08: Epilog
Disney Nightmare [Indonesian]
Disclaimer: Disney Nightmare by Rendeboo.
08: Epilog
Setiap malam aku berharap untuk bermimpi lagi. Aku memohon pada Tuhan untuk dapat meneruskan mimpi yang pernah kumimpikan dulu. Aku sudah siap menghadapi mimpi buruk itu untuk yang kedua kalinya bila itu berarti lebih banyak waktu untuk bersama Jongin. Aku tak bisa melepasnya. Tidak sampai aku mencoba segala cara. Aku berbaring di atas rerumputan, di tempat yang sama seperti hari itu saat semuanya dimulai. Aku pergi ke Disney, berusaha menemukan sebuah petunjuk atau setidaknya sesuatu yang akan memberitahuku bahwa semua kejadian itu nyata. Tapi aku tidak pernah menemukan petunjuk yang kubutuhkan dan aku terus hidup tanpa tahu apa-apa selama beberapa tahun. Hingga pada akhirnya, di hari aku bersumpah untuk melupakan itu semua dan bangkit, aku bertemu Yixing. Dia bekerja sebagai dokter di rumah sakit lokal tempat ibuku berobat saat sakit. Aku sangat senang bertemu dengannya lagi, namun itu hal terakhir yang dapat kurasakan melihat kondisi kami sekarang. Aku ingin menanyakan banyak hal, memeluknya, memberitahunya bahwa aku merindukannya dan macam-macam. Tapi dia tidak mengenalku. Aku ingat dia memintaku untuk berteman dengannya di dunia normal. Jadi kuturuti. Dia menjadi sahabatku. Menjadi seseorang tempat aku berpegang sebagai bukti bahwa semua air mata yang kucurahkan bukan demi khayalan belaka. Dialah orang yang menenangkanku dan memelukku saat aku menangis tanpa ia tahu sebabnya. Tapi dia tidak pernah bertanya dan hanya mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku biarkan dia berjanji padaku. Aku masih memegang janji itu, berharap suatu hari nanti Jongin akan hadir di hidupku juga. Aku menunggu selama yang kubisa tanpa patah arang, tapi di satu waktu aku tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Maka aku kumpulkan segenap keberanian untuk membahas soal itu lagi. Lagipula, tidak ada yang akan hilang dariku karena aku pun nyaris tak lagi hidup. Maka di suatu sore yang hujan, di saat Yixing telah menyiapkanku teh panas dan biskuit, aku pun bertanya. Pertanyaan yang selalu membayangi bibirku selama ini.
“Xing-ah... Barangkali kau tahu seseorang bernama Jongin?”
Aku takut akan jawabannya. Karena Yixing tidak mengenal banyak orang-orang sehat selama hidupnya dan aku kira itulah alasan mengapa dia pun berpegang padaku, sama seperti aku berpegang padanya.
Karena bagaimana bila dia mengenal seseorang bernama Jongin? Seseorang yang nantinya akan dikenalkan padaku tapi tidak akan membalas perasaan yang aku punya terhadapnya?
Karena semua hal yang bisa kubayangkan berakhir menyedihkan.
“Jongin?” Dia mengernyit. Aku melihat bagaimana dia berpikir keras dan lama sementara aku terus berharap melihat ekspresi kenal di wajahnya. Sesuatu. Detail kecil sekalipun.
“Tidak,” ia menggeleng. “Sepertinya aku tidak kenal.”
Bahuku pun jatuh karena kecewa, aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku mengangkat bahuku menanti jawabannya.
“Tunggu.” Tiba-tiba ia memecah keheningan, aku mendongak menatap matanya. “Pernah ada seorang pasien dengan nama itu. Kim Jongin. Aku ingat sekarang.”
“Apa yang terjadi padanya?”
Yixing menunduk, sama seperti yang ia lakukan di mimpiku, dan aku pun tahu jawabannya bukanlah sesuatu yang ingin aku dengar. Nyatanya, mungkin itu hal terakhir yang ingin aku dengar. Harusnya aku menghentikannya di situ, tapi aku akan merasa sangat celaka jika aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada orang yang amat sangat kucintai.
“Penyakit jantung. Dia baru sembilan belas tahun... Itu sangat menyedihkan.” Dia menghela napas.
Tenggorokanku tercekat, tak peduli seberapa banyak aku menelan ludah, tidak ada yang bisa membuatnya menghilang. Aku berpegangan ke meja, berusaha untuk bernapas normal.
“Penyakit jantung seperti apa?” tanyaku.
“Stress Cardiomyopathy. Atau disebut juga broken heart syndrome... Aku tidak pernah melihat kasus tersebut pada orang yang masih sangat muda. Dia masih punya masa depan panjang.... Detik-detik sebelum ia menghembuskan napas terakhir, dia memanggil seseorang bernama Lu—Hey... apa kau kenal dia?” Sorot matanya berubah dari sedih menjadi penasaran, sesak di dadaku terasa semakin tak tertahankan.
“Ya.” Suaraku terdengar aneh.
“Maaf. Aku tidak tahu... Apa dia... maksudku....”
Aku menggeleng, masih berpegangan pada meja. Pandanganku kabur karena air mata yang mulai memaksa keluar.
“Apa yang terjadi?” tanya Yixing berbisik.
“Kukatakan padanya aku mencintainya."
“Mereka menjanjikan bahwa mimpi akan jadi kenyataan,
tapi lupa menyebutkan bahwa mimpi buruk juga mimpi.”
Tamat.
Amu’s note: Terima kasih banyak buat reader dan khususnya, co-translatorku _fanboy, it’s so nice working with you, kita sama-sama belajar ya ^_^ Maafkan ketidaknyamanan selagi mengikuti terjemahan ini sampai habis (apdet terlambat, typo, kurang EYD). I’m gonna take rest and try to improve my skill.
Comments