menyakitinya?” Tao nyaris berteriak di depan Joonmyun. Joonmyun hanya tersenyum simpul.

“Kepergianku ke Beijing akan menyakitinya, semua tuduhan polisi kepadaku akan menyakitinya, semua tentangku akan menyakitinya. Dia terlalu peduli padaku, itu yang membuatnya menjadi seperti itu,” kata Joonmyun pelan. “Dengan mengatakan bahwa aku sudah tidak ingin melihatnya lagi, dia juga akan tersakiti, tapi ada kemungkinan dia akan membenciku. Itu yang aku inginkan.”

Tao semakin tidak mengerti konteks pembicaraan Joonmyun. Apa maksud temannya ini?

Joonmyun menatap Tao dengan tatapan yang tampak kalut. “Aku tidak bisa mengatakan pada Yeonjoo bagaimana aku yang sebenarnya.”

“Apa maksudmu, Kim Joonmyun?” Tao semakin geram.

Joonmyun hanya setengah tertawa. “Kurasa dia akan sangat hancur bila mendengar hal itu.”

“Yah, apa maksudmu!?”

Joonmyun menatap Tao dan sekilas ia terlihat terkejut. Sepersekian detik kemudian ia tertawa. Tao tidak mengerti mengapa temannya ini tertawa.

“Apa yang membuatmu tertawa?” Tao mendengus kesal dan geram. Ia menahan keinginannya untuk melayangkan tinju di wajah temannya itu. Astaga, ia sudah mulai gila. Bagaimana mungkin ia ingin meninju temannya sendiri?

“Astaga, Tao, ternyata kita berdua sama saja.” Itu adalah kata-kata yang keluar dari mulut Kim Joonmyun selanjutnya.

Kedua mata Tao melebar mendengar kata-kata itu. “Apa maksudmu?”

“Kita memiliki golongan darah yang sama.” Joonmyun masih tertawa.

Tao sadar bahwa Joonmyun bergolongan darah AB, tapi tidak dengan dirinya. Ia bergolongan darah A, sama seperti ayah dan ibunya. “Kau salah, Joonmyun. Golongan darahku adalah A.”

“Tentu, tentu kau berpikir seperti itu, Tao.” Joonmyun tertawa ringan. “Kau pasti sudah lupa. Apakah kau ingat apa yang sudah kita temukan dulu?” Joonmyun bertanya tanpa menjelaskan dengan rinci apa yang ia maksudkan.

Tao mengerjap kebingungan. Apa maksud Joonmyun sebenarnya? Apa yang sudah mereka temukan dulu? Tao tidak bisa mengingat hal dimaksudkan oleh Joonmyun dan hal itu terukir jelas di wajahnya. Joonmyun tertawa mengejek dan tersenyum, kemudian ekspresinya berubah menjadi dingin.

“Tao,” ia memanggil,”kuharap kau jangan dekati Yeonjoo lagi.”

Apa? Apa maksudnya? Tao masih mengerjap kebingungan.

“Kau…berbahaya.”

 

 

Kris mendengus dalam penyamarannya. Ia berusaha untuk tidak begitu mencolok tapi tinggi tubuhnya membuatnya semacam menjadi pusat perhatian. Bahkan dalam stadion ini. Beberapa orang menatapnya dengan penasaran dan beberapa orang lainnya berbisik sambil meliriknya. Terserah saja bagaimana orang-orang itu bereaksi melihatnya, yang penting identitasnya sebagai polisi tidak ketahuan. Ia memang bukan penggemar baseball, tapi ia cukup mengerti tentang seluk beluk olahraga itu, tapi tidak bisa dikatakan bahwa ia mengerti semua tentang baseball seperti ia mengerti tentang hapkido. Namun, dalam satu jam belakangan, ia nyaris terlarut dalam perdandingan yang sangat seru. Kris mengutuk dirinya mengapa ia menjadi hampir lupa dengan misinya sendiri.

Ia mencoba berkonsentrasi. Ia memandang sekelilingnya dengan seksama. Tiga per empat dari penonton di stadion ini adalah mahasiswa. Kris hanya bisa menebak bahwa korban selanjutnya adalah salah satu dari penonton, seperti pola yang pernah ada sebelumnya. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana pola itu bisa terulang dan bisa sama persis. Sebelumnya pembunuh itu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ini terkesan begitu ceroboh, bukan?

Lagipula orang yang paling Kris nantikan untuk bertemu di tempat ini adalah Kim Joonmyun.

Dengan semua cerita-cerita dongeng yang dapat mereka hubungkan itu, Kris semakin mencurigai pemuda itu. Bisa saja pemuda itu menyimpan rahasia kelam di masa lalu, bagaimana ia sudah mengunci dan melenyapkan sepupunya sendiri. Kris tidak bisa tidak berpikir seperti itu, dan lagi, tentang cerita mengenai dermaga dan laut itu, jika Kim Joonmyun benar-benar akan melakukan hal yang sama, ia sudah pasti akan membawa belati perak dengannya. Belati perak, salah satu kunci dari pembunuhan berantai ini, bukan? Kris melihat sekeliling dengan lebih teliti, berusaha menemukan paling tidak Kim Joonmyun, atau penonton laki-laki dengan tinggi 179 cm, atau penonton wanita dengan tinggi 163 cm.

Sudah pukul lima sore. Pertandingan masih berlangsung dengan seru dan akan berakhir dalam tiga puluh menit. Tiga puluh menit, waktu yang dibutuhkan pembunuh itu untuk membunuh.  Kris semakin memancangkan mata menatap setiap orang. Ini akan sulit menemukan korban dengan kriteria seperti itu di mana semua orang sedang duduk dan bersorak-sorai. Sial, Kris mengutuk. Ini akan menjadi lebih sulit dari dugaannya. Mendadak, ada salah seorang penonton yang menarik perhatian Kris. Ia duduk tiga baris di depan Kris, dengan berpakaian serba hitam dan memakai topi. Yang menarik perhatian Kris adalah orang itu tidak begitu antusias dengan pertandingan yang hampir mendekati titik puncak. Saat orang lain bersorak-sorai dengan antusias, orang itu hanya duduk tegak dan kaku dan tidak banyak bergerak. Sebenarnya orang ini niat menonton pertandingan atau tidak? Kris membatin. Terlebih, orang itu juga mengenakan sarung tangan kulit berwarna hitam. Kris mengerutkan dahi. Apakah…orang ini…

Pukul lima lewat tiga belas menit, saat terjadi pergantian pemain, saat itu juga orang yang berpakaian serba hitam itu bangkit dari kursinya. Saat itu juga, Kris menerima pesan dari Luhan.

 

From: Lu Han

Chief, kami kehilangan jejak Kim Joonmyun. Dia menghilang.

 

Kris tersenyum menyeringai dan bangkit dari kursinya. Ia dengan segera mengikuti orang yang mencurigakan itu. Dugaannya adalah orang itu adalah Kim Joonmyun yang sedang memakai topeng.

Kris dengan sangat hati-hati mengikuti langkah cepat orang yang mencurigakan itu. Ia menjaga jarak, namun tidak begitu jauh sehingga ia masih bisa mengikuti orang itu. Orang itu sepertinya tidak menyadari Kris yang mengikutinya karena ia tanpa berhenti terus berjalan dengan cepat dan tanpa menoleh pula. Kris mengernyit setelah hampir mengelilingi area stadion, ia berakhir dengan berada di area ruang ganti pemain. Tunggu, apakah korban selanjutnya adalah salah satu dari pemain?

Ia mendengar suara teriakan dari ruang ganti sesaat ia sudah sampai di ambang pintu. Kris bersembunyi di balik dinding dan mencoba mendengarkan suara-suara dari dalam ruangan. Sudah jelas ada penyerangan di sana. Kedua mata Kris melebar.

“Yah, yah, siapa kau!? Apa yang kau lakukan!?” Kris mendengar teriakan laki-laki yang sepertinya adalah pemain yang akan menjadi korban kali ini. “Yah, apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu!? YAH!!” teriakan itu semakin keras.

Kris menyeruak masuk ke dalam. Ia melihat laki-laki berpakaian hitam itu mengarahkan belati perak ke arah pemain baseball itu. Laki-laki itu menatap Kris dalam diam. Kris belum pernah melihat wajah itu sebelumnya tapi ia masih berpikir bahwa orang itu adalah Kim Joonmyun yang menyamar. “Turunkan pisau itu segera.” Kris memberikan perintah. Orang itu hanya diam dan menatap Kris.

Pemain baseball itu semakin bingung. “Si-siapa kau?” ia bertanya, meski ia masih ketakutan karena laki-laki berpakaian hitam itu masih mengarahkan belati perak tepat ke dadanya.

“Polisi.” Kris menunjukkan badge-nya. “Kemungkinan pria ini adalah pelaku dari pembunuhan berantai selama ini.” ia menambahkan dan melihat ekspresi di wajah si pemain baseball. Wajah pemain baseball itu menjadi pucat seperti kertas. Sudah jelas pemain baseball ini bergolongan darah A, bertangan kidal, bertinggi tubuh 179 cm dan lahir pada tanggal 6 atau 12.

Saat laki-laki yang berpakaian hitam itu sudah akan menghunuskan belati perak itu, Kris dengan segera menyongsong orang itu dan membuatnya terjatuh terjungkal ke belakang. Pemain baseball itu dengan ketakutan berlari keluar dari ruang ganti. Kris mencengkeram kerah pakaian pelaku sebelum akhirnya menghantamkan beberapa tinju di wajah orang itu. Darah segar sudah mengalir dari sudut bibir dan hidung orang itu. Namun orang itu sama sekali tidak mengeluar kata sepatah pun.

“Orang gila, maniak! Kau akan membunuh pemain tadi, bukan?” Kris masih melayangkan tinju di wajah orang itu. “Apakah kau belum puas sudah membunuh banyak orang sebelum ini, hah? Orang gila!” rasa dendam dalam diri Kris semakin memuncak ketika kemudian ia teringat akan adiknya yang terbaring di rumah sakit. Karena orang ini, Jiali belum juga bangun dan melihatnya. Karena orang ini, Jiali harus terbaring selama bertahun-tahun. Kris harus menahan keinginannya untuk tidak membunuh orang itu. Ia sudah berada di titik di mana ia sudah gelap mata, dan akan melakukan apapun karena dendam dan kebencian sudah menguasainya.

Sesaat kemudian, Kris memutuskan untuk membuka topeng orang itu. Ya, ia yakin orang itu mengenakan topeng. Saat itu juga, Kris terperanjat karena seperti dugaannya, sebagian kulit wajah orang itu mengelupas. Kris sudah akan membuka semua bagian dari topeng di wajah orang itu, saat orang itu menendangnya dan ia terdorong jauh ke belakang. Kris mengernyit kesakitan. Ia kemudian melihat belati perak sudah berada di tangan orang itu. Orang itu berjalan mendekati Kris. Kris berjalan mundur dengan bertopang pada telapak tangannya. Ia, saat ini, kemungkinan adalah korban selanjutnya dari maniak yang ada di depannya ini.

Kris tidak bisa diam saja. Ia bangkit dan menyerang orang itu. Orang itu, dengan kulit wajah yang mengelupas, menahan Kris dan hendak menghunuskan belati perak itu tepat ke jantung Kris. Kris menjauh dari orang itu. Dan kemudian, Kris melihat orang itu tersenyum dengan sangat mengerikan.

“Aku tidak punya urusan denganmu.” Kata orang itu. “Tapi, sekarang kau sudah terlibat. Aku harus melenyapkanmu juga, bukankah begitu?”

“Brengsek!”

Kris kembali menyerang orang itu dan belati perak itu menggores wajahnya. Ia semakin geram dan menghantam wajah orang itu. Orang itu sedikit kehilangan keseimbangan, belati perak jatuh dari tangannya. Namun kemudian, ia kembali menghadap Kris dengan kulit wajahnya yang nyaris terkelupas, memberikan pukulan tepat di bagian perut. Meskipun kesakitan, Kris berhasil mengunci lengan orang itu dan membanting tubuh orang itu hingga sesaat orang itu tidak bisa bangun. Kris salah mengira bahwa orang itu tidak sanggup bangun, karena pada akhirnya orang itu bangun, berdiri tegak dan memberikan pukulan membabi buta ke arah Kris. Semua pukulan itu bisa ditangkis oleh Kris, namun belakangan satu-dua pukulan mengenai Kris, membuatnya terhuyung. Kris yang lengah tidak mengetahui bahwa pelaku sudah mengambil tongkat baseball yang ada di dekat loker, dan kemudian menghantamkannya tepat ke tubuh Kris berkali-kali hingga Kris tersungkur.

“Sialan!” Kris mengumpat. Ia berusaha mengambil tongkat baseball lain yang masih dalam jangkauannya. Ia dan pelaku saling memukulkan tongkat yang menimbulkan bunyi yang menyakitkan. Kris berusaha mencari celah dari si pelaku yang menyerangnya tanpa ampun. Akhirnya ia mendapatkan celah dan dengan beberapa pukulan Kris membuat pelaku nyaris tersungkur. Orang itu sepertinya sudah sangat marah pada Kris yang mengganggu urusannya. Ia kembali menyerang dengan tongkat baseball di tangan. Kris menangkis setiap serangan dengan sigap, namun lambat laut semua gerakan itu begitu cepat sehingga Kris tidak bisa menangkisnya lagi. Kris terjatuh dan saat itu orang itu membabi buta memukuli tubuhnya. Kris merasakan setiap pukulan dari pelaku itu. Rasa sakit itu datang lagi dan lagi. Kris pikir ia sudah tidak sanggup menahannya sampai…

“Chief!” terdengar suara Yixing memanggil.

Orang itu berhenti memukuli Kris dan segera menyeruak keluar dari ruang ganti. Ia mendorong Yixing hingga terjatuh, namun Luhan langsung mengerjarnya. Kris terbatuk-batuk selama beberapa saat, batuk darah. Ia mengatur napas dan menyeka darah dari sudut bibirnya. Saat itu, Yixing mendekatinya.

“Chief, chief baik-baik saja?” tanya Yixing dengan nada cemas.

“Aku baik-baik saja.” Kris menjawab dengan suara serak. “Daripada itu, kau sebaiknya membantu Luhan menangkap orang gila itu.”

Tiba-tiba Luhan sudah kembali ke ruang ganti. Ia terlihat sangat resah.

“Aku kehilangan dia, Chief.” Katanya dengan sangat menyesal.

Kris mengumpat dalam hati. Sial.

 

 

Yeonjoo benar-benar tidak suka merasakan perasaan seperti ini. Ia merasa hilang di antara orang-orang. Ia berjalan gontai tanpa tujuan. Ia rasa ia sudah melakukannya sejak berjam-jam yang lalu. Ia terus berjalan tanpa arah, memikirkan segala hal yang begitu rumit yang menjadi beban pikirannya. Ia memikirkan Joonmyun dan rasanya ia ingin meledak dalam tangis. Namun, mengingat semua perkataan Joonmyun padanya, tentang ia yang begitu bergantung pada pemuda itu, entah mengapa air mata itu tidak bisa keluar. Yeonjoo hanya bisa merasakan sakit dalam dadanya, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia berulang kali menarik dan mengeluarkan napas, tetap saja dadanya terasa sakit. Rasanya sesak sekali. Apa yang harus ia lakukan?

Ia rasa ia sudah berjalan terlalu jauh. Ia sudah tidak mengenali area di sekitarnya. Yeonjoo membuang napas. Ia duduk di sebuah undakan kecil sambil melipat kaki. Joonmyun akan berangkat malam ini. Semua tergantung pada Yeonjoo, akan menemui Joonmyun untuk terakhir kali atau tidak. Namun bagaimana lagi, hatinya sudah begitu sakit. Ia tidak yakin ia bisa menghadapai Joonmyun yang sudah jelas tidak akan memperlakukannya dengan baik. Ia yakin Joonmyun akan tetap memperlakukannya seperti siang tadi, tidak akan ada bedanya bila ia datang menemui temannya itu. Ia memang masih menyalahkan dirinya yang tidak mempercayai Joonmyun, namun ia sendiri tidak bisa mengelak bahwa Joonmyun sudah menyakitinya. Apakah mereka impas sekarang? Apakah kini Yeonjoo juga merasakan sakit yang Joonmyun rasakan?

Yeonjoo membuang napas dan menunduk membenamkan wajah dalam lipatan tangannya. Ia merasa begitu buruk dan sengsara.

“Apa yang sedang kaulakukan di sini?“

Yeonjoo mendongak dengan cepat karena terkejut. Ia mendapati orang dari pihak kepolisian itu, Kris Wu, sedang menatapnya dengan tatapan tidak senang. Polisi itu terlihat berantakan kali ini. Wajahnya penuh memar dan ada luka gores panjang pipi kirinya. Ia mengenakan kaos berwarna abu-abu dan menyampirkan kemeja kotak-kotak di salah satu pundaknya. Polisi itu menatap Yeonjoo dengan tatapan bosan. Sepertinya ia benar-benar membosankan, sampai-sampai polisi yang baru dikenalnya ini menatapnya seperti itu. Yah, mereka memang tidak akur sejak awal. Karena alasan itu juga, Yeonjoo enggan bertanya apa yang sudah terjadi pada polisi itu. Itu semua bukan urusannya, bukan?

“Itu bukan urusanmu.” Yeonjoo menjawab pendek. Ia membuang wajah.

“Meski dalam suasana hati yang buruk, kau selalu ketus padaku, sepertinya.” Kris Wu bergumam.

“Aku punya alasan untuk ketus padamu,” balas Yeonjoo tanpa menatap polisi itu. “Lagipula setiap bertemu denganmu, aku tidak pernah dalam suasana hati yang baik,” sambungnya.

“Begitukah?” kata Kris Wu dengan nada mencemooh. “Itu karena aku menuduh temanmu sebagai pelaku pembunuhan berantai, bukan?” tebaknya.

Kali ini Yeonjoo yang menatap Kris Wu dengan tatapan tidak senang. Ia memang mudah ditebak atau polisi ini sudah mencari tahu segalanya tentang dirinya dan Joonmyun? Untuk jawaban Yeonjoo, kata-kata selanjutnya dari Kris Wu adalah

“Kau mudah sekali ditebak, Song Yeonjoo.” Kris Wu berkata dengan ringan. Yeonjoo mendengus. Yeonjoo bisa saja marah-marah pada orang ini, namun ia tidak punya tenaga. Ia rasa ia sudah dapat banyak beban pikiran hari ini, marah-marah pada polisi ini tidak akan menyelesaikan masalah dan mungkin hanya akan menambah masalah baru.  Dan polisi ini juga terlihat ada masalah. Ekspresinya sedikit melunak dari terakhir kali Yeonjoo melihatnya. Biasanya polisi ini memasang ekspresi dingin sepanjang waktu. Meski sekarang ia masih memasang ekspresi dingin itu, Yeonjoo tidak merasa polisi itu sedingin biasa. Aneh sekali.

Kris Wu tanpa aba-aba langsung duduk di sebelah Yeonjoo. Yeonjoo kebingungan melihat tindakan polisi ini, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia semakin kebingungan saat polisi itu mengernyit kesakitan saat duduk. Dalam lampu jalan yang temaram yang menerangi mereka, Yeonjoo bisa melihat luka memar lain di lengan polisi itu. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Meski penasaran, Yeonjoo enggan bertanya, ia menekan keinginannya untuk bertanya.

“Apakah harimu buruk, sama seperti hariku?” tanya Kris Wu tiba-tiba. Yeonjoo menoleh pada polisi itu dan melihat polisi itu menatap menerawang ke langit malam. Tidak begitu banyak bintang yang berhamburan di langit malam ini, namun langit malam selalu menjadi hal yang menarik bagi Yeonjoo. Segala hal yang dipikirkannya sepanjang hari kembali terbayang. Astaga, sungguh hari ini bukan hari yang baik. Ia membuang napas dengan berat.

Yeonjoo menjawab dengan nada melamun. “Buruk, buruk sekali.”

“Oh, ya?”

“Ya. Buruk sekali.”

“Apa yang terjadi?”

“Salah seorang temanku akan meninggalkanku ke Beijing.”

“Ah, ya. Lalu?”

“Dia tidak mengatakan apapun sebelumnya.”

“Kemudian?”

“Dia mengatakan hal lain yang menyakitkan.”

“Dan?”

“Dia akan berangkat malam ini.”

Kris Wu terbatuk kecil yang terdengar menyakitkan di telinga Yeonjoo. Polisi itu seperti memiliki sesuatu dalam paru-parunya yang membuatnya bernapas dengan aneh. “Kau tidak ingin menemuinya sebelum dia pergi?” tanya polisi itu dengan suara serak.

“Aku ingin menemuinya, kurasa.” Yeonjoo membuang napas. “Tapi dia tidak ingin menemuiku.”

“Begitukah?” tanya Kris Wu.

Yeonjoo menoleh dan mendelik pada Kris Wu. Wajah polisi itu terlihat begitu tenang namun aneh dengan segala memar dan luka gores itu. “Apakah kau masih mencurigai Joonmyun?” tanyanya hati-hati.

“Jujur kukatakan, ya, aku masih mencurigainya.” Kris Wu menjawab dengan tegas.

Ini akan sangat berbahaya bila Yeonjoo mengatakan semua hal kepada polisi ini. “Lalu, kau akan berusaha menangkapnya lagi kali ini?” tanya Yeonjoo dengan was-was. Benarkah polisi ini akan menangkap Joonmyun lagi? Sepertinya polisi ini sudah mengerti bahwa teman yang dimaksud Yeonjoo adalah Joonmyun. Berarti polisi ini sudah tahu bahwa Joonmyun akan pergi ke Beijing? Yah, jika polisi ini benar-benar menyelidiki Joonmyun, ia pasti sudah tahu segalanya.

Kris Wu menatap lurus ke mata Yeonjoo. “Kau ingin aku menangkapnya?”

“Ti-tidak dengan semua tuduhan itu. “ Yeonjoo menatap ke arah lain. Dadanya kembali terasa nyeri. “Mungkin aku ingin kau menangkapnya, supaya dia tidak pergi meninggalkan Seoul.” Sambungnya. Ia benar-benar egois, bukan? Yah, mungkin ia hanya ingin Joonmyun tetap berada di sini dengannya. Tapi apa yang bisa ia lakukan jika Joonmyun sendiri sudah tidak ingin berada di sini?

Kris Wu tertawa ringan. “Kau ini aneh sekali. Jika aku menangkapnya lagi, pasti karena semua tuduhan itu sudah terbukti benar.”

Yeonjoo tertawa hambar. Mengapa ia bisa berbicara dan bercerita banyak pada polisi ini? Bukankah mereka sudah seperti musuh? Yeonjoo tentu memusuhinya karena polisi itu menuduh Joonmyun yang macam-macam. Lagipula ia masih tidak bisa menerima tindakan polisi itu yang membawa Joonmyun ke kantor polisi seolah benar Joonmyun adalah pembunuh. Benar, ia masih belum bisa menerimanya. Namun, ia masih lebih tidak bisa menerima tindakan Joonmyun kepadanya. Ia membuang napas panjang. Joonmyun akan berangkat sekitar dua jam lagi. Apa yang harus ia lakukan?

Kris Wu mendadak bangkit dari duduknya dengan masih mengernyit kesakitan. Yeonjoo mengerutkan dahi. Apa yang sebenarnya sudah terjadi pada polisi ini?

“Kau akan pergi ke mana?” tanya Yeonjoo tanpa sadar.

Kris Wu tersenyum kecut. “Ke gedung di belakangmu.”

Yeonjoo lantas menoleh ke belakang dan melihat sebuah gedung besar dengan plang yang bertuliskan bahwa gedung itu adalah gedung tempat latihan hapkido. Ia tidak sadar bahwa ada gedung besar di belakangnya. Area sekitar gedung benar-benar sepi dan hanya Yeonjoo yang sejak tadi ada di daerah ini. Sepertinya tidak ada latihan malam ini. Tapi untuk apa orang ini ke gedung ini? Yeonjoo menatap Kris Wu dengan tatapan bertanya.

“Aku salah satu pelatih di sana.” Kris Wu memberitahu tanpa Yeonjoo bertanya. Ia mengikat lengan dari kemeja kotak-kotaknya di pinggang. Tubuh polisi itu termasuk kurus dengan tinggi badan yang hampir 190 cm itu. Ternyata ia terlihat sekurus ini jika ia tidak memakai mantel hitam panjang miliknya itu. Kaos abu-abunya terlihat begitu pas di tubuhnya. Saat itu terlihatlah jelas luka memar di seluruh lengannya. Yeonjoo menatapnya dengan kening berkerut. Jelas sudah terjadi sesuatu.

Kris Wu terlihat sedikit bingung saat Yeonjoo menatapnya seperti itu. Sessat kemudian ia melirik gedung di belakangnya dan menatap Yeonjoo lagi.

“Apa kau ingin masuk dan melihat-lihat ke dalam?”

 

 

Kris menghidupkan lampu gedung latihan hapkido yang biasa didatanginya ini. Katakanlah ia masih melatih di sini. Ia mengatakan bahwa ia adalah pelatih di sini, namun mengatakannya untuk saat sekarang sebenarnya berlebihan karena ia sendiri sudah jarang datang untuk mengajar. Namun fakta yang tak terelakkan adalah bahwa Kris memang salah satu pelatih di tempat ini, jadi mengatakan bahwa ia adalah pelatih di sini sama sekali tidak apa-apa. Dan itu memang benar, setidaknya ia sama sekali tidak berbohong. Ia masih pelatih di sini, ia akan berhenti mengatakannya bila ia sudah dipecat atau mengundurkan diri. Ya, itu benar.

Song Yeonjoo mengikutinya dengan langkah ragu. Ia terlihat kagum dengan gedung besar tempat latihan ini karena sepertinya ia tidak pernah datang kemari sebelumnya. Melihat Kim Joonmyun yang banyak tidak mengatakan apa-apa pada gadis ini, sudah jelas gadis ini tidak tahu menahu bahwa Kim Joonmyun pernah kemari, mengintip dari pintu kaca besar itu. Banyak rahasia di dunia ini, meski itu di antara teman terdekatmu.

“Apakah kau tahu tentang hapkido sebelumnya?” tanya Kris saat Song Yeonjoo berjalan ke tengah gedung. Gadis itu menoleh pada Kris dan sekilas menggeleng. “Ah, begitu rupanya.” Kris bergumam. Gadis itu memang tidak terlihat seperti orang yang menyukai olahraga seperti hapkido.

Kris melangkah ke tengah gedung ke bagian matras yang digelar panjang hampir sepanjang ruangan. Ia langsung duduk di matras karena ia merasa kelelahan. Ia mengernyit kesakitan merasakan memar yang didapatkannya dari pukulan tongkat bisbol pembunuh berantai itu. Ia memang kesakitan, namun ia belum pergi ke rumah sakit memeriksakan diri. Ia tidak tahu luka dalam yang ditimbulkan oleh pukulan dari tongkat bisbol itu. Setidaknya ia baik-baik saja, untuk saat sekarang, ia merasa baik-baik saja. Hal penting yang sudah ia lakukan tadi adalah menjamin keselamatan pemain bisbol itu. Ia memastikan pemain bisbol itu dalam perlindungan polisi meski diperkirakan pembunuh berantai itu tidak akan mentargetkan target yang sama, target tidak akan berusaha dibunuh untuk kedua kali.

Perkiraan itu hanyalah perkiraan. Bagaimanapun juga, kejadian seperti ini baru terjadi sekali. Baru kali ini penyerangan dan pembunuhan berhasil digagalkan. Target tidak tewas dalam penyerangan. Orang-orang tidak akan tahu bagaimana pola selanjutnya, apakah pembunuh itu akan mencari target baru atau menyerang kembali target yang gagal dibunuh.

“Apa gedung ini tidak digunakan di malam hari?” pertanyaan Song Yeonjoo membuyarkan lamunan Kris.

Kris menatap gadis itu. Ia sendiri heran bagaimana ia bisa bertemu dengan gadis ini dan lagi, ia mengajak gadis ini masuk ke dalam gedung. Hubungan mereka tidak pernah akur dan mengapa sekarang mereka tampak seperti kawan lama? Lagipula ia selalu merasa gadis ini membencinya. Bagaimana tidak, Kris terang-terangan menuduh teman baik gadis ini sebagai tersangka pembunuhan. Teman manapun tidak akan ada yang terima.

“Tidak dalam beberapa malam.” Kris menjawab.

Gadis itu hanya mengangguk pelan. Terlihat jelas ia sedang tidak begitu fokus.

Entah kenapa Kris merasa ekspresi gadis itu menggambarkan kekecewaannya hari ini. Ia sungguh kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena ia nyaris menangkap pelaku pembunuhan itu namun pelaku berhasil lolos. Bagaimanapun mereka berdua terlihat sama-sama menyedihkan.

Kris bangkit dari duduk. “Kau ingin mencoba hapkido?”

“Apa?” Song Yeonjoo menatap Kris dalam kebingungan.

“Aku bertanya apa kau ingin sedikit belajar hapkido. Aku akan mengajarkan beberapa gerakan padamu.” Kris berjalan mendekati gadis itu. Gadis itu masih terlihat bingung. Kris mengabaikannya dan kini mengepalkan kedua tangannya, seolah siap untuk menyerang. Song Yeonjoo yang terlihat lemas itu dengan ragu mengikuti apa yang Kris lakukan. Kris tersenyum samar.

“Gerakan yang akan kuajarkan padamu adalah kuncian lengan,” kata Kris. “Saat lawan hendak memukulmu seperti ini,” ia menggerakkan salah satu tinjunya ke arah Song Yeonjoo dengan perlahan, gadis itu hanya mengerjap melihatnya,” yang kau harus lakukan adalah mengunci lengannya seperti ini,”ia memposisikan tangan gadis itu agar menahan tangannya,”kemudian, gunakan tanganmu yang lain untuk memberikan tinju di wajah.” Song Yeonjoo mengikuti instruksi Kris dengan ragu.

“Kemudian, tahan lengan lawan sampai lawan tertunduk.” Kris meminta gadis itu menekan lengannya hingga ia tidak bisa bergerak. Kris sengaja menunduk rendah sehingga lengkaplah gerakan kuncian ini.

“Ah, seperti itu ternyata.” Song Yeonjoo bergumam saat Kris berdiri tegak.

“Bagaimana? Kau bisa mengikutinya, bukan?” Kris bertanya.

“Kurasa aku bisa.”

Kris tersenyum kecil. “Baiklah, kita akan mencobanya lagi.”

Song Yeonjoo memang tidak begitu kuat seperti layaknya murid-murid perempuan Kris pada umumnya. Caranya menahan dan mengunci lengan itu masih begitu lemah, namun gadis itu cepat belajar. Dalam beberapa kali mencoba, gadis itu berhasil membuat lengan Kris terkunci dan membuat Kris jatuh ke matras. Yah, Kris memang sudah tidak punya tenaga untuk melakukan apapun. Luka memar di sekujur tubuhnya kembali berdenyut dengan menyakitkan.

“Wow, kau hebat.” Kris berkata selagi ia mengernyit kesakitan yang tidak disadari gadis itu.

Gadis itu sama sekali tidak tersenyum. Ia melepaskan tangan Kris. Kris menegakkan tubuh dan berdeham kecil.

“Baiklah, kurasa sekarang aku bisa mengajarimu teknik pukulan.” Kris berkata pelan.

Teknik ini termasuk serangan dan tangkisan. Kris mengajari teknik pukulan terlebih dahulu. Setelah memperagakannya, ia meminta Song Yeonjoo menirunya. Meski terlihat tidak begitu berniat, Song Yeonjoo dapat menirukannya dengan baik. Dan saat hendak menirukan teknik membanting, gadis itu mengatakan sesuatu dan membuat Kris membeku.

“Kurasa dengan tubuhmu yang tinggi dan berat seperti itu aku tidak sanggup melakukannya.”

Kris mengerjap beberapa kali.

Jiali pernah mengatakan hal yang sama dulu, saat Kris hendak mengajarinya teknik membanting lawan.

Kris terdiam dan tidak melanjutkan gerakannya. Song Yeonjoo yang memang benar-benar berniat tidak melakukan teknik membanting biasa saja melihat Kris yang membeku. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk duduk di matras. Pada akhirnya Kris turut duduk bersila menghadap gadis itu. Song Yeonjoo tampak merenung. Sesaat wajah merenungnya tampak mirip dengan Jiali. Ada beberapa hal yang sama di antara Song Yeonjoo dan Jiali, namun Kris menyadari hal itu mungkin karena ia begitu merindukan Jiali. Kris hendak mengatakan sesuatu saat gadis itu membuka mulutnya lebih dulu

“Kurasa jika aku belajar olahraga semacam ini sejak dulu, aku tidak akan terlalu takut dengan teror pembunuhan berantai itu karena aku bisa menjaga diriku sendiri.” gadis itu tertawa hambar. “Lalu dengan begitu, aku tidak bergantung pada Joonmyun dan mungkin kejadian semacam ini tidak akan ada.”

Kris tidak paham dengan konteks pembicaraan Song Yeonjoo, namun sepertinya gadis itu dan Kim Joonmyun sedang ada masalah. Ia tidak bisa menebak pastinya masalah seperti apa, namun segala hal bisa berubah jadi masalah. Ia tidak ingin ikut campur, karena ia sendiri tahu ia tidak bisa membantu. Mungkin ia akan hanya memperburuk masalah, karena ia masih mengejar dan berniat menangkap Kim Joonmyun. Beruntunglah kali ini karena begitu bertemu dengan gadis ini, gadis ini tidak memaki dan marah-marah padanya, hanya saja karena gadis itu tidak tahu apa yang Kris dan anak buahnya rencanakan kepada Kim Joonmyun.

Kris berdeham kecil. Ia memperhatikan gadis itu lekat-lekat. Song Yeonjoo mengenakan jam tangan di sebelah kanan, suatu kemungkinan bahwa ia bertangan kidal. Tuturannya tentang ketakutannya akan pembunuhan berantai, berarti gadis ini memiliki kriteria yang sama dengan korban. Lahir pada tanggal 6 atau 12 dan bertinggi tubuh 163. Tersisa satu kriteria lagi.

“Apakah golongan darahmu A?” Kris bertanya, meski itu terdengar tidak sopan. Ia belum bisa dikatakan kenal dekat dengan gadis ini.

Song Yeonjoo mengangkat wajah menatap Kris. “Ya.” Jawabnya pendek.

Astaga. Kris tidak menyadari ada orang di dekatnya yang berkriteria sama dengan korban.

Apakah Song Yeonjoo kemungkinan menjadi korban berikutnya?

“Permisi!” pintu terdengar terbuka. Kris dan Song Yeonjoo lantas mengalihkan perhatian mereka ke arah pintu. Seorang gadis pucat berlari ke arah mereka. Kris lantas bangun dari duduknya. Gadis itu tampak terengah-engah, keringat bercucuran dari pelipisnya dan terlihat jelas pakaiannya basah karena keringat. Siapa gadis ini? Kris berusaha mengingat-ingat selagi ia memperhatikan gadis ini. Gadis ini membawa buku tua bersampul berwarna merah muda pucat dan ia juga membawa alat bantu pernapasan. Pandangan Kris jatuh kembali ke wajah gadis itu. Gadis itu memang terlihat sesak napas.

“Ada yang bisa kubantu?” Kris bertanya langsung.

Gadis itu tampak sangat resah. “A-apakah kau tahu di mana alamat apartemen Baekhyun?”

Baekhyun? Ah, gadis ini adalah gadis yang selalu terlihat bersama Baekhyun dan selalu datang dan menunggu Baekhyun selesai melatih. Sepertinya ia dan Baekhyun memiliki hubungan semacam itu namun mengapa alamat apartemen Baekhyun pun gadis ini tidak tahu? Kris sadar Baekhyun memang tidak bercerita banyak pada orang lain, namun tidak mengatakan hal ini pada salah satu orang yang dekat denganmu sungguh hal yang aneh.

Kris menyebutkan alamat Baekhyun, gadis itu mendengarkannya dengan baik disela-sela gadis itu mengatur dan menarik napas yang terdengar sangat menyakitkan. Kris hendak menawarkan bantuan, namun gadis itu sudah membungkuk mengatakan terima kasih, dan berlalu menyongsong pintu keluar.

“Aneh sekali.” Kris bergumam saat gadis itu sudah menghilang di balik pintu. Song Yeonjoo menatap Kris yang kembali duduk di matras.

“Dia mencari Baekhyun? Siapa Baekhyun?” tanyanya.

“Ah, dia pelatih di sini, sama sepertiku.” Kris menjawab dan menatap wajah Song Yeonjoo yang kali ini tidak begitu muram.

“Apakah kau tahu nama keluarganya?” tanya gadis itu, ia terdengar penasaran.

“Tentu saja aku tahu.” Balas Kris. Bagaimana aku tidak tahu nama rekanku sendiri, ia bergumam. “Nama keluarganya adalah Byun.”

Kedua mata Song Yeonjoo melebar. “B-Byun Baekhyun?” Kris mengangguk dan bingung melihat ekspresi di wajah gadis itu.

“Ada apa? Kau mengenalnya?” tanya Kris.

“D-dia adalah sepupu Joonmyun yang menghilang 14 tahun yang lalu.” Song Yeonjoo terlihat sangat shock. “Dia..aku tidak tahu dia bekerja di sini. Astaga. Dulu dia menghilang saat kami sedang bermain di rumah lama Joonmyun. Keluarganya mencarinya kemana-mana tapi tidak ada hasilnya. Mereka tidak menemukan Baekhyun. Astaga. Aku harus memberitahu Joonmyun.” Song Yeonjoo seketika bangkit namun Kris menahan tangannya. Gadis itu terlihat bingung. “Apa yang kaulakukan? Aku harus memberitahu Joonmyun, aku harus ke dermaga.”

“Dia sepupu yang hilang itu… Baekhyun?...” ini sangat mengejutkan. Kris mencoba menghubungkan semua informasi yang ada. Jika benar bahwa Baekhyun adalah sepupu yang hilang itu, berarti gadis tadi adalah gadis yang selalu diikuti oleh Kim Joonmyun, Park Sooyoon. Dan jika benar Kim Joonmyun sudah mengunci Baekhyun dalam cermin 14 tahun yang lalu, ada kemungkinan Kim Joonmyun akan melakukan hal yang sama kali ini. Tidakkah ini terdengar gila? Lalu mengapa Kim Joonmyun membunuh orang-orang? Apakah karena mereka berhubungan dengan Baekhyun? Lalu kriteria itu untuk apa? Mengapa ia memilih kriteria seperti itu? berbagai pemikiran bermunculan di kepala Kris.

“Aku harus pergi.” Song Yeonjoo hendak melepaskan cengkraman Kris dari tangannya.

“Tidak.” Kris menjawab tegas. Ia segera bangkit dari duduknya. Ia menatap gadis itu lurus-lurus. Gadis itu tampak sangat bingung. “Kau…apakah kau tahu sesuatu tentang buku dongeng di masa kecil kalian? Buku dongeng milik Joonmyun?”

Song Yeonjoo mengerjap bingung. “Buku dongeng itu? Yang bersampul merah muda pucat?” Kris mengangguk. “Ada apa dengan buku itu?” tanya gadis itu bingung.

“Sudahlah jawab saja, apakah kau tahu sesuatu?” Kris mendadak menjadi tidak sabar.

Song Yeonjoo menatap Kris. “Joonmyun sudah lama kehilangan buku itu, tapi aku tahu dia sangat menyukainya. Ibunya membuang buku itu dan dia sangat sedih. Dia terlihat gusar sekali waktu itu. Kami pernah membaca cerita di dalamnya bersama-sama, aku, Joonmyun, Baekhyun dan Tao.” Kris mengerti siapa Tao yang dimaksud oleh Song Yeonjoo, pasti anak kurang ajar yang membuat kelompok penyidik amatir itu. Ia mendengus saat Song Yeonjoo masih lanjut berkata,“Kami membaca salah satu ceritanya, tentang kotak musik yang mengerikan, lalu ada lagi tentang cermin, dermaga dan laut, dan…”

“Astaga. Dermaga dan laut. Astaga…” Kris menutup wajah dengan telapak tangan. Semua ini sungguh membuatnya gila. Apakah ini semua benar?

“Dengar, Song Yeonjoo,” Kris menatap lurus ke kedua mata gadis itu. “Kurasa temanmu itu sendiri yang telah mengunci Baekhyun, Baekhyun menghilang karena Kim Joonmyun sudah menguncinya dalam cermin.”

“Kau ini bicara apa? Mengunci dalam cermin apa maksudmu?” Song Yeonjoo terperangah.

Kris menggeleng dengan frustasi. “Kau sudah membaca cerita dalam buku itu, bukan? Seharusnya kau mengerti apa yang sudah kukatakan. Dalam buku itu, cerita-ceritanya berisi kutukan dan bagaimana cara untuk mengunci seseorang. Kim Joonmyun sudah pasti adalah orang yang mengunci Baekhyun, karena itu Baekhyun menghilang.”

“Maksudmu cara-cara mengunci seseorang yang ada dalam buku itu benar, begitu? Maksudmu kau menuduh Joonmyun melakukan kejahatan lain, begitu?” suara gadis itu meninggi. “Kau sungguh keterlaluan, Kris ssi, menuduh Joonmyun tanpa bukti. Bagaimana bisa kau mengatakan dan menuduh Joonmyun seperti itu? mengapa kau melakukan ini pada Joonmyun?” gadis itu memukul bahu Kris, tepat di luka dari pemukulan sore tadi. Kris mengerang kesakitan dalam diam. Kris mencengkram tangan Song Yeonjoo sehingga gadis itu berhenti memukulinya.

“Dengar, aku mengatakan hal ini bukan tanpa bukti!” Kris berseru. “Jika dia pergi ke dermaga malam ini, ada kemungkinan dia membawa belati perak dengannya. Belati itu adalah salah satu kunci dari pembunuhan berantai ini, kau tahu itu, bukan?”

Gadis itu setengah tertawa. “Kau pikir aku akan percaya padamu?” ia menatap Kris dengan tajam. “Kau mengatakan cerita dalam buku dongeng itu bisa menjadi kenyataan, begitu? Lalu kau mengatakan Joonmyun mengikuti apa yang ada dalam buku itu, apakah seperti itu? Apakah kau sudah gila? Mana mungkin hal seperti itu terjadi!”

Kris mendengus. “Kau pikir aku percaya? Aku berusaha menghubungkan semuanya dan semuanya memang tampak seperti itu, bagaimana mungkin aku tidak mencurigai temanmu?” Kris menurunkan tangan gadis itu. Gadis itu melemparkan tatapan kesal padanya.

“Lalu, menurutmu apa yang akan Joonmyun lakukan di dermaga? Dia akan mencari korban baru di sana?” gadis itu mencemooh.

“Kemungkinan seperti itu, jika tidak…” Kris membeku begitu ia teringat sesuatu. Jika Kim Joonmyun hendak mengunci seseorang lagi, kemungkinan adalah orang yang sama. Kedua mata Kris membesar.

Baekhyun dalam bahaya, Baekhyun menghilang, karena itulah Park Sooyoon tidak bisa menemukannya.

Semuanya..mengapa menjadi serumit ini?

“Kim Joonmyun, kita bisa mencegahnya.” Kris bergumam. “Kau…pasti akan menghentikan dia juga, bukan?” ia menatap gadis itu. Song Yeonjoo membuang napas panjang setelah ia memelototi Kris cukup lama.

“Aku akan menghentikannya agar dia tidak pergi dari Seoul, bukan dari berbuat jahat karena dia tidak melakukan perbuatan jahat apapun.” Gadis itu mendengus.

“Baiklah, baiklah. Terserah kau saja.” Kris turut mendengus. “Kita tidak punya banyak waktu tersisa. Ayo.” Ia menarik tangan Song Yeonjoo.

 

 

Begitu sampai di dermaga, hal pertama kali yang dilihat oleh Kris adalah ambulans. Kris mendadak tidak tenang dan segera memarkirkan mobil. Ia segera turun dari mobil, diikuti oleh Song Yeonjoo di belakangnya. Kris segera menyongsong Luhan dan Yixing yang sedang membantu petugas ambulans membawa seseorang ke dalam mobil. Kedua mata Kris melebar saat mengenali orang yang terbaring itu. Itu Baekhyun dengan wajah babak belur dan pakaian basah. Kris melirik Song Yeonjoo dan melihat ekspresi gadis itu, sepertinya memang benar Baekhyun adalah sepupu yang dimaksud oleh gadis itu, karena gadis itu terlihat mengenali Baekhyun.

Kris mengalihkan pandangan ke satu orang lagi yang sedang diangkut oleh petugas ambulans. Gadis itu, Park Sooyoon, dengan wajah yang lebih pucat dari beberapa jam yang lalu. Satu orang lagi yang diangkut oleh petugas, seorang pemuda dengan kaki dan tangan terlihat seperti telah diikat dengan tali, Kris tidak mengenalinya, namun Luhan menyebutnya sebagai teman baik dari Park Sooyoon dan tetangga Kim Joonmyun, Do Kyungsoo.

“Apa yang sudah terjadi?” tanya Kris pada Yixing. Yixing terlihat bingung menjelaskan.

“Aku tidak begitu mengerti, Chief. Ombak besar dan petir tiba-tiba saja datang, dan mendadak ada angin besar seperti angin topan. Kapal-kapal yang sedang berlabuh saling bertabrakan dan setelah itu ombak besar menghantam dermaga. Dan yang bisa kami temukan adalah tiga orang ini, mereka semua tidak sadarkan diri.”

“Bagaimana dengan Kim Joonmyun?” tanya Kris langsung.

“Kapal yang membawa para mahasiswa itu sudah berangkat satu jam lebih awal,” lapor Yixing. “Kemungkinan Kim Joonmyun sudah berada di atas kapal saat ini. Tapi, ombak seperti tadi itu benar-benar mengerikan…”

Kris membuang napas. Apakah mereka benar-benar kehilangan Kim Joonmyun? Apakah mereka tidak bisa menangkap Kim Joonmyun?

“CHIEF!” Luhan berlari menyongsong Kris dan Yixing. Wajahnya terlihat pucat, ia memegang ponsel di tangan. Kris tidak bisa menebak apa yang akan anak buahnya ini katakan.

“Ada apa?” Kris bertanya, saat itu Song Yeonjoo sudah bergabung dengan mereka dengan melemparkan tatapan bingung pada semua orang.

“Kapal yang membawa para mahasiswa itu,” Luhan mengawali laporannya dengan nada resah,”kapal itu terbalik karena ombak besar. Dilaporkan semua penumpang menjadi korban dan tidak ada yang selamat.”

“Apa?”

 

 

Malam itu, Tao tidak bisa tidur. Kepalanya sakit selama berjam-jam dan sejak tadi ia hanya berguling-guling di tempat tidur. Ia membuka mata, menutupnya lagi, membuka mata, menutupnya lagi. Ia tidak tenang, seolah-olah ada yang mengganjal dan itu sangat mengganggu. Tao bangkit dari tempat tidur dan membuka jendela kamarnya. Ia menatap keluar, ia menatap ke langit malam. Kilat menyambar di sisi lain dari kota, terlihat sangat mengerikan dari jarak yang cukup jauh seperti ini. Tao membuang napas. Memikirkan hal itu, ia semakin tidak bisa tidur.

Tao berbalik dan ia berhenti tepat di depan cermin besar miliknya. Cermin itu memantulkan semua benda yang ada di kamarnya, termasuk topi, sarung tangan dan pakaian hitam miliknya yang tersampir di kursi. Ia mematut diri selama beberapa detik. Ia menatap wajahnya sendiri.

Kulit bagian bawah wajahnya terkelupas.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~