06: Laser Penghancur Jongdae

Disney Nightmare [Indonesian]

 

Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.


06: Laser Penghancur Jongdae

 

“Itu aneh karena... jika kau pikirkan... akan jadi seberapa buruk gabungan angin dan api? Cukup buruk untuk... membunuh seseorang?”

Aku tersedak tehku dan Joonmyun bahkan sampai harus bangun untuk menepuk-nepuk punggungku, khawatir aku akan mati tersedak. Ia terus bertanya apa aku baik-baik saja dan aku terus mengangguk, bertanya-tanya apakah air mata di pelupukku adalah karena tersedak atau karena merasa terkhianati.

“Sehun... Dia orang jahat.” Aku bergumam, tersadar.

“Maafkan aku, Luhan. Aku tak ingin kau mencintai orang yang tak pantas menerimanya. Jangan membuat kesalahan dengan memberikannya pada orang yang salah.” Ia juga terlihat sedih saat memelukku, mengayunku pelan untuk menenangkan.

“Dia orang yang kutemui tadi... Sang angin... Sehun... dalam wujud manusia kali ini.” Aku mengaku.

Kurasakan dirinya mengangguk. “Aku tahu.”

“Ia amat mirip dengan mantanku.”

“Memang.”

“Zitao yang melakukannya, bukan?”

“Sebagian, ya. Namun sebagian besar karena imajinasimu terus memanggilnya. Fakta bahwa Angin, atau Sehun, tak muncul dalam waktu yang lama adalah karena kau mulai melupakan dirinya. Kau perlahan mulai bangkit. Ia tak lagi berada di imajinasimu. Sesungguhnya ia selalu di sana, selalu menyapamu, menari di sekitarmu karena kau ingin merasa bahwa ia masih peduli.”

Aku mengangguk dan tak berhenti menangis. Sudah berapa kali aku menangis dalam mimpi bodoh itu? Itu membuatku lelah.

“Mungkin mimpi ini adalah hal yang membantumu bangkit.”

“Cara yang benar-benar buruk untuk bangkit.”

Joonmyun tertawa sebentar sebelum menghela napas. “Kau butuh istirahat. Kau belum pulih betul dan kau benar-benar butuh tidur. Mintalah Jongin datang.”

Aku menggeleng dan mencoba menghapus air mata yang entah bagaimana menderas saat aku mendengar nama itu. “Ia marah padaku. Karena aku ingin tinggal. Demi kesenanganku sendiri. Karena aku egois!”

“Itu hanyalah mimpi. Kau tak sadar sepenuhnya. Ia tahu itu. Ia mengerti. Bila kau memanggilnya, dia akan datang. Pikirkanlah keras dan lama tentangnya. Bicara dengannya dalam pikiranmu. Minta maaf. Ia akan mendengarkan.” Joonmyun berhati-hati mendudukkanku di kursi dan bangkit untuk memberiku sedikit privasi, menutup pintu dapur di belakangnya.

“Jongin? Jongin-ah? Aku... aku teramat menyesal atas apa yang terjadi. Aku amat egois. Dan aku masih egois. Aku berusaha keras untuk tidak rindu tapi aku merindukanmu. Aku amat merindukanmu. Aku tak suka saat aku bangun dan kau tidak di sampingku. Aku minta Yixing untuk tidur di sampingku tapi rasanya tidak sama. Ketika aku bangun, aku ingin melihatmu. Jadi tolong kembalilah. Bawa aku kembali ke kastil. Tidurlah di ranjang bersamaku. Dan juga... aku membelikanmu hadiah... jika itu membantu? Aku benar-benar minta maaf.”

 Aku tak sadar mataku tertutup sampai mereka membuka karena bunyi di antara udara yang tak lagi asing ditelingaku. Berdiri di ambang pintu adalah seorang pemuda jangkung nan kurus. Surainya hitam, kulitnya putih dan bibirnya merah. Persis seperti versi laki-laki Snow White. Bibirku mulai bergetar lagi saat aku beranjak dan berlari padanya, menariknya dalam pelukan.

“Maafkan aku.”

“Ya, ya.” Ia menepuk-nepuk punggungku. “Dasar bodoh. Kau bisa minta maaf saja daripada harus bertele-tele seperti itu.”

Kata-katanya mungkin akan terdengar ketus bila bukan karena nada suaranya yang lembut. Pintu dapur terbuka dan Jongin mendorongku lembut untuk membungkuk. Di luar dugaanku, sempurna 90 derajat.

“Joonmyun-ssi, maafkan aku karena salah mengartikan orang-orang di dunia ini. Aku tahu hatimu bersih. Tolong maafkan kesalahanku.”

Tawa yang menyenangkan membahana saat Joonmyun menghampiri Jongin dan memberinya beberapa tepukan lembut di bahu sebelum mengacak-acak rambutnya. “Selalu yang pertama mengakui kesalahan. Yah, aku minta maaf karena tak bicara denganmu lebih awal. Sebelum ini semua sudah terjadi. Mari berteman mulai sekarang, oke?”

Jongin mengangguk dan berterima kasih pada Joonmyun karena mengurusku sebelum kami pergi, tak lu[a juga dengan hadiah di lantai bawah. Ia membawaku menuju kastil, di mana Yixing tengah mengisi teka-teki silang.

“Aku membelikanmu hadiah.” Aku bergumam, merasa canggung tiba-tiba. “Sebagai ungkapan terima kasih. Karena telah merawatku.”

Yixing tersenyum cerah dan aku bersumpah aku juga melihat senyum tipis di bibir Jongin. Aku mengambil hadiah pertama dari kantung dan memberikannya pada pria tampan di sofa. Ia berterima kasih padaku dengan pelukan singkat dan merobek bungkusnya dengan cepat. Ia mengeluarkannya dari kotak dan mengagumi kastil perak kecil di tengah globe. Itu adalah replika sempurna dari tempat yang kami tinggali sekarang dan ia tersenyum begitu cerah seolah meyakinkan bahkan aku bahwa tempat ini tidak terlalu buruk. Ia mengambil globe itu dan menggoncangnya keras untuk membuat saljunya jatuh.

“Ini indah sekali. Terima kasih, Luhannie.”

“Sama-sama.” Aku tersenyum dan mengeluarkan hadiah untuk Jongin, rasanya gugup saat aku menghampirinya.

Aku bahkan tak sadar kapan sesuatu berubah di sekelilingnya. Namun tiba-tiba, aku begitu perhatian pada sesuatu yang ia katakan atau lakukan. Ia menerima hadiahnya dan membukanya dari kertas merah Donald lebih lambat dari Yixing. Ia membuka kotak merahnya dan mengangkat keluar sebuah jam tangan emas bertali coklat dan Mickey hitam di tengah.

“Supaya kau selalu tepat waktu ketika aku membutuhkanmu.”

“Bukankah aku selalu tepat waktu tanpa harus kaubelikan aku barang mahal?” Ia terdengar agak tidak setuju.

“Kau tidak menyukainya?”

“Ini indah. Tapi menghamburkan uang sebagai tanda terima kasih. Hanya untuk membuktikan bahwa kau tidak egois.”

Aku mendorongnya dan ia tertawa. Keras. Untuk yang pertama kalinya. Hatiku membuncah dan kurasakan rona merah menjalari pipiku. “Tidak lucu.”

Ia melingkarkan lengannya padaku seakan memeluk.

“Dan aku juga tak perlu membayar karena aku bahkan tak punya uang.” Aku bergumam.

“Itu bahkan lebih buruk.” Ia menghela napas, senyum masih di bibirnya. “Tapi tetap akan kupakai. Terima kasih, Hyung.”

“Tidak, terima kasih untukmu.”

Ia mengangguk dan meminta diri karena ia harus pergi ke suatu tempat. Aku tak punya waktu untuk bertanya karena ia sudah hilang.

“Ke mana ia pergi?” Aku bertanya sembari duduk di hadapan Yixing.

“Keluar.”

“Haruskah aku bertanya ke mana ia pergi?” Aku menghela napas, entah mengapa merasa kecewa atas ketidakhadirannya.

Yixing tersenyum dan kembali fokus pada teka-teki silangnya. “Tidakkah kau mengantuk?”

“Mm. Yixing?”

“Ya?” Ia mendongak.

“Tahukah kau bahwa Sehun membantu orang-dengan-api di labirin itu?”

Sunyi merambat terlalu lama dan matanya menunduk terlalu cepat. Aku mengangguk dan merasakan beban tak nyaman di perutku. Namun aku tak marah dan itu bukan karena tidak ada yang bisa merasa marah pada Yixing. Aku tidak marah karena aku tahu ia tak diperbolehkan memberi tahu. Namun kemudian aku teringat sesuatu yang diberitahukan Joonmyun dan aku melompat terlalu cepat, membuat tubuhku berdenyut satu atau dua detik.

“Yixing, kau punya kekuatan untuk mengubah semua di sini! Kau satu-satunya penyembuh, kau bisa membuat perubahan di dunia ini! Bicaralah pada Zitao!”

Ia tersenyum kecut dan harapanku tenggelam secepat kemunculannya. “Aku benar-benar berharap semua akan semudah itu, namun kenyataannya tidak. Aku mungkin dibutuhkan di dunia ini namun Zitao tak akan ragu menyiksaku dengan segala cara bila aku berulah. Percayalah, Luhan, bila aku mampu membuat perbedaan di sini, akan kulakukan. Namun dunia ini tak sesedehana dan semudah kelihatannya.”

Aku terduduk kembali ke kursiku. “Baru kusadari, iya.”

“Maafkan aku.”

“Apa kau pikir Joonmyun akan mendapat kekuatannya kembali?”

“Aku mencoba.” Bisik Yixing. “Aku benar-benar berusaha keras.”

“Aku tahu.” Aku menghampirinya dan duduk pada salah satu lengan kursinya. “Dunia ini hanya... Maaf kau terjebak di sini. Lagipula, ini adalah mimpiku. Imajinasiku. Apa aku akan bertemu kalian saat aku pulang?”

“Sejujurnya aku sama sekali tak tahu. Namun bila ya, datang dan sapalah aku. Jadilah temanku di dunia nyata, Luhan.”

Aku mengangguk dan mencoba tersenyum. “Janji.”

“Aku janji untuk yang satu ini.” Ia tersenyum balik. “Beristirahatlah sejenak. Kau pasti lelah.”

 

---

 

Aku punya sisa satu tantangan lagi untuk dihadapi. Satu momen menakutkan lagi. Bila aku berhasil, aku akan pulang. Bila tidak, aku akan tinggal di sini sepanjang sisa hidupku. Bohong bila kukatakan aku tidak merasa berhubungan dengan orang-orang di sini, namun akan lebih bohong lagi bila kukatakan aku tak merindukan rumahku. Aku rindu melihat orang tuaku. Aku rindu masakan ibuku. Aku rindu kata-kata pendorong ayahku saat aku merasa sedih. Aku merindukan bagaimana mereka memanjakanku dengan cara yang benar dan memastikan aku bahagia. Jauh dari zona nyaman membuatku sadar bahwa aku belum pernah berterima kasih pada mereka atas semua hal itu. Aku tak pernah menghargai perhatian mereka dan itu menyakitkan. Aku berjanji untuk menjadi anak yang baik ketika aku kembali.  Bahwa mereka tak perlu khawatir terhadapku lagi seperti yang mereka lakukan di tahun-tahun sebelumnya.

“Aku akan menjadi orang yang lebih baik.” Aku mengangguk pada diriku sendiri sembari berjalan.

Seperti biasa, aku sama sekali tak tahu ke mana aku pergi atau apa yang akan kuhadapi. Namun aku tahu sesuatu akan mendatangiku atau aku yang akan bertemu sesuatu, cepat atau lambat. Dan benar saja. Tidak biasa namun ada sebuah bangunan yang menarik perhatianku dengan lampu neon yang menyala setiap dua detik seolah saluran listriknya buruk. Aku memilih menghampiri dan memasukinya. Itu bukanlah rumah atau kastil seperti tantangan-tantangan sebelumnya, namun lebih seperti sebuah pabrik. Pabrik mainan mungkin, menilik dari banyak mainan yand dipajang di rak. Lebih gelap daripada di luar, tapi cahaya dari lampu neon cukup untuk menuntun jalanku. Aku mengikuti lantai yang seperti karet sebelum dihadang sebuah pintu. Sebuah pintu dengan pistol laser terselip di gagangnya. Aku mengambilnya dan pintu terbuka lebar dengan cepat, menunjukkan sebuah ruangan yang terlihat seperti sebelumnya. Aku terus melangkah dan semakin jauh, semakin aku sadar bahwa tempat ini masih sebuah wahana. Rel-rel masih terlihat di sana-sini dan jalurnya semakin sempit ke sebuah barisan. Dugaanku terbukti benar saat aku tiba di ujung dan melihat kereta menunggu di jalur. Hanya dua.

“Luhan!” Sebuah suara terdengar, membuatku melonjak terkejut.

Dengan cepat aku fokus pada seorang pemuda yang sebelumnya tak pernah kulihat. Ia mungkin akan terlihat lebih garang dengan wajahnya yang tegas dan tulang rahang yang lebar, mengingatkanku sedikit akan kekasih Mulan, Pangeran Li Shang, bila saja senyumnya tak begitu membutakan.

“Halo?”

“Luhan, aku sedikit kecewa kau memilih yang satu ini sebagai yang terakhir. Kau tak tahu seberapa lama aku menunggu.” Ia manyun dengan lucu. “Tapi tentu saja kau terluka sepanjang perjalanan, jadi aku akan memaafkanku.”

“Err... Terima kasih?”

Ia bertepuk tangan semangat. “Namaku Jongdae, ngomong-ngomong. Tapi mari jangan menyia-nyiakan lebih banyak waktu untuk sekedar formalitas. Kulihat senjatamu sudah siap. Ayo bermain!”

“Jadi kutebak ini semacam permainan menembak? Orang yang menembak target terbanyak yang menang.”

“Sudah kuduga kau pintar!” Ia tertawa.

“Tapi kau sudah berlatih,” protesku sedikit.

Ia terkikik. “Ya, tapi aku akan berbaik hati, Lulu. Kau tak perlu khawatir. Sekarang, ayo cepat karena aku sudah tak sabar ingin bermain!”

Aku menghampirinya perlahan dan ia mendorongku ke kereta pertama saat aku telah berada cukup dekat. Ia menekan bar pengaman terlalu ke bawah, hingga barnya menekan perutku tak nyaman.

“Pakai ini untuk mengendalikan keretamu, oke?” Ia berujar dan menunjuk pada sebuah tuas hijau di tengah kereta.

Aku mengangguk. “Tunggu, di mana pistol lasermu?”

Ia mengangkat kedua lengannya dan lalu berpura-pura menembak sesuatu di belakangku dengan jarinya sementara dua sinar cerah tertembak dari ujung jari-jemarinya.

“Anggap saja petir juga bisa digunakan.”

Aku tak punya waktu untuk mengeluh karena keretaku telah bergerak maju dan aku tahu bahwa tak banyak waktu yang bisa kusia-siakan. Sasarannya berbentuk monitor yang berubah bentuk setiap detik dan aku segera mengerti bahwa setiap bentuk punya poin yang berbeda juga. Segitiga mempunyai poin terbanyak dengan 10.000. Aku menghabiskan waktu dan memutar kereta sebaik dan seburuk yang kubisa, mencoba menghindari banyak sinar yang keluar dari jari-jari Jongdae. Aku memutuskan untuk hanya mengincar segitiga dan melupakan bentuk lain karena lingkaran hanya akan memberiku 100 poin dan aku akan butuh 100 lingkaran untuk mengumpulkan jumlah yang sama dengan poin yang bisa kudapat hanya dari satu segitiga. Aku berkonsentrasi layaknya orang gila, kepalaku kosong dan aku sama sekali tak memperhatikan monitor di sebelah tongkat pengendali. Aku mendengar Jongdae tertawa di kejauhan lebih dari sekali dan hal itu membuatku agak panik. Ia bisa saja mempermainku dengan mudah tapi ia punya dua senjata, sedangkan aku hanya punya satu. Ia bisa mencetak skor dua kali lipat dari poin yang kudapat bila ia bermain bagus. Yang mana mungkin saja terjadi, menilai dari seringnya ia berlatih. Akhir permainan tiba lebih cepat dari yang kuinginkan karena aku merasa belum menembak cukup banyak target untuk mencapai jumlah poin yang cukup. Skor tertinggi seharusnya adalah 999.999 karena hanya jumlah angka itulah yang muat di monitor. Aku tak cukup berani untuk melihat ke bawah namun sadar bahwa tak ada jalan lain kecuali menghadapi kenyataan. Kenyataannya adalah skor akhir berjumlah 764.500. Jauh lebih baik dari yang kukira, namun aku tak tahu apakah itu cukup untuk melampaui Jongdae. Beranjak keluar kereta, aku menunggu Jongdae, yang datang dengan cengiran lebar di wajahnya, membuat hatiku mencelos.

“Aku sedang bersemangat hari ini, Luhan.” Ia bertepuk tangan dan menembakkan sinar lain dari jarinya lagi untuk menggambarkan kata-katanya. “Mari bandingkan skor kita, ya?”

Aku mengangguk dan mengikutinya menuju sebuah ruangan kecil dengan layar-layar dan kamera keamanan wahana. Ia menekan beberapa tombol sebelum skor muncul di hadapan kami. Kami terdiam. Sama-sama tak yakin apakah hal itu benar atau hanya lelucon menyedihkan.

 

Kereta 1: 764.500

Kereta 2: 764.400

 

Satu babak. Membutuhkan satu babak untuk mengalahkannya. Seseorang dengan pengalaman dan dua senjata sekaligus.

“Aku....” Ia memulai. “Aku tak tahu harus bilang apa.”

“Maafkan aku,” gumamku karena aku benar-benar merasa bersalah untuknya.

Ia mungkin berlatih paling tidak tiga kali sehari. Untuk menjadi yang terbaik di sana. Dan aku, seseorang yang baru saja datang dan mungkin akan kembali pulang, telah mengalahkannya.

Ia menggelengkan kepala dan menggigit bibir. “Aku... aku yakin sekali ini perbuatan Zitao. Ia ingin bertemu denganmu untuk permainannya sendiri atau apalah itu.”

Aku mengangguk. “Tentu saja. Kau pasti akan menang bila bukan karena Zitao.”

“Ya.”

“Mm.”

Ia berbalik dan menatapku. “Maukah kau tinggal untuk satu babak lagi?”

“Kurasa akan lebih baik bila aku pergi saja. Aku tak yakin aku sudah sepenuhnya pulih dari... kesenangan ini.” Aku berusaha mengucapkannya sehalus mungkin.

Kenyataannya, aku hanya ingin pulang ke kastil, makan makanan buatan Yixing dan tidur di samping Jongin saja. Hanya untuk merasa nyaman. Hanya untuk menghabiskan waktu yang tersisa bersama-sama. Karena aku sudah menang. Aku telah menangkan semua permainan dan tak ada yang bisa Zitao lakukan karena aku sudah mengalahkan semua orang. Aku akan pulang dan aku tak tahu bagaimana atau kapan, tapi itu berarti aku tak punya banyak waktu tersisa dan aku ingin membuat segalanya berharga.

Jongdae nampaknya terlalu terpaku pada angka-angka di monitor untuk menyadari bahwa aku telah pergi setelah mengucapkan selamat tinggal dengan cepat. Ketika aku melangkah keluar, hari telah beranjak malam. Atau setidaknya seperti itulah yang kurasakan. Langit gelap dan hampir mustahil untuk bisa melihat sesuatu bila bukan karena lentera-lentera di sekitar. Langkah pertama kuambil, dan waktu berhenti di sekitarku. Aku tak bisa bergerak dan tak satu pun usahaku berhasil. Sesosok bayangan gelap muncul entah dari mana dan melangkah ke arahku. Senyumnya nampak dipaksakan dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat lebih gelap dari pada sebelumnya, eyeliner-nya tercoreng. Ia menghampiriku dengan langkah lebar, namun butuh waktu lama untuknya sampai di hadapanku. Aku masih membeku dalam waktu namun hatiku masih sanggup berdegup ketika wajahnya begitu dekat.

“Luhan kita,” desisnya, lalu merengkuh kedua pipiku. “Luhan kita telah berhasil menaklukan lima tantangan. Kau akan mendapat enam, namun Joonmyun tak ingin bermain lagi... Jelas, ia harus pergi.”

Aku ingin menjerit sementara sebuah perasaan tak nyaman mulai menyisip ke dalam hatiku, namun tak ada suara yang bisa keluar. Tak ada satu pun yang mampu kulakukan.

“Tapi karena lima berarti bukan enam, aku akan mengorbankan diriku dan menjadi permainan keenammu. Besok malam.”

Kau akan bermain dengan waktu!

“Tidak, tidak kali ini. Aku berjanji. Aku berjanji atas makam Joonmyun.” Ia tertawa keras lalu menghilang di tengah malam.

Aku dapat bergerak kembali, lalu jatuh berlutut.

“Joonmyun....”

Satu dari sedikit orang baik di tempat kacau balau ini dan kini ia tak ada lagi. Ia tak mau bermain lagi dan harus terbunuh karena itu. Ia tak punya lagi hal untuk kehilangan, ia telah memberitahuku.

Jongin-ah...

“Aku di sini.” Ia berujar dan kurasakan lengannya merengkuhku aman beberapa detik kemudian. “Aku akan membawamu ke kastil.”

Tak sampai sedetik sebelum ia membaringkanku di ranjang dan memelukku. Aku terisak di dadanya dan mencengkeram erat kemeja yang ia kenakan, mencoba mengerti apa yang terjadi.

“Satu-satunya hal yang membuatku bertahan hidup hanya Yixing.”

Aku menengadah pada Jongin, mencoba menatap wajah tampannya di sela air mata.

“Yixing... Kita harus menemukan Yixing.”

“Sudah terlambat. Zitao memastikan Yixing tak berada di sekitar Joonmyun untuk membantunya. Saat ia mendengar apa yang terjadi, semua telah terlambat. Yixing adalah seorang penyembuh namun ia bukan Tuhan. Ia tak bisa membuat seseorang kembali dari kematian.” Jongin berucap pelan dan aku menyadari bagaimana ia menggigit sisi dalam pipinya untuk mencegah air matanya mengalir turun.

“Yixing adalah satu-satunya yang mampu membuat Joonmyun bertahan hidup...” Aku berujar.

“Joonmyun... dan aku bicara. Aku bicara padanya setelah kau memberi hadiah-hadiah itu. Ia menjelaskan padaku beberapa hal...”

“Aku perlu tahu, Jongin.”

Ia memikirkannya sesaat sebelum mengangguk. “Zitao mengambil kekuatan Joonmyun. Kekuatannya air, namun seorang makhluk hidup tak akan mampu bertahan tanpa air di dalam tubuh. Joonmyun tak hanya kehilangan kekuatannya, namun juga komposisi manusiawinya. Yixing mengurusnya setiap hari, memastikan ia tak mengering tanpa air. Saat Joonmyun berkata bahwa hal yang membuatnya terus bertahan hidup adalah Yixing... ia memaksudkannya secara harfiah.” 

translated by _fanboy 

editd by amusuk

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
babyhaechannie #1
ini uda g ada yg ver aslinya ya? yg ing? dimana ya bs nemuin yg ver asli nya?
teresaginny
#2
Chapter 9: Sedih!!!!! Sebenernya sih ngebayangin Luhan - Kai agak sulit ya, cuz i'm more to HunHan couple.. cuma dari segi ceritanya, emang paling pas dipairingin powernya Luhan sama Kai.. plus, i appreaciate your translation..
sedikit kritik aja, ada beberapa bagian yg jadi kaku setelah di-Indonesia-kan.. sebaiknya sih lain kali ngga usah nerjemahinnya terlalu harafiah, kata perkata gitu.. misalnya (dicontohin aja ya, saya lupa kalimat tepatnya gimana); "you are already here anyway" bisa dijadiin "lagipula kamu sudah di sini" daripada ditulis jadi "kamu sudah di sini, lagipula".. misalnya begitu...
Di luar yg tadi udah disampaikan sih, terjemahannya udah sangat baik, berasa baca novel terjemahan kelas Harry Potter.. good job!!!
ps. mau tanya aja, kan Rendeboo akunnya udah didelete tuh, dimana ya bisa baca versi aslinya? I prefer reading English actually.
crownprc #3
Chapter 9: Bagus banget~
Ini bakalan jadi ff favorite ku~ apalahi main castsnya kai luhan. .

Sedih sumvah
xiaohunnie
#4
jadi aku balik kesini re-read karna bagus bgt ceritanya dan sekalian upvote soalnya dulu point gacukup buat upvote hehe
fresh-salad
#5
Chapter 9: keren ih ide ceritanya, sumpah!!! makasih ya ka amu udah nerjemahin, enjoy bgt bacanya, ga kaku :D
parkshinyoung #6
Chapter 1: ga ngerti sepertinya saya, lanjut aja yaaa~
Luiizy #7
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
Luiizy #8
Chapter 1: chapter awal masih bingung? biar gak bingung lanjut ke chapter selanjutnya XD hihi
callaghan
#9
Chapter 9: Keren banget *-* cerita yang keren selalu berakhir nggantung. Tapi sumpah ini keren banget. Thanks for translate amusuk sshii....
sunggaeul #10
Chapter 1: masih blum ngerti..
Next