Chapter 3: week 3 - Perspective -- object A

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

 

“Apa? Sore ini kau tidak akan menjemputku di toko?” Yeonjoo mengernyit menatap Joonmyun yang sibuk merapikan buku-buku di dalam tas.  Kelas mereka baru saja selesai dan mereka sudah akan meninggalkan ruang kelas namun Joonmyun masih sibuk dengan buku dalam tasnya yang tidak tersusun rapi.  Yeonjoo masih menatap pemuda di depannya yang masih sibuk sendiri itu. ia sedikit bingung dengan perkataan Joonmyun sebelumnya.

“Ya, aku tidak menjemputmu hari ini.” Joonmyun akhirnya mengangkat wajah dari tasnya. Ia tersenyum dengan wajah bersinarnya yang sudah terkenal itu.  “Aku ada sedikit urusan,” katanya.

Yeonjoo terdiam.  Belakangan ini urusan Joonmyun semakin banyak, pikirnya bingung. Namun pemuda itu tidak pernah mengatakan apa-apa. Yeonjoo sendiri tidak ingin mencampuri urusan temannya ini. namun mau bagaimana lagi, ia penasaran. “Apa yang akan kaulakukan?” tanyanya saat mereka berjalan menuju gerbang.

Joonmyun tersenyum. Ia mengacak-acak rambut Yeonjoo. “Ah, Yeonjoo-ku sangat ingin tahu sekali, ya?” ia mengikik geli. Yeonjoo menekuk wajah mendengar celotehan bercanda dari Joonmyun. Apalagi dengan embel-embel di belakang namanya, saat ini Joonmyun tidak menganggap pembicaraan ini serius.

“Hentikan, Joonmyun-ku.” Yeonjoo berkata dengan main-main, menepis tangan Joonmyun dari kepalanya. Joonmyun hanya tertawa kecil, wajahnya semakin bersinar-sinar diterpa secercah sinar mentari. “Jadi, kau tidak ingin mengatakan kemana kau akan pergi?” Yeonjoo berusaha menggali informasi dari pemuda yang berjalan berdampingan dengannya ini. Ia menyipitkan mata melihat Joonmyun yang hanya tertawa.

“Dengar, Yeonjoo, akan banyak buku baru datang di perpustakaan hari ini.”  Joonmyun menatap sekeliling mereka. Kemudian ia menatap langit yang kini penuh dengan awan kelabu. Yeonjoo melihat wajah Joonmyun sedikit berkerut. “Aku akan menghabiskan banyak waktu di perpustakaan. Dan aku tidak bisa berjanji untuk menjemput Yeonjoo-ku di toko.” Ia mengikik menatap Yeonjoo, kemudian tersenyum meminta maaf. “Tidak masalah, bukan, aku tidak menjemputmu?” tanyanya.

Benar, itu bukan masalah. Yeonjoo mengerutkan kening. Ia mungkin bukan orang yang berani, pada dasarnya ia penakut sekali. Sekarang ketakutannya bertambah, dan itu terhadap pembunuhan berantai yang sudah terjadi sejak tiga tahun yang lalu. Tadinya ia bersikap biasa saja, lihat? Namun begitu satu kejadian terjadi di dekatnya, kejadian yang menimpa Lee Hyunil ssi minggu lalu, ia sudah tidak bisa lagi bersikap biasa. Sesungguhnya ia ingin menutup mata dan telinga mengenai semua kejadian pembunuhan berantai ini, namun kini tidak ada yang bisa ia lakukan. Akhirnya ia ingin tahu mengenai hal yang bersangkutan dengan pembunuhan berantai, dan kriteria korbannya.

Bisa dikatakan Yeonjoo bisa menjadi sasaran berikutnya.

Kriteria apa lagi yang kurang? Yeonjoo bergolongan darah A, lahir pada tanggal 12 Desember, memiliki tinggi badan 163, dan bertangan kidal.

Ia tahu ia terlalu paranoid, namun belakangan ia merasa ia tidak ingin pergi kemana pun sendiri. Jadilah Joonmyun yang selalu ia andalkan. Namun belakangan Joonmyun sering punya banyak urusan seperti itu, dan tidak bisa pulang bersama Yeonjoo. Yeonjoo tidak memaksa pemuda itu untuk terus menjemputnya dan pulang bersama setiap sore. Namun itu sudah menjadi kebiasaan mereka, dan Yeonjoo sering terhanyut dalam rutinitas. Ia lebih suka situasi yang seperti itu, rutinitas yang seperti itu, di mana ia akan pulang bersama Joonmyun setiap sore. Terlebih dengan kejadian pembunuhan berantai yang ada. Ia semakin membenarkan fakta bahwa ia harus pulang bersama Joonmyun. Sepertinya ia begitu keterlaluan dan penakut.

Jika ia memberitahukan pada Joonmyun tentang hal ini, mengenai ketakutannya akan pembunuh itu, pasti Joonmyun akan menganggapnya berlebihan.  Joonmyun pasti berkata semua perkiraan Yeonjoo tidak mungkin terjadi dan tidak mungkin Yeonjoo akan menjadi korban selanjutnya meski kriteria yang ada sangat pas.  Yeonjoo tahu sekali pola pikiran Joonmyun.  Joonmyun tidak begitu terpengaruh dan tidak peduli dengan pembunuhan berantai ini. Ia sendiri tidak perlu kuatir karena tidak satupun kriteria menempel padanya. Joonmyun lahir pada tanggal 22 Mei, tinggi badan 174, tidak bertangan kidal dan bergolongan darah AB.

“Dan, Yeonjoo,” suara Joonmyun menembus pikiran Yeonjoo yang sudah sampai ke mana-mana,”sepertinya sebentar lagi akan hujan.” Joonmyun menengadah menatap langit. “Dilihat dari awan kelabu yang ada, sepertinya hujan akan turun deras dan untuk waktu yang lama,” sambungnya sambil tertawa. Ia sudah berlagak seperti pengamat cuaca. Yeonjoo yang tadinya sedikit tegang pada akhirnya mengulum senyum. Sepertinya ia tidak perlu begitu cemas dan takut. Setidaknya untuk saat sekarang.

“Ah, Kyungsoo!” Perhatian Yeonjoo teralihkan begitu Joonmyun berseru pada seseorang yang berdiri di dekat gerbang. Yeonjoo tidak begitu mengenal pemuda yang dipanggil oleh Joonmyun itu, namun ia tahu pemuda itu adalah orang yang tinggal di flat sebelah Joonmyun. Pemuda itu adalah tetangga Joonmyun. Yeonjoo pernah beberapa kali melihat pemuda ini keluar masuk flat sebelah, dan beberapa kali ia datang ke flat Joonmyun, meminjam beberapa buku, dan Joonmyun terkadang meminta kopi darinya bila persediaan kopinya habis.

Pemuda yang dipanggil Kyungsoo itu membungkuk kecil dan tersenyum. Senyumnya terlihat dipaksakan dan ia terlihat begitu banyak pikiran. Kedua matanya yang besar bergerak-gerak gelisah. “Joonmyun ssi, kelasmu sudah selesai?” tanyanya sopan pada Joonmyun.

Joonmyun tersenyum cerah sekali. “Tentu saja, Kyungsoo.” ia menjawab dengan riang. “Ah ya, bagaimana dengan perkembangan hubunganmu dengan gadis itu?” tanyanya langsung. Yeonjoo sudah tidak mengerti kemana arah pembicaraan Joonmyun. Ia tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh temannya itu. Wajah tetangga Joonmyun itu terlihat semakin kaku dan kedua bola matanya bergerak-gerak semakin gelisah. Yeonjoo mengerutkan kening. Aneh sekali.

Yeonjoo tahu Joonmyun akan sibuk dengan tetangganya ini dan akhirnya ia berkata. “Joonmyun, aku akan pergi ke toko.” Ia memberitahu pemuda itu. Joonmyun menoleh padanya dan mengangguk. Pemuda itu menyentuh kepala Yeonjoo dan tersenyum hangat.

“Berhati-hatilah di jalan,” kata pemuda itu dengan suaranya yang tenang menyenangkan.

 

 

Dengan langkah tergesa Tao tiba di rumah sakit. Ia dikejutkan dengan kerumunan orang-orang berjas hitam dan orang-orang lain dengan rompi berwarna putih di sepanjang lorong. Ia lebih terkejut lagi begitu mendapati Minseok dengan wajah yang penuh air mata dan juga penuh luka. Mata Tao melebar.

“Hyung, apa yang sudah terjadi?” tanyanya saat ia menghampiri Minseok yang berdiri di ambang pintu kamar jenazah, merangkul adik perempuannya, Minjung, yang menangis meratapi jasad kakak sepupu mereka yang ada di dalam ruangan. “Apa yang sudah terjadi?” ia bertanya lagi begitu Minseok belum merespon.

Minseok yang terguncang menatap Tao. “Noona…aku melihat orang yang membunuh Noona…” jawabnya lirih. “Aku melawannya, kau dengar, Tao? Aku berusaha menyelamatkan Noona. Tapi orang itu ganti memukuliku. Dia hampir saja menusukku dengan belati yang dibawanya.” Ia tertawa sumbang, namun ekspresinya murung. Tatapan matanya sungguh kosong.  Kemudian ia melanjutkan dengan nada melamun. “Dia…dia memakai topeng yang mengerikan… dia…menusuk Noona dengan kejam… dia….”

“Hyung, kau sungguh tidak apa-apa?” Tao semakin cemas melihat wajah temannya. Minseok terlihat sangat terguncang. “Hyung, kau perlu mengobati lukamu.” Ia mengguncang lengan Minseok yang terkulai lemas di sisi tubuh. Semenjak dua puluh menit yang lalu, begitu Minseok menelponnya, Tao menjadi sangat cemas. Bagaimana tidak, terjadi penyerangan di rumah temannya itu. Ia sungguh panik dan tidak tahu harus berbuat apa saat mendengar suara lemah temannya di seberang. Akhirnya ia berlarian ke rumah sakit tempat tubuh kakak sepupu Minseok diautopsi.

“Noona-ku, Tao, kau mengenalnya, bukan? Siapa yang tega melakukan ini pada Noona…?” Minseok mengabaikan kata-kata Tao, dan ia mendekap Minjung dan kembali meneteskan air mata. Tao ikut mendekap Minseok dan Minjung, berusaha menenangkan mereka. Ia mengerling polisi yang mondar-mandir di sepanjang koridor. Situasi ini tak pelak membuatnya cemas. Baru kali ini ia terjebak dalam seituasi seperti ini.

Minseok dan adiknya tinggal bersama dengan kakak sepupu mereka yang berprofesi sebagai model. Minseok dan adiknya datang ke Seoul untuk bersekolah. Pada awalnya rumah itu ditinggali oleh kakak sepupunya yang bernama Yang Saeron, beserta ayah, ibu dan saudaranya. Saudara perempuan Saeron telah menikah dan tinggal di China sementara orangtuanya mengurus bisnis keluarga di Pusan. Jadilah penghuni rumah itu hanya Saeron, Minseok dan Minjung.

Bisa dikatakan Tao mengenal Noona Minseok itu. Pekerjaan menjadi model memang begitu sibuk, namun Tao sempat bertemu beberapa kali dengan Saeron saat ia menginap. Saeron orang yang ramah dan baik sekali. Tao merinding mengingat orang baik itu telah pergi.

“Kim Minseok ssi?”

Suara dalam dan dingin itu lantas membuat Tao, juga Minseok menoleh. Sesosok pemuda jangkung berambut pirang yang memakai mantel berwarna hitam berdiri di depan mereka. Orang itu menatap wajah-wajah di depannya dengan seksama dengan tatapan dingin tidak menyenangkan, begitu yang bisa Tao simpulkan. Siapa orang ini?

“Aku Wu dari kepolisian. Aku harap anda bersedia untuk segera memberi kesaksian tentang pelaku pembunuhan Yang Saeron ssi. Kami sangat membutuhkan kesaksian dari anda.” Serentetan kata segera keluar dari orang yang memperkenalkan diri dengan nama Wu itu.

Kedua bola mata Minseok berkaca-kaca. “Bisakah tidak sekarang?” katanya dengan lemah.

“Kenapa tidak sekarang?” Wu balik bertanya, dahinya berkerut samar. “Kurasa akan lebih baik jika anda bisa membantu kami dengan memberikan keterangan secepatnya, sehingga kami bisa cepat menemukan pelakunya.” Kata-kata orang itu seperti desakan.

Minseok mengerjap mendapat kata-kata itu. Kilasan matanya kembali sedih. Tao mengerti Minseok kembali teringat tentang Noona-nya. Minseok hanya diam dan mendekap Minjung yang masih menangis.

“Kim Minseok ssi, bisakah anda—“

Tao mendengus. “Kurasa Minseok Hyung akan memberikan keterangan nanti.” Ia berkata sambil memandang tajam kepada orang dari kepolisian itu. Orang bertubuh tinggi itu hanya memandangi Tao dengan tatapan tidak menyenangkan. Cih, Tao lama-lama berang juga dengan orang yang tidak mengerti perasaan Minseok ini. Tidak tahukah dia bahwa Minseok Hyung sangat terguncang atas kejadian ini? Kenapa orang ini mendesak meminta keterangan?

Orang bernama Wu itu memutar mata kesal. Ia memperhatikan Tao dengan seksama. “Siapa kau?” tanyanya dengan nada dingin.

“Siapa aku bukanlah hal yang penting.” Tao ganti memelototi orang itu. “Kuharap anda tidak perlu mendesak Minseok Hyung karena Minseok Hyung sudah sangat terguncang.”

“Oh, lalu apakah kau bisa memberikan keterangan yang sama tentang pelakunya? Apakah kau juga melihatnya?” orang itu mendelik kepada Tao. “Jika memang benar, kau bisa memberikan kesaksian.”

Tao geram. Polisi ini sungguh kurang ajar. “Lalu bagaimana jika Minseok Hyung sudah memberikan kesaksian? Apakah kalian bisa dengan cepat menangkap pelakunya? Benarkah seperti itu?” ia menantang. Ia sudah cukup lelah dengan pemberitaan kepolisian yang tidak juga menangkap pelaku pembunuhan yang ada. Kota ini sudah seperti kota pembunuhan. Apa sebenarnya kerja para polisi ini? “Polisi tidak juga bisa menangkap pelaku pembunuhan yang sudah-sudah, lalu bagaimana dengan kasus Saeron Noona ini? Kalian bisa menjamin setelah Minseok Hyung memberikan informasi, kalian akan langsung menangkap pelakunya?”

Polisi itu terkesiap. Ekspresi dinginnya berubah menjadi amarah. “Apa katamu?”

“Polisi tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, bukan? Semua orang juga sudah tahu.” Tao merujuk pada berita di televisi yang muncul setiap hari tentang kepolisian. Mereka tak kalah tenarnya dengan artis-artis, selalu menghiasi setiap media dikarenakan tidak juga menemukan pelaku pembunuhan yang meresahkan masyarakat. Tao mendengus keras. “Biarkan Minseok Hyung memberikan kesaksiaan beberapa saat lagi.” ia menggiring Minseok dan adiknya yang sejak tadi hanya diam menuju cafeteria.

 

 

Pukul 7 malam. Tao, Minseok dan Minjung masih berada di cafeteria rumah sakit. Minjung sudah berhenti menangis, tapi ia masih terdiam. Minseok lebih parah lagi. Ia seperti belum sadar dari lamunan dan terus terdiam. Tatapan matanya tidak fokus. Ia memandang setiap orang yang melewatinya dengan tatapan nanar, berpikir bahwa orang-oraang itu adalah orang yang sudah membunuh kakak sepupunya. Tao sedih melihat temannya yang begitu terguncang itu. Ia tidak pernah melihat Minseok seperti ini sebelumnya. Ia tidak mengerti apa yang harus ia lakukan, akhirnya ia berakhir duduk di depan Minseok, terdiam tanpa melakukan apa-apa.  Ia memang teman yang payah.

Tao menatap Minjung yang menunduk menatap kopi kaleng di meja. “Minjung, bisa ceritakan padaku apa yang sudah terjadi?” tanyanya pelan. Ia tahu mungkin tidak tepat bertanya mengenai hal ini. Namun, ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia tidak mungkin bertanya pada Minseok saat ini.

“Aku tidak begitu mengerti, Oppa.” Minjung perlahan mengangkat wajah menatap Tao.  ia terlihat resah. “Aku baru saja tiba di rumah. Saat itu pintu depan terbuka. Rumah juga terang benderang dan saat itu ada suara berisik di lantai atas. Aku pikir ada perampok atau semacamnya, karena aku ketakutan jadi aku menelpon polisi sebelum aku naik.” Ia tampak merenung. “Aku menaiki tangga dan saat itu aku mendengar suara Minseok Oppa meneriakkan nama Eonni.

“Saat aku tiba di kamar Eonni, Eonni sudah terbaring di lantai tidak bergerak, dan Minseok Oppa sudah terluka seperti itu. Jendela kamar Eonni terbuka lebar.” Minjung membuang napas panjang. “Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi Minseok Oppa berteriak bahwa pelakunya sudah pergi melalui jendela.”

Tao membuang napas. “Kau tidak melihat pelakunya, Minjung?”

“Tidak sama sekali.” Minjung menggeleng. Wajahnya semakin resah. “Minseok Oppa yang melihatnya. Mungkin karena itu, pelakunya juga melukainya.” Ia melirik kakaknya yang masih terdiam.  Ekspresi sedih jelas terukir di wajahnya yang basah karena airmata.

Kasihan Minseok. Tao turut melirik temannya itu. ia menjadi resah. Kejadian ini begitu mendadak. Tidak ada yang menyangka, bukan? Ia ingat ia baru saja berpisah dengan Minseok di stasiun. Gerimis masih turun saat itu. Mereka baru saja pulang dari kampus. Dalam rentang waktu setengah jam, kejadian tidak menyenangkan seperti ini terjadi. Dalam rentang waktu setengah jam, Minseok menjadi penuh luka dan terguncang seperti ini. Siapa yang melakukan ini? Tao mengusap wajahnya dengan frustasi begitu ia merasa kepalanya berdenyut sakit. Aish, kenapa harus sakit di saat-saat seperti ini? ia memijit-mijit pelipisnya.

Pertanyaan besar yang membayangi Tao adalah siapa pelaku pembunuhan Saeron Noona ini?

“Minjung, adakah yang uh, maksudku tidak menyukai Saeron Noona?” Tao menatap Minjung. Minjung terlihat terkejut mendengar pertanyaan Tao itu. Ia terlihat berpikir untuk beberapa saat.

“Entahlah, Oppa, aku tidak begitu paham.” Minjung mengangkat bahu. “Aku hanya tahu Eonni pernah berurusan dengan fans fanatik, stalker dan semacam itu. Eonni sangat populer, dan penggemarnya dan juga stalker semakin lama semakin banyak. Eonni pernah mengeluhkan itu padaku, tapi aku rasa tidak ada fans yang bertingkah di luar batas padanya.”

Tao tertegun sambil terus memijit pelipis. “Aku rasa ini bukan ulah fansnya, stalker dan semacam itu,” gumamnya. Yah, bagaimanapun ini hanyalah dugaannya. Mungkin juga dugaannya meleset. “Apakah ini dilakukan oleh salah seorang temannya?”

“Aku tidak begitu mengenal teman-teman Eonni. Aku juga tidak percaya ada temannya yang tega melakukan ini padanya.” Minjung tampak merenung.

Siapa yang melakukan ini? Tao masih tidak yakin polisi bisa mengungkap ini dengan cepat. Ia memutar otak memikirkan berbagai kemungkinan dan satu ingatan muncul dalam kepalanya. Minseok sudah menyebutkan tentang topeng dan belati, apakah… hei, Tao teringat dengan jelas tentang motif pembunuhan yang seperti itu.

Itu motif pembunuhan berantai yang menghantui kota mereka tiga tahun belakangan ini.

Jadi Saeron Noona salah satu korban pembunuhan berantai? Pikir Tao tanpa bisa dicegah.

“Minjung, bisa kau sebutkan tanggal lahir, tinggi dan golongan darah Saeron Noona?” tanya Tao saat seorang polisi, polisi bernama Wu itu, memasuki area cafeteria dan terlihat mencari-cari seseorang.

“Eonni lahir tanggal 12 Agustus, tingginya 163 dan golongan darah Eonni adalah A.”

Tao mengangguk mengerti. Satu fakta lagi. “Apakah Saeron Noona bertangan kidal?”

Minjung mengangguk. “Ya.”

Cocok. Semuanya tidak ada yang meleset.

 

 

Yoon Shinae. 6 Desember. Koki.

Han Seungsoo. 12 Februari. Karyawan bank.

Kim Junyoung. 12 April. Pianis.

Hwang Jungeun. 6 Oktober. Karyawan internet café.

Lee Hyunil. 6 Juni. Karyawan toko obat.

Yang Saeron. 12 Agustus. Model.

Park Miseon. 6 Januari. Barista.

 

“Pola apa yang bisa ditarik dari semua ini?” Kris mendengar Yixing mendengus dengan frustasi.  “Tidak ada satupun dari pekerjaan mereka yang berhubungan. Lagipula mereka semua tidak saling mengenal, bukan?”

Luhan mengusap tengkuk sambil memandang tulisannya sendiri di whiteboard. Matanya tampak menerawang. Ia menggaruk kepalanya dengan ujung spidol.  “Pasti ada celahnya, Yixing.” Ia menoleh pada Kris yang duduk melipat tangan di depan dada. “Bukan begitu, Chief?”

“Sepertinya kita tidak harus melihat dari pekerjaan mereka, ataupun tanggal lahir.” Kris berkata tanpa bergerak sedikitpun dari kursinya. “Berbagai pola dan kemungkinan sudah sering kita gambarkan. Tidak ada yang masuk akal. Aku sudah sering memikirkan ini dan ini sudah dikaitkan dengan kasus ini dua bulan yang lalu,” ia menggigit bibir bawahnya. “Ambil peta, Yixing. Urutkan lah lokasi kejadian dari minggu pertama dan tariklah garis.”

Yixing segera mengambil peta dan melakukan apa yang dikatakan oleh Kris. Kris melirik peta di meja yang telah dicoret-coret oleh Yixing dan Luhan. “Apakah ada pola yang berarti?” tanyanya pada Yixing.

“Tidak ada.” Yixing berkata dengan sangat menyesal.

Kris membuang napas. “Sejak dulu memang seperti itu. Tidak ada pola berarti dari lokasi kejadian, pekerjaan ataupun tanggal lahir para korban meski semua itu seperti kriteria korban-korban yang ada.” Ia menatap keluar jendela. Cuaca sore hari yang cerah ini begitu bertentangan dengan suasana hatinya. Sungguh ironis. “Keterangan dari sepupu Yang Saeron sudah kalian kumpulkan, bukan?” ia mengalihkan pembicaraan.

“Tentang pelaku? Sudah, Chief,” sahut Luhan. Ia mulai mencari buku catatan kecilnya yang selalu ia bawa kemana pun. Begitu ia sudah menemukan bukunya, ia mulai buka suara. “Pelaku memakai topeng kayu, dan topengnya tertinggal begitu saja di lokasi kejadian. Pelaku memakai mantel berwarna hitam, dengan topi berwarna hitam. Pelaku juga menggunakan sarung tangan kulit. Saksi mengaku melihat pelaku menusuk korban dengan belati perak. Saksi memang terlibat pemukulan dengan pelaku untuk beberapa saat, namun saat itu mulai terdengar sirine mobil polisi dan pelaku melempar saksi begitu saja.” Luhan mengakhiri keterangan yang didapatnya.

“Kau yakin saksi memberikan keterangan dengan benar?” tanya Yixing sambil menepuk pundak pelan Luhan. “Kau tahu dia sangat terguncang seperti itu saat dimintai keterangan. Sebenarnya aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.” Ia mengusap belakang kepala dengan bingung. Kris sedikit merenung dan wajah sepupu korban itu terbayang dalam benaknya. Sepupu korban itu benar-benar babak belur. Pembunuh itu sungguh lihai dalam menghabisi orang dengan belati dan juga dalam berkelahi. Kris berpikir mengapa sepupu korban tidak langsung dibunuh saja seperti korban? Apakah karena sepupu korban itu tidak sesuai dengan kriteria? Apa pentingnya kriteria itu bagi pelaku? Cih, Kris tidak habis pikir ada maniak seperti pelaku pembunuhan itu.

“Setidaknya dia menyebutkan tinggi badan pelaku dengan sangat rinci.” Luhan menyahut saat ia sudah menutup buku catatannya. “Tinggi badan pelaku sekitar 173-174 cm, sama seperti saksi sendiri.” Ia membuka buku catatannya sekilas.

Yixing membuang napas panjang. “Sungguh, aku tidak bisa percaya keterangan itu,” katanya.

Luhan tersenyum hambar. “Memangnya apa yang kauharapkan? Tinggi pelaku sama sepertimu?” ia tertawa berderai.

“Yah, aku tidak bilang begitu.” Yixing protes.

Kris membuka dokumen laporan di depannya tanpa menghiraukan Yixing dan Luhan yang mulai beradu argumen. Bicara tentang saksi dari korban bernama Yang Saeron, Kris kembali teringat tentang seorang teman dari saksi yang sangat tidak sopan kepadanya. Dalam 48 jam terakhir, sampai terjadi kasus pada korban berikutnya, Park Miseon, selintas kejadian di lorong rumah sakit itu melintas begitu saja, dan perlahan menjadi beban pikirannya.

Polisi tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, bukan? Semua orang juga sudah tahu

Cih. Kris menggertakkan gigi. Tahu apa bocah itu tentang kerja kepolisian? Tahu apa anak itu tentang kerja divisinya? Saat itu, Kris harus menahan keinginannya yang kuat untuk memukul anak itu. Bisa-bisa anak itu bernasib sama dengan sepupu korban Yang Saeron yang sudah dipukuli oleh pelaku. Kris membuang napas dengan berat selagi ia memijat-mijat pelipis. Ia sadar kerja divisinya terkesan lambat. Atasannya bahkan sudah kembali melayangkan protes padanya. Atasannya juga berkata mutasi akan segera dilakukan, dan kasus pembunuhan berantai ini akan ditangani oleh divisi lain yang dipimpin oleh salah satu seniornya.

Kris sungguh berharap ia dapat mengumpulkan semua bukti secepatnya karena ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menemukan pelakunya. Ia sungguh lelah dan tertekan. Ia ingin menyudahi mimpi buruk selama tiga tahun belakangan ini. Ia ingin menyudahi semuanya. Mungkin terkesan keterlaluan bila kemarin ia memaksa sepupu korban itu memberikan kesaksian secepatnya tanpa melihat situasi bahwa sepupu korban itu sangat terguncang. Ia terkesan sangat egois, namun ia tidak bisa menyangkalnya. Demi kasus ini, ia akan melakukan apa saja. Ia sudah tidak peduli terhadap tanggapan orang-orang dan juga bocah menyebalkan yang sudah menyela kerja divisinya itu mengenai dirinya. Ia sudah tidak peduli.

Ia semakin tertekan dikarenakan pertemuannya dengan seseorang yang dikenalnya di lorong rumah sakit, sesaat setelah sepupu korban Yang Saeron dan temannya pergi. Kejadian itu kembali terputar dalam ingatannya.

 

“Oh, kau di sini?” Seorang laki-laki tua berjas putih dengan stetoskop menggantung di leher menyapa Kris.

Kris terkejut mendapati laki-laki itu berdiri di depannya. Ia sungguh tidak menduga akan bertemu laki-laki itu di koridor ini. Yah, ia seharusnya tidak sekaget itu. Sudah tentu ia akan bertemu laki-laki itu di rumah sakit ini, bagaimanapun kemungkinannya. Kris mengangguk dan memaksakan seulas senyum sopan. “Ya, Seonsaengnim.”

Dokter itu tersenyum kecil. “Kasus lagi?”

Sekali lagi Kris mengangguk. Ia melihat dokter itu lagi-lagi tersenyum. “Divisimu masih melakukan autopsy di sini, eh?”

“Yah, rumah sakit ini yang terbaik.” Kris menjawab. Dokter itu mengangguk dan tersenyum puas, seolah senang dengan pujian yang dilemparkan Kris untuk rumah sakit tempat ia bekerja ini. Ia terdiam sejenak dan tersenyum kecil.

“Kurasa aku salah menebak.” Dokter itu berkata, lebih mirip seperti gumaman.

Dahi Kris berkerut samar. “Salah menebak?”

“Kukira kau datang untuknya.”

Kris membeku. Tubuhnya menjadi kaku seketika. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Tentu saja ia mengerti apa yang sedang Dokter itu bicarakan. Tentu saja ia mengerti, tentu saja ia tahu. Mendadak lidah Kris menjadi kelu dan ia tidak bisa menjawab kata-kata dokter itu. Kepalanya kosong, ia kehilangan kata-kata. Ia tidak bisa memikirkan apapun. Seseorang lantas muncul dalam benaknya. Sosok itu. Selalu sosok itu. Sosok itu selalu hadir dalam benaknya setiap saat. Sosok yang kehadirannya selalu ia coba tutupi dengan setumpuk masalah dan kasus di divisinya. Mendadak mata Kris terasa panas dan ia kesulitan bernapas.

Dokter itu hanya tersenyum dan menepuk lengan Kris. “Cepat selesaikan kasus-kasusmu dan temui dia. Dia tidak pernah mengatakannya, tapi dia pasti ingin bertemu denganmu,” katanya.

Wajah Kris mengerut karena cemas yang melandanya tiba-tiba. “A-apakah dia…” Kris tidak bisa menemukan lanjutan kalimatnya. Mendadak otaknya tidak bisa diajak berpikir.

“Dia baik-baik saja, jangan khawatir.” Dokter itu menyambung kalimat Kris. Ia tersenyum menenangkan. “Datanglah selagi kau senggang,” kata Dokter itu sebelum berlenggang pergi.

 

Kris merasa udara di sekelilingnya menjadi berat. Ia tidak berani datang ke sana dengan kasus yang masih belum bisa ia selesaikan. Ia merasa malu, ia merasa tidak bangga dengan seragam dan pangkatnya. Datang ke sana, dengan semua kasus yang belum terselesaikan ini? Ia merasa tidak percaya diri dan terbebani. Sudah lama rasanya ia tidak ke sana, tidak menemuinya. Tidak ada yang tahu apa yang Kris rasakan. Perasaannya sungguh teraduk-aduk saat ini, begitu wajah gadis itu muncul dalam benaknya.

Tidak akan ada waktu yang tepat bila ia terus mengundurnya, tidak akan ada gunanya menghindari gadis itu di mana sesungguhnya mereka memiliki ikatan yang sangat kuat.

Memikirkan gadis itu, Kris merasa begitu rapuh. Ia merasa begitu sengsara. Semua hal yang ada membuatnya frustasi. Dadanya sakit sekali.

“Berhenti berdebat, kalian berdua.” Tiba-tiba Kris bangkit dari kursi dan meraih mantel hitam yang terlampir di kursinya. Ia membuang napas dengan berat. Yixing dan Luhan terdiam sesaat, kemudian meraih mantel mereka masing-masing. “Korban Park Miseon terakhir kali terlihat di sebuah perpustakaan kecil di sebuah perumahan. Kita akan mencari petunjuk di sana.” ia berjalan menuju pintu, disusul oleh Luhan dan Yixing yang memakai mantel mereka dengan tergesa.

 

 

Jam belum menunjukkan pukul 4 sore dan Yeonjoo melangkah gontai menyusuri kota. Ia berjalan sendirian, tanpa seorang pun kawan. Ia merasa begitu kosong. Ia begitu terhanyut dengan rutinitas sehingga ia merasa sangat hampa dengan toko yang tutup lebih awal hari ini. Kalau sudah begini, ia sendiri yang bingung harus berbuat apa.  Ia tidak merencanakan apa pun untuk mengisi jam kosongnya ini. Seharusnya ia pulang pukul 5, dan sekarang ia bingung apa yang harus dilakukannya dalam satu jam ke depan. Sudah sepuluh menit belakangan ia berjalan tanpa arah, tanpa tujuan.

Yeonjoo memperlambat langkah begitu ia melewati area laundry, toko obat dan tempat percetakan foto. Toko obat itu begitu ramai minggu lalu, oleh polisi, oleh petugas rumah sakit. Sudah seminggu berlalu, aktifitas yang ada di toko obat itu terlihat normal. Jujur saja Yeonjoo tidak begitu memperhatikan toko obat ini dari toko pakaian tempat ia bekerja. Mungkin ini terdengar aneh, namun ia sedikit trauma karena ia akan langsung teringat dengan Lee Hyunil ssi. Begitu juga saat ini, begitu ia melintasi toko obat ini. Ia berhenti sejenak dan kejadian seminggu lalu langsung terbayang, terhampar di depannya. Ia membuang napas. Sungguh seharusnya kejadian itu tidak perlu begitu ia buat berlarut-larut. Jika terus begini, ia akan terus paranoid. Waktu seminggu pun masih belum cukup untuk menghilangkan rasa takutnya.

Ia menggeleng kuat. Ia kembali melangkah kakinya tanpa melirik ke arah toko obat lagi. Ia merogoh-rogoh saku jaketnya karena tiba-tiba saja ia ingin menemui Joonmyun di perpustakaan. Setidaknya kini ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan satu jam ke depan. Ia harap Joonmyun tidak keberatan ia datang dengan sangat mendadak seperti ini. Oh, akan lebih baik jika ia memberitahu pemuda itu.

Pesan singkat untuk Joonmyun sudah terkirim dari ponsel Yeonjoo. Ia kembali mengangkat kepalanya dan memperhatikan jalan dengan seksama. Ia mengernyit bingung mendapati orang-orang berpakaian hitam keluar berbondong-bondong dari sebuah gedung di sisi kirinya. Ia buru-buru menengadah dan menatap papan nama gedung itu. Rumah duka, eh? Gedung upacara pemakaman? Kedua mata Yeonjoo membesar. Siapa yang meninggal?

Yeonjoo terkejut setengah mati saat melihat sosok yang dikenalnya muncul di antara orang-orang yang berpakaian hitam itu. Tao? Kenapa dia bisa ada di sini? pikir Yeonjoo bingung. Sekilas Yeonjoo membeku di tempatnya berdiri dan saat itu Tao melihatnya. Ia pun nampak terkejut melihat Yeonjoo.

“Yeonjoo,” Tao buru-buru mendekati Yeonjoo yang terdiam,”apa yang sedang kaulakukan di sini?” tanyanya.

Yeonjoo mengusap tengkuk dengan bingung. “Aku ingin menanyakan hal yang sama padamu,” katanya jujur. “Aku hanya lewat. Kau sendiri apa yang kaulakukan?” Yeonjoo melirik ke dalam gedung. “Apakah kau baru saja kehilangan kerabatmu?” bisiknya.

Tao tertegun. “Bukan kerabatku,” jawabnya.

“Lalu?” Yeonjoo bertanya lagi.

“Teman dekatku kehilangan kakak sepupunya,” jawab Tao dengan wajah berkerut. Dilihat dari ekspresinya, sudah jelas Tao mengenal kakak sepupu temannya itu, pikir Yeonjoo.

“Apa yang terjadi? Kakak sepupu temanmu itu kecelakaan? Atau sakit?” Yeonjoo menanyai teman kecilnya ini. Ia tidak mengerti mengapa wajah Tao terlihat begitu terkejut. Yeonjoo mengerjap. Apakah ia salah bertanya? Apakah ia tidak boleh menanyakan hal itu? Yeonjoo mulai terdorong-dorong oleh orang-orang berpakaian hitam lain yang keluar dari dalam gedung. Tao dengan segera memegang tangan Yeonjoo dan menarik Yeonjoo jauh dari lautan orang-orang. Yeonjoo mengerjap bingung. Tao yang masih memegang tangannya terlihat resah.

Tao melihat sekeliling, kemudian menatap Yeonjoo. “Kurasa kita bisa bicara di café di seberang sana. Bagaimana menurutmu?”

Yeonjoo tidak mengerti mengapa Tao tidak langsung menjawab pertanyaannya, namun ia tidak menolak ajakan Tao itu. Ia tersenyum kecil. Ia tidak sadar bahwa Tao masih memegang tangannya, lebih erat dari sebelumnya.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~