Chapter 4: week 3 - Perspective -- object B

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

 

“Seperti yang sudah kaudengar. Begitulah kenyataannya.”

“Benarkah seperti itu…?”

“Aku tidak berbohong. Temanku menjadi saksi pembunuhan itu. Sampai hari ini temanku terguncang sekali. Dia memang sangat dekat dengan sepupunya itu karena mereka tinggal serumah.”

“Jadi dia melihat semuanya?”

“Tidak bisa kaukatakan seperti itu, tapi yang jelas dia melihat saat pembunuh itu menusuk sepupunya dengan sadis. Kurasa karena itu dia menjadi sangat trauma.”

“Astaga. Apakah pelakunya sudah tertangkap?”

“Sayang sekali belum. Aku yakin pelakunya sama dengan pelaku pembunuhan kenalanmu minggu lalu.”

“A-apa?”

“Aku sudah mencocokkan semua kriteria yang biasa ada pada korbannya. Semuanya pas sekali.”

“Astaga.”

Tao menunduk menatap cangkir kopi di meja. Sinar matanya terlihat redup. “Saat kau menceritakan tentang kenalanmu di toko obat itu, mungkin aku tidak begitu mengerti apa yang kaurasakan. Orang yang kaukenal telah dibunuh oleh orang yang bahkan kau tidak tahu siapa, dan secara tiba-tiba pula. Kali ini perasaan resah itu yang kurasakan begitu aku menemui situasi ini. Aku mengenal kakak sepupu temanku itu, yah, walaupun tidak begitu mengenalnya.” Ia membuang napas. “Kejadian ini sungguh mengerikan.”

“Ya, itu benar.” Yeonjoo menambahi.

Yeonjoo tidak menyadari keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Dugaannya mengenai target pembunuhan itu…benarkah tidak ada yang meleset? Bukankah selama ini memang tidak pernah meleset? Jika bisa ia menolak untuk percaya, ia ingin melakukannya sekarang. Namun, tidak mungkin Tao berbohong mengenai semua ini. Wajah Tao juga mengeras, memperlihatkan betapa ia serius membicarakan tentang kriteria korban itu. Yeonjoo menelan ludah. Mengapa semua hal yang membuatnya takut begitu mengurungnya? Kemarin korban adalah salah satu orang yang dikenalnya, dan sekarang adalah sepupu dari teman Tao. Betapa dunia ini sempit dan berputar-putar. Yeonjoo semakin berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya sendiri.

Bahwa ia bisa menjadi korban yang selanjutnya.

Ia mengaduk-aduk jus di depannya dengan kaku. Ia begitu ketakutan. Sungguh ia tidak perlu berpikir seperti itu! kemungkinannya begitu kecil. Tidak mungkin dari sejumlah ciri-ciri yang selalu melekat pada korban hanya sedikit orang memilikinya. Tidak mungkin ia adalah salah satu korban yang selanjutnya.

Tidak, tidak mungkin.

“Ada apa? Kenapa kau begitu tegang?” kata-kata Tao membuat Yeonjoo kembali pada realita. Ia mendongak menatap Tao yang memperhatikannya dengan cemas. Ia menggerak-gerakkan matanya dengan gelisah. Ia membuang wajah. Ia malu jika mengatakan hal ketakutannya ini pada Tao, sama dengan bila ia mengatakannya pada Joonmyun. Ia terlalu khawatir, ia terlalu paranoid.

“A-aku tidak tegang.” Ia menjawab dengan kaku.

Tao membuang napas. “Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu. Katakan saja, tidak akan apa-apa,” katanya, mencoba santai, walaupun atmosfer sejak awal sudah sedikit tegang.

Yeonjoo mendongak menatap Tao. Apakah tidak apa-apa menceritakan ketakutannya yang parah itu? Apakah setelah menceritakannya ia akan merasa lebih baik? Ia meragukannya, tapi sepertinya Tao siap mendengarkan keluh kesahnya, semuanya.

“Errrr…kau tahu, tentang ciri-ciri korban dan semacam itu…” Yeonjoo mengawali ceritanya. “Yah, aku hanya cemas karena aku…”

“Ciri-ciri korban semuanya ada padamu?” Tao memotong perkataan Yeonjoo dengan ekspresi tegang terpatri di wajahnya. “Kau…lahir pada tanggal 12… bergolongan darah A..?”

Yeonjoo tersenyum kaku. “Begitulah. Kau sudah bisa menebaknya, bukan?” sambungnya dengan suara aneh. Ia membuang napas berat. Sepertinya ia memang tidak bisa menutupi kecemasannya dari Tao.

“Lalu apa yang kautakutkan?” Tao bertanya. “Tidak mungkin kau adalah target selanjutnya. Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Ia mengibaskan tangan, meminta Yeonjoo tidak usah begitu takut.

“Tapi, semua kombinasi itu…apa yang ada padaku semuanya cocok, Tao. bagaimana mungkin aku tidak berpikir begitu?” Yeonjoo mengerutkan wajah. Ia tahu ia berlebihan, tapi ia benar-benar tidak bisa memikirkan hal lain, kemungkinan lain yang lebih positif.

“Kau hanya paranoid terhadap hal ini, Yeonjoo. Berpikirlah lebih positif,” sahut Tao yang tiba-tiba terlihat khawatir. Ia menatap Yeonjoo dengan raut wajah cemas. “Kita memang tidak bisa menduga bagaimana pembunuh itu bergerak, tapi yakinlah kau bukan korban selanjutnya.”

Yeonjoo membuang napas berat untuk ke sekian kali. Ia seharusnya tidak berpikiran begini. Tidak seperti ini. ia harap ia bisa terlepas dari semua kecemasan ini. “Mungkin kau benar. Seharusnya aku tidak begitu memikirkan kemungkinan seperti itu,” katanya akhirnya.

“Tentu saja kau tidak perlu memikirkannya.” Tao tersenyum tipis. Yeonjoo mengangguk singkat dan menunduk menatap gelas di depannya. Sepertinya dirinya harus segera membuang segala hal yang membuatnya cemas seperti ini sebelum ia terus berpikir yang tidak-tidak tentang berbagai kemungkinan. Tentu saja ia ingin kehidupannya yang dulu, sebelum kejadian minggu lalu terjadi. Ada kalanya lebih baik tidak begitu peduli pada sesuatu hal, jika pada akhirnya akan cemas dan ketakutan setengah mati seperti ini.

“Kau tidak perlu mencemaskannya, Yeonjoo, aku akan melindungimu dari maniak itu.”

Kata-kata Tao menembus pikiran Yeonjoo. Yeonjoo mengangkat wajah dan menatap Tao. Pemuda di depannya terlihat tersenyum lebar.

“Aku berjanji padamu, Yeonjoo, aku akan melindungimu dari orang gila itu. Kau akan baik-baik saja, jangan khawatir. Aku sangat lihai dalam wushu, kau tahu itu, bukan? Aku pasti bisa melindungimu.”

Yeonjoo tertawa karena tengingat kata-kata yang sama pernah Tao katakan sewaktu mereka masih kecil dulu. Sejak dulu, Tao memang selalu berkata bahwa ia akan melindungi Yeonjoo dari segala mara bahaya, termasuk dari anak laki-laki kelas sebelah yang sering mengganggu anak-anak perempuan. Saat itu Tao sudah terlihat sangat pemberani dan terlihat bergaya sekali, meski saat itu ia baru mengikuti kelas Wushu untuk satu kali pertemuan. Saat itu Tao terlihat lucu. Mengingat semuanya tidak bisa tidak membuat Yeonjoo tertawa.

“Apa yang kautertawakan?” Tao menaikkan sebelah alis begitu melihat ekspresi berbeda yang ditunjukkan Yeonjoo.

Yeonjoo menutup mulut dengan sebelah tangan. “Aku hanya teringat saat kita kecil dulu. Kau pernah mengatakan hal yang sama, kau ingat tidak?” ia menatap Tao sambil terus tertawa.

Tao tertawa kecil. Ia tampak sedikit tersipu malu. “Tentu saja aku mengingatnya walau mungkin aku terlihat sangat konyol dan berlagak pemberani,” katanya, senyum masih menghiasi bibirnya. Beberapa detik kemudian ia berdeham dan berkata dengan nada yang lebih serius. “Tapi untuk saat sekarang, itu juga menjadi janjiku, Yeonjoo. Aku akan menepatinya. Aku akan melindungimu.”

Yeonjoo tersenyum tulus. “Aku sangat menghargainya, Tao. Terima kasih.”

Tao mungkin hanya ingin menghiburnya, namun sepertinya proteksi seperti ini yang Yeonjoo butuhkan. Tao tersenyum simpul lalu meminum kopinya. Yeonjoo balas tersenyum kecil  dan saat itu ponselnya berbunyi. Joonmyun membalas pesannya. Yeonjoo mengangkat wajah menatap Tao sekali lagi.

“Aku akan ke tempat Joonmyun bekerja. Kau mau ikut?”

“Tentu saja.”

 

 

“Kau…? Bukankah kau yang datang ke kantor kami waktu itu?” Luhan mengerjap melihat orang di depannya, yang memakai kemeja lengan panjang berwarna biru muda. Pemuda itu tampak terkejut melihat Luhan, juga Yixing dan Kris yang datang dengan tiba-tiba. Wajahnya yang bersinar-sinar itu sedikit mengerut karena ia terlihat sangat kebingungan.

“Apa…yang anda lakukan di sini?” tanya pemuda itu walaupun ia belum terlepas dari keterkejutan yang melandanya.

“Kau bekerja di sini?” Kris bertanya tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu sebelumnya. Ia sungguh ingat pemuda yang berambut coklat ini. Pemuda ini adalah pemuda yang datang saat Kris membawa seorang gadis yang tampak mencurigakan untuk dimintai keterangan tentang kasus minggu lalu. Ya, pemuda ini adalah teman atau pacar atau saudara dari gadis bernama Yeonjoo itu. Kejadian itu masih seminggu yang lalu, sudah tentu Kris masih mengingatnya dengan jelas. Lagipula ia seperti pernah melihat pemuda ini di tempat kursus Hapkido tempat ia mengajar.

Perpustakaan tempat Kris berada sekarang ini tidak begitu besar, dan sedikit aneh karena sepertinya perpustakaan ini bukan bangunan lama. Bangunan ini tadinya adalah sebuah rumah tua, seperti yang orang di sekitarnya katakan, dan dikatakan ada beberapa kejadian janggal di sana, mengenai suara-suara aneh dan semacamnya. Dua tahun lalu, ada kerusakan pada tiang listrik dan akhirnya listrik menyambar deretan rumah termasuk rumah ini sampai terbakar habis. Saat itu pemilik lamanya baru saja meninggalkan rumah. Selang beberapa waktu, bangunan itu kembali berdiri dan dijadikan perpustakaan kecil di tengah-tengah perumahan yang cukup ramai ini.

Petugas yang bekerja di perpustakaan ini pun tidak banyak. Dari yang sekilas ditangkap oleh Kris, perpustakaan ini hanya berkaryawankan 3 orang. Dan satu karyawan sedang berada di depannya.

“Y-ya,” jawab pemuda itu sedikit gagap. Kris melirik tag nama di kemeja pemuda itu. Kim Joonmyun.

“Baiklah, Kim Joonmyun ssi, kami hanya ingin menanyakan tentang seorang wanita bernama Park Miseon yang datang ke perpustakaan ini kemarin.” Kris langsung mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya tanpa peduli dengan wajah Kim Joonmyun yang semakin terlihat bingung.

“Park Miseon?” ia tampak terkejut.

Kris menaikkan sebelah alis. “Kau tidak mengenalnya?”

“Maaf, sebenarnya ada apa dengan Park Miseon ssi itu?” Kim Joonmyun balik bertanya. “Apa yang polisi ingin lakukan dengannya? Kenapa polisi mencarinya?”

Pemuda itu tidak bersuara begitu besar, namun karena suasana hening perpustakaan, semua orang yang sedang giat membaca langsung mengangkat wajah dan menoleh ke arah Kris dan yang lain begitu mendengar kata ‘polisi’. Kris membuang napas setelah sekilas menatap orang-orang yang menatap mereka dengan ingin tahu itu dengan tatapan dingin. Ia menghadap Kim Joonmyun kembali dan berkata.

“Berita pagi ini, kau tidak tahu?” katanya dingin dengan setengah berbisik.

Kim Joonmyun terkesiap dan tidak berkata apa-apa lagi. Sepertinya ia sudah mengerti apa yang Kris maksudkan dengan berita pagi ini. Ia mengerjap. “Apakah ini berhubungan dengan pembunuhan berantai itu? Divisi anda menyelidiki kasus itu, bukan?”

“Kau pintar sekali menebak,” balas Kris acuh tak acuh. “Kenapa kau tidak langsung menjelaskan tentang Park Miseon? Benar dia yang datang kemari kemarin, bukan?” lanjutnya dengan nada malas.

“Soal itu, aku tidak tahu.” Kim Joonmyun menjawab langsung. “Aku menyusun banyak buku kemarin dan aku tidak memperhatikan setiap orang yang datang. Jika dia benar datang kemari kemarin, aku sungguh tidak tahu. Lagipula kemarin aku tidak bertugas di bagian peminjaman dan pengembalian.”

“Siapa rekanmu yang bekerja di bagian peminjaman dan pengembalian kemarin?”

“Han Kyuwan.” Kim Joonmyun menunjuk seseorang dengan kemeja hitam di antara dua rak tinggi. Orang itu begitu tenggelam dalam kesibukan sampai-sampai ia tidak menyadari kehadiran Kris dan yang lain. Kris meminta Luhan dan Yixing meminta keterangan dari Han Kyuwan, sementara ia sendiri kembali menghadap Kim Joonmyun. Wajah yang selalu tampak bersinar itu sedikit tampak resah. Pemuda itu sedang menatap Kris.

“Wajahmu tidak begitu asing untukku.” Kris berkomentar.

Kim Joonmyun mengerjap. “Kita memang pernah bertemu sebelumnya, minggu lalu di kantor polisi, bukankah begitu?” pemuda itu tersenyum tipis yang sangat sopan sekali.

Pemuda ini sepertinya pemuda baik, namun Kris tidak bisa menyangkal firasatnya bahwa sepertinya pemuda itu tidak seperti yang terlihat. Pemuda ini seperti sedang berbohong padanya. Alis Kris terangkat. “Apakah kau pernah ke kursus Hapkido di pusat kota?”

Kali ini giliran Kim Joonmyun yang menaikkan alis. Senyum sopannya memudar perlahan. “Apakah anda pernah melihatku di sana?” ia tersenyum kaku. Ia terlihat tidak senang dengan pertanyaan yang Kris lontarkan.

“Mungkin.” Kris menjawab dengan menggantung. Ia membuang napas. “Siapa yang kaucari? Bila ingin mengikuti latihan, sebaiknya kau tidak hanya datang dan berdiri di depan pintu kaca. Masuklah, dan bila ada yang ingin kautemui, temui saja dia.”

Wajah asli Kim Joonmyun perlahan semakin terlihat. Ia tersenyum menyeringai yang tampak tidak cocok untuk wajah malaikatnya. Ia terlihat menyeramkan. “Begitu?” katanya dengan sinis. Kris sama sekali tidak terkejut dengan perubahan ekspresi Kim Joonmyun ini karena ia sudah bisa menebaknya. Ia sudah sering melihat orang dengan berbagai wajah seperti layaknya pemuda ini.

“Tentu saja. Itu lebih baik.” Kris memutar mata menatap pemuda di depannya.

Kim Joonmyun tersenyum kecut. “Seharusnya kau tidak perlu mengatakan hal ini padaku.”

“Jika bisa kukatakan sebenarnya aku terganggu dengan aktifitasmu di depan pintu kaca itu. Aku hanya memberikan alternatif.”

“Cih, aku tidak butuh alternatif darimu.”

“Jika benar begitu, masuk dan temuilah orang yang kaucari.”

“Joonmyun?”

Kris menoleh ke arah suara itu. Seorang gadis yang tidak asing tampak menatapnya dan Kim Joonmyun bergantian. Kris tidak begitu heran mendapati gadis itu berada di sini karena ia memang memiliki hubungan dekat dengan Kim Joonmyun. Gadis itu, gadis bernama Yeonjoo itu membelalakkan mata menatap Kris. Ia tampak sangat amat terkejut mendapati kehadiran Kris di perpustakaan ini. Gadis ini memang selalu bereaksi berlebihan, Kris membatin.

“A-apa yang orang ini lakukan di sini?” Song Yeonjoo menatap Kim Joonmyun dan Kris bergantian, tangannya menunjuk Kris. Kris menurunkan tangan gadis itu yang sedang menunjuknya. Gadis ini sungguh tidak sopan. Song Yeonjoo mengernyit menatap Kris. Ia segera menjauhkan tangannya. Kris merasa gadis ini sangat tidak menyukainya dan kehadirannya.

Kim Joonmyun sudah memasang wajahnya yang cerah ceria menyenangkan dengan sinarnya yang biasa. “Pihak kepolisian sedang mencari keterangan tentang korban pembunuhan.” Ia menjawab dengan ringan tanpa beban, seolah itu bukan masalah yang besar. Yah, bagi pemuda ini, hal itu memang bukan masalah besar.

“A-apa? Apakah ada korban di sini?” bisik gadis itu. Sekilas ia tampak ketakutan.

“Tidak, tidak. Yeonjoo-ku tidak perlu khawatir.” Kim Joonmyun tersenyum sambil mengibas-ngibaskan tangan. Kris mencibir mendengar panggilan itu untuk gadis aneh di sebelahnya ini. Apakah mereka sungguh punya hubungan semacam itu? Sebaiknya Kris tidak perlu peduli dengan hal itu. Itu semua bukanlah urusannya. Terserah saja mereka memiliki hubungan apa. Ia tidak peduli. Ia memang seharusnya tidak peduli.

“Kau?”

Kris menoleh mendengar suara yang melengking itu. Hidup sungguh tidak terduga, dan ia yakin semua ini memang takdir.

Ia melihat teman dari saksi Kim Minseok datang mendekatinya dengan langkah lebar. Ia terlihat marah dan gusar, mungkin setelah apa yang Kris lakukan pada temannya yang terguncang itu. Kris sudah memaksa Kim Minseok untuk memberikan kesaksian dengan cepat sesaat setelah kejadian pembunuhan kakak sepupunya. Sepertinya anak ini tidak melupakanku, pikir Kris tanpa memasang satu ekspresi pun di wajah.

Kehadiran pemuda bertubuh tinggi itu lantas membuat Kim Joonmyun tampak sedikit bingung. Apalagi begitu pemuda itu tampak mengenal Kris. Kris hanya diam melihat pemuda bertubuh tinggi itu yang tampak ingin menghajarnya karena sikapnya yang sudah keterlaluan kemarin.

“Tao, kau mengenal polisi ini?” tanya Kim Joonmyun heran.

Song Yeonjoo mengerjap. “Kau mengenal polisi ini?” ia terdengar heran.

Ah, jadi anak ini adalah kenalan dari Kim Joonmyun dan Song Yeonjoo?

Benar-benar sempit, dunia ini.

Pemuda yang dipanggil Tao itu menghadap Song Yeonjoo. Ia langsung berujar. “Dialah polisi yang aku ceritakan padamu, Yeonjoo.” Ia menunjuk Kris. Kris merasa begitu terusik dengan dua orang asing yang menunjuk dirinya dengan sangat tidak sopan. Mereka sungguh tidak sopan karena sesungguhnya mereka beberapa tahun lebih muda dari Kris.

“Seharusnya aku sudah bisa menduganya,” Song Yeonjoo bergumam, ia melirik Kris dengan tatapan tidak senang. “Dia adalah orang yang membawaku ke kantor polisi minggu lalu.”

“Oh, jadi polisi tinggi itu orang ini? Orang ini yang kaumaksudkan?”

“Benar, Tao. Orang ini yang sudah kami ceritakan padamu.”

Pembicaraan ini sungguh mengusik ketenangan Kris.

“Wow, jadi kalian membicarakanku di belakang, hah?” Kris pada akhirnya buka suara. “Apakah kalian berkomplot atau semacam itu?” ia mencibir. Ia menatap tiga orang di depannya dengan dingin.

“Bisa dikatakan seperti itu. Apakah kau keberatan?” Pemuda bernama Tao itu jelas-jelas menguji kesabaran Kris. “Kurasa kau masih belum bisa menemukan pelakunya?” pemuda bernama Tao itu terdengar mengejek. “Dan karena itu akhirnya kau masih berkeliaran mencari bukti?”

“Tutup mulutmu. Kau tidak tahu apa-apa,” kata Kris geram.

“Tentu aku tahu, karena aku melihatmu tidak menemukan apa-apa, tidak menangkap siapa-siapa.”

Oh, anak ini sungguh kurang ajar.

“Sudah, Tao, tidak usah diteruskan.” Kim Joonmyun menahan Kris dan pemuda bernama Tao yang terlihat sudah siap terlibat dalam baku hantam. Kris mengatur napasnya dan ia melirik Luhan dan Yixing yang terlihat sudah mendapat bukti dari Han Kyuwan. Ia memutar mata menatap pemuda bernama Tao itu.

“Aku akan menangkap pelakunya. Kau lihat saja nanti,” katanya sebelum membalikkan tubuh dan berjalan keluar.

 

 

“Kau berlebihan sekali, Yeonjoo. Apa maksudmu kau akan menjadi target berikutnya? Kau ini terlalu mengada-ada.”

“Aku hanya membicarakan kemungkinan, Joonmyun. Semua kriteria itu ada padaku.” Yeonjoo terdengar keras kepala meyakinkan Joonmyun tentang argumennya.

“Kau tidak pernah mengungkit-ungkit hal itu sejak dulu. Mengapa sekarang kau jadi mencemaskannya seperti ini?” tanya Joonmyun tidak mengerti.

“Yah, aku hanya mencemaskannya. Akan terasa mengerikan bila ternyata aku adalah target selanjutnya, bukan?” Yeonjoo tertawa hambar. Ia sedikit menunduk menatap kakinya.

Joonmyun yang menuntun sepeda berhenti berjalan. Ia menatap Yeonjoo. “Tidak ada bukti yang mengatakan bahwa kau adalah target selanjutnya. Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Ia tertawa kecil. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Yeonjoo. “Lagipula kriteria yang ada itu begitu konyol. Mengapa untuk membunuh saja harus ada kriteria korban seperti itu? Kenapa tidak langsung dibunuh saja? Kenapa harus memilih korban? Kriteria itu seperti syarat untuk casting film saja. Pembunuhnya sungguh aneh. Pasti orang itu sakit jiwa.” Ia tertawa atas celotehannya sendiri.

“Joonmyun, ini masalah serius. Ini bukan bahan bercanda.” Yeonjoo memukul pelan lengan Joonmyun.

“Jadi sampai sekarang polisi juga belum bisa menemukan pelakunya? Mereka belum mendapatkan banyak petunjuk? Dan mereka masih berkeliaran di jalan mencari bukti?” Joonmyun masih tertawa berderai. “Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran orang-orang itu. Mereka tidak bisa bertindak cepat.” ia menggeleng-gelengkan kepala.

Yeonjoo membuang napas. “Yah, sepertinya mereka sedang berusaha..keras?” ia berkata dengan nada ragu dan menggantung.

“Aku juga tidak mengerti jalan pikiran pembunuh itu.” Joonmyun mengangkat bahu. “Pelakunya itu, dia pasti orang yang terobsesi dengan hal-hal pembunuhan seperti ini. Kau ingat film yang kita tonton waktu sekolah menengah dulu? Orang itu membunuh orang-orang seolah-olah membunuh itu adalah hobinya. Cih, orang itu sungguh orang yang sinting.”

Terobesi dengan pembunuhan? Orang sinting? Tao terpekur. Sejak tadi ia tidak berkomentar banyak karena setelah makan malam, ia dilanda migraine yang berat. Ia hanya mendengarkan celotehan dua temannya yang seru dan menegangkan itu dalam diam. Setelah makan malam dan dalam perjalanan pulang pun, bahasan ini yang masih mereka bincangkan. Yeonjoo memang terkesan begitu paranoid namun Tao tidak menyalahkannya. Wajar bila gadis itu bereaksi seperti itu. Lagipula dengan sebuah kasus yang melibatkan kenalannya sebagai korban, kemungkinan ia menjadi paranoid seperti ini memang cukup besar. Tingkat kecemasan orang berbeda, dan untuk Yeonjoo, ia memang tipe pencemas dengan imajinasi yang sangat tinggi.

“Apa dia pikir nyawa orang itu tidak berharga? Asal bunuh saja. Sungguh sinting.”

Sinting mungkin kata yang tepat. Joonmyun benar-benar tahu kata yang cocok untuk mendeskripsikan pembunuh itu. Jika Tao mengingat semua kejadian ini, pikirannya akan langsung melayang pada kepolisian. Masyarakat begitu tergantung pada kepolisian untuk penyelesaian kasus ini, namun divisi yang menangani tidak begitu cakap hingga akhirnya pelaku tidak juga tertangkap. Seperti yang sudah bisa ia duga, setelah Minseok memberikan kesaksian, kepolisian tidak juga segera berhasil menangkap pelakunya. Malah ada korban yang selanjutnya dalam minggu ini, batin Tao tanpa bisa dicegah.

Apa yang membuat polisi mati langkah seperti ini? Kasus ini sudah begitu berlarut-larut.

Polisi tinggi bernama Wu itu berjanji akan menangkap pelakunya. Apakah ia benar-benar bisa? Entahlah, Tao tidak bisa memercayai kata-kata orang itu.

“Tao, kau baik-baik saja? Kepalamu sudah tidak sakit, bukan?”

Tao mendongak dan menatap Yeonjoo yang sudah berdiri di depannya dengan wajah cemas. Sudah tentu ia tidak ingin membuat gadis yang disukainya lebih cemas dari ini. ia menggeleng pelan dan mencoba tersenyum. “Aku sudah tidak apa-apa,” katanya pelan. Yeonjoo menatapnya lurus-lurus seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Gadis itu menyentuh sebelah wajah Tao dengan tangannya yang kecil. Tao kebingungan dengan yang gadis itu lakukan. Jantungnya serasa melompat dan bekerja dua kali lebih cepat dari biasa.

“Sekarang kau menjadi demam seperti ini. Apakah kau punya persediaan obat di rumah?” Yeonjoo menarik tangannya dari wajah Tao dan saat itu juga Tao bisa bernapas sedikit lebih mudah. Kini ia mencoba meredakan degub jantungnya yang masih tidak normal. Ia teringat Yeonjoo menanyakan sesuatu dan ia membuat otaknya bekerja lebih keras dengan memproses kata-kata yang gadis itu lontarkan.

“Kurasa persediaanku habis.” Pada akhirnya ia menjawab.

Gadis itu membuang napas. “Sebaiknya kau membeli obat dulu sebelum pulang.” Gadis itu berkata. Ia memutar kepala menghadap Joonmyun. “Apakah ada toko obat di sekitar sini?”

Joonmyun mengedarkan pandangan. “Tidak ada. Tapi kurasa ada obat di minimarket itu.” ia menunjuk sebuah minimarket di seberang jalan.

“Baiklah, aku akan menemani Tao membeli obat. Kau pulang duluan saja, Joonmyun.” Yeonjoo memberitahu pemuda itu. Tao terkesiap mendengar kata-kata Yeonjoo. Ia tidak mengira gadis itu akan menemaninya untuk membeli obat seperti ini. Tao terdiam dan ia melirik Joonmyun. Ekspresi temannya itu sedikit berubah, ia terlihat ragu. Joonmyun memang selalu mengantar Yeonjoo pulang dan mungkin ini sedikit aneh karena kali ini ia tidak akan pulang bersama gadis itu.

“Apakah tidak apa-apa?” Joonmyun bertanya.

Yeonjoo mengangguk. “Kau bilang kau ada urusan, jadi tidak apa-apa jika kau pulang duluan,” jawab gadis itu segera.

Mengetahui pada akhirnya Yeonjoo akan pulang sendirian, Tao buru-buru berkata,”aku akan mengantar Yeonjoo pulang, Joonmyun. Jangan khawatir.” Kepalanya berdenyut semakin sakit setelah ia mengucapkan kata-kata itu. aish, migraine ini membuatnya merasa semakin buruk.

Pada akhirnya sebelum melaju dengan sepedanya, Joonmyun menyentuh kepala Yeonjoo dan berpesan agar gadis itu berhati-hati. Yeonjoo mengangguk patuh dan berkata ia akan berhati-hati. Tao merenung. Sungguh kedekatan dua temannya itu membuatnya ragu Apakah sungguh diantara keduanya tidak ada hubungan semacam itu. Ia tidak perlu memikirkan hal itu karena kepalanya menjadi berdenyut semakin menyakitkan. Yeonjoo kembali meliriknya dan kemudian berkata

“Ayo, kita segera beli obat untukmu.”

“Apakah tidak apa-apa kau tidak pulang dengan Joonmyun?” Tao bertanya saat mereka memasuki minimarket. Mini market begitu sepi saat itu meski belum begitu malam. Suara Tao yang tidak begitu keras terdengar sangat jelas dan ia merasa karyawan mini market juga mendengarnya. Yeonjoo sekilas tampak heran dengan pertanyaan Tao namun gadis itu langsung mencari di mana rak berisi obat-obatan tanpa menjawab lebih dahulu. Setelah ia menemukan rak obat-obatan, barulah ia menghadap Tao.

“Tentu saja tidak apa-apa aku tidak pulang dengannya, Tao.” gadis itu tertawa kecil. “kenapa mendadak kau menanyakan hal ini?” ia bertanya.

“Kenapa…?” Tao mengerjap. Kenapa ia menanyakan hal ini? Apakah ini hal yang mengganggunya? Ia rasa tidak ada alasan khusus mengapa ia menanyakannya. Lagipula sejak makan malam tadi, sejak Joonmyun berkata bahwa ia punya urusan sebelum pulang ke rumah, terlihat ada kilasan kecewa di mata Yeonjoo. “A-aku hanya bertanya. Kau biasa pulang dengannya, jadi kurasa bila tidak pulang dengannya, akan…akan terasa aneh.”

Yeonjoo mengerjap dan kemudian tersenyum hambar. Ia mendengus. “Belakangan Joonmyun sering punya urusan seperti itu. aku tidak tahu dia pergi ke mana, tapi dia selalu bilang dia punya urusan.” Ia tertawa hambar. Tao mendengar ada nada tidak suka dalam suara Yeonjoo. “Aku sudah hampir terbiasa tidak pulang bersamanya, kau tahu? Dia sibuk dengan pekerjaannya dan urusannya itu.” gadis itu menekankan kata urusan dengan nada yang tidak dipahami Tao.

“Begitukah?”

“Ya.”

“Apakah kau tidak pernah bertanya ke mana dia pergi?”

“Dia tidak pernah mau memberitahuku.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu.” Yeonjoo menggeleng pelan. “Aku tidak ingin begitu mencampuri kegiatannya, jadi aku tidak ingin sering menanyainya seperti itu.” ia mengangkat bahu dan tertawa kecil. “Aku terdengar begitu posesif, benar tidak, Tao?”

“A-ah, benar.” Tao turut tertawa meski dadanya mendadak terasa sakit.

Pada akhirnya Tao tidak mengantarkan Yeonjoo pulang karena gadis itu meminta Tao pulang lebih dulu untuk beristirahat. Tao melambai dengan lemah dari dalam bus. Yeonjoo balas melambai dengan antusias sebelum akhirnya bus melaju dan gadis itu sudah menghilang dari pandangan Tao. Tao membuang napas dengan sangat-sangat berat karena kenyataan seperti memberitahunya bahwa di mata gadis yang disukainya, hanya ada satu orang dan sepertinya tidak bisa tergantikan oleh dirinya. Joonmyun, gadis itu menyukai Joonmyun, dan Tao tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu.

 

 

“Apa maksudmu? Ada orang yang sering mengintip dari balik pintu kaca?”

Kris menatap rekannya dalam diam. “Apakah kau tidak menyadarinya?”

“Aku bahkan tidak pernah tahu ada orang yang melakukan hal semacam itu.” Baekhyun tertawa kecil. “Aku sudah sebulan ini tidak datang ke tempat ini karena pertandingan secara marathon di lima kota itu, jelas aku tidak tahu apa-apa.”

“Bukan,” Kris menggeleng pelan. “Ini jauh sebelum hari itu, sebelum pertandingan secara marathon itu. Kau tidak tahu?”

Baekhyun jelas sekali terlihat heran. Ia menggeleng dengan sangat pelan. “Aku tidak tahu.”

Kris membuang napas. Ini sungguh tidak masuk akal mengapa ia ingin mengetahui alasan Kim Joonmyun datang dan berdiri di depan pintu kaca itu. Ia sendiri sudah lama tidak datang ke tempat kursus Hapkido ini karena sibuk dengan kasus-kasus yang ada. Malam ini pun ia datang bukan karena ingin mengajar, namun karena ia hanya penasaran dengan fakta kecil yang ia dapatkan kemarin. Kim Joonmyun terlihat sangat aneh di matanya. Dalam imajinasi terliarnya, ia sudah bisa membayangkan bahwa Kim Joonmyun bukanlah orang biasa yang hanya bersembunyi dibalik buku-buku perpustakaan.

Ia hanya menemukan bahwa tipikal Kim Joonmyun sangat pas dengan karakter topeng yang dapat menyembunyikan wajah yang sebenarnya. Jadi, yang bisa dikatakan di sini apakah Kris mencurigai pemuda itu sebagai pelaku pembunuhan berantai?

Ini terdengar sangat berlebihan, namun itulah yang ada dalam kepala Kris.

Dan bila Kim Joonmyun adalah pelakunya, siapa yang ia incar dalam gedung kursus Hapkido ini?

“Baekhyun, tanggal lahirmu apakah…”

“Aku?” Baekhyun memotong perkataan Kris dengan segera. “Aku lahir tanggal 6 Mei.”

Astaga. Enam. Enam Mei. Kris memutar otak. Tapi tidak mungkin, tinggi tubuh Baekhyun tidak seperti kriteria itu. “Dan, golongan darahmu?”

“Kau bertanya padaku seperti penyelidik dari kepolisian saja.” Baekhyun tertawa mendengar investigasi kecil-kecilan dari Kris ini. Yah, hanya karena pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa Kris adalah seorang polisi. “Golongan darahku O rhesus positif,” jawabnya kemudian.

Kris menunduk dan menatap tangan Baekhyun yang sedang memegang tongkat kayu untuk latihan. Pemuda ini tidak bertangan kidal.

Tidak, bukan Baekhyun.

Lalu, apakah kecurigaannya terhadap Kim Joonmyun tidak terbukti?

Berdasarkan bukti yang dikumpulkan oleh Luhan dan Yixing kemarin, korban Park Miseon terlihat datang bersama seseorang. Orang itu tidak membubuhkan nama di daftar pengunjung perpustakaan karena orang itu sepertinya bukan anggota. Park Miseon hanya mengembalikan buku dan setelah itu meninggalkan perpustakaan. Orang yang datang bersamanya itu bisa jadi siapa saja. Entah orang itu memang rekannya di café, ataukah temannya yang lain.

Dan bisa jadi orang yang menyamar dengan menggunakan topeng.

Kris masih tidak bisa menyangkutpautkan bagaimana sebuah topeng kayu bisa terlihat persis terpasang seperti wajah pada umumnya. Para saksi sejak dulu tidak pernah berkata pelaku menggunakan topeng, tapi mereka selalu berhasil mengingat wajah pelaku dan polisi berhasil memiliki sketsa wajah, yang tentu saja, sama persis dengan topeng yang ditemukan di lokasi kejadian. Bagaimana sebenarnya topeng itu? jika benar topeng, kenapa yang ditemukan hanya topeng kayu? Apakah ada topeng dari bahan yang lain? Jadi topeng kayu itu hanya sebuah pengalihan?

Ini masih menjadi teka-teki terbesar untuk Kris.

“Sebenarnya ada apa?” Kris mendengar Baekhyun bertanya. “Kau terlihat banyak pikiran.”

Kris menoleh padanya. “Bukankah kau juga seperti itu?” ia balik bertanya.

“Apakah terlihat jelas?” Baekhyun meringis. Sebenarnya sejak pertama kali bertemu dan mengenal Baekhyun, Kris selalu merasa pemuda itu selalu tidak sehat dan kurang tidur. Ia terlihat memikirkan banyak hal, tapi seperti biasa, tidak ada yang bisa Kris ungkap darinya. Kris dan rekannya ini punya banyak kesamaan selain tanggal kelahiran mereka yang sama.

“Tentu sa—“

Kris tidak melanjutkan perkataannya karena ponsel di saku celananya bergetar. Ia segera merogoh ponselnya dan mengernyit melihat nomor asing yang menelponnya. Nomor siapa ini?

“Ya?” sahut Kris sambil menempelkan ponsel ke telinga.

“Apakah ini dengan Kris Wu ssi?” terdengar suara panic di seberang.

Kris mendadak merasa was-was. “Ya, benar. Apakah ada yang bisa dibantu?”

“Maaf, Kris ssi, kami dari rumah sakit umum Seoul….”

Kris mendengarkan segala penjelasan di seberang telepon dan ia merasa jantungnya jatuh saat itu juga.

Tidak…

Tidak mungkin.

 

 


 

p.s: It's too early, but.. 생일 축하합니다, 우리 변백현. 사랑합니다. 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~