02: Perompak Lilin

Disney Nightmare [Indonesian]

 

 

Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.


02: Perompak Lilin

Jongin dan aku berjalan. Kami berjalan dan terus berjalan sampai aku bertanya-tanya kalau Disneyland memang seluas itu atau kalau itu hanya salah satu hal gila lain tentang tempat itu. Langit menjadi gelap lebih cepat dari yang aku inginkan, yang hanya menambah kelelahanku saja.

“Bagaimana mungkin sudah gelap sekarang?” Aku bertanya, dengan maksud mengisyaratkan untuk berhenti juga.

“Itu ulah Zitao. Dia mengendalikan waktu semau dia. Dan aku tebak dia sedang bad mood karena kau berhasil keluar dari Mansion hidup-hidup.”

“Aku--”

“Kau capek, aku tahu.” Dia mengangguk, lalu berbalik untuk menghadap padaku sejenak. “Kau bisa istirahat di Istana.”

“Bisa kau bawa aku ke sana?” Aku bertanya.

“Bisa. Dengan jalan kaki.” Dia menjawab.

“Ken--”

“Sebab aku tidak ingin lupa caranya berjalan. Teleportasi memang praktis, tapi seseorang bisa saja dengan mudahnya lupa cara berpindah tanpa teleportasi.”

“Apa kau juga pernah membiarkan aku menyelesaikan kalimatku?”

Dia tertawa sedikit. “Pernah.”

“Tapi kau selalu memotong kalimatku saat aku menanyakan hal penting yang bisa merujuk pada jawaban yang sebenarnya.”

“Kurang lebih. Ngomong-ngomong, aku harus pergi. Waktu kita bersama harus dibatasi.” Dia baru akan menjentikkan jari, tapi dengan cepat aku letakkan tanganku di kepalan tangannya.

“Jangan tinggalkan aku sendiri di sini. Di kegelapan.” Aku memandang ke arahnya, memohon. “Tolong.”

Dia memalingkan wajah. “Maafkan aku, Luhan. Jangan suruh aku melanggar peraturan.”

Dia menatapku dengan wajah meminta maaf sekali lagi sebelum menjentikkan jari dan menghilang detik kemudian. Aku menggigil karena ketidakhadiran mendadaknya, dan makin memburuk saat angin berhembus menembus kemejaku dan memainkan rambut kulitku. Aku melingkarkan tanganku di pundak, bermaksud supaya tetap hangat, dan menyadari Istana pink di depanku. Aku tersenyum.

“Terima kasih, Jongin.” Aku berbisik sambil tersenyum lalu mulai berlari.

Pintunya terbuka saat aku masih berlari dan menampakkan seorang pemuda tampan dengan senyum cerah. Aku segera tahu alasan keberadaannya di Istana Putri Tidur, yaitu karena dia mirip Pangeran Phillip. Rambut coklat ikal dan wajah ramah tapi tegas.

“Selamat sore, Luhan. Cepat masuk! Tampaknya Sehun tak sabaran untuk bertemu denganmu. Anginnya kencang.” Dia berkata sambil tertawa kecil sebelum membuka pintu lebih lebar. “Namaku Yixing.”

Nama itu terdengar tidak asing, dalam artian baik, makanya aku berterima kasih padanya dan segera berjalan masuk. Aku mengikutinya melewati tangga tak berujung istana tersebut, sambil sesekali tersandung karena anak tangganya tidak rata. Ada apa di Disneyland ini yang membuatku sebegini kikuk? Setelah jatuh membentur punggungnya berkali-kali, dia memaksaku jalan di depannya supaya dia dapat menangkapku kalau aku benar-benar jatuh. Merah di pipiku masih berbekas saat kami tiba di lantai teratas.

“Pintu pertama di kiri. Segeralah masuk.” Dia berkata dari belakangku.

Pintu itu cukup alot, tapi aku berhasil masuk setelah mendorongnya kuat-kuat. Aroma kue panggang dan seduhan teh memenuhi hidungku, membuat perutku berbunyi. Cangkir-cangkir yang mengepul di atas meja ada di samping sepiring kue kering dan berbagai kudapan lezat lain, aku tidak bisa menahan diri dan mengikuti nafsuku untuk makan.

“Duduklah dan makan sebanyak yang kau mau.” Yixing berkata.

Aku katakan terima kasih padanya selagi duduk dan memilih biskuit berlapis coklat lalu memasukkannya ke mulutku seutuhnya.

“Kau pasti lapar dan lelah karena perjalanan ini. Tapi jangan khawatir, kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau. Juga, datanglah lagi di kala kau ingin keluar dari kegilaan di luar sana. Di sini adalah satu-satunya tempat netral, jadi kau benar-benar aman di sini.”

“Aku tidak berencana tinggal lama kok.” Aku berkata dengan mulut penuh kue. “Ibuku akan khawatir kalau begitu. Bisakah kau pulangkan aku besok? Atau mungkin Jongin bisa?”

Senyumnya pudar dan berubah sedih, rengutan tampak di keningnya. “Ku rasa ini tidak sesederhana itu.”

“Kenapa tidak? Jongin bisa memulangkanku seperti saat dia membawaku kemari. Kau tahu, dengan segala perasaan seperti terjatuh itu.”

“Luhan... Ini adalah mimpi. Semuanya terjadi di bagian REM dari tidurmu, karena itu kau seakan mengalaminya secara nyata meski tidak satu pun nyata. Tempat ini, orang-orang di dalamnya, Jongin, aku, si kembar gila, ... semuanya adalah bagian dari mimpi.”

“Kalau begitu bangunkan aku.” Aku mulai gelisah.

“Aku tidak mampu. Hanya kau yang bisa. Saat kau mengakhiri permainan ini.”

“Permainan? Permainan apa?!” Suaraku meninggi baik karena panik maupun marah.

“Permainan ini terdiri dari beberapa duel yang kesemuanya berbasis waktu. Seluruh dunia ini berlomba dengan jam. Jam yang dijalankan oleh satu-satunya orang.”

“Suara itu....” Aku bergumam pada diriku.

“Tepat. Suara itu ialah Huang Zitao. Dia akan melakukan apa pun yang dia bisa untuk mencegahmu menang dan entah memperpanjang  atau memperpendek waktu yang kau perlukan untuk menang.”

“Kenapa dia bersikap begitu? Aku tidak pernah berbuat salah padanya.” Air mata mulai ingin tumpah sebagai reaksi dari keputusasaan yang aku rasakan.

“Kau memiliki kekuatan yang sangat ia inginkan. Kekuatan yang hanya bisa ia mimpikan. Kalau kau kalah, kau tidak akan bisa kembali dan kau akan tinggal di sini selamanya. Kalau kau menang di semua permainan, kau akan pulang ke rumah. Yang berarti kau akan bangun dan akan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Ini hanyalah mimpi. Atau mimpi buruk. Tergantung bagaimana kejadian yang akan terjadi.”

“Sejauh ini mimpi buruk.” Aku menggumam.

“Kau sudah sukses menyelesaikan satu dari duel tersebut.” Dia tersenyum. “Tapi kau bisa mengakhiri permainan ini lebih cepat.”

Itu menarik perhatianku. Saat ku lihat matanya tertunduk beberapa saat, aku tahu bahwa pilihan itu akan lebih buruk daripada ikut bermain.

“Jika kau jatuh cinta pada siapa pun di dunia ini, permainan ini akan berakhir. Saat itu juga. Begitu kau mengatakan kata aku cinta padamu, jam akan berhenti berdetak. Namun demikian, jika kau mengambil keuntungan dari peraturan ini dan mengatakannya pada seseorang yang tidak sepenuhnya kau cintai, maka kau akan kalah dalam sekejap.”

“Yang berarti aku tidak akan pernah pulang ke rumah.”

“Persis... Tapi hati-hati. Kebanyakan orang-orang di sini tidak memiliki hati yang sejati. Andaikata kau mengatakan kata-kata itu pada seseorang berhati tak jujur, kau akan kalah juga.”

“Jadi maksudmu jika aku mencintai seseorang dan menyatakannya, pada orang yang tepat, aku akan pulang. Tapi tanpa orang itu.”

“Benar.”

“Yang berarti pada akhirnya, meskipun aku menangkan permainan ini... aku akan tetap kalah.”

Hening sesaat sebelum dia mengangguk. “Aku rasa begitu.”

“Kenapa aku sdah merasa menjadi yang kalah padahal aku belum sepenuhnya memulai semua ini?” Aku menutup mataku dan memijit keningku.

“Karena kau tak akan menangkan apa pun dari semua ini....”

JONGIN!

“Dia tidak akan datang bila kau memanggilnya saat ini.” Yixing menggelengkan kepala dengan ekspresi sedih.

“Kenapa dia membawaku kemari?!” teriakku. Air mata terasa pedih di mataku.

“Untuk memainkan permainan ini.”

“Aku tidak ingin memainkan ini! Aku ingin pulang!”

“Dia membawamu kemari, tapi dia juga akan membantumu keluar. Kau mungkin membencinya sekarang tapi dia adalah orang yang akan menyelamatkanmu di saat kau benar-benar membutuhkannya. Dalam duel yang tidak sejujur yang kau hadapi dengan para penghuni di sini. Sesuatu yang lebih besar dan lebih hebat. Saat waktu itu tiba, dialah yang akan mengeluarkanmu.”

“Dia bisa saja menyelamatkan kita berdua dari semua kesukaran dan membiarkanku tidur.”

“Pikiranmu sendiri yang melakukan ini terhadapmu, Luhan....”

Nafsu makanku telah lama hilang saat aku taruh biskuit itu kembali.

“Kau mesti pergi ke kamarmu dan istirahat,” bisiknya, seakan takut memecah kesunyian.

“Memangnya aku bisa tidur dalam tidur?” Aku benar-benar penasaran.

Dia tersenyum. “Kenapa tidak kau coba lalu beri tahu aku?”

Dia mengantarku ke salah satu ruangan tempat aku tidur. Ranjangnya tinggi dan bergaya Baroque dengan hiasan warna emas di seprai yang ungu. Kelambu di sekitar tempat tidur itu sama-sama dari kain mahal, tapi warnanya pink.

“Panggil aku kalau kau butuh sesuatu.” Yixing berkata lagi dengan suara lembut yang sama.

Aku berbalik untuk menghadapnya dan mengangguk. “Terima kasih.”

Dia mengambil beberapa langkah kembali sampai ia tiba di luar dan menutup pintunya setelah mengucapkan selamat malam. Aku sempat tak yakin tapi saat aku menghamburkan diri di kasur yang lembut, aku segera tertidur.

♦♦♦

Rasanya baru semenit kemudian aku bangun lagi karena sinar matahari menyeruak dari jendela yang terbuka. Apa aku sebegitu kelelahan sampai-sampai tidur secepat dan sedalam itu, atau Zitao sedang bermain-main lagi? Adalah kekuatannya untuk melakukan itu dan tampaknya ia tidak menyukaiku sama sekali, jadi siapa tahu?

Apa dia sedang bermain-main dengan waktu lagi?

Angin masuk lewat jendela balkon yang terbuka dan bermain-main dengan rambutku. Itu mengingatkanku pada tangan yang menyentuhku lembut, lalu aku menutup mataku dan tersenyum saat merasakan diriku kembali tenang.

“Tidurlah lagi.” Sang angin berbisik, suara kecil yang sama yang telah menyelamatkanku di Mansion dengan petunjuk ponsel.

“Siapa kau?” Aku menghela napas.

“Shhhh.”

Aku tutup mataku lagi dan terhanyut kembali ke mimpi yang hitam namun damai

♦♦♦

“Terima kasih sudah menawarkanku tempat untuk tidur,” kataku saat aku melihat pemuda manis dengan senyum berlesung pipit di hadapanku.

Dia menggeleng, membuat rambut ikalnya terpental sementara tangannya membuka kenop pintu. “Sama-sama. Datanglah lagi malam ini.”

Pintu itu terbuka dan segera setelah aku melangkah keluar, angin menyapaku. Angin itu berhembus melewati rambutku, tapi dengan hati-hati supaya aku tidak kedinginan.

“Selamat pagi, Sehun.” Yixing tersenyum pada dirinya sendiri.

“Siapa--"

“Pergilah, Luhan. Sebelum Zitao berubah pikiran untuk merubah waktu lagi. Kau tidak ingin berada di taman ini sendirian saat gelap.”

“Kenapa tidak ada yang membiarkanku bertanya di sini?” Aku menggumam, agak jengkel sambil menyilangkan tangan di dada.

“Nah, aku sudah memberikan beberapa informasi kemarin, kan? Tapi jangan khawatir, kau akan mendapatkan lebih banyak jawaban sebentar lagi.” Yixing tertawa senang sambil menepuk lenganku.

Aku menghela napas. “Aku percaya kata-katamu.”

“Memang kau harus. Sekarang bergegaslah.”

“Iya, aku pergi.” Aku mengangguk dan berbalik.

“Hati-hati.” Aku mendengarnya berteriak saat aku sudah mencapai gerbang.

Aku melihat ke belakang dan mencoba memberinya senyum menenangkan meski sebenarnyya aku takut apa yang akan terjadi. Aku tidak tahu ke mana aku harus pergi tapi ku biarkan kakiku melangkah ke mana pun yang dirasa benar.

“--Han.” Aku mendengar suara di kejauhan.

Aku yang kaget pun mendongak dan mengernyit saat melihat sosok yang berdiri di atas istana abu-abu dari batu di kejauhan. Orang itu melambaikan tangan seperti orang gila seolah-olah aku pesawat yang akan menyelamatkannya dari pulau tak berpenghuni. Apa dia terdampar di atas sana dengan sendirinya?

“LUHAN!”

Aku mulai berlari, suara decitan sepatuku semakin menjadi saat makin dekat. Anak laki-laki itu terus melambai-lambai dan berteriak-teriak padaku sampai aku tiba di depan pintu.

“Masuklah! Pintunya terbuka!” teriaknya.

Aku menggangguk dan segera masuk, pintu tertutup seketika saat aku berada di dalam. Udaranya lebih dingin dibanding di luar dan itu mungkin dikarenakan ada air di mana-mana. Ku ambil sebatang obor di dinding dan mengikuti jalan di antara kedua tembok tipis itu. Temperaturnya semakin turun seiring makin jauh aku masuk ke istana dan kedinginan saat aku tiba di tempat terbuka. Air di lantai menuju ke sebuah kolam, yang terdapat perahu kecil mengapung di atasnya. Ada seseorang yang duduk di sana, memunggungiku.

“Halo?”

“Luhan!” Orang itu berbalik dan aku tidak dapat menahan senyum melihat wajah yang tidak kusangka sangat manis di depanku.

Dia berwajah bundar, bermata kecil, dan berambut sedikit bergelombang. Kemejanya lorek-lorek di tengah, tapi lengan dan kerahnya berwarna lebih gelap. Dasi dan celananya sama warnanya. Entah kenapa dia mengingatkanku pada bajak laut yang keren.

“Luhannie, kau sangat cantik.” Dia bertepuk tangan dan tersenyum cerah.

“Oh, terima kasih,” gumamku.

“Kenapa kau lama sekali? Aku sudah menunggu berabad-abad!”

“Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu menunggu.”

Dia terlihat sama sekali tidak berbahaya. Sulit untuk percaya dia bisa menyakiti seekor lalat. Apalagi manusia. Apalagi aku.

“Cepatlah kemari supaya kita bisa mengobrol lebih banyak. Di sini tidak menyenangkan, ayo pergi jalan-jalan!” Matanya besar dan meyakinkan sehingga aku mengangguk dan berjalan ke perahu, melangkah masuk dengan bantuannya, kemudian duduk.

Dia melepaskan ikatan tali pada batu di atas papan, lalu kembali duduk di sebelahku. Perahu mulai berlayar dengan sendirinya, sesuatu yang tidak dapat dimengerti otakku saat aku mencari-cari mesin motornya.

“Namaku Minseok. Aku tinggal di sini, tapi sayangnya sendirian.  Aku sangat senang kau datang! Kau membuat tempat ini jadi jauh lebih menyenangkan.”

Senyumnya menular di bibirku juga, meski aku tidak meminta bibirku tersenyum,.

“Berapa lama kau tinggal di sini?” tanyaku penasaran.

“Terlalu lama. Aku sangat kesepian, Luhannie.” Dia menghela napas dan menyandarkan kepalanya di bahuku, menggaet tanganku bersamaan dengan itu. “Aku akan tetap seperti ini sebentar, boleh kan?”

“Tentu,” jawabku sambil mengacak-acak rambutnya.

Kami mengendarai perahu itu beberapa saat dalam keheningan sementara aku melihat-lihat sekeliling. Gua ini sangat besar dengan kolam di dalamnya, tak ada yang janggal. Aku merasa nyaman sambil menutup mataku selagi kami terus bergerak. Aku tidak tahu apa yang membuatku membuka mata lagi, tapi saat ku buka, nyaris aku terkenal serangan jantung. Aku melonjak kaget dan membuat Minseok terjungkal juga.

“Ada apa?” tanyanya dengan mata melebar.

“Bo... boneka.” Aku berusaha mengatakannya sebiasa mungkin.

Aku tidak pernah menyukai boneka. Mereka benar-benar menakutiku dengan kulit lilin mereka, mata besar berkilaunya, dan wajah yang tidak wajar.

“Mereka menemaniku,” jawabnya seolah itu adalah hal yang normal-normal saja. “Aku sungguh kesepian di sini, Luhannie.” Mengakhirinya dengan rengutan.” Mereka sudah jadi temanku seiring berjalannya waktu.”

Aku tersenyum balik, akhirnya mengerti apa yang salah pada bocah sempurna itu. Dia sangat gila.

“Oh begitu.”

“Kau tidak menyukainya?”

“Oh, tidak! Hanya saja... Aku tidak terlalu nyaman di dekat mereka.”

Dia tertawa. “Tunggu saja sampai mereka benar-benar hidup, itu akan lebih menakutimu.”

“M-Mereka bisa hidup?” tanyaku, berharap dia hanya bercanda.

“Tentu saja. Kau ingin melihatnya?”

“TIDAK!” Aku berteriak, tapi lalu berusaha mengembalikan harga diriku. “Maksudku, tidak, jangan bangukan mereka. Kelihatannya mereka lebih damai seperti itu.”

“Tidak perlu malu.” Dia tertawa dan bangkit.

Perahunya berhenti saat dia menghadap mereka.

“Sayang, tampaknya tamu kita ingin bicara denganmu.”

Sorot di mata mereka berubah perlahan-lahan sebelum tangan dan kaki mereka mulai bergerak. Jantungku berdetak kencang saat ku lihat mereka semua hidup, menapakkan kakinya di lantai sebelum mulai mendekati perahu kami.

“M-Minseok,” kataku yang bergerak ke tepi perahu, berharap dapat meloncat keluar, tapi boneka-boneka itu datang dari segala arah.

“Jangan takut, Luhannie. Mereka tidak akan menyakitimu. Setidaknya tidak parah.” Dia tertawa masih dengan menyenangkan dan bahagia seperti tadi.

Boneka-boneka lilin itu meraihku. Aku menjerit saat merasakan tanga-tangan mereka di seluruh tubuhku.

“Tolong aku!” teriakku pada bocah berwajah bulat di depanku, tapi yang dia lakukan hanya melihat bagaimana mereka menganiaya diriku.

Aku menampar mereka menjauh sekeras mungkin dan melancarkan kakiku melewati tepi perahu. Airnya berubah menjadi es, membuatku terpeleset lagi dan lagi dalam usaha pelarianku. Boneka-boneka itu tidak ada masalah dengan licin dan mengikuti dekat di belakangku. Aku jatuh keras dan meringkuk, tanganku menutupi mataku. Air mata jatuh dari sudut mataku saat ku rasakan sentuhan mereka lagi.

Jongin...

Berat di atasku terangkat dalam sekejap dan ku rasakan tubuhku diangkat, dilempar ke bahu yang tegap. Aku bahkan tidak punya waktu untuk merasa mual karena aku diturunkan dengan selamat di atas kedua kakiku lagi dalam waktu kurang dari semenit. Aku melingkarkan tanganku pada penyelamatku, menangis seperti anak kecil. Dia menepuk-nepuk kepalaku dengan kikuk, berusaha menenangkanku.

“Jongin-ah....”

“Ya, aku tahu. Boneka bodoh itu memang menyeramkan. Sampai sekarang pun mereka masih menakutiku.”

Aku melepaskannya karena aku tahu ia tak nyaman, lalu ku seka air mataku dengan punggung tanganku. “Terima kasih untuk--”

“Sama-sama.” Dia mengangguk dan mulai berjalan.

Aku mengikutinya dalam diam, tapi bukannya berjalan di depanku, dia berjalan di sampingku. Sesekali melirikku dari sudut matanya untuk mengecek. Angin berhembus di sekitarku seperti jubah, dengan anehnya menjagaku tetap hangat.

“Aku bahkan tidak tahu kalau kau itu dongsaengku,” kataku.

Dia tertawa sedikit. “Aku dongsaengmu.”

“Jadi... Boleh aku tanya sesuatu?”

“Jika itu minta tolong, tidak. Jika itu pertanyaan, tidak. Jika itu jawaban, tidak.”

Aku menatapnya, dia pun menghela napas menyerah.

“Baiklah. Apa maumu?”

“Apa kau tidak terlibat masalah karena menolongku?” Aku bertanya pelan.

“Kami membuat kesepakatan... aku dan Zitao,” gumamnya, “sama seperti kesepakatannya dengan Yixing.”

Aku mengangguk.

“Baiklah, apa pun itu yang kau korbankan atau lakukan untuknya... demi menolongku... Terima kasih.”

Dia menatapku sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. Tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang tidak biasanya ada di sana dan yang tak ku tahu apa itu. 

 



translated by amusuk

edited by amusuk

t/n: update seminggu sekali^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
babyhaechannie #1
ini uda g ada yg ver aslinya ya? yg ing? dimana ya bs nemuin yg ver asli nya?
teresaginny
#2
Chapter 9: Sedih!!!!! Sebenernya sih ngebayangin Luhan - Kai agak sulit ya, cuz i'm more to HunHan couple.. cuma dari segi ceritanya, emang paling pas dipairingin powernya Luhan sama Kai.. plus, i appreaciate your translation..
sedikit kritik aja, ada beberapa bagian yg jadi kaku setelah di-Indonesia-kan.. sebaiknya sih lain kali ngga usah nerjemahinnya terlalu harafiah, kata perkata gitu.. misalnya (dicontohin aja ya, saya lupa kalimat tepatnya gimana); "you are already here anyway" bisa dijadiin "lagipula kamu sudah di sini" daripada ditulis jadi "kamu sudah di sini, lagipula".. misalnya begitu...
Di luar yg tadi udah disampaikan sih, terjemahannya udah sangat baik, berasa baca novel terjemahan kelas Harry Potter.. good job!!!
ps. mau tanya aja, kan Rendeboo akunnya udah didelete tuh, dimana ya bisa baca versi aslinya? I prefer reading English actually.
crownprc #3
Chapter 9: Bagus banget~
Ini bakalan jadi ff favorite ku~ apalahi main castsnya kai luhan. .

Sedih sumvah
xiaohunnie
#4
jadi aku balik kesini re-read karna bagus bgt ceritanya dan sekalian upvote soalnya dulu point gacukup buat upvote hehe
fresh-salad
#5
Chapter 9: keren ih ide ceritanya, sumpah!!! makasih ya ka amu udah nerjemahin, enjoy bgt bacanya, ga kaku :D
parkshinyoung #6
Chapter 1: ga ngerti sepertinya saya, lanjut aja yaaa~
Luiizy #7
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
Luiizy #8
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
callaghan
#9
Chapter 9: Keren banget *-* cerita yang keren selalu berakhir nggantung. Tapi sumpah ini keren banget. Thanks for translate amusuk sshii....
sunggaeul #10
Chapter 1: masih blum ngerti..
Next