Chapter 5: week 4 - Persona -- Grata

Beyond the Confines (side story of: Retro-Reflection)

“Selamat datang!”

Pintu toko tempat Yeonjoo bekerja terbuka. Yeonjoo memutar kepala melihat pelanggan yang datang. Ia terkejut begitu mendapati pemuda bertubuh tinggi yang ia kenal muncul di ambang pintu. Ia mengerjapkan mata tidak percaya. Apa yang sedang orang itu lakukan di sini?

Polisi bernama Wu yang memasuki toko itu mengenakan kaus putih polos dan jaket jeans berwarna biru tua dan sebuah topi berwarna hitam. Sejauh yang bisa diamati oleh Yeonjoo, polisi itu sepertinya tidak sedang bekerja. Tidak bekerja saat sedang ada kasus lagi seperti ini? Ya, telah ditemukan korban baru awal minggu ini yang adalah seorang fotografer. Yeonjoo sungguh tidak paham. Kenapa polisi ini malah kemari? Dan dia hendak berbelanja? Astaga. Sebagai bagian dari masyarakat yang butuh perlindungan, Yeonjoo ingin sekali menegurnya, mengenai kasus ini, agar orang itu fokus untuk menangkap pelakunya dan agar semua peristiwa pembunuhan ini bisa segera berakhir, namun ia sendiri tidak ingin mencari masalah dengan orang itu. Yeonjoo tidak ingin dibawa lagi ke kantor polisi bila ia dengan ceroboh terlihat seperti mengetahui sesuatu padahal sebenarnya tidak.

Ia membuang napas dengan berat. Sebaiknya ia tidak perlu berurusan dengan polisi ini lagi. Yeonjoo sudah akan berbalik dan sudah akan sibuk merapikan beberapa potong kemeja saat salah seorang rekannya memanggilnya.

“Yeonjoo, tolong bantu pelanggan ini mencari kemeja yang pas.”

Mata Yeonjoo melebar. Ia harus membantu polisi itu mencari kemeja? Kenapa kebetulan sekali? Ia baru saja teringat bahwa sekarang ia sedang berada dekat dengan bagian kemeja laki-laki. Oh, benar. Ia membuang napas dengan berat sekali lagi. Ia tidak bisa menghindar kali ini, ia memang harus berurusan dengan polisi itu lagi.

Melihat polisi ini, Yeonjoo tidak bisa tidak kembali mengingat akan peristiwa yang terjadi dua minggu belakangan. Sesaat rasa takutnya bermunculan kembali. Ia kembali teringat akan prediksi buruknya akan dirinya sendiri. Dadanya kembali terasa berat. Joonmyun dan Tao sudah berusaha menghiburnya dan entah mengapa ia masih merasa resah. Tidak ada yang tahu prediksinya itu benar atau tidak, hanya dirinya yang terlalu berlarut-larut memikirkan semuanya. Ini seperti ia merencanakan dan mengharapkan hal buruk terjadi pada dirinya sendiri. Sungguh hal yang bodoh.

Polisi bernama Wu itu berjalan mendekat ke arahnya. Yeonjoo bingung harus berekspresi bagaimana karena bagaimanapun ia masih sedikit kesal karena kejadian tempo hari itu. Polisi itu juga sepertinya kesal padanya, pada Tao dan mungkin juga pada Joonmyun. Jelas-jelas mereka bertiga meragukan kerja dari divisinya. Wajar bila orang itu kesal, batin Yeonjoo. Meski begitu, saat ini ia tidak boleh tidak ramah terhadap pelanggan. Ia tidak berharap polisi ini mengenalinya tapi ia salah menduga karena polisi itu menatapnya dan bergumam

“Oh, kau.”

Yeonjoo bertemu mata dengan mata polisi itu. Tatapan dingin orang itu tidak ada lagi. Ia menatap Yeonjoo dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Tatapan itu seperti campuran antara sedih dan tertekan. Yeonjoo mengerjap. Mengapa orang ini terlihat sesedih ini? Wajah polisi ini juga terlihat pucat dan lemah. Ia sungguh terlihat tidak bertenaga. Yeonjoo tertegun. Apakah ada hal buruk yang sudah terjadi?

“Anda.. kemari ingin membeli kemeja?” tanya Yeonjoo pelan. Ia ingin menahan diri untuk tidak bertanya karena orang itu terlihat mengerikan. Ia sangat pucat, sepucat kertas. Orang itu hanya menatapnya tanpa merubah raut wajah yang kosong itu.

“Seperti yang kau lihat.” Orang itu menjawab. Orang itu memang tampak lemah dan ia tidak sedang ingin berbasa-basi. Yeonjoo membuang napas perlahan.

“Kemeja seperti apa yang anda inginkan?” tanya Yeonjoo sopan. Ia memutuskan tatapan lurus orang itu dan menatap potongan kemeja di rak di depannya.

Polisi itu mengangkat bahu lemah. “Apa saja, asalkan tidak berwarna hitam.”

Tidak berwarna hitam? Aneh sekali. Padahal hampir setiap kali Yeonjoo bertemu dengan polisi ini, pasti polisi ini sedang mengenakan mantel tebal berwarna hitam. Dan kini polisi ini menolak memilih kemeja dengan warna hitam? Ini membingungkan, tapi, ah, terserah saja, Yeonjoo tidak peduli. Ia dengan cukup cepat mengambilkan satu kemeja berwarna biru muda di rak di depannya. Ia segera menyodorkannya pada orang itu.

“Bagaimana dengan yang ini?” tanya Yeonjoo ragu-ragu karena orang itu sedang menatapnya dengan tatapan kosong dan tidak fokus. Perlu tiga-empat detik untuk membuat orang itu kembali ke realita dan meninggalkan lamunan.

Orang itu menatap kemeja yang disodorkan padanya dengan tatapan datar. “Tidak,” katanya kemudian.

Yeonjoo menaikkan alis. Kukira dia tidak akan begitu pemilih seperti ini, batinnya. Ia membuang napas dan mengambil beberapa kemeja berwarna merah, biru tua dan abu-abu. Orang itu menolak dan berkata ia tidak menyukainya. Ia juga menolak kemeja berwarna hijau muda, putih, coklat, dan oranye. Lantas warna apa yang orang ini inginkan? Yeonjoo dengan tergesa mengambilkan kemeja berwarna beige dan menyodorkannya kepada orang itu.

“Yang ini? Apakah anda suka dengan warnanya?”

Orang itu terdiam sejenak dan kemudian mengambil kemeja itu dari tangan Yeonjoo tanpa berkata satu patah kata pun. Yeonjoo yang terheran-heran melihat orang itu berjalan menuju fitting room.  Yeonjoo menggelengkan kepala. Sungguh polisi itu telah berubah menjadi orang yang sangat aneh. Hei, ada apa sebenarnya? Apakah polisi itu kini menjadi depresi karena kasus yang tak kunjung menemukan titik terang?

Tidak lama kemudian, orang yang tampak murung dan lemah itu keluar dari fitting room. Orang itu terlihat tidak bisa mengenakan kemeja itu dengan baik. Beberapa kancing tidak terkancing dengan pasangannya. Bagian lengan kemeja digulung dan tidak sama panjang. Bagian kerah tetap tegak seperti itu tanpa diturunkan. Orang itu diam saja dan tampak melamun. Ia berjalan mendekati Yeonjoo.

“Bagaimana menurutmu?” ia bertanya dengan nada datar.

Yeonjoo terperangah menatap orang itu. Mengapa orang ini terlihat begitu kacau? Mengenakan kemeja saja tidak benar seperti ini. Gaya berpakaian orang ini saat-saat sebelumnya tidak bisa dikatakan buruk. Ia tampak cukup modis, dan saat sekarang, orang itu seperti kehilangan sense of fashionnya. Ini sungguh ganjil di mata Yeonjoo. Sungguh ganjil.

“Kurasa kemeja ini cocok untuk anda, asalkan anda mengenakannya dengan benar.” Yeonjoo memiringkan kepala menatap orang itu. Orang itu tersentak dan menunduk menatap kemeja yang dikenakannya sebelum akhirnya menatap ke cermin besar di dinding.  Orang itu menatap dirinya sendiri dalam cermin dengan tatapan menyedihkan. Ia mulai mencoba memasang kancing-kancing itu sesuai dengan pasangannya, tentu saja dengan gerakan yang sangat tidak bertenaga. Sungguh tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan orang itu selain kata menyedihkan. Orang itu terlihat banyak pikiran, terlihat begitu kusut dan lemah. Yeonjoo menduga orang itu tidak seharusnya kemari sendirian karena ia terlihat seperti orang yang sangat putus asa dan terlihat bisa mengakhiri hidup kapan saja. Astaga, ia berpikiran berlebihan sekali.

Ia melirik orang di depannya dengan tatapan ragu. Yeonjoo tidak tega melihat orang ini namun ia bingung harus berbuat apa. Ia biarkan orang itu perlahan memperbaiki kerah dan lengan kemeja. Beberapa saat kemudian, ia menatap Yeonjoo. Sekali lagi Yeonjoo bingung bagaimana harus bereaksi. Akhirnya ia hanya bisa berkata

“Kurasa kemeja itu cocok sekali untuk anda,” katanya, terdengar sangat terpaksa.

Polisi itu masih menatapnya tanpa ekspresi. Orang itu masih menatap bayangannya di cermin. Ia masih memasang ekspresi murung itu. Ia terlihat tidak bahagia. Ia tidak terlihat senang dengan kemeja yang dikenakannya. Melihat hal ini, entah mengapa Yeonjoo mendadak merasa hampa. Sungguh hal yang aneh melihat orang yang tadinya ketus dan dingin menjadi lemah dan tidak bertenaga seperti ini. Ia tidak mengenal polisi ini dengan baik, namun ia sedikit bersimpati karena melihat beban polisi itu yang berat. Ia tahu itu tidak mudah, untuk menangkap pelaku pembunuhan itu. Jika Yeonjoo yang berada dalam posisi polisi itu, ia pasti sudah menjadi gila.

“Menurutmu, kemeja ini cocok untukku?” orang itu tiba-tiba bertanya. Yeonjoo mendongak menatap wajah orang itu yang tampak semakin pucat.

“Menurutmu, dia akan mengatakan hal yang sama? Dia akan menyukai kemeja ini, sama sepertimu?” orang itu melanjutkan dengan nada melamun.

“A-apa?” Apa? Apa katanya? Yeonjoo masih belum bisa menangkap pertanyaan yang orang itu lontarkan secara tiba-tiba.

Orang itu tidak berkata apapun lagi dan Yeonjoo tidak bisa menjawab pertanyaan orang itu. Orang itu melangkah ke kasir setelah ia melepaskan kemeja yang dikenakannya, mengenakan kembali jaket jeans miliknya dan mengenakan topi. Ia masih memasang wajah murung itu, dan Yeonjoo tidak tahu alasannya. Siapa ‘dia’ yang orang itu maksud?

Yeonjoo tidak perlu begitu penasaran seperti ini, bukan?

 

 

“Kau tahu, keadaannya saat ini sudah sangat stabil.” Laki-laki tua itu berkata, memandang Kris dari balik kacamata tebalnya. “Tidak ada yang tahu bagaimana serangan itu tiba-tiba datang. Keadaannya sudah sangat kritis, tapi syukurlah kami masih bisa menyelamatkannya.”

Kris menutup mata, mengingat kejadian dua malam yang lalu. Bagaimana ia mendapat panggilan dari rumah sakit dan bagaimana ia seperti orang tidak waras mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh hanya untuk datang kemari. Ia merasa dunianya runtuh saat mendengar kabar itu, ia merasa hancur. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

“Serangan yang selanjutnya, aku tidak bisa mengatakannya. Sejak dulu tidak ada kejadian semacam ini, jadi aku tidak mengkhawatirkannya. Tapi setelah ada kejadian ini, aku tidak yakin dia akan baik-baik saja,” kata Dokter tua itu sambil memandang wajah gadis yang terbaring di tempat tidur di depannya itu dengan sedih.

“Serangan mungkin akan datang di lain waktu, dan dalam fase kritis di waktu berikutnya, mungkin kami tidak akan bisa menyelamatkannya lagi.”

“Ke-kenapa?” Kris mendapati dirinya bersuara setelah ia lama membeku. Ia begitu tertohok dengan penuturan Dokter itu. Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalanya. Dokter itu hanya salah bicara, bukan? Ia tidak bermaksud seperti itu, bukan?

“Tubuhnya sudah begitu lemah. Ia sudah lama dalam keadaan koma seperti ini. Serangan-serangan seperti kemarin itu hanya membuat tubuhnya semakin lemah. Tubuhnya begitu kejang saat itu, dan fase kritis juga berlangsung lebih dari satu jam.” Dokter itu melepas kacamata dan mengurut-urut batang hidung. “Aku tidak mau membuatmu hilang harapan, tapi kemungkinan dia sadar kembali sangat tipis. Dan aku juga tidak ingin membuatmu semakin jarang datang kemari.”

“Dia membutuhkanmu di sini, Kris, karena satu-satunya yang dia miliki di dunia ini cuma kau.”

Kris tertegun. Wajahnya berubah semakin pucat. Tangannya bergetar dan telapak tangannya dingin. Mungkin ia terlihat ingin menyangkalnya, namun tentu saja ia tidak bisa. Satu-satunya yang ia miliki di dunia ini hanyalah gadis ini, gadis yang telah terbaring koma selama tiga tahun karena terlibat dalam kecelakaan mobil.

Adik kandungnya, Jiali.

Sebenarnya, itu bukan murni kecelakaan mobil yang melibatkan Jiali. Tapi ada kejadian lain sebelum itu. Adiknya memang koma dikarenakan tertabrak mobil dan terhempas 100 meter jauhnya, tapi asal mula ia tertabrak karena ia sedang bertikai dengan seseorang yang menggunakan topeng.

Ya, pelaku pembunuhan berantai itu.

Tidak, Jiali bukan korban selanjutnya karena ia tidak berkriteria seperti itu. Ia tidak bergolongan darah A, ia lahir pada tanggal  27 September dan bertinggi badan 167. Ia juga bukan seorang yang kidal. Lantas mengapa ia bisa terlibat dengan pelaku pembunuhan itu? Itu dikarenakan korban pembunuhan itu adalah salah seorang teman Jiali yang bernama Lee Mia. Sesuai dengan penuturan saksi kala itu, Lee Mia sudah diserang oleh pelaku dan Jiali melihatnya. Jiali berusaha menghalangi pelaku untuk menikam temannya lebih dalam lagi dan akhirnya ia dihempaskan oleh pelaku sehingga ia jatuh ke jalan raya, dan saat itu, sebuah mobil sedang melaju.

Itulah sebuah kejadian yang membuat Kris tidak bisa melihat adiknya membuka mata lagi selama tiga tahun.

Ia masih ingat terakhir kali ia berbicara pada adiknya.

 

“Kau mau pergi ke mana, Jiali?” Kris menanyai adiknya yang terlihat sedang memasang sepatu di ambang pintu apartement. Jiali menoleh dan berhenti sejenak dari aktifitasnya. Ia tersenyum cerah menatap Kris yang adalah kebalikan dari dirinya. Kris selalu memasang wajah muram dan dingin. Yah, mereka memang sangat berbeda.

“Aku akan pergi bersama Mia, Gege.” Jiali menjawab.

“Mia? Siapa Mia?” Kris mengerutkan kening.

“Dia yang pernah datang tempo hari itu. Apakah Gege sudah lupa?” Jiali terlihat bingung. “Dia temanku yang atlit panah itu. Minggu depan dia akan mengikuti lomba panahan tingkat universitas. Hari ini aku akan melihatnya berlatih.” Ia memberitahu Kris.

“Kau suka sekali menonton orang sedang latihan.” Kris berkomentar dengan nada dingin yang sudah biasa didengar oleh Jiali.

“Tentu saja. Aku juga senang menonton Gege latihan Hapkido.” Jiali hanya tertawa dan kembali memasang sepatu. “Tapi karena belakangan Gege sibuk dengan kasus-kasus, Gege tidak pernah latihan dan aku tidak bisa menonton Gege.” Ia mengangkat bahu.

Perkataan Jiali mengingatkan Kris akan kasus yang ditangani oleh divisinya. Kasus pembunuhan yang beruntun dalam seminggu belakangan. Korban-korban dibunuh dengan cara yang sama dan benda yang sama tertinggal di lokasi kejadian. Kris masih memikirkan benang penghubung di antara kasus-kasus yang ada ini karena ia yakin mereka berhubungan satu dan lainnya. Ia mendadak merasa cemas karena adiknya yang akan pergi keluar rumah.

“Setelah kau menonton temanmu itu berlatih, cepatlah pulang.” Kris menepuk pelan kepala adiknya.

Jiali mengernyit menatapnya. “Kenapa Gege ingin aku cepat pulang?”

“Banyak hal tidak menyenangkan di luar sana.” Kris menambahi dengan nada menggantung.

Jiali menaikkan kedua alis, kemudian tertawa. “Gege tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diri dari orang-orang yang berniat jahat bila itu yang Gege kuatirkan. Aku akan baik-baik saja. Aku sudah belajar Hapkido dari seorang ahli seperti Gege. Aku sudah pasti akan baik-baik saja.” Ia tertawa.

Kris tersenyum tipis dan mengusap kepala adiknya. “Cepatlah pulang.”

Jiali berdiri dan memeluk Kris sekilas. “Aku pergi dulu, Gege.”

“Berhati-hatilah di jalan.”

Jiali tersenyum dan melambai-lambai, kemudian pintu mengayun menutup. Dan setelah itu, Kris tidak pernah bisa mendengar suara adiknya lagi. Dan adiknya tidak pernah kembali ke rumah lagi.

 

Kris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar mengingat kilasan-kilasan memori itu. Sejak saat itu, ia bersumpah akan menangkap pelaku pembunuhan itu. Karena orang itulah, Jiali berakhir seperti ini. Karena orang itulah, adiknya tidak bisa sadar selama bertahun-tahun. Karena orang itulah, ia tidak bisa melihat senyum dan suara ceria adiknya lagi. Karena orang itulah, ia merasa hidupnya hancur.

Ia berniat untuk menangkap pelakunya, namun tidak juga membuahkan hasil dan karena itu, ia tidak berani menemui adiknya. Ia merasa tidak punya muka di depan adiknya bila ia datang tanpa menangkap pelaku kejahatan itu. ia tidak berani datang, ia sungguh tidak berani. Sungguh pengecut, bukan? Selama tiga tahun belakangan, ia hanya berani melihat kondisi Jiali dari balik kaca bening pintu. Dan ketika dua hari lalu Jiali mendadak mendapat serangan dan tubuhnya kejang, Kris sungguh ketakutan. Akhirnya ia datang ke ruangan di mana Jiali sedang terbaring dan hari ini ia datang lagi setelah ia tampak lebih baik. Ya, adiknya tidak pernah suka bila ia mengenakan pakaian berwarna gelap dan akhirnya ia membeli sepotong kemeja berwarna cukup cerah untuk ia kenakan untuk menemui adiknya. Meski begitu ia juga belum merasa lebih baik karena adiknya tak kunjung membuka mata untuk melihatnya.

Ia merasa dadanya ditusuk-tusuk melihat segala selang dan alat yang terhubung ke tubuh adiknya yang semakin mengurus. Kapan Jiali akan terbangun dari tidur panjangnya?

 

 

Banyak perubahan yang terjadi dalam seminggu ini, terutama hal-hal disekelilingnya. Tao tidak biasa menghadapi perubahan mendadak dan drastis orang-orang. Pada dasarnya ia tidak begitu ambil pusing tentang perubahan di sekelilingnya. Namun begitu hal itu terjadi pada teman baiknya, ia sendiri menjadi keheranan. Minseok sudah cukup pulih sejak kematian kakak sepupunya. Ia masih terlihat terguncang, tapi paling tidak ia sudah bisa mengikuti kelas. Ia tampak mengurus, terlihat dari wajahnya sekarang yang lebih tirus. Yang membuat Tao heran adalah tiga hari belakangan Minseok sering berkumpul dengan mahasiswa-mahasiswa semester bawah yang tergabung dalam sebuah perkumpulan yang berbasis penyelidikan. Perkumpulan ini dibentuk sejak dua tahun lalu dan ketuanya adalah salah seorang lulusan jurusan mereka, senior mereka, Kim Moonkyu. Minseok sangat antusias bergabung dengan perkumpulan ini, terlebih ia sendiri adalah saksi dari kejadian yang menimpa sepupunya.

Ya, perkumpulan ini adalah perkumpulan penyidik amatiran yang menyelidiki tentang kasus pembunuhan berantai itu.

Tao tidak heran Minseok menjadi seperti ini. Ia sangat mengerti perasaan Minseok. Belakangan Minseok sering mencoret-coret bagian belakang buku saat pelajaran, membaca dan mengingat setiap bukti-bukti yang perkumpulannya telah kumpulkan. Ia semakin tidak fokus dengan pelajaran dan Tao tidak senang dengan perubahan Minseok yang satu ini.

“Hyung, apa yang sedang kaulakukan?” Tao menegur Minseok yang sibuk mencoret-coret bagian belakang bukunya. Saat itu seorang teman mereka sedang melakukan presentasi. Minseok menoleh pada Tao dengan keterkejutan terpancar di kedua matanya. Sesaat kemudian ia menunduk menatap bukunya.

“Kau tahu betul apa yang sedang aku lakukan, Tao. Kau tidak usah bertanya.” Minseok menjawab dengan lemas.

“Kau benar-benar serius bergabung dengan mereka?” tanya Tao takjub. Ia turut melirik bagian belakang buku Minseok itu. Tergambar sebuah peta lokasi kejadian pembunuhan yang baru di awal minggu ini, dengan korban yang adalah seorang fotografer. Di bagian belakang buku itu tergambar jelas lokasi pembunuhan, juga daftar bukti-bukti yang ada di sana, dan juga daftar nama orang-orang yang berada di sekitar kejadian dan juga nama keluarga korban. Bukan main seriusnya perkumpulan penyidik amatiran itu. Mereka bekerja layaknya pihak kepolisian.

Minseok mengangguk. “Jika itu bisa membantuku menemukan siapa yang membunuh Noona, kenapa tidak?” ia menjawab langsung. Tao terkesiap. Temannya ini benar-benar serius dengan tindakannya ini?

“Hyung benar-benar serius mengikuti kegiatan penyelidikan mereka? Apa Hyung berencana menemukan pembunuhnya lebih dulu daripada pihak kepolisian?” Tao masih keheranan dengan tekad bulat Minseok itu.

“Kau sendiri sudah mengerti pihak kepolisian tidak bisa diandalkan,” Minseok meringis dengan lemah,”kau sendiri yang mengatakan hal itu padaku. Dengan mereka yang seperti itu, kita, aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus mengetahui siapa yang telah membunuh Noona. Aku benar-benar ingin tahu. Aku benar-benar ingin tahu alasan mengapa orang itu membunuh Noona. Apakah Noona bersalah padanya? Noona pernah melakukan hal tidak menyenangkan padanya? Atau malah dia hanya asal saja memilih Noona sebagai targetnya?” ia tertawa pahit. “Aku harus tahu semua itu, Tao. Aku harus tahu.”

Tao membuang napas panjang. Alasan Minseok sungguh benar. Jika Tao dalam berada dalam posisi yang sama, ia sudah pasti akan melakukan apa yang sekarang Minseok lakukan. Ia memperhatikan temannya yang terlihat semakin kurus itu dengan prihatin. Setidaknya ia harus membantu temannya supaya beban temannya itu sedikit berkurang. Kelas akhirnya berakhir dan di luar kelas, Minseok sudah ditunggu oleh salah seorang anggota perkumpulan yang bernama Kim Jongin. Kim Jongin tersenyum cerah begitu melihat Minseok yang dengan lemas menghampiri. Tao mengikuti di belakang Minseok dengan canggung.

“Hyung,” Kim Jongin melambai dengan ekspresi aneh karena wajahnya yang terlihat mengantuk itu. “Hari ini kita akan melakukan penyelidikan di studio foto korban Nam Haesung. Mungkin kita akan menemukan banyak bukti di sana.” ia memberitahu Minseok. Minseok mengangguk pelan dan Kim Jongin tersenyum. Kemudian ia melirik Tao yang tinggi menjulang yang berdiri di belakang Minseok. “Dia siapa, Hyung? Apakah dia ingin bergabung dengan perkumpulan kita?” Jongin bertanya dengan polos. Tao menduga bocah mengantuk ini adalah adik tingkat yang saat ini sedang duduk di semester awal. Masa perkuliahan baru dimulai dan anak ini sudah mengikuti perkumpulan serius seperti ini.

Minseok melirik Tao yang berdiri di belakangnya. Ia keheranan melihat Tao yang ia pikir sudah pergi. “Ah, bukan. Dia bukan orang yang bergabung dengan ki—“

“Yah, kurasa aku bisa sedikit membantu dalam penyelidikan kalian.” Tao memotong perkataan Minseok. Minseok memandang Tao tidak percaya. Tao tersenyum ringan. “Aku akan membantumu menemukan orang itu, Hyung.”

Minseok terdiam beberapa saat dan kemudian ia mengangguk dan tersenyum tulus pada Tao. Melihat senyum itu, Tao merasa terdorong untuk semakin membantu menemukan pelaku pembunuhan itu. Ia juga ingin membuktikan pada divisi kepolisian yang menangani kasus ini bahwa penyidik amatir bahkan lebih cakap dan bisa mengungkap kasus-kasus ini dengan cepat. Ia ingin membuktikan bahwa kinerja para polisi itu tidak sebanding dengan amatir yang bekerja independent ini. Kita lihat saja siapa yang akan menemukan pelakunya lebih dulu, para penyidik amatir ini ataukah divisi kepolisian.

 

 

“Topeng itu bukan dari kayu Mahoni, Eboni dan Afrormosia. Bukan juga dari Elm, Oak dan Maple. Tapi topeng itu dari kayu alder, Chief.” Luhan menghampiri Kris yang sibuk mengamati topeng-topeng dalam kardus, hasil dari olah tempat kejadian perkara selama ini. Kris dengan pelan menoleh pada rekannya itu yang sudah tenggelam dalam buku catatannya yang cukup besar dan tebal. Buku itu adalah induk dari buku catatan kecil yang selalu dibawanya. Luhan selalu mengumpulkan bukti-bukti yang ada dan mencatat setiap fakta dan kemungkinan dan menumpahkan segalanya dalam buku tebal itu. Bukti dan keterangan lengkap para saksi dan alibinya ada di dalam buku itu. Katakanlah itu adalah kitab khusus untuk kejadian pembunuhan berantai oleh laki-laki misterius bertopeng kayu itu.

Hei, apakah pembunuh itu seorang laki-laki? Tidak ada yang tahu.

Kris memandang Luhan yang sudah membuatnya terbangun dari lamunannya akan Jiali. Pikirannya masih kacau, ia masih memikirkan adiknya. Meski ia masih merasa malu, tapi ia tidak akan menahan diri untuk tidak mengunjungi Jiali lagi. Ia tahu adiknya itu sangat membutuhkannya, meski ia tidak mengatakan sepatah kata pun. Untuk saat sekarang, yang bisa ia lakukan adalah berkonsentrasi untuk mengurus kasus ini dengan lebih serius. Ia membuang napas dengan berat.

“Semua topeng terbuat dari jenis kayu itu?” Kris bertanya tanpa mengangkat wajah dari kardus berisi topeng itu. “Kau yakin?”

“Awalnya jenis kayu untuk topeng-topeng itu tidak diketahui, bukan? Namun sepertinya mengikuti waktu yang berlalu, topeng-topeng itu mulai membentuk tekstur, serat, pola dan berat jenis yang sama dengan kayu Alder.” Luhan mengangguk yakin dari balik buku tebalnya. “Topeng-topeng dari dua tahun yang lalu mulai terlihat terbuat dari kayu Alder.” Ia menunjuk topeng-topeng dalam kardus yang masing-masing dibungkus plastic itu.

Butuh dua tahun untuk mengetahui jenis kayu untuk topeng-topeng ini? Sungguh hal yang gila. Itulah salah satu kendala dari kasus ini hingga kasus ini sampai begitu berlarut-larut dan tidak bisa segera diselesaikan. “Bukankah kayu Alder yang digunakan dalam topeng Hahoe untuk tarian Tal-nori?” Kris masih sibuk memperhatikan setiap wajah yang ada di topeng-topeng itu. Ia begitu sering menatap topeng-topeng ini dan ia sudah hapal setiap wajah yang ada. wajah-wajah yang begitu asing, sebelum melihat wajah-wajah topeng itu pun, Kris yakin ia tidak pernah melihat wajah-wajah yang seperti itu sebelumnya.

“Benar, Chief. Proses pembuatannya dengan mengeringkan kayu alder itu secara seksama.” Luhan menurunkan buku catatan besarnya. “Tapi tentu saja perbedaannya dalam kasus kita adalah topeng-topeng ini tidak cukup terpisah antara bagian wajah dan dagu, dan topeng-topeng ini juga terlihat sangat mirip dengan wajah orang-orang. Setahuku topeng Hahoe sendiri tidak begitu persis dengan wajah orang-orang dan ekspresi yang ditampilkan juga berbeda. Meski orang-orang mengira topeng Hahoe terpisah antara wajah dan dagu, pada kenyataannya bagian-bagian itu tidak terpisah secara langsung. Hanya terlihat seperti itu saja.”

“Topeng-topeng ini lebih pendek dari pada topeng Hahoe yang asli,” gumam Kris. Ia membalikkan beberapa buah topeng yang ada dalam kardus.

Luhan mengangguk. “Ya, Chief. Topeng Hahoe yang asli memang lebih panjang dari wajah normal kita, karena topeng itu untuk tari-tarian.”

“Apakah ada pusat kerajinan topeng Hahoe di distrik-distrik di Seoul?” Kris menanyai Luhan. Luhan tidak butuh waktu lama untuk menjawab, karena sepertinya ia sudah menduga pertanyaan yang Kris lontarkan.

“Ada satu tempat, Chief, tapi tempat itu sudah tutup, kurasa. Tapi pemiliknya masih tinggal di rumah di sebelahnya,” kata Luhan sambil mencoret-coret beberapa bagian di buku tebalnya. “Kita tidak mungkin pergi ke daerah asli topeng Hahoe di daerah Andong, provinsi Gyeongsang Utara, bukan? Itu akan sangat jauh.” Ia mendongak menatap Kris dengan ragu.

Kris membuang napas pelan. “Jika itu yang diperlukan, kenapa tidak?” ia berdiri dan menegakkan tubuh. “Periksa tempat kerajinan topeng Hahoe yang ada di distrik di Seoul itu, Luhan. Dan tentang prediksi itu?” ia mengingatkan Luhan tentang obrolan mereka sebelumnya.

“Ah, benar!” Luhan berseru. Ia membuka halaman buku berkas tebalnya dengan terburu-buru. Wajahnya berkerut lega bagitu menemukan halaman yang dicarinya. “Setahun yang lalu, ada seorang korban pembunuhan yang juga adalah seorang fotografer, Chief. Korban terbunuh di studio foto. Pembunuhan selanjutnya juga terjadi di minggu yang sama, dua hari setelahnya, dan terjadi di sebuah mini market. Korbannya adalah pegawai mini market tersebut.” Ia menunjukkan pada Kris nama korban pegawai mini market itu. Kris menaikkan sebelah alis. “Chief memikirkan apa yang sedang aku pikirkan, bukan?” Luhan bertanya.

“Bahwa minggu ini korban selanjutnya adalah pegawai mini market?” Kris berkata langsung. Ia menunduk melihat buku tebal milik Luhan.

Luhan mengangguk. “Ini hanya perkiraan saja.”

“Tapi, pola tahun lalu, dalam minggu itu ada tiga korban, dan sesuai pola, minggu ini akan ada dua korban. Menurutmu apakah polanya akan tetap sama seperti itu?” kata Kris sambil memandang daftar para korban setahun yang lalu.

“Yah, ini hanya perkiraan saja, Chief.”

“Jarak tempat kejadian pertama dan kedua tahun lalu?”

“Empat ratus meter, tidak lebih.”

Kris mengangguk pelan. “Kita perlu mencari dua tempat dengan jarak yang seperti itu di seluruh Seoul ini.”

“Yixing sudah mendata beberapa tempat seperti itu di daerah sekitar sini, Chief.” Luhan memberitahu. “Kami akan langsung mengecek tempat-tempat itu siang ini.”

“Baiklah.” Kris berjalan mendekati mejanya dan berbalik melihat Luhan yang sedang bersiap-siap. Ia teringat hal yang mengganggu pikirannya selama beberapa hari ini. “Tunggu sebentar.”

“Ya, Chief?” Luhan menghentikan aktifitasnya.

“Ada yang aku ingin kau lakukan.”

Wajah Luhan berkerut bingung. “Apa itu?”

Kris mengeluarkan sebuah foto dari laci meja kerjanya dan memperlihatkannya pada Luhan. Kedua mata Luhan membesar melihat foto itu. Ia menatap foto itu dan Kris secara bergantian, seolah tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.

“Itu kan.. foto pegawai perpustakaan itu, Kim Joonmyun. Ada apa dengan orang itu, Chief?” Luhan tampak begitu terkejut. Ia mengerjap seraya menggaruk kepala.

Kris membuang napas. Kali ini ia tidak bisa membiarkan dirinya saja yang tenggelam memikirkan betapa mencurigakannya Kim Joonmyun baginya. Ia sudah cukup terganggu dengan berbagai kemungkinan tersangka dalam diri pemuda dengan wajah sangat cerah itu. Sejak awal ia tidak punya pikiran yang bagus tentang pemuda itu, meskipun wajah malaikatnya sangat memungkinkan untuknya untuk tidak dicurigai. Tapi siapa yang tahu? Kris sendiri masih tidak mengerti dan tidak bisa menebak motif Kim Joonmyun sebagai pelaku, tapi hal itu bisa jadi apa saja. Yang terpenting sekarang adalah…

“Selidiki dia, selidiki orang ini. Kurasa dia orang pertama yang aku curigai sebagai tersangka.”

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 11: aigoo jinjja daebak!!^^ keren,aku bahkan ikut mikir keras siapa kira kira pelakunya,and aku jg kaget pas bca chap sebelumnya,itu Tao? Tapi kapan ini mau di update lagi?I'll wait for the next chapter^^ fighting!
weirdoren
#2
Chapter 10: GRAAAAAAHHHH
kamu liat kan. junmen udah ga ada. makanya move on. #maksa
LocKeyG #3
Chapter 10: Jadi itu Tao? yang jahat Tao, bukan Joonmyeon?
xhxrat_ #4
Chapter 9: Kapan update thor ToT
weirdoren
#5
Chapter 9: ah! ya! noodle joon what the hell are you talking about?
ㅋㅋㅋ
phyro27 #6
kak ini kapan updatenya TOT
weirdoren
#7
Chapter 8: OMG WHY ;_________________;
weirdoren
#8
Chapter 6: OMG PLS UPDATE SOON ZNJKdbsjhadvjfd
namputz #9
Chapter 5: duh penasaraaaan update ppali authornim~~~