05: Toko Joonmyun

Disney Nightmare [Indonesian]

 

Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.


05: Toko Joonmyun

Pemuda itu bagaikan Rapunzel versi laki-laki dengan wajah manis, mata bulat dan rambut pirangnya. Ia benar-benar tampak seperti Sehun dalam bayanganku, kecuali warna rambutnya,yang karenanya mirip dengan seseorang yang sumpah akan kulupakan. Hatiku berdenyut menyakitkan oleh pemandangan itu dan aku menutup mata, berharap ruangan ini kosong saat aku membuka mata kembali.

“Apa kau hanya akan mengabaikanku, Luhan?”

“Mengapa kau di sini?” bisikku, air mata kembali ke mataku yang masih sembab dan memerah.

“Aku khawatir. Jadi aku datang.”

“Kau datang hanya karena ini adalah mimpi. Kau tak akan datang bila ini kenyataan!”

Aku merasakan tangannya di pipiku, mengusapnya lembut namun aku menampiknya dan membuka mata untuk menatap tajam padanya. “Aku ingin kau pergi.”

“Luhan, tenanglah. Ini aku, Sehun.”

“TIDAK! Kau adalah dia dan aku tidak ingin melihatnya. Ataupun kau. Jadi pergilah!”

Ia menunduk, menyerah, sebelum mengangguk dan berbalik. Aku hanya berani mengeluarkan tangisku ketika ia tak lagi di sini. Semuanya terlalu berat dan aku tak sanggup lagi dengan semua ini. Kepalaku sakit, namun tak sesakit hatiku. Aku memeluk bantal tambahan di sisi kiriku seolah itu adalah ibuku dan menangis sepuasnya, mengabaikan rasa sakit di dada dan kakiku. Aku tertidur setelah dua jam, ketika kelopak mataku terasa terlalu berat untuk tetap terjaga.

 

♦♦♦

 

“Aku tidak kaget Sehun dan Jongin seolah tidak bisa meninggalkanmu sendirian. Kau sebenarnya teman yang menyenangkan. Bahkan dengan mata sembab.” Ia sedikit cemberut.

“Jawabanku tetap tidak.” Aku menggeleng.

“Apa kau benar-benar yakin? Karena melihat situasi saat ini, kau sedang tak berada di posisi yang bagus. Mengapa kau begitu keras kepala, Luhan?”

“Aku ingin pulang.” Aku berujar dan benci bagaimana hal itu hampir terdengar seperti meminta.

“Ya, kau sudah bilang. Tapi mengapa? Tak ada yang peduli di sana. Tak ada yang peduli ketika kau mengganti pakaianmu. Tak ada yang peduli ketika kau menyemir rambutmu. Tak ada yang peduli ketika kau meng-update status facebook-mu. Atau ketika kau me-reblog editan bagus di Tumblr. Atau ketika kau menge-tweet tentang harimu. Tak ada yang peduli tentang apa pun karena semua orang egois. Mereka tak peduli karena mereka hanya mempedulikan diri sendiri. Sementara di sini, semua orang peduli. Ketika kau terluka, ketika kau bahagia, ketika kau menangis, ketika kau lapar, bahkan ketika kau membutuhkan kamar mandi. Orang-orang akan selalu peduli pada hal-hal yang kau lakukan. Apa kau begitu yakin untuk meninggalkan itu semua? Hanya untuk pulang?”

Aku menggigit bibir.

“Akuilah, kau tak pernah merasa amat dicintai selain di sini.”

Ia benar. Tempat ini kacau balau namun selalu ada orang yang menolongku. Seseorang yang mengorbankan kebahagiaannya untuk kebahagiaanku. Orang-orang lain tidak melakukan hal macam itu. Tidak lagi. Setidaknya, tidak di tempatku.

“Apa kau akan terus datang di semua mimpiku?” Aku memilih untuk bertanya pelan.

Ia tertawa. “Kenapa? Akankah kau rindu bila aku tak datang?”

“Aku hanya penasaran.”

“Kita lihat nanti. Aku akan datang bila kurasa itu penting. Namun untuk sekarang, aku akan meninggalkanmu. Mimpi indah.”

 

♦♦♦

 

Hari-hari berlalu. Hari-hari beristirahat dan mimpi yang dipenuhi Zitao. Mimpi yang perlahan namun pasti mulai meyakinkanku untuk tetap tinggal. Karena ia benar. Lagipula apa untungnya kembali? Tidakkah akan lebih baik untuk memberi apa yang ia minta? Apa pun itu... bukankah itu akan membuat segalanya mudah? Hanya untuk berhenti berusaha sama sekali. Mengapa harus kembali ke tempat di mana tak seorang pun peduli padaku di saat semua peduli di sini? Setiap aku terbangun Yixing akan membawakanku makanan segar dan hangat. Ia akan datang dan mengganti perbanku. Memastikan obatku diminum tepat waktu. Setiap saat aku terbangun, Jongin akan ada di sana. Terkadang juga tertidur. Namun selalu ada. Tangannya menggenggam tanganku. Dengan biasa. Seolah kami selalu melakukannya. Karena ia peduli.

“Jongin-ah?” Aku berbisik.

“Mm.” Ia menengadah. “Apa?”

“Haruskah aku... tinggal?”

Ia mengernyit, lalu menutup buku yang ia baca dan memperhatikanku. “Haruskah kau tinggal?”

“Ya. Di sini. Haruskah aku tinggal di sini saja?”

“Kenapa?”

Aku mengangkat bahu. “Bukankah itu cara yang mudah?”

Ia menunduk dengan sebuah helaan napas dan mengusap keningnya. “Zitao sering bicara denganmu belakangan ini, ya kan?”

“Ya, tapi--”

“Berhenti. Tolong... berhentilah.” Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri. “Kau akan pulang. Tak ada satu pun yang akan menahanmu untuk tetap di sini dan aku juga tak akan mengizinkan, Luhan. Ia mengatakan hal yang ingin kau dengar. Dan semakin kau memikirkannya, semakin ia akan datang padamu dan semakin banyak ucapannya yang akan membujukmu.”

“Bagaimana bila aku ingin tinggal di sini?”

“Tapi kau tidak mau!” Ia meninggikan suaranya dan menatapku lurus-lurus. “Ia hanya tengah mempermainkan pikiranmu! Mengapa kau tidak mengerti?! Inilah yang ia lakukan!”

“Terlepas dari yang Zitao katakan, bagaimana bila aku memang ingin di sini?”

“Kenapa?!”

“Karena... aku merasa seperti di rumah.”

Pandangannya berubah sepersekian detik sebelum kembali normal. Ia memilih beranjak dan mulai melangkah pergi.

“Jongin! Jangan pergi!” Aku memohon.

Ia berputar di ambang pintu dan ia tak memasang topengnya ketika ia menatap balik. “Bila ini rumah bagimu, maka kau tak tahu arti kata itu. Kukira kau berbeda, Luhan. Tapi kau juga mulai menjadi egois seperti mereka. Hanya untuk merasa dicintai.”

Aku menggigit bibirku dan terlonjak ketika ia membanting pintu. Semenjak itu, kapan pun aku menutup mata, aku melihat betapa ia terluka. Aku mendengar bagaimana ia membanting pintu. Ia tak berada di sampingku ketika aku terbangun dan aku berusaha sekerasku untuk tidak merindukannya. Aku mencoba untuk tidak menjadi egois. Karena kau tidak mau menjadi orang seperti itu. Aku tak mau merindukannya hanya karena dia peduli. Aku ingin merindukannya karena aku peduli.

Zitao menjauhi mimpi-mimpiku jadi mungkin ia lelah bermain-main denganku. Atau hal lain telah terjadi. Aku tidak tahu, tapi aku senang. Karena beban berat di dadaku perlahan mulai terangkat tanpa adanya dia.

Butuh waktu lebih lama dari yang kukira untukku pulih sepenuhnya. Aku bangun dan bangkit dari tempat tidur tanpa rasa sakit. Aku membersihkan diri, makan makanan dari Yixing dan berjalan keluar. Namun bukan untuk melanjutkan perjalanan. Aku keluar untuk mencari toko. Toko yang menjual sesuatu yang bagus untuk diberikan pada Jongin dan Yixing karena mereka telah mengurusku. Jalanan masih sepi, tapi semua toko buka. Aku tidak terlalu memperhatikan sebelumnya dan bertanya-tanya apakah pintu-pintu mereka terbuka hanya untukku. Karena aku telah memintanya. Disneyland membuatku sulit untuk tidak menjadi egois....

Aku masuk ke sebuah toko kecil yang sepertinya menjual semua hal. Aku tak tahu mengapa aku terlonjak kaget ketika pemiliknya menyapaku namun mungkin itu karena aku tak menyangka akan bertemu seseorang di jalanan yang sepi. Pemuda di balik konter itu cantik. Sedikit mirip Prince Charming. Aku mengernyit, mengingat kembali bagaimana aku mendeskripsikan Jongin sebagai versi laki-laki Snow White dan merasakan hal aneh di dadaku karena itu berarti Jongin dan pemuda di toko ini entah bagaimana akan berakhir bersama. Mungkin ia ternyata tidak begitu Charming. Ia memang punya wajah yang tampan, kulit sangat putih dengan garis-garis yang sempurna dan rambut coklat gelap sedikit kemerahan.

“Halo.” Aku membungkuk sedikit. “Aku sedang mencari dua hadiah.”

Ia menyunggingkan sebuah senyum sopan namun hal itu nampak seolah hanya untukku. “Baiklah. Apa kau ada bayangan menginginkan apa?”

“Tidak juga...?

“Yah, bagaimana kalau kita berkeliling dan lihat apa kau menemukan benda yang kau suka.” Ia keluar dari balik konter dan mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya.

“Namaku Luhan, ngomong-ngomong.” Aku berkata tanpa alasan khusus karena sesuatu dalam diriku tahu bahwa ia telah mengetahuinya.

Ia tertawa kecil. “Senang bertemu denganmu. Kau bisa memanggilku Joonmyun.”

“Senang bertemu denganmu juga.”

Ia mengajakku berkeliling dan akhirnya aku menemukan dua hadiah yang menurutku sempurna. Setelah kembali ke konter, ia mulai membungkus hadiahku dan tiba-tiba aku teringat bahwa aku tak punya uang untuk membeli apa pun.

“Jangan khawatirkan itu.” Joonmyun tersenyum, sejenak menengadah dari menata kado-kado. “Kita akan mencari cara agar kau bisa membayar ini semua.” Ia meletakkan kantung di atas konter dan menatapku, masih memegangi kantungnya hingga tak bisa kuambil langsung. Aku tersenyum kecil.

“Bagaimana caranya...?”

Ia tersenyum lagi. “Ya... Bagaimana ya? Mengapa kita tidak... mengaturnya lain waktu?”

Mataku membulat kaget. “Lain waktu?”

“Kau tidak akan langsung pulang, “kan?”

Aku menunduk. “Kurasa tidak...”

“Kalau begitu kita bisa melakukannya lain kali. Begini saja, kau mau secangkir teh?”

“Oh.” Aku kembali memperhatikannya dan senyum menawannya. “Tentu.”

“Ayo pergi ke atas kalau begitu. Lagipula, aku juga tidak akan kedatangan pelanggan lain.” Ia tertawa  kecil dan aku mengikutinya menaiki tangga kecil yang untungnya tak sepanjang di kastil.

Ia mengajakku masuk sebuah ruangan kecil nyaman tempat semua perabotannya berdempet-dempet. Dua tempat duduk berlengan berhadap-hadapan tapi terlalu dekat untuk kenyamanan. Sebuah meja minum teh kecil di antaranya. Semuanya tampak terlalu dekat dengan perapian yang, leganya, tak menyala.

“Bagaimana bisa disini terasa hangat bila tak ada satupun penghangat?” Aku bertanya nyaring saat duduk, setelah ia memintaku.

Ia tertawa dari dapur dan senyumnya masih membayang ketika ia kembali dengan teko dan cangkir. “Semuanya sihir di Disneyland, Luhan.”

“Aku tak begitu menganggapnya... sihir.”

“Ini dia.” Ia memberiku secangkir teh, memperingatkan temperaturnya, dan aku mengucapkan terima kasih dengan senyuman saat aku mengambil cangkirnya. “Jadi,” ia melanjutkan sembari duduk di hadapanku. “Apa kau bertemu orang baru belakangan ini? Selain aku tentu saja. Seseorang yang mungkin... kau kenal?”

Aku hampir tersedak teh dan menatapnya dengan terkejut. Mungkin aku telah mencari jawaban pada tempat yang salah. “Ya! Ya, aku bertemu!”

“Itu bagus.” Dia terenyum.

“Tunggu....” Aku mengernyit. “Kau bertanya padaku apakah aku bertemu seseorang yang kukenal, aku bilang ya dan sekarang kau bilsng itu hal bagus?”

“Karena hal itu bagus, ya. Itu artinya permainanmu mulai mendekati akhir.”

“Tapi aku... Siapa dirimu?” Aku berbisik.

“Joonmyun? Kukira aku--”

“Apa yang kau ketahui? Mengapa kau berada di sini? Kau tidak akan bermain denganku? Apa kekuatanmu? Apa yang bisa kau lakukan?” Aku mengakhiri dan tak sadar bahwa aku telah mendesak maju hingga aku berhenti bertanya dan duduk dengan diam di kursiku daripada di pinggirannya.

“Percaya atau tidak tapi aku tak punya kekuatan apapun. Setidaknya, tidak lagi.” Ia tersenyum samar, dan untuk pertama kalinya ada sesuatu yang ganjil di sana.

“Apa yang terjadi?”

“Yah... banyak hal terjadi tapi mari kita katakan saja Zitao mengambilnya dariku.”

“Tapi kenapa?”

Ia menyesap tehnya sedikit dan mengernyit karena panas. “Siapa yang tahu?”

“Kau tahu! Apakah ini seperti peri kecil itu? Qian?”

“Kau bisa katakan seperti itu. Kurasa aku dan Qian terlalu dekat dengan Wufan.”

“Apa hubungan Wufan dengan Zitao?!” Aku kembali menghampiri ujung kursiku, meletakkan cangkir di atas meja untuk mengantisipasi jawaban yang akan datang.

“Zitao begitu mencintai Wufan. Ia akan menolongnya tak peduli apa pun, memastikan ia baik-baik saja, dan memastikan tak seorang pun terlalu dekat dengannya. Qian tinggal dengannya. Zitao tidak tahan akan hal itu dan menyiksanya dengan kejam. Sekarang ia seperti itu. Karena ia takut mengalaminya lagi.”

“Bagaimana dengan kau dan Wufan? Apa kalian dekat?” Suaraku mulai merendah hingga tak lebih dari sekedar bisikan.

“Ya. Dulu sekali... Ketika tempat ini masih bahagia dan damai. Dan ia hanyalah seorang pemuda yang bekerja di Peter Pan Flight. Dan aku hanyalah seorang pemuda yang bekerja di toko. Dan Zitao hanyalah anak dari pemilik Disneyland.”

“Jadi tempat ini adalah tempat yang menyenangkan sebelumnya?”

“Tentu saja. tempat-tempat yang telah kau kunjungi, semua adalah wahana. Semuanya menyenangkan sekali, dulu.”

“Lalu apa yang terjadi? Mengapa tempat ini jadi begini?”

“Ayah Zitao meninggal. Disneyland menjadi miliknya. Ia kehilangan kendali atas kekuatannya dan mengubah segalanya. Itulah bagaimana kami menjadi seperti ini.”

Aku mencoba membiarkan informasi itu larut dalam kepalaku.

“Jadi kau dan Wufan dekat dan Zitao cemburu. Karena ia salah paham menganggap persahabatan kalian sebagai sesuatu yang lebih.”

“Kupikir, ya. Ia mengambil kekuatanku dan tak ada hal yang bisa dilakukan Yixing untuk menolongku. Ia berusaha keras, namun  gagal.”

“Aku turut berduka....” Aku menghela napas dan ragu sejenak sebelum bertanya. “Apa kekuatanmu sebelumnya?”

“Air. Minseok dan aku... kami membuat orang-orang kesal. Air dan es, bisa kau bayangkan?” Ia tertawa karena pemikirannya. “Yeah, itu menyenangkan... Kau pasti juga bersenang-senang dengan kekuatanmu, kan?”

“Aku... Aku belum tahu apa kekuatanku.” Aku menghela napas. “Tapi bisakah kau memberitahuku?”

Ia tersenyum namun menggelengkan kepalanya. “Maaf. Tapi kita harus menemukannya sendiri.”

Kembali aku menghela napas. “Yah, kau memberiku jawaban lebih daripada orang lain jadi aku tak akan protes. Bicara soal jawaban. Mengapa kau begitu rela memberikanku jawaban meskipun yang lain tidak?”

Ia mengangkat bahu. “Aku tak punya hal untuk ditakuti lagi, Luhan. Aku sudah kehilangan kekuatanku. Tak ada pelanggan di toko dan satu-satunya hal yang membuatku bertahan hidup hanya Yixing. Zitao tak akan melukainya karena... yah, kekuatan penyembuh. Satu-satunya yang bisa memperbaiki segalanya. Ia tak akan melukai Yixing begitu saja.”

“Ah, salah satu hadiah itu sebenarnya untuknya. Yixing, maksudku.”

Ia tersenyum. “Sudah kukira. Tak banyak orang yang bisa kau beri hadiah di sini, iya kan?”

“Benar.” Aku mengangguk. “Joonmyun?”

“Ya?”

“Saat pertama kali aku datang ke sini... Jongin memberitahuku hanya ada tiga orang yang bisa kupercayai. Dan salah seorang adalah dirinya. Yixing dan mungkin... mungkin Angin. Mengapa ia tak menyebutkanmu?”

“Karena ia tak tahu keadaanku. Kami tidak terlalu dekat. Aku selalu menyesali itu.”

“Aku yakin ia akan mau bicara denganmu bila kau bersedia? Apa kau ingin aku menanyakan padanya?”

“Akan menyenangkan, tentu saja.” Dia tersenyum.

Aku tersenyum balik dan mengangkat cangkirku untuk kembali menyesap teh. Masih panas tapi tak sepanas sebelumnya. Lebih hangat untuk diminum.

“Tapi... ada sesuatu yang kupikir aneh.” Ia tiba-tiba berucap kembali.

“Apa?”

“Bahwa Jongin memberitahumu Angin pantas dipercaya...”

“Mengapa hal itu aneh?” Aku mengernyit.

“Itu aneh karena... jika kau pikirkan... akan jadi seberapa buruk kombinasi angin dan api? Cukup buruk untuk... membunuh seseorang?” 

 


translated by _fanboy 

edited by amusuk

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
babyhaechannie #1
ini uda g ada yg ver aslinya ya? yg ing? dimana ya bs nemuin yg ver asli nya?
teresaginny
#2
Chapter 9: Sedih!!!!! Sebenernya sih ngebayangin Luhan - Kai agak sulit ya, cuz i'm more to HunHan couple.. cuma dari segi ceritanya, emang paling pas dipairingin powernya Luhan sama Kai.. plus, i appreaciate your translation..
sedikit kritik aja, ada beberapa bagian yg jadi kaku setelah di-Indonesia-kan.. sebaiknya sih lain kali ngga usah nerjemahinnya terlalu harafiah, kata perkata gitu.. misalnya (dicontohin aja ya, saya lupa kalimat tepatnya gimana); "you are already here anyway" bisa dijadiin "lagipula kamu sudah di sini" daripada ditulis jadi "kamu sudah di sini, lagipula".. misalnya begitu...
Di luar yg tadi udah disampaikan sih, terjemahannya udah sangat baik, berasa baca novel terjemahan kelas Harry Potter.. good job!!!
ps. mau tanya aja, kan Rendeboo akunnya udah didelete tuh, dimana ya bisa baca versi aslinya? I prefer reading English actually.
crownprc #3
Chapter 9: Bagus banget~
Ini bakalan jadi ff favorite ku~ apalahi main castsnya kai luhan. .

Sedih sumvah
xiaohunnie
#4
jadi aku balik kesini re-read karna bagus bgt ceritanya dan sekalian upvote soalnya dulu point gacukup buat upvote hehe
fresh-salad
#5
Chapter 9: keren ih ide ceritanya, sumpah!!! makasih ya ka amu udah nerjemahin, enjoy bgt bacanya, ga kaku :D
parkshinyoung #6
Chapter 1: ga ngerti sepertinya saya, lanjut aja yaaa~
Luiizy #7
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
Luiizy #8
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
callaghan
#9
Chapter 9: Keren banget *-* cerita yang keren selalu berakhir nggantung. Tapi sumpah ini keren banget. Thanks for translate amusuk sshii....
sunggaeul #10
Chapter 1: masih blum ngerti..
Next